Mobil telah sampai di sebuah rumah minimalis modern berpagar besi. Terang benderang yang menandakan bahwa penghuninya masih siaga.
"Masuklah sendiri ke rumah itu," ucap Mr. Batam tanpa menoleh pada Zeta. Terlalu sibuk pada iphone canggih di tangannya. Dia telah dijemput lagi sang sopir dan kini kembali bergabung setelah sempat menghilang. Entah dari mana, Jeta enggan mencari tahu."Ini rumah siapa?" Jeta tidak beranjak. Merasa enggan jika rumah itu kosong dan harus kesepian lagi di tempat asing.Perjalanan panjang setelah dari Kinabalu dan meninggalkan negeri Sabah, ternyata tidak sampai di tujuan begitu saja. Akan tetapi masih jauh dan lama yang beberapa kali Jeta berpindah penginapan di kepulauan Riau.Hampir tiga hari di perjalanan tanpa tujuan. Lelaki itu selalu pergi lama sendiri yang datang-datang langsung mengajak pergi untuk berpindah hotel dan kota. Apakah dia mafia?"Kamu lihat saja itu rumah siapa," ucapnya lagi dengan masih tanpa mengangkat wajah."Aku ikut denganmu saja. Rasanya bosan, badanku sakit semua jika harus mendekam terus dalam rumah dan kamar," ucap Jeta tanpa beranjak. Perjalanan selama ini rupanya mampu membuat sedikit trauma."Kali ini tidak, itu bukan penginapan. Rumah itulah tempat singgah dan tujuanmu. Kamu pun bebas keluar dan pergi. Tetapi kena pulang ke rumah ini kembali. Sekarang keluarlah," ucap lelaki itu sungguh-sungguh mengusir.Meski heran dan enggan, Jeta mengalah dan akan beranjak saat lelaki itu kembali bicara. Bahkan dengan menatap lekat wajahnya."Jeta, aktifkan ponselmu sepanjang waktu. Jika coba abai, jangan salahkan aku andai hilang sabarku," ucap Mr. Batam yang mengandung ancaman serius. Jeta kembali duduk di posisinya dengan galau."Sebenarnya apa salahku? Kenapa kamu selalu mengancamku?" Jeta sangat kesal dan lelah. Tapi tidak berguna mengeluarkan amarah. Lelaki itu selalu bersikap seperti batu yang tuli dan bisu."Turunlah. Jangan lupa bagaimana bersikap seperti yang kupesan!" Lelaki itu sempat berseru sebelum Jeta memasuki pagar rumah.Jeta mendekati pintu dan memencet tombol bell yang menempel di dinding. Sambil mengamati keadaan sekitar. Rumah itu indah, mungil dan bersih. Rasanya nyaman sekali andai minum kopi saat malam hari di gazebo pojok halaman. Jiwa petualang Jeta seketika menghalu.Ceklerk"Siapa?" Wanita setengah baya yang membuka pintu mencermati wajah Jeta. Matanya kemudian membelalak."Mama Fani ...?!" Jeta histeris."Je … Jeta …?!" Wanita itu pun tercengang sambil menganga menyebut Jeta. Sedetik kemudian membawa gadis di depan pintu ke dalam pelukan. Mereka saling berpelukan erat.Jeta sempat menoleh sekilas ke arah pagar. Mobil sedan hitam berlalu pergi meninggalkan deru halus dan sinar sorot lampunya yang terang."Bagaimana kamu bisa sampai di Batam? Tadi itu siapa, Jeta?" Wanita itu masih terlihat heran dan memandang Jeta tidak percaya. Sambil melirik juga ke pagar."Aku dapat musibah di Kinabalu, Ma. Tim penyelamat mengantarku ke sini. Mereka kata lebih dekat jaraknya ke Batam daripada ke Jawa," ucap Jeta memberi alasan setelah reda terkejutnya."Memang lebih dekat, tetapi juga jauh. Lebih lama waktu tempuhnya. Ah, Jeta … Mama sudah bilang, jangan pernah mendaki lagi. Kamu sudah sarjana, saatnya tidak main-main lagi." Wanita itu berekspresi khawatir pada Jeta."Ini terakhir mendaki dengan teman sehobi yang satu angkatan. Kami akan saling berpisah. Habis ini tidak lagi. Aku janji, lagian akan serius sambung pendidikan lagi, Ma …," rayu Jeta sungguh-sungguh."Hemmh, Mama percaya sayang .