Home / Romansa / Complicated Marriage / Bra Merah Ukuran 36B

Share

Bra Merah Ukuran 36B

Author: Fani Kons
last update Last Updated: 2021-04-05 19:29:00

Setiap kali teringat kejadian semalam, pipiku pasti langsung memerah dan terasa sedikit panas. Rasa malu itu masih ada, meski aku sudah berusaha melupakan kejadian semalam.

Setelah Pak Bima memergoki rambutku yang masih lengket akibat bilasan sabun yang kurang bersih, aku langsung berlari menuju ke kamar mandi. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengguyurkan air ke sekujur badan. Bibirku mencebik ketika sadar bahwa baju yang kukenakan masih lengkap dan melekat di tubuhku.

"Kamu ngapain basah-basahan begitu? Emang gak dingin?" Pak Bima mungkin merasa aneh melihatku mandi dengan pakaian yang masih lengkap.

"BAPAK, NGAPAIN ADA DI SITU?" teriakku kepadanya.

Dia menopang dagu, kemudian menjawab pertanyaanku dengan santai, "saya dari tadi duduk di sini sambil kerja, dan kamu tau itu. Kok tiba-tiba sekarang nanya ngapain saya di sini? Aneh." Dia menggelengkan kepalanya pelan.

"BAPAK, SAYA BARU MANDI!" bentakku.

"Saya tau. Makanya saya nanya, kalau mandi kenapa bajunya dipakai? Emang enggak dingin?" ucapnya polos.

"Hih," celetukku gemas. Aku keluar dari kamar mandi dengan kondisi badan yang masih basah. Aku buka almari bajuku, bermaksud memilih baju untuk ganti.

"Kamu hari ini kenapa aneh, sih? Atau emang sehari-harinya begini ya?" Dia menatapku yang masih sibuk memilih baju.

"Diem! Bawel mulu," sindirku.

"Yeee diperhatiin malah ngatain bawel. Saya itu takut kalau kamu masuk angin." Dia bersedekap, kemudian memajukan bibirnya beberapa cm. Gemas.

"Ya kalau Bapak takut saya masuk angin, kenapa tadi pintunya di dobrak? Astaga," keluhku.

"Kamu mandi basah-basahan cuma karena pintunya jebol? Ya ampun padahal saya enggak ada niatan buat ngintip loh." Tatapan polosnya membuatku menjadi salah tingkah.

"Terus tadi ngapain dobrak, kalau enggak niat ngintip?" selidikku.

Dia menghelat napas perlahan, "Kamu sudah satu jam di dalam sana, dan saya tidak mendengar suara orang jebar jebur. Saya khawatir kamu jatuh atau tidak bisa bergerak, makanya saya dobrak," jelasnya penuh sesal.

"Bapak kan bisa ketuk pintu dahulu, kalau begini kan pintu kamar mandi saya jadi rusak," jawabku lirih.

"Saya tadi sudah ketuk, tapi kamu diam." Dia menunduk, mungkin merasa berdosa sudah melakukan kesalahan berulang hari ini.

"Ya gimana saya enggak diam, orang baru gosok gigi. Emang Bapak mau, saya mati gara-gara keselek sikat gigi?" Aku mendelik ke arahnya. Muka polosnya sudah mulai nampak. Kalau sedang enggak galak gini, Pak Bima ternyata ganteng, aku terkekeh dalam hati.

"Ya maaf, saya kan khawatir ... Tapi enggak apa-apa, kalau enggak saya dobrak kan saya jadi ga bisa lihat anu." Alisnya naik turun, sedangnya senyum tengilnya muncul lagi di kedua bibir sintalnya.

Aku reflek menggunakan kedua tanganku untuk menutupi bagian dada dan bagian inti. Meski saat ini aku memakai baju lengkal6, namun rasa malu itu tiba-tiba menyergap tubuhku yang masih basah karena guyuran air sampo. 

"PAK BIMA, ISH!" Aku menghentakkan kakiku ke lantai, kemudian kembali ke kamar mandi untuk berganti baju.

"Ki.. Kiara," panggilnya.

