Faqih Rushqi melarikan Sandra Jeta dari bumi pendakian di Kinabalu saat ber-camping. Berniat menjadikan gadis yang belum dia kenal itu sebagai tawanan di Batam. Tindakan culasnya terpaksa ditempuh demi mencegah pernikahan sang papa dengan mamanya Jeta. Faqih tidak ingin papanya hanya akan menjadi tambang uang bagi wanita yang sangat buruk di matanya. Namun, kisah dan perasaan rumit justru terjadi di antara keduanya. Terlebih, Jeta dipercaya Faqih menjadi asistennya! Tetiba musibah menyapa Jeta begitu aib. Dirinya hamil sebab kesalahan fatal satu malam dengan pria asing di Batam. Tidak disangka, abang tiri adalah orang yang maju dalam mengganti posisi calon suami. Abang tiri menawarkan diri sekaligus memaksa menikahi.
Lihat lebih banyakLelaki mencurigakan itu tidak merespon tanya Jeta. Tetap sibuk dengan hidangan lezat di mangkuk stainless yang dipegang. Dia tidak menggunakan sendok.
Namun, menggunakan sumpit untuk menjepit ulat sagu dengan sangat lihai. Bahkan hanya tersisa beberapa ekor di mangkuk yang dalam hitungan detik telah berpindah aman ke dalam mulut."Siapa kamu ...?" Jeta bertanya kembali dengan lemah.Lelaki itu menoleh, menatap sambil mengelap mulut dengan telapak tangan. Pandangan mereka bertemu, dan baru kali ini Jeta benar-benar menatapnya. Seluruh penutup kepala dan wajah telah ditanggal.Di antara rasa lemah raga, mengakui jika wajah itu sangat tampan dengan dagu yang berjanggut tipis. Berwajah cerah, bersih dan terawat. Rambutnya lurus, tebal dan rapi. Seperti tidak serasi jika profesi yang dia geluti adalah seorang anggota tim penyelamat."Aku hanya mengingatkan padamu. Bersikaplah yang baik dan manis selama dalam perjalanan turun. Tidak perlu tahu siapa aku. Yang jelas, niatku adalah membawamu turun dengan selamat," ucap lelaki itu.Jeta menangkap suara yang stereo, terdengar empuk dan berat. Tatapan matanya tajam berkilat, tidak mengharap ada sanggah dan debat. Hidung itu juga mancung dan panjang, serasi dengan alisnya yang lebat."Apakah benar kamu anggota tim SAR dari Indonesia?" tanya Jeta hati-hati. Wajah tampan itu tetap saja tanpa reaksi, datar."Cepat makan bagianmu. Aku tidak sudi menghabiskan sendiri jika akhirnya kamu akan mati di sini. Kamu tidak merasa jika kabut sudah turun?" ucap lelaki itu menegaskan.Jeta serta merta mengangguk begitu saja membenarkan. Sangat paham jika gunung telah berselimut kabut, hawa gunung akan lebih dingin membekukan. Juga tidak terlihat jalan dan apa saja pemandangan, akan susah untuk bergeser ke mana pun.Bahkan meski hujan sudah berhenti, rasanya tidak mungkin bergeser pergi. Apa lagi gunung yang sedang mereka pijak adalah Kinabalu …."Tetapi aku justru merasa akan mati melihat itu …," ucap Jeta dengan suara yang tersendat dan gemetar. Ucapannya bukan menolak, hanya terdengar ragu. Merasa daya tahan kian lemah, energi kian pergi."Setidaknya, matimu tidak terlalu singkat dan aku terpaksa meninggalkanmu. Cobalah kunyah dengan cepat dan tahan nafasmu hingga tertelan." Pria itu bicara tanpa beban. Jeta merasa ini menyakitkan tetapi juga membenarkan ucapannya.Lelaki itu mengeluarkan botol mineral kecil dari ransel."Lakukan cepat sebelum kamu pingsan kelaparan." Sambil menyodor botol mineral pada Jeta.Jeta mengambil dengan ragu, meneguk sedikit. Kemudian melakukan apa yang dikatakan lelaki itu. Entah, Jeta menuruti seperti sedang diperdaya hipnotis. Meski merasa jijik dan sama sekali tidak selera, mulut membuka begitu saja. Napas Jeta