Aku yakin, mukaku sekarang pasti sudah memerah seperti kepiting rebus. Rasa malu yang aku rasakan, menjalar begitu cepat ke sekujur tubuh. Mukaku panas, dan kakiku mendadak terasa lemas, lumpuh seketika.
Aku menyeka ujung mataku dengan ibu jari. Ya ampun, aku nangis saking malunya. Kalau Tuhan kasih aku satu permintaan, tentu saja aku ingin Tuhan menghapus ingatan Pak Bima saat ini juga, biarin deh Pak Bima hilang ingatan sampe dia kakek-kakek nanti. Aduh, tapi kalau Pak Bima amnesia, nasibku nanti gimana dong?
Kepalaku sebelah kiri tiba-tiba berdenyut kencang. Ternyata semakin dipikirkan, justru membuat kedua kakiku menjadi semakin lemas. Badanku ambruk seketika.
"Kiara, kenapa? Kamu jatuh?" suara Pak Bima terdengar sangat jelas di telingaku.
"Eng-enggak, Pak. Saya baik-baik saja," jawabku dengan suara yang agak bergetar. Udara di dalam kamar mandi ini sebenarnya panas, tapi tubuhku merinding, menggigil hebat seperti orang yang sedang demam.
"Yakin? Masalahnya telinga saya menangkap suara orang jatuh dari dalam sana," jelasnya.
"Hmmm ... Anu Pak, tadi rak sabun yang tergantung di samping wastafel jatuh." Tentu saja aku berbohong. Aku tidak ingin Pak Bima tau kalau saat ini aku sedang duduk meringkuk menahan malu.
Aku melihat tangan dan juga kakiku. Kemudian aku membuka kebaya yang kancingnya sudah dilepas oleh Pak Bima. Dari apa yang bisa dijangkau oleh penglihatanku, tidak ada bekas cacar air yang menempel disana. Tapi, kenapa tidak dengan punggungku. Aku meraba punggungku pelan, mencoba menemukan bekas cacar air yang Pak Bima maksud dengan koreng. Dan ketika telunjukku merasakan ada tekstur kasar di punggung, aku segera berdiri dan mencoba untuk melihat wujudnya dari pantulan kaca.
"Hih!" gumamku pelan, "Gara-gara bekas cacar air ini, aku jadi melakukan hal bodoh di depan Pak Bima," sesalku kemudian.
"Tapi, kenapa Pak Bima punya mata sejeli itu ya, aku aja enggak pernah tau ada bekas cacar air di sini," gumamku."Eh tapi ya jelas sih aku enggak tau, kan bekasnya ada di punggung. Kalau Pak Bima enggak bantu bukain kancing kebaya juga gak bakalan tau," batinku.
Yaahhh, aku teringat lagi dengan kejadian memalukan itu. Bu, nasib Putri sulungmu begini amat sih. Nikah di usia yang sudah terbilang tua, dapat suami ajaib kaya Pak Bima lagi. Boleh enggak sih pinjem alat milik Doraemon? Setidaknya kalau boleh aku pengen muter waktu, atau paling tidak mengubah takdir yang saat ini terjadi padaku.
"Kiara, kamu enggak apa-apa, kan?" Pak Bima bertanya lagi, "Sudah hampir sejam loh kamu ada di dalam sana. Tapi, aku gak denger pergerakan apapun dari kamu. Kamu beneran jatuh ya?" imbuhnya.
Aku enggak sadar, ternyata aku sudah membuang waktu selama satu jam hanya untuk merenungi kejadian yang gak penting seperti ini.
"Eng-enggak Pak, saya baik-baik aja di dalam," jawabku terbata.
"Kok lama banget?" tanyanya menyelidik. Suara Pak Bima membuat badanku yang sudah tenang menjadi gemetaran lagi, entah karena malu atau enggak bisa membayangkan jika nanti dia meminta haknya sebagai seorang suami.
"Anu Pak ... Ini anu ... Eh maksudnya saya ..." Hish kok malah jadi gagap gini sih, bingung mau jawab apa.
Pak Bima mengetuk pintu kamar mandi yang masih terkunci rapat. Dia terus menggaungkan namaku sambil mengetuk pintu tanpa henti.