… Ah, Mama sangat rindu denganmu. Apa kedua kakakmu sehat?" Wanita itu membelai kepala Jeta. Dari sorot matanya terlihat sangat sayang."Alhamdulillah, mereka baik-baik saja, Ma. Mbak Rara dan Mbak Riri mungkin sebentar lagi sama-sama akan melahirkan. Mama Fani akan ada cucu …," ucap Zeta tersenyum."Ya Allah … Benarkah Jeta? Jika begitu, Mama ingin pulang sebentar melihat cucu-cucuku barang sebentar. Sekalian nganter pulang kamu ke Jawa. Eh, apa Jeta ingin ngerasa tinggal di Batam dulu?"Wanita yang bernama Fani itu bertanya lembut dan tersenyum. Dalam matanya ada sorot harap agar Jeta berkeinginan tinggal dan menemani di pulau ini. Akan ada banyak lowongan pekerjaan di kota industri international Batam Raya."Entahlah, Ma. Aku bingung," sahut Jeta. Mama Fani pun membawa Jeta ke bagian dalam rumah.Jeta mendapat kamar tidur yang diberikan sang mama kepadanya. Gadis itu memasuki kamar setelah menghabiskan sepiring makan malam. Ruangan yang kecil tetapi tertata dengan baik dan rapi. Sedikit pengap, mungkin tidak ada yang menempati.Jeta terduduk di ranjang, benar-benar merasa mendapat kejutan, tiba-tiba lelaki itu mengantarkan pada rumah sang mama di Batam. Mengingat lelaki itu tidak pernah sekali pun membahas dan bertanya tentang sesiapa pun keluarganya. Siapa dia ... penasarannya kian menggunung.Merasa kian curiga akan siapa sebenarnya lelaki penyelamatnya itu. Ancaman model bagaimana dan akan diterapkan di situasi yang bagaimana? Jeta benar-benar merasa bingung mengingat video asusila dirinya di tangan Mr. Batam.Bunyi lirik asyik ponselnya dari dalam tas cantik yang diberi lelaki itu menarik perhatian. Jeta segera mengambil dan membuka pesan di aplikasi hijau. Rupanya, lelaki itu sudah mencuri juga nomor ponselnya dan sekarang pun berkirim pesan panjang.*Besok ada mobil sedan hitam milikku dengan sopir yang biasa. Akan menjemputmu di depan pintu pagar. Kurang lebih tepat pukul delapan malam**Ingat. Dilarang lambat!**Pria penyelamatmu*Alamak! Sok penyelamat pulak! Jeta meletak ponsel dengan ekspresi yang masam. Sejuta sangka berkecamuk di dada. Bisa jadi lelaki itu akan menjualnya. Atau melempar pada satu mucikari … secara Batam terkenal sebagai kota malam gemerlap yang bebas.Yang jelas, Jeta yakin lelaki itu tidak ada minat kepadanya. Bahkan, juga menyangkanya sebagai seorang gay atau tidak berminat pada perempuan. Reaksinya begitu datar saat tidak sengaja melihat Jeta habis mandi hanya mengenakan handuk saja di salah satu hotel saat perjalanan.Lelaki itu juga tidak bereaksi kala Jeta marah besar dan mengumpat kasar tiada habisnya. Bahkan duduk santai di ranjang dengan bermain smartphone, sementara Jeta sambil terbirit kembali ke kamar mandi memakai baju."Aku sudah mengetuk