"APA PAK APA?" Aku sudah terlalu gemas sama Pak Bima, kalau bisa aku gigit, beneran aku gigit deh bibir sintalnya, eh... 

Aku menepuk-nepuk dahiku yang sedari tadi terbayang oleh kekenyalan bibir milik suamiku.

"Kamu merasa ada yang ketinggalan enggak?" tanyanya dengan nada suara menggantung.

Aku mengecek baju ganti yang kubawa masuk ke kamar mandi dan sebelum aku sadar, Pak Bima sudah lebih dulu memberitahu.

"Ki, di depan almari ada bra warna merah, ukurannya 36B. Ini punyamu, kan?" Ada suara tawa di balik tembok kamar mandi ini.

"Astaga," keluhku, "Perasaan tadi sudah kubawa, kenapa bisa ketinggalan di depan almari sih."

"Mau aku bawain apa gimana, Ki?" Dia masih tertawa.

"Atau mau sekalian aku pakaikan? Biar kamu engga kerepotan." Suara berat dan seraknya terdengar seksi di telingaku.

Aku berdiri di dekat pintu kamar mandi yang sudah jebol, ku longokkan kepalaku ke luar kamar mandi dan ....

"Kyaaaaaaaaaa, Pak Bima ...." Aku terkejut melihat Pak Bima berdiri di samping pintu yang tadi dia dobrak. Pandangan kami bertemu kemudian tawanya meledak seketika.

"Mau ambil ini?" Dia menunjukkan bra merah yang ada di dalam genggamannya, "hehe ngomong-ngomong saya baru pertama kali lo pegang daleman cewek. Untung punya istri sendiri, jadi enggak merasa ternoda ini tangan."

Aku menyaut barang itu dengan cepat. Rasa malu sepertinya sudah menguap begitu saja dari dalam diriku. Hari ini, sudah berkali-kali aku menahan malu di depan Pak Bima. Makanya kepalang tanggung jika harus menahan malu untuk kesekian kalinya. Aku sengaja memakai benda berwarna merah ini tepat di samping Pak Bima. Jika tadi dia bahagia sudah menggodaku, kini saatnya aku yang akan membuatnya pilu menahan nafsu.

"Kiara," ucapnya sambil menutup kedua mata dengan telapak tangan.

Aku tertawa pelan, " Tadi katanya mau bantu pakai? Kok sekarang malu-malu begitu?" Aku balik menggoda Pak Bima.

"Eh, jadi boleh nih lihat?" Dia menggeser jemarinya, memberi ruang pada mata agar bisa melihatku dari jarak yang lebih dekat.

"Gak boleh lah." Aku mencubit lengannya kemudian keluar dari kamar. Sedangkan dia menggaruk-garuk hidungnya, yang aku yakin pasti hidungnya sedang tidak gatal.

Aku lapar, ingin membuat mie instan untukku.  Seharian ini aku memang belum makan, terlalu sibuk dengan tamu dari keluarga Pak Bima. Pak Bima? Aku kemudian berbalik arah untuk kembali ke kamar. Orang yang ada di dalam kamarku pasti juga sama laparnya denganku. Namun, ketika sampai di ambang pintu, aku melihat pak Bima sedang lari di tempat. Aku mendekatinya karena merasa aneh dengan apa yang dia kerjakan.

"Ngapain, Pak?" tanyaku sambil memandangnya dengan tatapan heran.

"Lari-lari," jawabnya tanpa menoleh.

"Ya tau lari-lari. Maksudnya ngapain lari-lari begitu? Ini dah malam, loh." Aku memperjelas pertanyaanku yang tadi terkesan ambigu.

"Ya gak biar apa-apa." Dia masih fokus dengan kegiatannya tanpa menoleh ke arahku.

"Kalau mau lari dari kenyataan, gak gini caranya, Pak." Aku duduk di atas kasur, menunggunya selesai lari di tempat.

"Ngapain lari dari kenyataan. Hidup sudah enak kok mau ditinggalkan." Kali ini dia tidur tengkurap, tidak lama kemudian dia lalu melakukan push up di tempat semula.