"Ki, kamu beneran enggak kenapa-kenapa, kan?" Dia mulai panik. Panik? Untuk apa dia panik atas keadaanku?
Karena hatiku semakin gak karuan dan pikiranku melayang kemana-mana, aku memilih untuk diam. Ketukan pintu dari luar semakin lama semakin cepat frekuensinya.
"Hei, kok diam? Ki ... Kiara." Ketukan Pak Bima kini berubah menjadi gedoran. Ya Tuhan, bagaimana ini? Aku belum siap jika harus bertemu dengan Pak Bima.
Brak!
"Kyaaaaaaaaaaaa ..." Aku berteriak seiring dengan jebolnya pintu yang di dobrak oleh Pak Bima.
"PAK BIMMMAAAAA, ASTAGA!" teriakanku semakin kencang ketika wajah Pak Bima terlihat di ambang pintu. Aku sontak menutupi kedua aset berhargaku dengan kedua tanganku. Memang saat ini tubuhku tidak tertutupi oleh sehelai benangpun, sehingga aku yakin kedua tangan ini tidak bisa menjangkau seluruh bagian yang ingin ku tutupi.
"YA TUHAN, KELUAR PAK KELUAR! BAPAK NGAPAIN DI SANA NGLIATIN SAYA, ASTAGA PAK BIMA" Napasku menderu. Dadaku bergetar hebat, jantungku jempalitan dan hawa dingin langsung memeluk tubuhku tanpa permisi.
Jika tadi dia mempermalukanku dengan bekas cacar air, kini dia mendobrak pintu kamar mandi kemudian melihatku telanjang bulat seperti saat ini. Dasar, manusia ajaib! Ngeselinnya gak ada obat.
Pak Bima memutar badannya kemudian meninggalkan aku yang masih shock. Aku langsung mengguyur badanku untuk mengurangi getaran yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku celingukan memperhatikan pintu kamar mandi, takut jika Pak Bima muncul dan melihat aku yang sedang menggosokkan sabun ke seluruh tubuh.
Ya Tuhan, jika manusia serakah itu ada di dunia, maka akulah orangnya. Setelah tadi aku minta ingatan Pak Bima dihapus, dan nasibku diperbaharui, maka kali ini aku minta aku yang hilang ingatan. Aku kembali menangis mengingat wajah Pak Bima yang tertegun karena melihatku tanpa busana. Matanya yang membulat, alasnya yang terangkay, dan bibirnya yang terbuka membuatku malu, sangat-sangat malu. Jika membenturkan kepala ke tembok adalah solusi, maka akan kulakukan saat ini juga.
Aku mengendap-endap ke luar dari kamar mandi, dengan baju ganti yang sebelumnya sudah aku ambil dari dalam almari, kaos berwarna putih dan celana hijau lumut. Pak Bima duduk di atas kasur sambil memainkan MacBook miliknya, entah apa yang sedang dia kerjakan. Mukanya serius sekali. Aku menghela napas lega, syukurlah dia sibuk, jadi pasti lupa dengan kejadian dobrak mendobrak pintu kamar mandi.
Dengan bantuan hairdryer, aku mencoba untuk mengeringkan rambutku di depan meja rias. Suara bising dari alat ini membuat Pak Bima melirik ke arahku. Aku mematikan Hairdryer meski rambutku belum kering.
Aku beranjak dari kursi kemudian berniat untuk turun ke bawah memasak makan malam. Perutku keroncongan, lapar sekali rasanya. Sambil berjalan, aku berpikir harus dimana aku tidur. Kasurku sempit, hanya berukuran 120x200 cm. Sedangkan, tidak mungkin aku meminta Pak Bima untuk tidur di kamar tamu. Masa iya aku tidur di lantai beralaskan tikar?
"Ki ... Mau kemana?" tanyanya. Suaranya berat dan sedikit serak, terdengar sangat seksi sekali. Bulu kudukku meremang, aku takut jika saat ini juga dia mengajakku untuk melakukan hal yang biasanya dilakukan oleh pasangan suami istri setelah mereka menikah.
"Apa?" jawabku ketus.
"Sini." Dia menepuk-nepuk kasur yang saat itu sedang dia duduki.