pintu banyak kali. Ternyata tidak dikunci. Ini bukan hotel berbintang yang pintunya mengunci sendiri. Kamu harus ingat dan selalu mengontrol pintunya.""Aku hanya ingin bilang bahwa malam ini aku ada urusan dan akan kembali besok siang."Begitulah ucapan lelaki itu sebelum keluar dari kamar begitu saja dan santai. Berjalan lurus dan tenang menuju pintu tanpa memandang lagi pada Jeta.Tok Tok TokJeta berdiri dan bergegas menghampiri pintu. Ternyata mama Fani sedang berdiri menunggunya."Ada apa, Ma?" Jeta bertanya lembut dengan membuka lebar pintu kamar."Jeta, Mama ingin mengajakmu keluar makan besok malam. Apa kamu sudah punya baju yang cantik? Mama lihat kamu tidak membawa banyak barang," Mama Fani bertanya juga sangat lembut. Memandangi baju Jeta yang masih sama dengan yang dipakai saat datang."Baju Jeta terbawa tim penyelamat, Ma. Jeta nggak ada baju lain lagi," ucap Jeta. Baru menyadari beberapa setel bajunya terbawa di carrier Mr. Batam."Ya sudah. Besok pagi kita cari baju-baju kamu dulu di Nagoya Mall. Sekarang kamu istirahat dulu saja," ucap Mama Fani sambil menarikkan pintu untuk ditutup."Eh, Ma. Besok malam pukul berapa? Kayaknya Jeta enggak ikut. Orang penyelamat ngajakin kumpul." Jeta menolak dengan raut yang berat."Duh, padahal Mama niat banget ngajakin kamu, Jeta. Tapi ya mungkin lain kali saja mengajakmu," ucap Mama Fani tampak kecewa."Acara apa sih itu, Ma? Apa makan-makan biasa?" Jeta bertanya sambil tersenyum menggoda mamanya."Sahabat Mama memiliki putra yang tidak pernah terlihat bersama perempuan. Tiba-tiba putranya itu mau ngenalin calon istri. Jadi sahabat Mama ngajakin biar suasananya tidak terlalu canggung …," jelas Mama Fani. Saat diperhatikan, Jeta menangkap raut sipu dan merona di wajah ayu mamanya."Sahabat Mama adalah lelaki? Spesial?" Jeta bertanya dengan senyum yang kian menggoda."Sudah tidur. Jangan lupa besok belanja baju kamu ya sayangnya Mama," ucap Fani tersenyum merona sebelum benar-benar menutup pintu. Jeta tahu, jawaban pertanyaannya adalah iya semua. Sang mama sedang memiliki pria idaman hati dan spesial.Ah, sayang sekali Jeta tidak bisa ikut dan berkenalan. Lelaki aneh itu telah mengancam, Jeta gentar menolak meski si Mr. Batam selalu membuatnya kesal dan terasa meresahkan!🙏🍎🙏Terima kasih sudah membaca. Semoga karyaku menghiburmu.Harap follow, subscribe dan koment likenya. 🙏🍎Mama Fani telah membawa berbelanja keperluan pribadi anak perempuannya di Nagoya Mall, Batam. Terletak di Kota Nagoya yang merupakan pusat peradaban di Batam alias ibu kota dari pulau strategis internasional tersebut.Mama Fani tinggal di Batam sudah hampir satu tahun. Tidak ada seorang pun yang paham apa alasan utama kepergiannya ke Batam di usia yang menjelang setengah baya. Termasuk Jeta sendiri dan dua saudari kembarnya.Wanita itu meninggalkan kampung halaman setelah kedua putri kembar miliknya yang bernama Rara dan Riri menikah. Mama Fani sudah berstatus janda ditinggal mati sejak lama. Tidak pernah menikah lagi hingga kini. Hampir setahun belakangan, wanita itu tinggal di Batam dan belum pernah kembali ke Jawa. Bahkan saat kedua putri kembarnya sebentar lagi melahirkan. Juga meninggalakan Sandra Jelita, bungsu yang masih duduk di bangku mahasiswa, kala mulai memasuki semester akhir di kuliahnya. Hingga kini lulus gemilang sebagai sarjana kedokteran. Yang rencananya akan mengam