"Ya siapa tau Bapak pengen memutar waktu. Kan enak tuh jadi bujang, bebas kemana-mana," ucapku lagi.

"Lebih enak kemana-mana sama kamu, kan?" Dia mengerlingkan sebelah matanya, kemudian kembali lagi melakukan push up.

"Pak, kalau gila jangan begini dong. Olahraganya besok lagi, emang enggak capek apa?" Aku justru ikut tengkurep, bedanya dia di lantai sedangkan aku di atas kasur.

"Jangan diforsir. Nanti kalau Bapak kecapekan terus mati, gimana dong?"

Dia berdiri kemudian bersandar pada tiang kasur, "Kan ada kamu, ya saya minta pijit sama kamu, lah. Lagian nanti kalau saya mati, ya tentu saja saya gentayangin kamu. Kan tadi pagi sudah janji bakalan sehidup semati." Dia jongkok kemudian mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku sontak duduk untuk menghindarkan wajahku dari bibirnya. Dadaku berdegup kencang, aku deg-degan.

"Enak aja gentayangin saya, iman saya kuat kali, Pak. Jadi gak semudah itu Bapak bisa gentayangin saya." Aku bersedekap. Bersikap sok angkuh di depan Pak Bima.

"Oh, jadi enggak apa-apa nih saya mati?"

"Eh jangan lah. Kasihan sama saya lah, Pak. Sudah nikah di usia 29 tahun, eh jadi janda di usia segitu pula, kapan bahagianya?" keluhku.

"Kirain mau ngomong, kapan enak-enaknya." Dia mengacak rambutku yang masih basah,  "Kamu tadi mau kemana?" tanyanya.

"Makan," jawabku singkat.

"Kok enggak jadi?" Dia duduk di sebelahku, tangannya masih berada di atas kepalaku.

"Mau ngajakin Bapak. Masa iya mau makan Bapak enggak diajak, ntar dosa lagi." Aku memperhatikan dia yang saat itu juga sedang menatapku.

"Cie ngomongin dosa," godanya, "Kamu tau gak dosa terbesar istri kepada suami itu apa?"

"Apa?"

"Dosa terbesar istri itu bukan ketika enggak nawarin suami makan waktu dia makan, tapi dosa terbesarnya adalah menolak ajakan suami untuk melakukan hubungan badan." Muka serius itu entah kenapa terkesan sedikit lebih genit malam ini.

Aku terdiam, merasa ada benda tajam yang menusuk-nusuk ulu hati.

"Biar gak dosa, yuk." Dia mengedipkan mata kemudian mendekatkan tubuhnya ke arahku.

"Eng... Eng... Anu." Aku mulai gugup. Keringat dingin mulai membanjiri tubuhku. "Pak Bima, emang eng-enggak ca-capek?" Aku tergagap lagi. Mataku rasanya sedikit buyar, lidahku tiba-tiba mati rasa.

"Hahaha bercanda kali, Ki." Dia kembali mengacak rambutku dengan gemas, "Kita tidak sedekat itu untuk melakukannya sekarang. Saya mau begituan ketika kita sudah sama-sama siap. Yaudah yuk makan, saya temani biar enggak dosa."

Dia berdiri kemudian mengulurkan tangannya kepadaku, "Kamu bisa masak apa, Ki?" tanyanya.

"Masak air, Pak." Aku menjulurkan lidah kemudian menggandeng tangannya.

"Enggak apa-apa air. Nanti dikasih sayuran sama telur, ya. Saya pengen sup sayuran. Kamu bisa, kan?" Dia tersenyum.

"Bisa. Yang enggak bisa itu, tidur bareng sama Bapak malam ini. Nanti, Bapak tidur di lantai ya," kekehku kemudian.