Aku memegang wajahku, tanpa make up dan tubuhku juga tidak ku semproti parfum. Aku sama sekali tidak menyiapkan apapun untuk malam ini, bahkan baju yang kukenakan pun warnanya seperti lontong tanpa sate.
"Bapak yang kesini, kan Bapak yang butuh," ucapku asal. Pak Bima beranjak dari kasur. Pakaiannya juga sudah ganti, kali ini dia memakai piyama berwarna biru tua, sangat kontras dengan kulitnya yang berwarna kuning Langsat. Wangi maskulin dari tubuh Pak Bima, menyeruak masuk ke dalam hidungku. Aku memejamkan mata pelan, menelaah wangi parfum yang sedang menari di dalam lubang hidungku.
"Ki ..." panggilnya lagi.
Mataku terbuka, Pak Bima sudah ada tepat di depanku. Jantungku sudah mulai berlompatan, perutku tiba-tiba terasa mulas. Apakah orang yang akan melakukan malam pertama, harus merasakan kesakitan seperti ini?
"Apa Pak?" Aku melengos.
Dia membelai rambutku.
"Jangan pegang-pegang. Nanti jadi kebiasaan!" Kilahku.
"Kamu mandinya bersih enggak, sih?" tanyanya polos.
"Bersih lah, emang Bapak sudah semalam ini belum juga mandi," sunggutku.
"Kok, rambutmu masih berbusa? Enggak bersih ya bilasnya?"
Aku meraba ujung kepalaku, dan benar saja rambut atasku masih terasa sangat lengket.
"Kan, dah kebelet pengen ehem-ehem ya sama saya?" godanya.
"PAK BIMAAAA!" Aku berlari masuk lagi ke kamar mandi.
Setiap kali teringat kejadian semalam, pipiku pasti langsung memerah dan terasa sedikit panas. Rasa malu itu masih ada, meski aku sudah berusaha melupakan kejadian semalam.Setelah Pak Bima memergoki rambutku yang masih lengket akibat bilasan sabun yang kurang bersih, aku langsung berlari menuju ke kamar mandi. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengguyurkan air ke sekujur badan. Bibirku mencebik ketika sadar bahwa baju yang kukenakan masih lengkap dan melekat di tubuhku."Kamu ngapain basah-basahan begitu? Emang gak dingin?" Pak Bima mungkin merasa aneh melihatku mandi dengan pakaian yang masih lengkap."BAPAK, NGAPAIN ADA DI SITU?" teriakku kepadanya.Dia menopang dagu, kemudian menjawab pertanyaanku dengan santai, "saya dari tadi duduk di sini sambil kerja, dan kamu tau itu. Kok tiba-tiba sekarang nanya ngapain saya di sini? Aneh." Dia menggelengkan kepalanya pelan."BAPAK, SAYA BARU MANDI!" bentakku.
Aku mengucek mata secara perlahan, memastikan orang yang ada di sebelahku sudah tertidur lelap. Namun, setelah berkali-kali aku mengusap mata, aku tidak menemukan orang itu. Aku reflek duduk kemudian menyalakan lampu tidur yang ada di atas nakas. Kuedarkan pandangan ke setiap sudut kamar untuk mencari keberadaan Pak Bima dan ketika mata ini tidak sengaja menatap ke bawah, aku menemukan dia sedang meringkuk di bawah ranjang.Aku turun dari kasur kemudian membalikkan badan Pak Bima yang saat itu sedang tidur dengan posisi telungkup. Meski badan Pak Bima tergolong kecil, namun ternyata butuh beratus-ratus kalori untuk menelentangkan badannya. Aku menggoyang-goyangkan lengannya agar dia segera bangun. Namun, usaha yang aku lakukan sepertinya percuma. Jangankan bangun, bergerak saja tidak. Karena aku capek menggoyangkan badan, akhirnya aku menggunakan jurus pamungkas, yaitu memencet hidung mancun