Si lelaki penawan hanya menatap tajam seperti biasa dari duduknya. Tidak ada lambaian tangan atau ajakan untuk singgah di meja mereka. Jeta coba tidak peduli dan membuang pandangan hanya kepada Mama Fani."Ternyata kamu pun makan malam di sini, Jeta?!" Mama Fani berdiri menyambut Jeta yang perlahan mendekat. "Mama juga di sini?" Jeta menyahut dengan raut sangat bingung. "Iya, Mama di sini. Jeta akan makan di mana? Andai Jeta bisa gabung …," ucap Mama Fani menggantung. Fani melirik pada lelaki tampan yang menatap tajam sedari tadi. Merasa segan, tahu diri jika lelaki itu tidak suka sejak awal mula kedatangannya. Tetapi lelaki itu juga yang katanya mengundang Fani melalui papanya. Ingin mengenalkan calon istri."Fani, apa ini anak perempuanmu yang baru lulus sarjana itu? Kamu tidak bilang padaku akan kedatangannya ke Batam?" Pria setengah baya yang duduk di sebelah lelaki tampan itu tampak heran dan terkejut. Menatap Jeta dengan hangat dan senyum."Oh, iya. Benar sekali, Mas. Dialah
Setelah kedua pasang mata saling berperang pandang, Faqih Rushqi tiba-tiba berdiri. Menyambar ponselnya dari meja. Lalu bergeser keluar dari kursi. "Permisi Nyonya Fani. Aku izin membawa Jeta sebentar ke lantai satu. Ada hal privasi yang ingin kubicarakan padanya."Faqih Rushqi berbicara menyela sambil memandang Mama Fani sekilas. Lalu mengalihkan tatapannya pada Jeta."Ayo calon istri, kita berbicara intim sejenak di lantai satu," ucap lelaki itu lembut namun tegas. Jeta tahu jika kelembutan bicaranya sekadar pura-pura. Risih sekali rasanya."Aku ingin tetap duduk di sini," ucap Jeta menolak. Sangat enggan berdua saja dengan lelaki itu, seperti sebuah trauma baginya. Juga merasa enggan andai membicarakan hal pernikahan di bawah ancaman."Baiklah, aku akan turun sendiri. Ada sesuatu yang harus aku share dan kerjakan di beberapa media sosial dan publik. Pasti akan lebih leluasa kulakukan jika tidak denganmu." Faqih berbicara datar tanpa nada. Namun, sembari menatap tajam pada Jeta.Le
Faqih kembali meminta Jeta untuk bekerja sama mengeksekusi makanan yang dipesan. Namun, Jeta masih terus enggan dan tidak memajukan punggung dari menyandar rapat di kursi. "Ini adalah pertama kali kamu makan di meja yang layak bersama denganku. Apakah saat makan denganku di Kinabalu dalam dump itu yang ingin kamu simpan dalam ingatan sepanjang masa?" Faqih berkata datar yang diakhiri dengan pertanyaan memuakkan bagi Jeta."Ucapanmu membuatku kembali merasa mual dan ingin muntah," ketus Jeta dengan bergidik. Ingat ulat sagu yang di ingatannya adalah belatung kaku di mangkuk hasil pemberian lelaki itu."Mual dan muntah … itu gejala hamil, kan? Apa berciuman di gunung dengan kekasihmu telah membuatmu bunting? Hebat sekali dia, apa sebelum mencium, dia pun berdoa dulu?" Faqih berbicara dengan nada sinis dan senyum masam yang menyindir."Jangan mencemooh, kamu tidak punya hak mencelanya di depanku!" Jeta berkata sengit. Rasanya geram dipermainkan secara teori oleh lelaki asing dan sejahat