Related chapters

  • Complicated Marriage   Ada yang Menonjol, Tapi Bukan Bakat

    Aku mengucek mata secara perlahan, memastikan orang yang ada di sebelahku sudah tertidur lelap. Namun, setelah berkali-kali aku mengusap mata, aku tidak menemukan orang itu. Aku reflek duduk kemudian menyalakan lampu tidur yang ada di atas nakas. Kuedarkan pandangan ke setiap sudut kamar untuk mencari keberadaan Pak Bima dan ketika mata ini tidak sengaja menatap ke bawah, aku menemukan dia sedang meringkuk di bawah ranjang.Aku turun dari kasur kemudian membalikkan badan Pak Bima yang saat itu sedang tidur dengan posisi telungkup. Meski badan Pak Bima tergolong kecil, namun ternyata butuh beratus-ratus kalori untuk menelentangkan badannya. Aku menggoyang-goyangkan lengannya agar dia segera bangun. Namun, usaha yang aku lakukan sepertinya percuma. Jangankan bangun, bergerak saja tidak. Karena aku capek menggoyangkan badan, akhirnya aku menggunakan jurus pamungkas, yaitu memencet hidung mancun

    Last Updated : 2021-04-06
  • Complicated Marriage   Keluarga Bima

    Aku terperanjat setelah melihat tonjolan yang ada di dalam celana Pak Bima. Baru kali ini aku melihat tonjolan sebesar itu. Dengan kaki yang gemetar, aku mengendap-endap melewati Pak Bima, merangkak sepelan mungkin agar dia tidak terbangun."Uhmm ...." Pak Bima mengigau sambil menggaruk pipi tirusnya.Aku menahan napasku ketika tubuh mungilku berada di atas Pak Bima, jangan sampai embusan napas ini membangunkan dia yang masih sibuk merangkai mimpi. Namun, ketika mataku tidak sengaja menatap wajah polosnya yang masih terlelap, tanganku enggan beranjak dari tempat itu. Muka tampan Pak Bima sepertinya menyimpan ribuan magnet yang membuat kedua bola mataku tak mampu berpaling ke arah lain. Ku perhatikan setiap lekuk wajah yang dimiliki oleh Pak Bima. Alis yang tebal, kedua mata yang agak sipit, hidung mancung, bibir sintal, pipi tirus, dagu yang ah dia memiliki ketampanan yang tanpa cela."Ki ...." gumamnya pelan. Dia melingk

    Last Updated : 2021-04-09
  • Complicated Marriage   Tempat untuk Pulang

    Suasana di ruang makan mendadak menjadi kacau. Pak Bima mendekat ke arahku dengan muka yang masih merah padam karena menahan amarah. Aku menunduk, takut melihat ekspresi tidak menyenangkan dari orang-orang yang ada di ruangan ini."Kak Bima duduk dulu, semua bisa kita bicarakan dengan baik. Asal Kak Bima mau meredam emosi dan juga menurunkan ego milik Kakak," bisik Binar pada Pak Bima."Apa yang perlu dibahas? Dalam kasus ini memang mereka yang salah. Bima susah diarahkan sedangkan istrinya tidak bisa menjaga diri." Brian menyuapkan nasi ke dalam mulutnya,"Wanita itu seharusnya bisa menjaga dirinya, bukan malah mengobral diri kesana kemari. Secantik apapun orangnya, kalau sudah begitu ya enggak menarik lagi, buatku wanita seperti itu, kesannya justru sangat murahan sekali."Pak Bima menggebrak meja yang ada di depannya. Rahangnya menegang dengan gigi yang terdengar saling bergesekan."Apa maksudmu, hah?" Pak Bima me

    Last Updated : 2021-04-11
  • Complicated Marriage   Satu Romantis, Dua Boros

    Aku mendekat ke ruang kerja Pak Bima untuk menajamkan pendengaranku. Aku kira kegaduhan tadi pagi, yang berujung pada keluarnya Pak Bima dari rumah, sudah cukup untuk meredam kemarahan dari Pak Hans. Tapi, nyatanya aku keliru. Pertengkaran di dalam ruangan ini justru lebih gaduh jika dibandingkan dengan cek cok mulut tadi pagi.Aku menempelkan telingaku di daun pintu setelah beberapa saat tidak mendengar suara apapun dari dalam ruangan. Aku takut jika satu diantara mereka melakukan hal-hal yang tidak baik, sebab aku tau orang dari keluarga Pak Hans memiliki watak yang keras dan tidak mau mengalah. Ditambah lagi aku sering mendengar dari karyawan kantor ini, bahwa mereka tidak segan menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginan mereka.'klek'Pintu terbuka secara tiba-tiba bersamaan dengan terhuyungnya badanku ke dalam ruangan. Aku jatuh tersungkur di depan Pak Hans dan Pak Bima yang mukanya masih sama-sama menegang. Tatapan