Aku terperanjat setelah melihat tonjolan yang ada di dalam celana Pak Bima. Baru kali ini aku melihat tonjolan sebesar itu. Dengan kaki yang gemetar, aku mengendap-endap melewati Pak Bima, merangkak sepelan mungkin agar dia tidak terbangun."Uhmm ...." Pak Bima mengigau sambil menggaruk pipi tirusnya.Aku menahan napasku ketika tubuh mungilku berada di atas Pak Bima, jangan sampai embusan napas ini membangunkan dia yang masih sibuk merangkai mimpi. Namun, ketika mataku tidak sengaja menatap wajah polosnya yang masih terlelap, tanganku enggan beranjak dari tempat itu. Muka tampan Pak Bima sepertinya menyimpan ribuan magnet yang membuat kedua bola mataku tak mampu berpaling ke arah lain. Ku perhatikan setiap lekuk wajah yang dimiliki oleh Pak Bima. Alis yang tebal, kedua mata yang agak sipit, hidung mancung, bibir sintal, pipi tirus, dagu yang ah dia memiliki ketampanan yang tanpa cela."Ki ...." gumamnya pelan. Dia melingk
Suasana di ruang makan mendadak menjadi kacau. Pak Bima mendekat ke arahku dengan muka yang masih merah padam karena menahan amarah. Aku menunduk, takut melihat ekspresi tidak menyenangkan dari orang-orang yang ada di ruangan ini."Kak Bima duduk dulu, semua bisa kita bicarakan dengan baik. Asal Kak Bima mau meredam emosi dan juga menurunkan ego milik Kakak," bisik Binar pada Pak Bima."Apa yang perlu dibahas? Dalam kasus ini memang mereka yang salah. Bima susah diarahkan sedangkan istrinya tidak bisa menjaga diri." Brian menyuapkan nasi ke dalam mulutnya,"Wanita itu seharusnya bisa menjaga dirinya, bukan malah mengobral diri kesana kemari. Secantik apapun orangnya, kalau sudah begitu ya enggak menarik lagi, buatku wanita seperti itu, kesannya justru sangat murahan sekali."Pak Bima menggebrak meja yang ada di depannya. Rahangnya menegang dengan gigi yang terdengar saling bergesekan."Apa maksudmu, hah?" Pak Bima me
Aku mendekat ke ruang kerja Pak Bima untuk menajamkan pendengaranku. Aku kira kegaduhan tadi pagi, yang berujung pada keluarnya Pak Bima dari rumah, sudah cukup untuk meredam kemarahan dari Pak Hans. Tapi, nyatanya aku keliru. Pertengkaran di dalam ruangan ini justru lebih gaduh jika dibandingkan dengan cek cok mulut tadi pagi.Aku menempelkan telingaku di daun pintu setelah beberapa saat tidak mendengar suara apapun dari dalam ruangan. Aku takut jika satu diantara mereka melakukan hal-hal yang tidak baik, sebab aku tau orang dari keluarga Pak Hans memiliki watak yang keras dan tidak mau mengalah. Ditambah lagi aku sering mendengar dari karyawan kantor ini, bahwa mereka tidak segan menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginan mereka.'klek'Pintu terbuka secara tiba-tiba bersamaan dengan terhuyungnya badanku ke dalam ruangan. Aku jatuh tersungkur di depan Pak Hans dan Pak Bima yang mukanya masih sama-sama menegang. Tatapan
Obrolan sederhana tentang sein motor emak-emak membuat kami tidak berhenti tertawa. Hujan yang deras, bahkan tidak mampu meredam suara tawa milik kami."Kamu tau gak, Ki, kenapa papa muda enggak berani nglawan emak-emak pakai daster?" Pak Bima masih memeluk bahuku dengan erat."Hmm mungkin karena emak berdaster galak kali ya, Pak?" Aku menjawab pertanyaan Pak Bima dengan sebuah pertanyaan."Yee salah!" Serunya sambil menahan tawa."Lah kenapa emang?""Soalnya kalau emak berdaster udah dandan, pesonanya bikin papa muda kelonjotan kaya orang epilepsi hahaha." Tawanya meledak.Aku tersenyum mendengar ocehannya. Kalau diamati dari samping begini, ternyata Pak Bima ganteng juga. Wajah tirusnya, dagu yang terbelah secara alami, tatapan mata tajamnya, hidung mancungnya, alisnya yang tebal, dan semua yang tercetak di wajahnya membuat siapa saja bisa tertarik kepadanya dengan begitu mudah.
