Terdengar kursi bergeser dan kaki melangkah di belakangnya. Jeta tahu jika Faqih pun sudah selesai makan. Terdengar suaranya sedang memanggil pegawai rumah makan. Pasti sedang berlaku transaksi pembayaran."Ilyas, kutunggu di mobil. Usahakan lebih cepat. Aku ingin sebelum hujan sudah sampai di Barelang!" Suara yang keras itu seperti gelegar petir menyambar. Tepat di belakang dan di atas kepala. Jeta terkejut sekali, nasib baik tidak sampai tersedak. Jika melihat, Faqih atau Ilyas pasti tahu jika dirinya terkejut."Iya, Bang!" Ilyas menyahut dengan menyebut si culas, Bang. Pemuda Melayu berwajah manis itu memang seringkali berubah menyebut bosnya. Bahkan tidak jarang juga menyebut Bapak. Interaksi keduanya tampak santai, hanya saja tidak dekat."Ilyas, jika gadis itu ingin pergi ke kamar mandi, antarkan!" Faqih berpesan lagi sebelum bunyi kakinya terdengar berteplak menjauh. "Iya, Bang!" Ilyas kembali mengiyakan sambil mengangguk.Jeta tersenyum masam, Faqih baru menyebutnya dengan as
Penolakan primata bonobo itu membuat mereka tegang sejenak. Hingga tiga pasang mata lelaki serta sepasang mata bonobo di sana memandang Jeta bersamaan."Apa memandangku? Aku tidak mau menyerahkan jaketku pada king kong cabull itu …." Jeta berkata dengan nada mulai bimbang. Berniat akan pergi, tetapi Faqih kembali menahan tangannya.Wajah berkerudung itu pias dan memerah dengan gestur yang serba salah. Dia paham jika Faqih ingin cepat melanjutkan perjalanan."Sebenarnya jika diabaikan, lama-lama dia pun akan diam, kan? Ayolah pergi saja," ajak Jeta sambil menatap enggan pada Faqih."Jangan, tolonglah, Nona. Dia akan mogok makan hingga sakit dan harus kubawa ke dokter hewan. Biayanya sangat mahal ...," keluh pemilik primata."Lepaskan saja di habitatnya, Pak ...," saran Jeta merasa kesal."Inginnya seperti itu. Tapi dia sudah seperti saudaraku. Memelihara dia suadh dari kecil," ucap pemilik rumah makan terlihat sedih dan galau. Jeta pun terdiam tampak bingung sambil memegangi erat jaket
Faqih telah meletak kepala kembali di sandaran dengan memejam mata. Abai pada ucapan Jeta yang keberatan melanjutkan perjalanan sebab tidak ingin menginap di mana pun. Dirinya lebih memilih pura-pura tidur dan berlagak tidak dengar. Bahkan gadis itu juga mengultimatum akan pulang ke Jawa jika tetap saja menginap di Barelang malam ini."Dia belum lagi minum obat, tidurnya kayak orang sakau saja," ucap Jeta bergumam lirih, kesal sebab keluhannnya diabaikan. Tentu saja Faqih yang pura-pura tidur itu terus memasang tegak radar telinganya. Namun, berusaha abai dan tidak memberi respon pada apa pun umpatan Jeta."Ilyas …," panggil si gadis lembut pada sopir. Dibalas tatap tanya oleh pemuda itu pada pantul kaca spion di atas kepala."Sebenarnya ... untuk urusan apa, orang ini pergi ke Barelang malam-malam begini? Bukankah di sana sedang rawan konflik?" Jeta bertanya dengan memandang Ilyas di kaca. Pemuda itu menatapnya sejenak."Nenek Abang Faqih cakap rindu. Terus mau jumpa pulak kawan bis
Dengan cepat tetapi hati-hati, dibawanya nampan berisi satu mangkuk kecil bubur ayam dan segelas besar madu jahe. Jeta melangkah menuju kamar di pojok ruang tengah. Mbah Ranti meminta mengantar itu ke tempat Faqih tidur."Masuk," sahut lelaki di dalam yang tak lain adalah Faqih setelah pintu diketuk keras.Meski rasa hati dongkol dan merasa berat, diseret paksa kaki kembali melangkah. Memasuki kamar lelaki yang ingin dia cekik saja rasanya. Bagaimana tidak, sebab Mbah Ranti sudah menyebutnya calon mantu, kini juga diminta mengantar baki ke kamar lelaki ltu. Geram bukan main rasa hati di dada."Faqih, kamu ini sakit kepala karena sudah banyak dosa!" seru Jeta menyongsong saat dalam kamar.Gadis itu mengomel sambil mendekati ranjang. Mencari di mana adanya meja. Lelaki pemilik kamar sedang mengompres sendiri kepalanya dengan selembar kecil sapu tangan."Kenapa kamu ke mari?" Lelaki itu justru bertanya yang terdengar sangat tidak mengenakkan."Kenapa aku ke mari?! Sebab mulut culasmu! K