    Last Updated : 2021-04-13
  • Complicated Marriage   'Adik' Saya Berdiri kalau Kamu Banyak Gerak

    Obrolan sederhana tentang sein motor emak-emak membuat kami tidak berhenti tertawa. Hujan yang deras, bahkan tidak mampu meredam suara tawa milik kami."Kamu tau gak, Ki, kenapa papa muda enggak berani nglawan emak-emak pakai daster?" Pak Bima masih memeluk bahuku dengan erat."Hmm mungkin karena emak berdaster galak kali ya, Pak?" Aku menjawab pertanyaan Pak Bima dengan sebuah pertanyaan."Yee salah!" Serunya sambil menahan tawa."Lah kenapa emang?""Soalnya kalau emak berdaster udah dandan, pesonanya bikin papa muda kelonjotan kaya orang epilepsi hahaha." Tawanya meledak.Aku tersenyum mendengar ocehannya. Kalau diamati dari samping begini, ternyata Pak Bima ganteng juga. Wajah tirusnya, dagu yang terbelah secara alami, tatapan mata tajamnya, hidung mancungnya, alisnya yang tebal, dan semua yang tercetak di wajahnya membuat siapa saja bisa tertarik kepadanya dengan begitu mudah.

    Last Updated : 2021-04-27
  • Complicated Marriage   Pak Bima Mulai Genit

    Aku mengusap pipiku yang tergenang oleh air mata. Entah bercanda atau tidak, tapi perkataan Pak Bima tentang aksi bunuh diri tetangga sebelah, membuat pikiranku jadi tidak fokus. Aku langsung kabur dari kamar ketika menyadari punggung Pak Bima tidak nampak dari pandanganku.Kepalaku menoleh ke kiri dan kanan, celingukan mencari keberadaan manusia super iseng yang tadi tega membuatku menangis."Pak...." panggilku dengan suara agak lirih. Aku tidak ingin membuat kegaduhan ketika tetanggaku sedang khusuk melaksanakan tahilan bersama."Pak ...." Aku mengendap-endap ke ruangan sebelah dengan mata yang ku edarkan ke setiap sudut ruangan. Hatiku masih berdesir tidak karuan, takut kalau saja ada sesuatu melayang di atas kepalaku."Pak ...." Untuk ketiga kalinya aku menyebutkan sapaanku padanya. Hening. Tidak ada jawaban dari Pak Bima.'klek'Aku membuka pintu secara perlahan dan seketika it

    Last Updated : 2021-04-28
  • Complicated Marriage   Karena Kamu Jodohku

    Aku masih celingukan ke sana sini mencari sumber suara. Bahkan aku melongokkan kepala ke bawah kasur untuk mengecek apakah suara itu benar bersumber dari sana. Takutnya nanti beneran ada ular yang masuk ke dalam kamar, kemudian merayap dan melilit ke tubuhku atau ke Pak Bima.Namun, setelah aku cek berulang kali, hasilnya nihil. Padahal semakin aku cari, suara desisan itu justru semakin kencang. Aku menoleh ke samping, mempertanyakan kenapa Pak Bima masih bisa tertidur pulas meski ada suara desisan sekeras itu."Sssshhhhhhhhhhhhh."Bibirku mencebik kesal. Setelah mencari suara desisan itu ke sana sini, ternyata sumber suaranya berasal dari orang yang tidur di sampingku. Aku lalu mendekat ke arah Pak Bima, mengamati gerakan bibirnya yang sedikit terbuka. Giginya rapat, matanya terpejam, eh seperti orang yang sedang memaksakan netranya untuk menutup. Badan Pak Bima sedikit bergetar, seperti orang yang sedang menggigil karena kedingina