Aku mengusap pipiku yang tergenang oleh air mata. Entah bercanda atau tidak, tapi perkataan Pak Bima tentang aksi bunuh diri tetangga sebelah, membuat pikiranku jadi tidak fokus. Aku langsung kabur dari kamar ketika menyadari punggung Pak Bima tidak nampak dari pandanganku.Kepalaku menoleh ke kiri dan kanan, celingukan mencari keberadaan manusia super iseng yang tadi tega membuatku menangis."Pak...." panggilku dengan suara agak lirih. Aku tidak ingin membuat kegaduhan ketika tetanggaku sedang khusuk melaksanakan tahilan bersama."Pak ...." Aku mengendap-endap ke ruangan sebelah dengan mata yang ku edarkan ke setiap sudut ruangan. Hatiku masih berdesir tidak karuan, takut kalau saja ada sesuatu melayang di atas kepalaku."Pak ...." Untuk ketiga kalinya aku menyebutkan sapaanku padanya. Hening. Tidak ada jawaban dari Pak Bima.'klek'Aku membuka pintu secara perlahan dan seketika it
Aku masih celingukan ke sana sini mencari sumber suara. Bahkan aku melongokkan kepala ke bawah kasur untuk mengecek apakah suara itu benar bersumber dari sana. Takutnya nanti beneran ada ular yang masuk ke dalam kamar, kemudian merayap dan melilit ke tubuhku atau ke Pak Bima.Namun, setelah aku cek berulang kali, hasilnya nihil. Padahal semakin aku cari, suara desisan itu justru semakin kencang. Aku menoleh ke samping, mempertanyakan kenapa Pak Bima masih bisa tertidur pulas meski ada suara desisan sekeras itu."Sssshhhhhhhhhhhhh."Bibirku mencebik kesal. Setelah mencari suara desisan itu ke sana sini, ternyata sumber suaranya berasal dari orang yang tidur di sampingku. Aku lalu mendekat ke arah Pak Bima, mengamati gerakan bibirnya yang sedikit terbuka. Giginya rapat, matanya terpejam, eh seperti orang yang sedang memaksakan netranya untuk menutup. Badan Pak Bima sedikit bergetar, seperti orang yang sedang menggigil karena kedingina
"Baik,Ki. Aku akan pergi dari sini."Aku membenamkan kepala ke dalam dekapan Pak Bima. Rasa muak yang sudah kutahan beberapa waktu terakhir ini, akhirnya tumpah setelah melihat batang hidung milik Putri. Aku tidak menyangka bahwa dia memiliki nyali yang besar untk datang ke rumah ini."Duduk dulu, ya. Kamu butuh minum untuk meredakan emosimu."Jika biasanya aku selalu membantah perkataan Pak Bima, kali ini aku turuti semua saran darinya. Hal ini aku lakukan bukan karena aku ingin membuat Putri cemburu, tapi lebih kepada rasa lelah yang mengungkung hati dan juga pikiranku. Jujur, aku sudah capek dengan segalanya. Jika Pak Bima ingin menuntaskan semuanya saat ini juga, maka aku sudah menyiapkan hatiku."Minum dulu, Ki." Dia menyodorkan segelas air bening kepadaku. "Tarik napas dalam-dalam, kemudian keluarkan pelan-pelan."Pak Bima berjalan memutariku, kemudian memposisikan diri tepat di samp
Aku menangis setelah berada di dalam kamar. Setiap kali membahas tentang Putri, rasa sakit akibat cemburu ini tidak bisa dikendalikan. Aku selalu terbayang bagaimana dulu Pak Suami menjamah tubuh Putri dan kini aku pun pernah melakukannya bersama dengan Pak Bima. Rasa-rasanya aku seperti sedang berbagi raga dengan sahabat baikku sendiri dan saat ingatan itu muncul, dadaku terasa begitu sesak."Ki, Kiara, jangan marah. Kita bicarakan baik-baik masalah ini, Ki." Pak Bima mengetuk pintu kamar dengan keras.Aku menutup kedua telingaku menggunakan telapak tangan. Suara dari Pak Bima mengetuk hati. Membuat rasa sakit yang bersemayam di dalam sana, menjalar dengan cepat ke seluruh tubuhku."Kiara, saya minta maaf jika saya selalu mengecewakanku. Saya salah, tapi untuk kali ini biarkan saya menjelaskan semuanya kepadamu." Dia menaikkan ritme ketukan pada pintu kamar ini."Kiara." Dia memanggil namaku dengan suara