benar-benar terhenti demi memasukkan pangan yang baginya seperti belatung besar.Jeta menyudahi, masih banyak ulat dalam mangkuk. Mungkin hanya tiga saja yang sanggup ditelan. Badannya kian menggigil dan lemah."Aku sungguh mual. Ingin muntah!" Jeta berseru lirih dan panik. Tidak sanggup lagi menahan, pura-pura doyan itu sangat berat!"Tahan!" Lelaki itu berseru sambil membuka kembali tas carrier. Mengeluarkan sebutir pil dari salah satu kantung. Diberikan buru-buru pada Jeta."Telan ini segera!" serunya.Jeta segera menerima dan menyambar botol. Ditelan bersama sedikit air dengan rasa penuh harap. Dirinya bukanlah pendaki manja dan buta survive sebelum ini. Namun, jika dihadapkan dengan segala pangan serupa belatung, big no! Siksa!"Habiskan milikmu jika perutmu sudah tanpa masalah," tegur lelaki ltu saat mendapati si gadis termenung.Gadis itu merasa bingung. Begitu cepat pil bekerja. Rasa mual, pening dan jijik hilang seketika. Yang ada rasa lapar gemetar dengan pandangan pada isi mangkuk. Ingin saja memasukkan semua belatung ke dalam mulut andai tidak merasa segan dan malu. Teguran tiba-tiba dari lelaki itu membuatnya bersemangat."Heeiiik …."Jeta kelepasan sendawa panjang saat menutup botol minum setelah belatung-belatung pedas dalam mangkuk berpindah ke dalam perut tanpa sisa. Ditutup mulutnya seketika dengan telapak tangan. Merasa sungguh gengsi.Namun, lelaki itu abai dan seperti tidak mendengar suara seru apa pun. Asyik menunduk pada satu buku kecil dan pensil di pegangan. Itu membuat Jeta merasa lega, berkurang sedikit perasaan malunya."Jika mengantuk, tidurlah. Hujan dan angin masih lama berhenti." Lelaki itu berbicara tiba-tiba. Jeta yang mulai pening sebab kenyang dan kepala terasa sangat berat pun terkejut. Lelaki itu berbicara tanpa memandangnya."Terima kasih," tanpa ragu Jeta merebah dengan menekuk kaki menyiku. Coba tidak berburuk sangka. Menganggap lelaki itu tim penyelamat meski merasa curiga dengan perasaan tidak enak.Namun, dalam keadaan genting begini, bukan waktu untuk curiga dan mengusut. Yakin jika lelaki itu tidak akan berbuat merugikan disaat alam sedang tidak ramah dan mengancam.Alas tenda dump terasa nyaman dan empuk. Rupanya serupa kasur angin pompa serba guna. Jeta mengakui jika dump ini sangat canggih dan pastinya sungguh mahal. Angin begitu kencang dan menghantam keras banyak kali, tetapi dump ini terus tegak sombong tanpa doyong.Diliriknya pria yang masih terus mencoreti buku dengan pensil. Entah sepenting apa tulisan yang sedang digoresnya. Alam yang sedang mencekam serasa bukanlah ancaman baginya."Sebenarnya kamu ini siapa? Kamu membawaku dengan acak. Aku juga tanpa memiliki dokumen identitas. Semua hilang! Darimana tahu nama panjangku?"Jeta kembali menuntut ingin tahu setelah tubuhnya terasa hangat dan tenang kembali. Mengakui jika pil kecil tadi mampu berkolaborasi apik dengan para belatung itu dalam lambung.Kini merasa sungguh nyaman tanpa mual dan pusing meski gelungan rambut di kepala masih basah. Kerudung instan ringan di kepalanya telah tersambar oleh angin gunung yang ugal-ugalan berhembus saat turun."Setelah tidur, akan kubilang padamu Sandra Jelita." Lelaki itu tiba-tiba menyahut dingin dengan tatapan tajam menghunjam. Sengaja menyebut lagi nama lengkap Jeta."Jadi, kamu adalah tim penyelamat palsu?" Sambar Jeta mencecar. Kecurigaannya kian menebal."Apa aku kurang terampil membawamu? Jadi kamu bilang aku anggota penyelamat palsu?" Lelaki itu menatap kian