Rasanya sungguh lega, rumah Mama Fani mulai terlihat di kejauhan. Meski perlu jalan memutar untuk menjangkau pagar rumah dengan mudah. Tapi itu bukan masalah, sopir Ilyas begitu sigap melakukannya. Lelaki muda itu sudah menghapal baik denah jalan perumahan."Bawalah, ini milikmu," ucap Faqih. Kini duduk tegak saat Ilyas sudah parkir di depan pagar."Apa ini?" Jeta heran dan tidak mengambil paper bag yang diulur Faqih padanya."Bajumu yang di carrierku. Tadinya akan kubuang, tapi ingat jika kamu adalah pendatang, pasti bagaimana pun juga kekurangan," ucap Faqih. Diletaknya paper bag di sela duduk mereka."Tau pun, tumben agak baik dan cerdas," sahut Jeta sambil menyambar paper bag tadi tanpa segan. Sebagai pendatang baru, dirinya memang kekurangan stok baju. "Aku memang selalu baik dan cerdas. Lambat laun kamu akan mengerti sendiri. Jeta ... jangan coba lari. Aktifkan selalu ponselmu," pesan Faqih saat Jeta telah keluar dan akan menutup pintu. Si gadis hanya melengos tanpa mengiyakan
Jeta tidak lupa dalam ingatan tajamnya saat Mama Fani berangkat dengan penampilan sangat anggun dan rapi. Rambut disanggul modis dan indah, wanita itu jarang memilih style berkerudung. Sungguh beruntung, ketiga anak perempuannya konsisten pada fashion tertutup dan berkerudung. Meski justru Jeta-lah yang sering tidak menutup kepala jika keluar sejenak ke swalayan. Atau saat membeli makanan di warung dekat rumah yang cepat dibawa pulang. Gadis muda itu abai pada pesan dua kakak perempuan kembarnya agar senantiasa berkerudung di mana pun. Jeta masih saja berpenampilan suka-suka. Merasa aman bersandiwara, Azrul Farhan tidak sekali saja menangkap basahnya saat tidak berkerudung. Kembali pada Fani, saat baru datang dan berdiri di depan kamar Jeta, rambutnya tampak berantakan dan terurai. Juga, blouse yang rapi dimasukkan ke rok panjang saat berangkat, kini terburai keluar saat pulang. Apalagi sang mama kembali ke rumah sudah larut malam.Tidak memungkiri, bayangan dan prasangka akan hal
Meski masih pagi dan adzan subuh pun baru berkumandang, hawa udara di Batam sudah gerah sekali. Jeta terbangun sebelum subuh dengan nyanyian alarm yang mengalun di ponselnya. Seluruh baju dan rambut nyaris lembap sebab keringat yang banyak keluar dari kulit. Tidak ada kipas angin manual memutar apalagi mesin pendingin canggih di dalam kamar.Jeta melipat mukena serapi mungkin untuk disimpan dalam balutan sajadah. Kemudian diletak di atas sandaran ranjang. Dipandanginya buntalan itu sejenak, sajadah dan mukena adalah yang dibelikan Faqih di perjalanan. Mama Fani hanya punya sepasang, tidak memiliki cadangan mukena dan sajadah. Punyanya yang sempat Jeta pinjam saat awal datang, sudah dikembalikannya semalam. Mereka tidak lagi bergantian menggunakan. Lelaki itu telah menyertakan dengan beberapa bajunya dalam paper bag. Mungkin tukang laundry yang mengerjakan. Sebab tersusun rapi dan wangi, hanya tidak dalam balutan plastik laundry. Atau lebih cenderung asisten rumahnya yang menatakan .