    Last Updated : 2021-04-29
  • Complicated Marriage   Guling Hidup

    Pukul setengah tiga dini hari aku terbangun. Udara dingin akibat hujan yang turun dengan sangat deras, memaksa mataku untuk terbeliak. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang masih mengantuk. Namun percuma, rasa perih dan berat yang menempel di kelopak mataku seakan tidak mengijinkan kedua netraku untuk terbuka, meski hanya sedikit.Aroma parfum leather menyeruak masuk ke dalam indra penciumanku. Telapak tanganku mengusap guling yang sedari tadi berada dalam pelukanku. Tapi, aku merasakan ada sesuatu yang janggal."Kok jadi tambah berisi gini, ya?" gumamku dengan mata yang masih terpejam.Aku melingkarkan kakiku pada guling di sampingku lalu menggesek-gesekkan perlahan. Aneh, ukurannya kok jadi lebih panjang dari pada biasanya. Masa iya, sih, guling bisa tumbuh layaknya anak bayi.Aku memeluk gulingku lebih erat lagi. Eh tapi tung

    Last Updated : 2021-04-30

Latest chapter

  • Complicated Marriage   Kebenaran (I)

    "Baik,Ki. Aku akan pergi dari sini."Aku membenamkan kepala ke dalam dekapan Pak Bima. Rasa muak yang sudah kutahan beberapa waktu terakhir ini, akhirnya tumpah setelah melihat batang hidung milik Putri. Aku tidak menyangka bahwa dia memiliki nyali yang besar untk datang ke rumah ini."Duduk dulu, ya. Kamu butuh minum untuk meredakan emosimu."Jika biasanya aku selalu membantah perkataan Pak Bima, kali ini aku turuti semua saran darinya. Hal ini aku lakukan bukan karena aku ingin membuat Putri cemburu, tapi lebih kepada rasa lelah yang mengungkung hati dan juga pikiranku. Jujur, aku sudah capek dengan segalanya. Jika Pak Bima ingin menuntaskan semuanya saat ini juga, maka aku sudah menyiapkan hatiku."Minum dulu, Ki." Dia menyodorkan segelas air bening kepadaku. "Tarik napas dalam-dalam, kemudian keluarkan pelan-pelan."Pak Bima berjalan memutariku, kemudian memposisikan diri tepat di samp

  • Complicated Marriage   Usir Dia dari Sini!

    Aku menangis setelah berada di dalam kamar. Setiap kali membahas tentang Putri, rasa sakit akibat cemburu ini tidak bisa dikendalikan. Aku selalu terbayang bagaimana dulu Pak Suami menjamah tubuh Putri dan kini aku pun pernah melakukannya bersama dengan Pak Bima. Rasa-rasanya aku seperti sedang berbagi raga dengan sahabat baikku sendiri dan saat ingatan itu muncul, dadaku terasa begitu sesak."Ki, Kiara, jangan marah. Kita bicarakan baik-baik masalah ini, Ki." Pak Bima mengetuk pintu kamar dengan keras.Aku menutup kedua telingaku menggunakan telapak tangan. Suara dari Pak Bima mengetuk hati. Membuat rasa sakit yang bersemayam di dalam sana, menjalar dengan cepat ke seluruh tubuhku."Kiara, saya minta maaf jika saya selalu mengecewakanku. Saya salah, tapi untuk kali ini biarkan saya menjelaskan semuanya kepadamu." Dia menaikkan ritme ketukan pada pintu kamar ini."Kiara." Dia memanggil namaku dengan suara