Keringat dingin telah membasahi hampir seluruh kulit. Jeta kian cemas setelah tidak juga menemui jalan setapak yang menghubungkan kebun buah belakang rumah nenek. Beberapa gang dan cabang jalan yang dicoba, terus berputar di sekitar pasar saja. Jeta berpikir jika dirinya kemungkinan sedang berada di alam bunian. Kios kecil yang terasnya lumayan bersih dan kebetulan tidak buka lapak, Jeta duduk lelah di sana. Beberapa orang Melayu yang ditanyai di mana jalan menuju rumah Mbah Ranti, berkata tidak tahu dan sama sekali tidak kenal siapa Mbah Ranti. Ponsel yang bertahan di angka daya terakhir itu telah sempat mengirim pesan pada si culas akan kondisi dan posisi Jeta saat itu. Namun, hingga ponsel hilang power dan mati pun, tidak ada centang biru yang menanda jika lelaki itu telah membaca pesan pentingnya.Jeta merasa sungguh aneh dan membuatnya mulai takut dan waswas. Meskipun tidak pernah mengalami sendiri, dirinya percaya jika alam lain memang ada. Apalagi pasar adalah tempat yang kon
Ilyas yang berangkat menuju Pulau Galang selepas shalat dzuhur, telah kembali ke Tonton tepat sebelum adzab maghrib. Mbah Ranti sangat sigap menyiapkan rebusan air panas untuk mandi lelaki itu. Bahkan sebelumnya juga membuat rebusan air hingga mendidih untuk mandi si cucu, Faqih.Jeta dan Faqih sedang sama-sama duduk di meja makan. Memperhatikan Mbah Ranti yang sedang beraktivitas."Faqih, kenapa tidak ada satu orang pun warga kampung belakang yang kenal nama Mbah Ranti?" Tiba-tiba Jeta ingat hal aneh itu."Orang di sini tidak akan kenal dengan nama Mbah Ranti. Namanya Siti Sri Wirantini, panggilan di sini Siti atau Tini. Hanya kami yang menyebut Ranti," jelas Faqih "Oh, jadi begitu," gumam Jeta bingung. Sepenting itukah nama panggilan .... Bahkan Jeta menyebutkan ciri-ciri Mbah Ranti dan rumahnya pun, tidak ada juga yang paham."Kenapa wajahmu seperti itu?" Faqih menatap Jeta yang tertegun memandang punggung Mbah Ranti. Sedang menuang air panas ke dalam ember dan membawanya ke kama
Makan malam berempat telah bubar dengan penutup kudapan buah jeruk. Jeta menyambar dua biji dan membawanya menuju kamar. Mbah Ranti sudah lebih dulu meluncur ke ruang tengah untuk melihat televisi sambil selonjoran."Faqih!" Jeta berseru pada lelaki yang berjalan santai di depannya. Faqih berhenti dan berbalik, berdiri diam di tempat, menunggu Jeta yang berjalan ke arahnya."Ada apa? Apa kamu tiba-tiba ingin dibekam?" Faqih bertanya dengan alis bertaut saat Jeta sudah sangat dekat di depannya."Bukan masalah bekam. Aku memang benar-benar tidak ingin." Jeta menyahut tegas sambil menggeleng."Lalu ...?" tanya si lelaki dengan memicingkan mata."Aku hanya ingin tahu, kenapa kamu tidak bilang jika aku adalah anak dari wanita yang bersama Om Ardi?" Jeta berbisik dengan berdiri lebih dekat lagi pada Faqih. Takut jika Mbah Ranti mendengarnya. Atau tiba-tiba melewati mereka untuk masuk ke dalam kamar. Model kamar-kamar dalam rumah adalah pada lorong yang sama."Kamu sangat ingin tahu?" Faqih
Jeta menyeka air mata yang menetes keluar begitu saja. Merasa sedih dan trenyuh meninggalkan Mbah Ranti di rumahnya sendirian. Wanita tua itu sedang melambai tangan yang kian lama kian mengecil dan hilang dari pandangan. Jeta menangis hingga habis berlembar-lembar tisu untuk diusapkan di mata dan di pipinya. Bukan selepas subuh lagi waktu perjalanan yang dipilih untuk kembali ke Kota Batam. Melainkan pukul tiga tepat seperti yang sudah Faqih katakan semalam. Tidak menerima usul kemunduran waktu berangkat barang semenit pun.Setelah menghampiri Jeta bersama Ilyas di teras depan kamar, pria itu menyuruh Jeta segera pergi ke kamarnya agar cepat istirahat. Sebab, dirinya ingin meninggalkan rumah Mbah Ratri pukul tiga tepat sebelum jatuh subuh.Terlepas lelaki itu mendengar atau tidak isi perbincangan Jeta dan Ilyas di teras, tidak ada teguran apa pun pada jeta darinya hingga sekarang. Mereka saling bungkam dalam perjalanan pagi yang sepi dan lengang.Kepatungan mereka terusik saat Ilyas