Pandangan Faqih sangat tajam menatap wajahnya. Tidak Jeta pungkiri akan pesona dan ketampanan lelaki itu meski sedang bersikap dingin dan garang. Sekali pun terbaca tulisan nama si culas oleh Jeta di matanya.Mungkin Faqih terkejut dengan ucapan membangkangnya. Atau juga tidak terima dengan panggilan tanpa kata penghormatan. Notabene usia Faqih memang berbilang jauh lebih banyak dari Jeta. Wajar jika merasa tidak terima disebut hanya nama saja sesukanya."Kenapa, aku salah apa, Faqih? Kamu terlihat marah sekarang …. Kamu hanya suka jika aku tampak ketakutan, kan? Kamu lelaki berpendidikan dan berwawasan. Tidak mungkin begitu rendah dengan menyebarkan aib orang." Jeta tersenyum masam."Juga … agama kamu cukup bagus kurasa. Kamu orang Islam, kan? Tahu kan, hukum menyebarkan aib orang? Kamu akan seperti mengunyah dagingku, atau seperti akan membakarku dengan kayu. Tidak mungkin, kaaaan …," ucap Jeta menyambung. Seperti sengaja memancing kemarahan dan batas sabar Faqih. Terlihat raut pua
Tangis bayi riuh bersahutan pagi ini. Terdengar dari kamar di luar yang berlainan. Entah di mana ibu para bayi masing-masing. Yang jelas tangis lolong pilu mereka terus membahana dan lama. “Bayi-bayi konser itu, pada ke mana mominya masing-masing?” bisik Faqih di telinga Jeta yang sedang dalam dekapan dadanya. “Aku tidak tahu. Lagi shalat subuh mungkin …,” sahut Jeta menebak asal. Sisa napas masih menderu di dadanya. Faqih baru saja selesai menyentuhnya kembali pagi-pagi. “Ini belum datang waktu subuh, belum adzan, Sayang. Apa jangan-jangan lagi ehem ehem juga kayak kita …?” Faqih tersenyum menggoda. Rambut di pucuk kepala sang istri diciuminya ulang-ulang. “Bisa jadi, ya …,” sahut Jeta membenarkan, lalu menggigiti kecil dada suaminya dengan gemas. Faqih menahan suara pekiknya dan mengaduh lirih kegelian. “Jangan nakal, Jeta. Aku bisa berteriak.” Faqih menjauhkan sedikit kepala istrinya. “Jeta, itu yang sudah kita kasih angpau di dapur semalam, yang siapa? Aku nggak bisa b
Setelah merasa malas untuk beranjak dan pergi ke kamar mandi, Jeta terpaksa bersedia saat diajak untuk menemani. Mereka berdua pun mandi bersama dengan penuh kebisingan. Entah apa saja yang dimainkan dan dilakukan di dalam sana, yang jelas waktu yang diperlukan jauh lebih lama dari pada mandi biasanya. “Mak Mah belum datang?” tanya Faqih sambil merebah lagi di ranjang. Masih dengan baju koko dan sarungnya. Mereka sambung shalat subuh berjamaah setelah mandi pun bersama.“Belum, ini kepagian. Biasanya habis anak bungsunya pergi ke sekolah,” sahut Jeta sambil melipat mukena dan sajadah. Ingin hati menyusul suami ke pembaringan. Tetapi ingat jika melahirkan konon butuh ekstra perjuangan, Jeta memilih gerak keluar kamar. Seperti biasa, mencabut kotak salad buah dari kulkas. Seleranya benar-benar tidak peduli waktu dan kondisi.“Jeta, ayo ikut ke Hotel Tugu! Aku lupa, Ahmad akan pergi ke Juanda pagi ini!” Ajakan Faqih yang tiba-tiba sangat mengejutkan. Untung Jeta tidak tersedak. “Sebent