  • Complicated Marriage   Putri dan Bubur Ayam

    Sudah tiga hari ini aku berdiam diri kamar. Rasa sakit dan kecewa akibat kebohongan Pak Bima, masih terpahat rapi di sudut hatiku. Aku sudah berkali-kali menafikkan semua pikiran negatif tentang dia dan juga Putri. Namun, semakin kutolak, pikiran jelek tersebut semakin terpatri di dalam pikiranku.Aku beranjak dari kasur menuju meja rias. Setelah beberapa kali mengamati, ternyata wajahku lebih cocok dikatakan mirip Alien dari pada seorang wanita yang sedang patah hati. Mukaku terlihat sangat kuyu dengan tatapan mata sendu dan manik yang berkantung karena kurang tidur.Aku tidak tahu bagaimana keadaan Pak Bima setelah dia terjatuh dari tangga 3 hari yang lalu. Setelah aku masuk ke dalam kamar, aku tidak lagi mendengar panggilan darinya. Bisa jadi saat ini dia sedang meringis kesakitan, atau justru sedang tertawa karena dirawat oleh Putri. Ah, sial! Pikiranku selalu saja lari ke sana. Sadar atau tidak, ada rasa iri dan kesal ketika teringat akan sosok Putri. Kepolosan ya

  • Complicated Marriage   Jatuh dari Tangga

    Bima PoV'BRAK'Aku mengusap dadaku perlahan, gebrakan pintu di balik sana membuat jantungku melompat dari tempatnya."Telan semua alasan dan juga rahasiamu! Saya tidak butuh dan bahkan tidak peduli dengan segala hal yang berkaitan dengan kehidupanmu!" Kiara kembali berteriak dari dalam kamar tidur. Suara melengkingnya membuat hatiku hancur. Aku tidak menyangka bahwa kesalahpahaman ini ternyata membuat dia semarah ini kepadaku.Dengan dada yang masih berdegub kencang, aku mulai beringsut mundur. Rasanya percuma aku berdiri terpaku di depan kamar seperti ini, sebab sekeras apapun aku berusaha untuk meyakinkan, Kiara tetap tidak akan mempercayaiku.Aku duduk termenung dengan kedua tangan menyangga kepala. Rasa sakit yang tadi bersemayam di dalam hati, kiri merembet naik ke kepalaku. Denyutan demi denyutan menjalar dari pelipis naik ke ubun-ubun. Jika seluruh bagian yang ada di kepalaku ini bisa berteriak, pasti ruangan ini sudah gaduh den

  • Complicated Marriage   Kiara Marah

    Sejujurnya aku masih tidak menyangka, bahwa ternyata dua orang yang paling aku percaya tega membiarkanku larut dalam ketidaktahuan. Aku kecewa dan tentunya marah kepada mereka. Dulu ketika Putri datang ke rumah dalam keadaan hamil dan meminta perlindungan, aku beserta dengan orang rumah membuka lebar pintu rumah kami, sebagai tempatnya untuk bersandar dan berpulang. Aku tidak tahu siapa orang yang tega memperlakukan Putri dengan cara yang tidak baik, merenggut kesuciannya, lalu meninggalkannya begitu saja tanpa sebuah kejelasan. Putri pun selalu bungkam ketika kami menanyakan siapa orang brengsek yang berani menghamilinya dan tidak mau bertanggung jawab, atas bayi yang ada di dalam kandungannya. Tiga tahun sudah dia memendam semuanya sendirian, dan hari ini semuanya terbongkar. Aku akhirnya tahu bahwa si bejat tidak bertanggung jawab itu adalah Pak Bima, suamiku sendiri. Dengan hati yang sudah terkoyak dan jantung yang detakannya patah-patah, aku mencoba

  • Complicated Marriage   Kiara, Maafkan Saya!

    Aku mengumpulkan seluruh tenagaku yang masih tersisa kemudian mendorong kuat-kuat tubuhnya yang masih mendekapku. Sebelum rasa nyaman menguasaiku, sebelum hatiku mulai melemah lagi, aku harus bisa menjauhkan diriku darinya."SAYA MAU PULANG!" Aku kembali membentaknya."Iya, Ki, iya. Kita pulang sekarang." Pak Bima menjawab bentakanku dengan begitu sabar. Suaranya lembut, seperti seorang Ayah yang sedang menghadapi anaknya yang sedang tantrum.Aku berjalan beberapa langkah di depan Pak Bima. Ku percepat langkahku agar dia tidak bisa menyejajarkan posisi kami. Pak Bima berulang kali menggaungkan namaku di koridor hotel, tapi tidak satupun panggilan darinya yang aku respon. Hatiku sudah terlalu sakit dan juga kecewa, tubuhku juga kembali menggigil. Hal ini bukan karena hawa dingin yang mulai menyusup kulit, tapi lebih kepada amarah yang sudah terlalu susah untuk dikendalikan.Pandangan mataku mengarah lurus ke depan tapi tatapan mataku kosong. Jaket yang tad

  • Complicated Marriage   Saya Mau Pulang!