tajam. Namun, paras garangnya terlihat kian tampan."Katakan saja sekarang, siapa kamu? Dari tim penyelamat negara mana?" Jeta benar-benar ingin tahu. Rasa raga yang sudah nyaman, justru membuat sedikit kembali kesal. Lelaki itu demikian fasih dengan logat bahasa Indonesia, sama dengan dirinya. Orang mana dia?Jeta mendapat musibah di Kinabalu saat mendaki. Demikian cepat diselamatkan oleh lelaki ini. Seharusnya regu penyelamat yang siaga adalah tim dari Kinabalu di Bumi Malaysia. Tetapi lelaki yang membawanya dan mengaku tim penyelamat ini seperti orang Indonesia."Tidurlah. Kamu perlu tenaga besar untuk lanjut turun gunung. Atau kamu ingin pil tidur?" tanya lelaki itu dingin.Itu adalah ancaman, Jeta tidak lagi menawar. Kebribadian lelaki itu sama sekali bukan negosiasi yang tidak suka bantahan dan rayuan. Memilih menahan penasaran daripada tidak akan ada penjelasan sama sekali untuknya.Jeta perlahan pun memejam mata seperti yang diarahkan. Lagipula kedua mata sudah sangat berat akibat rasa lelah dengan isi perut yang penuh.Merasa penuh syukur terlepas dari ancaman kematian. Yang belasan menit lalu tubuhnya serasa lemah, kaku dan beku, alias hampir hipotermia, kini terasa hangat dan nyaman.Jeta ingin segera tidur dan terbangun untuk mendengar pengakuan jujur dari lelaki penyelamatnya. Sebagaimana yang sudah dia janjikan.🙏🍎🙏Tangis bayi riuh bersahutan pagi ini. Terdengar dari kamar di luar yang berlainan. Entah di mana ibu para bayi masing-masing. Yang jelas tangis lolong pilu mereka terus membahana dan lama. “Bayi-bayi konser itu, pada ke mana mominya masing-masing?” bisik Faqih di telinga Jeta yang sedang dalam dekapan dadanya. “Aku tidak tahu. Lagi shalat subuh mungkin …,” sahut Jeta menebak asal. Sisa napas masih menderu di dadanya. Faqih baru saja selesai menyentuhnya kembali pagi-pagi. “Ini belum datang waktu subuh, belum adzan, Sayang. Apa jangan-jangan lagi ehem ehem juga kayak kita …?” Faqih tersenyum menggoda. Rambut di pucuk kepala sang istri diciuminya ulang-ulang. “Bisa jadi, ya …,” sahut Jeta membenarkan, lalu menggigiti kecil dada suaminya dengan gemas. Faqih menahan suara pekiknya dan mengaduh lirih kegelian. “Jangan nakal, Jeta. Aku bisa berteriak.” Faqih menjauhkan sedikit kepala istrinya. “Jeta, itu yang sudah kita kasih angpau di dapur semalam, yang siapa? Aku nggak bisa b
Setelah merasa malas untuk beranjak dan pergi ke kamar mandi, Jeta terpaksa bersedia saat diajak untuk menemani. Mereka berdua pun mandi bersama dengan penuh kebisingan. Entah apa saja yang dimainkan dan dilakukan di dalam sana, yang jelas waktu yang diperlukan jauh lebih lama dari pada mandi biasanya. “Mak Mah belum datang?” tanya Faqih sambil merebah lagi di ranjang. Masih dengan baju koko dan sarungnya. Mereka sambung shalat subuh berjamaah setelah mandi pun bersama.“Belum, ini kepagian. Biasanya habis anak bungsunya pergi ke sekolah,” sahut Jeta sambil melipat mukena dan sajadah. Ingin hati menyusul suami ke pembaringan. Tetapi ingat jika melahirkan konon butuh ekstra perjuangan, Jeta memilih gerak keluar kamar. Seperti biasa, mencabut kotak salad buah dari kulkas. Seleranya benar-benar tidak peduli waktu dan kondisi.“Jeta, ayo ikut ke Hotel Tugu! Aku lupa, Ahmad akan pergi ke Juanda pagi ini!” Ajakan Faqih yang tiba-tiba sangat mengejutkan. Untung Jeta tidak tersedak. “Sebent