Sudah tiga hari ini aku berdiam diri kamar. Rasa sakit dan kecewa akibat kebohongan Pak Bima, masih terpahat rapi di sudut hatiku. Aku sudah berkali-kali menafikkan semua pikiran negatif tentang dia dan juga Putri. Namun, semakin kutolak, pikiran jelek tersebut semakin terpatri di dalam pikiranku.Aku beranjak dari kasur menuju meja rias. Setelah beberapa kali mengamati, ternyata wajahku lebih cocok dikatakan mirip Alien dari pada seorang wanita yang sedang patah hati. Mukaku terlihat sangat kuyu dengan tatapan mata sendu dan manik yang berkantung karena kurang tidur.Aku tidak tahu bagaimana keadaan Pak Bima setelah dia terjatuh dari tangga 3 hari yang lalu. Setelah aku masuk ke dalam kamar, aku tidak lagi mendengar panggilan darinya. Bisa jadi saat ini dia sedang meringis kesakitan, atau justru sedang tertawa karena dirawat oleh Putri. Ah, sial! Pikiranku selalu saja lari ke sana. Sadar atau tidak, ada rasa iri dan kesal ketika teringat akan sosok Putri. Kepolosan ya
Bima PoV'BRAK'Aku mengusap dadaku perlahan, gebrakan pintu di balik sana membuat jantungku melompat dari tempatnya."Telan semua alasan dan juga rahasiamu! Saya tidak butuh dan bahkan tidak peduli dengan segala hal yang berkaitan dengan kehidupanmu!" Kiara kembali berteriak dari dalam kamar tidur. Suara melengkingnya membuat hatiku hancur. Aku tidak menyangka bahwa kesalahpahaman ini ternyata membuat dia semarah ini kepadaku.Dengan dada yang masih berdegub kencang, aku mulai beringsut mundur. Rasanya percuma aku berdiri terpaku di depan kamar seperti ini, sebab sekeras apapun aku berusaha untuk meyakinkan, Kiara tetap tidak akan mempercayaiku.Aku duduk termenung dengan kedua tangan menyangga kepala. Rasa sakit yang tadi bersemayam di dalam hati, kiri merembet naik ke kepalaku. Denyutan demi denyutan menjalar dari pelipis naik ke ubun-ubun. Jika seluruh bagian yang ada di kepalaku ini bisa berteriak, pasti ruangan ini sudah gaduh den
Sejujurnya aku masih tidak menyangka, bahwa ternyata dua orang yang paling aku percaya tega membiarkanku larut dalam ketidaktahuan. Aku kecewa dan tentunya marah kepada mereka. Dulu ketika Putri datang ke rumah dalam keadaan hamil dan meminta perlindungan, aku beserta dengan orang rumah membuka lebar pintu rumah kami, sebagai tempatnya untuk bersandar dan berpulang. Aku tidak tahu siapa orang yang tega memperlakukan Putri dengan cara yang tidak baik, merenggut kesuciannya, lalu meninggalkannya begitu saja tanpa sebuah kejelasan. Putri pun selalu bungkam ketika kami menanyakan siapa orang brengsek yang berani menghamilinya dan tidak mau bertanggung jawab, atas bayi yang ada di dalam kandungannya. Tiga tahun sudah dia memendam semuanya sendirian, dan hari ini semuanya terbongkar. Aku akhirnya tahu bahwa si bejat tidak bertanggung jawab itu adalah Pak Bima, suamiku sendiri. Dengan hati yang sudah terkoyak dan jantung yang detakannya patah-patah, aku mencoba