    Tanganku gemetar tatkala memutar handle pintu kamar. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa Pak Bima dan Putri bisa setega ini kepadaku. Kemarin aku sudah bertanya baik-baik perihal hubungan mereka. Namun, mereka sama-sama mengatakan bahwa sebelumnya tidak saling mengenal. Aku mencoba untuk berlari, menjauh sebisaku dari kamar hotel yang saat ini sedang aku tempati. Kejadian ini mengingatkanku pada keputusan yang dibuat oleh Ervan beberapa tahun yang lalu, sama-sama menyakitkan dan sama-sama mengandung sebuah kebohongan. Ah... Tapi setelah dipikir ulang, aku rasa kebenaran ini berkali-kali lebih menyakitkan dari pada apa yang pernah Ervan lakukan terhadapku. Aku bukanlah orang yang mudah menjatuhkan hati kepada orang lain, begitu pula terhadap Pak Bima. Namun, setelah aku mempercayainya dan menyerahkan seluruhnya kepada Pak Bima, dia tega berbohong bahkan menyembunyikan sesuatu yang sangat penting dariku, dari istrinya sendiri.Benarkah mereka pernah berhubungan? Jika iya, apa

  • Complicated Marriage   Tragedi Menyesakkan di Lembang

    "Ki, jangan lupa bawa jaket yang tebal, kalau perlu yang banyak deh." Pak Bima melirikku sekilas, kemudian fokus kepada benda kotak yang ada di dalam genggamannya. "Lebay amat! Emang kita mau liburan ke kutub?" Aku menjulurkan lidahku. "Dih, dikasih tau malah ngledek! Besok kalau sampai di sana kamu menggigil kedinginan, saya ceburin ke empang sekalian!" Pak Bima menatapku sengit. "Yakin nih mau nglempar saya ke empang?" Aku beranjak dari posisiku, kemudian berjalan mendekat ke arahnya. "Ya iya lah. Biar tau rasa kamu!" Dia melengos, bibirnya mengerucut ke depan. "Ahh ... Yakin?" Aku naik ke atas kasur, kemudian merangkak mendekatinya. Kebetulan siang ini aku sedang memakai kemeja tanpa motif dengan ukuran oversize, sehingga membuat Pak Bima bisa dengan mudahnya melihat isi kaosku. "Masa sih Bapak tega lemparin saya ke empang?" Dengan posisi seperti orang merangkak,

  • Complicated Marriage   Datang Bulan

    "Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq." Suara lantang milik Pak Bima menggema dengan mantap di langit-langit gedung ini. Aku tersenyum simpul ketika melihat raut wajah leganya setelah mengucapkan kalimat sakral itu. Meskipun ini bukan kali pertamanya dia menerima Ijab dari Ayah, tetapi rasa tegang itu tetap saja melekat padanya, ketika dia melafalkan kalimat kabul."Saahhh?" tanya Pak Penghulu"Saahhhhhh." Riuh sahutan dari saksi dan tepuk tangan mereka membuat debaran yang ada di dalam hati kami mereda.Aku mencium tangannya dengan perasaan bahagia, sedangkan dia mengecup keningku dengan perasaan suka cita. Kali ini kami benar-benar menjadi suami istri yang sah, baik sah secara agama ataupun negara.Setelah proses ijab kabul selesai, aku dan Pak Bima duduk di depan para tamu. Sebenarnya tidak ada acara yang 'wah' untuk pernikahan kami, hanya saja Ayah memintaku untuk mengadakan peng

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status