Faqih dan Jeta meninggalkan masjid besar di ujung gang yang buka hingga dua puluh empat jam sepanjang hari dan tanpa dijaga satpam. Beberapa pengurus dan jamaah masih terlihat duduk i'tikaf di sana, baik di dalam maupun di serambi. Meski malam sudah merangkak, mereka terlihat nyaman dan tenang di sana. “Ada apa …?” Faqih yang dari kamar mandi dan kini menutup pintu berpapasan dengan Jeta. Sudah berganti baju tidur dan tidak lagi berkerudung. Namun, tampak terkejut memandang Faqih.“Aku … Ingin makan salad dulu. Apa keberatan?” Suara Jeta terdengar kikuk. Faqih berjalan mendekati.“Meski tidak sabar lagi untuk jenguk anak, aku tetap tidak keberatan. Daripada nanti di atas ranjang yang kamu pandang aku, tetapi yang kamu pikir dan sebut justru salad buah,” jawab Faqih tersenyum menggoda sang istri.“Gombal …!” seru Jeta dengan raut yang malu. Faqih hanya diam dan tersenyum. Diikutinya Jeta keluar kamar dan berjalan ke dapur.“Sebenarnya aku pun ingin sesuatu darimu, Jeta,” ucap Faqih sa
Setelah dari klinik kandungan, mereka bukan lantas langsung pulang. Melainkan pergi ke arah berlawanan dari jalur jalan pulang. Jeta membawa Faqih ke Ramayana Mall di depan alun-alun Kota Malang. Berbalanja berbagai makanan dan barang. Oleh-oleh Faqih untuk seseorang yang harus dikunjungi. Sebab memang sudah janji ingin silaturahim dan berkenalan saat dirinya bertandang ke Malang di Jawa. Yang mana niat itu sudah dia sampaikan pada Jeta jauh-jauh hari sebelumnya. “Ayo di makan dulu, ngapain pulang cepet-cepet?” Seorang wanita berdaster longgar dengan menggendong bayi, menyuruh Faqih dan Jeta untuk lekas makan. Ada satu panci besar berisi bakso berkuah yang masih panas dan berkebul asap di meja makan. Juga ada sayur daun katu serta ikan sambal yang tidak lagi tampak panas. Meski sangat suka, Jeta mengambil sayur daun katu yang tampak hijau dan segar itu sedikit. Ingat jika Riri sedang masa menyusui. Daun katu sangat bagus untuk memperlancar produksi air susu ibu. Dan Jeta merasa
Batu nisan bentuk persegi dari keramik dengan nama Ny Arlita tertulis di sana, diusap tangan saat awal datang dengan sebuah salam. Faqih mengakhiri doa ziarah kubur pada makam almarhum ibu mertua pun dengan usapan tangan di batu nisan. Serta sebuah salam kembali di akhirnya.Jeta juga berdiri mengikuti gerak suaminya. Berpamit lirih dengan caranya dan kemudian mengulur tangannya pada Faqih. Mereka berdua bergandeng tangan meninggalkan lokasi makam sang ibu dengan berjalan hati-hati dan lurus. Mengikuti tapak jalan sempit di antara makam-makam. “Angkatlah, Jeta,” ucap Faqih. Ponsel Jeta sudah banyak kali berdering di dalam tasnya sejak masih di dalam lokasi makam. Kini mereka sudah di luar dan Faqih sedang mencuci kaki, tangan dan membasuh wajah. Sambil menyimak tenang percakapan sang istri yang terdengar seru di panggilan.“Ada apa?” Faqih mengelap wajah dengan sapu tangan dan Jeta pun menatapnya, panggilan ponsel telah ditutup beberapa detik yang lalu.“Aku ada undangan pesta nikaha
Pria tampan itu tampak frustasi meski akur dengan penolakan halus sang istri. Meski sama-sama penuh desir dengan gelombang meninggi, keduanya bersepakat menunda.“Faqih, apa kamu marah?” Jeta bertanya segan dengan ekspresi khawatir. Mendongak menatap Faqih yang masih menata napas memburu dan terengah. Menutup mata rapat sambil memeluk Jeta dengan pakaian yang sama-sama lepas berantakan. “Faqih, maaf, bukan aku tidak mau. Tapi aku sangat takut. Bukan aku tidak percaya padamu, tapi aku akan menanyakan pada dokter kandungan, apa kondisiku baik dan tidak bermasalah untuk menerima servis apa pun dari suamiku. Apa kamu mau mengerti?” Jeta kembali bertanya segan dengan menahan rasa malu. Tapi bukan rasa waswas dan cemas, sangat percaya jika Faqih adalah lelaki berwawasan dan bijak. Bukan melulu nafsu dan hasrat yang dikejar.“Faqih …,” panggil Jeta lagi yang mulai tidak sabar dengan kebungkaman pria yang sedang memeluk eratnya. “Hemm … tetapi aku tidak puas, Jeta. Aku sangat ingin membuat