Faqih dan Jeta meninggalkan masjid besar di ujung gang yang buka hingga dua puluh empat jam sepanjang hari dan tanpa dijaga satpam. Beberapa pengurus dan jamaah masih terlihat duduk i'tikaf di sana, baik di dalam maupun di serambi. Meski malam sudah merangkak, mereka terlihat nyaman dan tenang di sana. “Ada apa …?” Faqih yang dari kamar mandi dan kini menutup pintu berpapasan dengan Jeta. Sudah berganti baju tidur dan tidak lagi berkerudung. Namun, tampak terkejut memandang Faqih.“Aku … Ingin makan salad dulu. Apa keberatan?” Suara Jeta terdengar kikuk. Faqih berjalan mendekati.“Meski tidak sabar lagi untuk jenguk anak, aku tetap tidak keberatan. Daripada nanti di atas ranjang yang kamu pandang aku, tetapi yang kamu pikir dan sebut justru salad buah,” jawab Faqih tersenyum menggoda sang istri.“Gombal …!” seru Jeta dengan raut yang malu. Faqih hanya diam dan tersenyum. Diikutinya Jeta keluar kamar dan berjalan ke dapur.“Sebenarnya aku pun ingin sesuatu darimu, Jeta,” ucap Faqih sa
Setelah dari klinik kandungan, mereka bukan lantas langsung pulang. Melainkan pergi ke arah berlawanan dari jalur jalan pulang. Jeta membawa Faqih ke Ramayana Mall di depan alun-alun Kota Malang. Berbalanja berbagai makanan dan barang. Oleh-oleh Faqih untuk seseorang yang harus dikunjungi. Sebab memang sudah janji ingin silaturahim dan berkenalan saat dirinya bertandang ke Malang di Jawa. Yang mana niat itu sudah dia sampaikan pada Jeta jauh-jauh hari sebelumnya. “Ayo di makan dulu, ngapain pulang cepet-cepet?” Seorang wanita berdaster longgar dengan menggendong bayi, menyuruh Faqih dan Jeta untuk lekas makan. Ada satu panci besar berisi bakso berkuah yang masih panas dan berkebul asap di meja makan. Juga ada sayur daun katu serta ikan sambal yang tidak lagi tampak panas. Meski sangat suka, Jeta mengambil sayur daun katu yang tampak hijau dan segar itu sedikit. Ingat jika Riri sedang masa menyusui. Daun katu sangat bagus untuk memperlancar produksi air susu ibu. Dan Jeta merasa
Batu nisan bentuk persegi dari keramik dengan nama Ny Arlita tertulis di sana, diusap tangan saat awal datang dengan sebuah salam. Faqih mengakhiri doa ziarah kubur pada makam almarhum ibu mertua pun dengan usapan tangan di batu nisan. Serta sebuah salam kembali di akhirnya.Jeta juga berdiri mengikuti gerak suaminya. Berpamit lirih dengan caranya dan kemudian mengulur tangannya pada Faqih. Mereka berdua bergandeng tangan meninggalkan lokasi makam sang ibu dengan berjalan hati-hati dan lurus. Mengikuti tapak jalan sempit di antara makam-makam. “Angkatlah, Jeta,” ucap Faqih. Ponsel Jeta sudah banyak kali berdering di dalam tasnya sejak masih di dalam lokasi makam. Kini mereka sudah di luar dan Faqih sedang mencuci kaki, tangan dan membasuh wajah. Sambil menyimak tenang percakapan sang istri yang terdengar seru di panggilan.“Ada apa?” Faqih mengelap wajah dengan sapu tangan dan Jeta pun menatapnya, panggilan ponsel telah ditutup beberapa detik yang lalu.“Aku ada undangan pesta nikaha
Pria tampan itu tampak frustasi meski akur dengan penolakan halus sang istri. Meski sama-sama penuh desir dengan gelombang meninggi, keduanya bersepakat menunda.“Faqih, apa kamu marah?” Jeta bertanya segan dengan ekspresi khawatir. Mendongak menatap Faqih yang masih menata napas memburu dan terengah. Menutup mata rapat sambil memeluk Jeta dengan pakaian yang sama-sama lepas berantakan. “Faqih, maaf, bukan aku tidak mau. Tapi aku sangat takut. Bukan aku tidak percaya padamu, tapi aku akan menanyakan pada dokter kandungan, apa kondisiku baik dan tidak bermasalah untuk menerima servis apa pun dari suamiku. Apa kamu mau mengerti?” Jeta kembali bertanya segan dengan menahan rasa malu. Tapi bukan rasa waswas dan cemas, sangat percaya jika Faqih adalah lelaki berwawasan dan bijak. Bukan melulu nafsu dan hasrat yang dikejar.“Faqih …,” panggil Jeta lagi yang mulai tidak sabar dengan kebungkaman pria yang sedang memeluk eratnya. “Hemm … tetapi aku tidak puas, Jeta. Aku sangat ingin membuat
Jeta membawa Faqih mendekati pintu kamar dengan jantung berdebum keras jumpalitan. Segala khayal dan bayang dalam kepala silih berganti meresahkan. Menduga apa yang akan dilakukan Faqih dalam kamar membuat hati jadi liar berdebar. Lelaki itu bersikeras meminta ditemani hingga ke dalam saat Jeta hanya menunjukkan daun pintu kamarnya dari jauh.“Sudah masuklah. Akan tetapi, di dalam tidak ada kamar mandi. Di situ kamar mandinya,” ucap Jeta menunjuk kamar mandi di pojok ruangan. Faqih hanya sekilas melihat. Mereka sudah berhenti tepat di depan pintu kamar.“Aku ingin kamu juga masuk ke dalam kamar denganku. Apa masih kurang paham juga?" ucap Faqih dengan berdiri tegak di depan Jeta. “Aku ingin kembali ke meja makan, masih ingin makan salad sekotak lagi. Mak Mah pun belum pulang, Faqih,” ucap Jeta menolak halus dengan mencoba beralasan.“Dia pulang? Apa dia tidak menginap juga di sini?” tanya Faqih yang merasa salah terka. “Tidak. Rumah kontraknya ada di belakang masjid. Anak-anaknya ma
Shalat maghrib bahkan dilakukan dengan lebih cepat. Juga tidak mengenakan apa pun di kulit wajah polosnya. Namun, sedikit pengorbanan itu seperti tanpa arti saat salad buah di atas meja makan sudah sangat sempurna tersajikan.“Bang Ahmad cepat sekali buatnya,” ucap Jeta sambil duduk dengan pandangan yang takjub. Tetapi, ada nada kecewa pada ucapannya.Telah menunggu dua kotak salad siap eksekusi di atas meja. Desta tidak sungkan-sungkan mendekapnya. Lelaki itu masih sibuk mengemas irisan salad buah di panci besar ke dalam wadah kotak untuk di taburi parutan keju dengan cepat. Mengabaikan keinginan Jeta untuk mengamatinya. Ahmad tidak ingin kehilangan waktu maghrib.“Dia sudah terlatih, Jeta. Kamu lihat pun juga sama cara buatnya. Tetapi hasilnya ya pasti saja jauh beda. Sudah, kamu sekarang tinggal makan saja,” ucap Mak Mah yang paham arti ucapan dan ekspresi Jeta. Mengerti jika wanita hamil itu sangat ingin melihat proses pembuatannya.“Iya, Mak Mah. Aku akan makan saja banyak-banyak
Mak Mah baru saja selesai menyiapkan makan malam dan sedang mengepel basah lantai dapur. Sangat fokus akan kerjanya dan tampak berjalan mundur mengepel dengan langkah hati-hati. Blak! “Ah …!” Suara mengejutkan diikuti jerit kaget, membuat Mak Mah seketika menoleh. “Jeta …!” Mak Mah mendekat sangat panik. “Aku tidak apa-apa, Mak. Hanya terpeleset sedikit. Nggak jatuh, kok!” Jeta menjelaskan dengan terengah dan masih merasa terkejut. Mak Mah sudah mengelusi punggung Jeta yang berposisi melengkung jongkok.“Tapi kan kaget. Perutnya, apa terasa sakit?” tanya Mak Mah cemas.“Alhamdulillah enggak, Mak. Aku sempat pegangan meja. Cuma kursinya saja yang jatuh ketendang kakiku, Mak,” terang Jeta.Kemudian bergeser dan menghenyak pantatnya di kursi. Mak Mah membungkuk meraih kursi yang ambruk ke lantai menjadi ke posisi berdiri semula.“Maaf, Jeta. Mak pikir kamu tidak akan keluar kalo nggak dipanggil.” Mak Mah memang selalu memanggil Jeta untuk keluar kamar jika meja makan sudah siap.“Tap