Aku mengumpulkan seluruh tenagaku yang masih tersisa kemudian mendorong kuat-kuat tubuhnya yang masih mendekapku. Sebelum rasa nyaman menguasaiku, sebelum hatiku mulai melemah lagi, aku harus bisa menjauhkan diriku darinya."SAYA MAU PULANG!" Aku kembali membentaknya."Iya, Ki, iya. Kita pulang sekarang." Pak Bima menjawab bentakanku dengan begitu sabar. Suaranya lembut, seperti seorang Ayah yang sedang menghadapi anaknya yang sedang tantrum.Aku berjalan beberapa langkah di depan Pak Bima. Ku percepat langkahku agar dia tidak bisa menyejajarkan posisi kami. Pak Bima berulang kali menggaungkan namaku di koridor hotel, tapi tidak satupun panggilan darinya yang aku respon. Hatiku sudah terlalu sakit dan juga kecewa, tubuhku juga kembali menggigil. Hal ini bukan karena hawa dingin yang mulai menyusup kulit, tapi lebih kepada amarah yang sudah terlalu susah untuk dikendalikan.Pandangan mataku mengarah lurus ke depan tapi tatapan mataku kosong. Jaket yang tad
Tanganku gemetar tatkala memutar handle pintu kamar. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa Pak Bima dan Putri bisa setega ini kepadaku. Kemarin aku sudah bertanya baik-baik perihal hubungan mereka. Namun, mereka sama-sama mengatakan bahwa sebelumnya tidak saling mengenal. Aku mencoba untuk berlari, menjauh sebisaku dari kamar hotel yang saat ini sedang aku tempati. Kejadian ini mengingatkanku pada keputusan yang dibuat oleh Ervan beberapa tahun yang lalu, sama-sama menyakitkan dan sama-sama mengandung sebuah kebohongan. Ah... Tapi setelah dipikir ulang, aku rasa kebenaran ini berkali-kali lebih menyakitkan dari pada apa yang pernah Ervan lakukan terhadapku. Aku bukanlah orang yang mudah menjatuhkan hati kepada orang lain, begitu pula terhadap Pak Bima. Namun, setelah aku mempercayainya dan menyerahkan seluruhnya kepada Pak Bima, dia tega berbohong bahkan menyembunyikan sesuatu yang sangat penting dariku, dari istrinya sendiri.Benarkah mereka pernah berhubungan? Jika iya, apa
"Ki, jangan lupa bawa jaket yang tebal, kalau perlu yang banyak deh." Pak Bima melirikku sekilas, kemudian fokus kepada benda kotak yang ada di dalam genggamannya. "Lebay amat! Emang kita mau liburan ke kutub?" Aku menjulurkan lidahku. "Dih, dikasih tau malah ngledek! Besok kalau sampai di sana kamu menggigil kedinginan, saya ceburin ke empang sekalian!" Pak Bima menatapku sengit. "Yakin nih mau nglempar saya ke empang?" Aku beranjak dari posisiku, kemudian berjalan mendekat ke arahnya. "Ya iya lah. Biar tau rasa kamu!" Dia melengos, bibirnya mengerucut ke depan. "Ahh ... Yakin?" Aku naik ke atas kasur, kemudian merangkak mendekatinya. Kebetulan siang ini aku sedang memakai kemeja tanpa motif dengan ukuran oversize, sehingga membuat Pak Bima bisa dengan mudahnya melihat isi kaosku. "Masa sih Bapak tega lemparin saya ke empang?" Dengan posisi seperti orang merangkak,
"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq." Suara lantang milik Pak Bima menggema dengan mantap di langit-langit gedung ini. Aku tersenyum simpul ketika melihat raut wajah leganya setelah mengucapkan kalimat sakral itu. Meskipun ini bukan kali pertamanya dia menerima Ijab dari Ayah, tetapi rasa tegang itu tetap saja melekat padanya, ketika dia melafalkan kalimat kabul."Saahhh?" tanya Pak Penghulu"Saahhhhhh." Riuh sahutan dari saksi dan tepuk tangan mereka membuat debaran yang ada di dalam hati kami mereda.Aku mencium tangannya dengan perasaan bahagia, sedangkan dia mengecup keningku dengan perasaan suka cita. Kali ini kami benar-benar menjadi suami istri yang sah, baik sah secara agama ataupun negara.Setelah proses ijab kabul selesai, aku dan Pak Bima duduk di depan para tamu. Sebenarnya tidak ada acara yang 'wah' untuk pernikahan kami, hanya saja Ayah memintaku untuk mengadakan peng