Jeta membawa Faqih mendekati pintu kamar dengan jantung berdebum keras jumpalitan. Segala khayal dan bayang dalam kepala silih berganti meresahkan. Menduga apa yang akan dilakukan Faqih dalam kamar membuat hati jadi liar berdebar. Lelaki itu bersikeras meminta ditemani hingga ke dalam saat Jeta hanya menunjukkan daun pintu kamarnya dari jauh.“Sudah masuklah. Akan tetapi, di dalam tidak ada kamar mandi. Di situ kamar mandinya,” ucap Jeta menunjuk kamar mandi di pojok ruangan. Faqih hanya sekilas melihat. Mereka sudah berhenti tepat di depan pintu kamar.“Aku ingin kamu juga masuk ke dalam kamar denganku. Apa masih kurang paham juga?" ucap Faqih dengan berdiri tegak di depan Jeta. “Aku ingin kembali ke meja makan, masih ingin makan salad sekotak lagi. Mak Mah pun belum pulang, Faqih,” ucap Jeta menolak halus dengan mencoba beralasan.“Dia pulang? Apa dia tidak menginap juga di sini?” tanya Faqih yang merasa salah terka. “Tidak. Rumah kontraknya ada di belakang masjid. Anak-anaknya ma
Shalat maghrib bahkan dilakukan dengan lebih cepat. Juga tidak mengenakan apa pun di kulit wajah polosnya. Namun, sedikit pengorbanan itu seperti tanpa arti saat salad buah di atas meja makan sudah sangat sempurna tersajikan.“Bang Ahmad cepat sekali buatnya,” ucap Jeta sambil duduk dengan pandangan yang takjub. Tetapi, ada nada kecewa pada ucapannya.Telah menunggu dua kotak salad siap eksekusi di atas meja. Desta tidak sungkan-sungkan mendekapnya. Lelaki itu masih sibuk mengemas irisan salad buah di panci besar ke dalam wadah kotak untuk di taburi parutan keju dengan cepat. Mengabaikan keinginan Jeta untuk mengamatinya. Ahmad tidak ingin kehilangan waktu maghrib.“Dia sudah terlatih, Jeta. Kamu lihat pun juga sama cara buatnya. Tetapi hasilnya ya pasti saja jauh beda. Sudah, kamu sekarang tinggal makan saja,” ucap Mak Mah yang paham arti ucapan dan ekspresi Jeta. Mengerti jika wanita hamil itu sangat ingin melihat proses pembuatannya.“Iya, Mak Mah. Aku akan makan saja banyak-banyak
Mak Mah baru saja selesai menyiapkan makan malam dan sedang mengepel basah lantai dapur. Sangat fokus akan kerjanya dan tampak berjalan mundur mengepel dengan langkah hati-hati. Blak! “Ah …!” Suara mengejutkan diikuti jerit kaget, membuat Mak Mah seketika menoleh. “Jeta …!” Mak Mah mendekat sangat panik. “Aku tidak apa-apa, Mak. Hanya terpeleset sedikit. Nggak jatuh, kok!” Jeta menjelaskan dengan terengah dan masih merasa terkejut. Mak Mah sudah mengelusi punggung Jeta yang berposisi melengkung jongkok.“Tapi kan kaget. Perutnya, apa terasa sakit?” tanya Mak Mah cemas.“Alhamdulillah enggak, Mak. Aku sempat pegangan meja. Cuma kursinya saja yang jatuh ketendang kakiku, Mak,” terang Jeta.Kemudian bergeser dan menghenyak pantatnya di kursi. Mak Mah membungkuk meraih kursi yang ambruk ke lantai menjadi ke posisi berdiri semula.“Maaf, Jeta. Mak pikir kamu tidak akan keluar kalo nggak dipanggil.” Mak Mah memang selalu memanggil Jeta untuk keluar kamar jika meja makan sudah siap.“Tap
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen