Share

Bab 14. Berselisih

Penulis: kamiya san
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-02 14:28:41

Pandangan Faqih sangat tajam menatap wajahnya. Tidak Jeta pungkiri akan pesona dan ketampanan lelaki itu meski sedang bersikap dingin dan garang. Sekali pun terbaca tulisan nama si culas oleh Jeta di matanya.

Mungkin Faqih terkejut dengan ucapan membangkangnya. Atau juga tidak terima dengan panggilan tanpa kata penghormatan. Notabene usia Faqih memang berbilang jauh lebih banyak dari Jeta. Wajar jika merasa tidak terima disebut hanya nama saja sesukanya.

"Kenapa, aku salah apa, Faqih? Kamu terlihat marah sekarang …. Kamu hanya suka jika aku tampak ketakutan, kan? Kamu lelaki berpendidikan dan berwawasan. Tidak mungkin begitu rendah dengan menyebarkan aib orang." Jeta tersenyum masam.

"Juga … agama kamu cukup bagus kurasa. Kamu orang Islam, kan? Tahu kan, hukum menyebarkan aib orang? Kamu akan seperti mengunyah dagingku, atau seperti akan membakarku dengan kayu. Tidak mungkin, kaaaan …," ucap Jeta menyambung. Seperti sengaja memancing kemarahan dan batas sabar Faqih.

Terlihat raut pua
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Hasrat Cinta Abang Tiri   Bab 15. Primata Bonobo

    Terdengar kursi bergeser dan kaki melangkah di belakangnya. Jeta tahu jika Faqih pun sudah selesai makan. Terdengar suaranya sedang memanggil pegawai rumah makan. Pasti sedang berlaku transaksi pembayaran."Ilyas, kutunggu di mobil. Usahakan lebih cepat. Aku ingin sebelum hujan sudah sampai di Barelang!" Suara yang keras itu seperti gelegar petir menyambar. Tepat di belakang dan di atas kepala. Jeta terkejut sekali, nasib baik tidak sampai tersedak. Jika melihat, Faqih atau Ilyas pasti tahu jika dirinya terkejut."Iya, Bang!" Ilyas menyahut dengan menyebut si culas, Bang. Pemuda Melayu berwajah manis itu memang seringkali berubah menyebut bosnya. Bahkan tidak jarang juga menyebut Bapak. Interaksi keduanya tampak santai, hanya saja tidak dekat."Ilyas, jika gadis itu ingin pergi ke kamar mandi, antarkan!" Faqih berpesan lagi sebelum bunyi kakinya terdengar berteplak menjauh. "Iya, Bang!" Ilyas kembali mengiyakan sambil mengangguk.Jeta tersenyum masam, Faqih baru menyebutnya dengan as

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-02
  • Hasrat Cinta Abang Tiri   Bab 16. Faqih Demam

    Penolakan primata bonobo itu membuat mereka tegang sejenak. Hingga tiga pasang mata lelaki serta sepasang mata bonobo di sana memandang Jeta bersamaan."Apa memandangku? Aku tidak mau menyerahkan jaketku pada king kong cabull itu …." Jeta berkata dengan nada mulai bimbang. Berniat akan pergi, tetapi Faqih kembali menahan tangannya.Wajah berkerudung itu pias dan memerah dengan gestur yang serba salah. Dia paham jika Faqih ingin cepat melanjutkan perjalanan."Sebenarnya jika diabaikan, lama-lama dia pun akan diam, kan? Ayolah pergi saja," ajak Jeta sambil menatap enggan pada Faqih."Jangan, tolonglah, Nona. Dia akan mogok makan hingga sakit dan harus kubawa ke dokter hewan. Biayanya sangat mahal ...," keluh pemilik primata."Lepaskan saja di habitatnya, Pak ...," saran Jeta merasa kesal."Inginnya seperti itu. Tapi dia sudah seperti saudaraku. Memelihara dia suadh dari kecil," ucap pemilik rumah makan terlihat sedih dan galau. Jeta pun terdiam tampak bingung sambil memegangi erat jaket

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-03
  • Hasrat Cinta Abang Tiri   Bab 17. Mengaku Lagi

    Faqih telah meletak kepala kembali di sandaran dengan memejam mata. Abai pada ucapan Jeta yang keberatan melanjutkan perjalanan sebab tidak ingin menginap di mana pun. Dirinya lebih memilih pura-pura tidur dan berlagak tidak dengar. Bahkan gadis itu juga mengultimatum akan pulang ke Jawa jika tetap saja menginap di Barelang malam ini."Dia belum lagi minum obat, tidurnya kayak orang sakau saja," ucap Jeta bergumam lirih, kesal sebab keluhannnya diabaikan. Tentu saja Faqih yang pura-pura tidur itu terus memasang tegak radar telinganya. Namun, berusaha abai dan tidak memberi respon pada apa pun umpatan Jeta."Ilyas …," panggil si gadis lembut pada sopir. Dibalas tatap tanya oleh pemuda itu pada pantul kaca spion di atas kepala."Sebenarnya ... untuk urusan apa, orang ini pergi ke Barelang malam-malam begini? Bukankah di sana sedang rawan konflik?" Jeta bertanya dengan memandang Ilyas di kaca. Pemuda itu menatapnya sejenak."Nenek Abang Faqih cakap rindu. Terus mau jumpa pulak kawan bis

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-03
  • Hasrat Cinta Abang Tiri   Bab 18. Debat di Kamar

    Dengan cepat tetapi hati-hati, dibawanya nampan berisi satu mangkuk kecil bubur ayam dan segelas besar madu jahe. Jeta melangkah menuju kamar di pojok ruang tengah. Mbah Ranti meminta mengantar itu ke tempat Faqih tidur."Masuk," sahut lelaki di dalam yang tak lain adalah Faqih setelah pintu diketuk keras.Meski rasa hati dongkol dan merasa berat, diseret paksa kaki kembali melangkah. Memasuki kamar lelaki yang ingin dia cekik saja rasanya. Bagaimana tidak, sebab Mbah Ranti sudah menyebutnya calon mantu, kini juga diminta mengantar baki ke kamar lelaki ltu. Geram bukan main rasa hati di dada."Faqih, kamu ini sakit kepala karena sudah banyak dosa!" seru Jeta menyongsong saat dalam kamar.Gadis itu mengomel sambil mendekati ranjang. Mencari di mana adanya meja. Lelaki pemilik kamar sedang mengompres sendiri kepalanya dengan selembar kecil sapu tangan."Kenapa kamu ke mari?" Lelaki itu justru bertanya yang terdengar sangat tidak mengenakkan."Kenapa aku ke mari?! Sebab mulut culasmu! K

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-04
  • Hasrat Cinta Abang Tiri   Bab 19. Alam Bunian?

    Keringat dingin telah membasahi hampir seluruh kulit. Jeta kian cemas setelah tidak juga menemui jalan setapak yang menghubungkan kebun buah belakang rumah nenek. Beberapa gang dan cabang jalan yang dicoba, terus berputar di sekitar pasar saja. Jeta berpikir jika dirinya kemungkinan sedang berada di alam bunian. Kios kecil yang terasnya lumayan bersih dan kebetulan tidak buka lapak, Jeta duduk lelah di sana. Beberapa orang Melayu yang ditanyai di mana jalan menuju rumah Mbah Ranti, berkata tidak tahu dan sama sekali tidak kenal siapa Mbah Ranti. Ponsel yang bertahan di angka daya terakhir itu telah sempat mengirim pesan pada si culas akan kondisi dan posisi Jeta saat itu. Namun, hingga ponsel hilang power dan mati pun, tidak ada centang biru yang menanda jika lelaki itu telah membaca pesan pentingnya.Jeta merasa sungguh aneh dan membuatnya mulai takut dan waswas. Meskipun tidak pernah mengalami sendiri, dirinya percaya jika alam lain memang ada. Apalagi pasar adalah tempat yang kon

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-04
  • Hasrat Cinta Abang Tiri   Bab 20. Terus Berburuk Sangka

    Ilyas yang berangkat menuju Pulau Galang selepas shalat dzuhur, telah kembali ke Tonton tepat sebelum adzab maghrib. Mbah Ranti sangat sigap menyiapkan rebusan air panas untuk mandi lelaki itu. Bahkan sebelumnya juga membuat rebusan air hingga mendidih untuk mandi si cucu, Faqih.Jeta dan Faqih sedang sama-sama duduk di meja makan. Memperhatikan Mbah Ranti yang sedang beraktivitas."Faqih, kenapa tidak ada satu orang pun warga kampung belakang yang kenal nama Mbah Ranti?" Tiba-tiba Jeta ingat hal aneh itu."Orang di sini tidak akan kenal dengan nama Mbah Ranti. Namanya Siti Sri Wirantini, panggilan di sini Siti atau Tini. Hanya kami yang menyebut Ranti," jelas Faqih "Oh, jadi begitu," gumam Jeta bingung. Sepenting itukah nama panggilan .... Bahkan Jeta menyebutkan ciri-ciri Mbah Ranti dan rumahnya pun, tidak ada juga yang paham."Kenapa wajahmu seperti itu?" Faqih menatap Jeta yang tertegun memandang punggung Mbah Ranti. Sedang menuang air panas ke dalam ember dan membawanya ke kama

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-05
  • Hasrat Cinta Abang Tiri   Bab 21. Akan Pulang

    Makan malam berempat telah bubar dengan penutup kudapan buah jeruk. Jeta menyambar dua biji dan membawanya menuju kamar. Mbah Ranti sudah lebih dulu meluncur ke ruang tengah untuk melihat televisi sambil selonjoran."Faqih!" Jeta berseru pada lelaki yang berjalan santai di depannya. Faqih berhenti dan berbalik, berdiri diam di tempat, menunggu Jeta yang berjalan ke arahnya."Ada apa? Apa kamu tiba-tiba ingin dibekam?" Faqih bertanya dengan alis bertaut saat Jeta sudah sangat dekat di depannya."Bukan masalah bekam. Aku memang benar-benar tidak ingin." Jeta menyahut tegas sambil menggeleng."Lalu ...?" tanya si lelaki dengan memicingkan mata."Aku hanya ingin tahu, kenapa kamu tidak bilang jika aku adalah anak dari wanita yang bersama Om Ardi?" Jeta berbisik dengan berdiri lebih dekat lagi pada Faqih. Takut jika Mbah Ranti mendengarnya. Atau tiba-tiba melewati mereka untuk masuk ke dalam kamar. Model kamar-kamar dalam rumah adalah pada lorong yang sama."Kamu sangat ingin tahu?" Faqih

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-05
  • Hasrat Cinta Abang Tiri   Bab 22. Apa Faqih Tahu?

    Jeta menyeka air mata yang menetes keluar begitu saja. Merasa sedih dan trenyuh meninggalkan Mbah Ranti di rumahnya sendirian. Wanita tua itu sedang melambai tangan yang kian lama kian mengecil dan hilang dari pandangan. Jeta menangis hingga habis berlembar-lembar tisu untuk diusapkan di mata dan di pipinya. Bukan selepas subuh lagi waktu perjalanan yang dipilih untuk kembali ke Kota Batam. Melainkan pukul tiga tepat seperti yang sudah Faqih katakan semalam. Tidak menerima usul kemunduran waktu berangkat barang semenit pun.Setelah menghampiri Jeta bersama Ilyas di teras depan kamar, pria itu menyuruh Jeta segera pergi ke kamarnya agar cepat istirahat. Sebab, dirinya ingin meninggalkan rumah Mbah Ratri pukul tiga tepat sebelum jatuh subuh.Terlepas lelaki itu mendengar atau tidak isi perbincangan Jeta dan Ilyas di teras, tidak ada teguran apa pun pada jeta darinya hingga sekarang. Mereka saling bungkam dalam perjalanan pagi yang sepi dan lengang.Kepatungan mereka terusik saat Ilyas

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-06

Bab terbaru

  • Hasrat Cinta Abang Tiri   Bab 104 Kembali

    Tangis bayi riuh bersahutan pagi ini. Terdengar dari kamar di luar yang berlainan. Entah di mana ibu para bayi masing-masing. Yang jelas tangis lolong pilu mereka terus membahana dan lama. “Bayi-bayi konser itu, pada ke mana mominya masing-masing?” bisik Faqih di telinga Jeta yang sedang dalam dekapan dadanya. “Aku tidak tahu. Lagi shalat subuh mungkin …,” sahut Jeta menebak asal. Sisa napas masih menderu di dadanya. Faqih baru saja selesai menyentuhnya kembali pagi-pagi. “Ini belum datang waktu subuh, belum adzan, Sayang. Apa jangan-jangan lagi ehem ehem juga kayak kita …?” Faqih tersenyum menggoda. Rambut di pucuk kepala sang istri diciuminya ulang-ulang. “Bisa jadi, ya …,” sahut Jeta membenarkan, lalu menggigiti kecil dada suaminya dengan gemas. Faqih menahan suara pekiknya dan mengaduh lirih kegelian. “Jangan nakal, Jeta. Aku bisa berteriak.” Faqih menjauhkan sedikit kepala istrinya. “Jeta, itu yang sudah kita kasih angpau di dapur semalam, yang siapa? Aku nggak bisa b

  • Hasrat Cinta Abang Tiri   Bab 103. Tanpa Ada Malu

    Setelah merasa malas untuk beranjak dan pergi ke kamar mandi, Jeta terpaksa bersedia saat diajak untuk menemani. Mereka berdua pun mandi bersama dengan penuh kebisingan. Entah apa saja yang dimainkan dan dilakukan di dalam sana, yang jelas waktu yang diperlukan jauh lebih lama dari pada mandi biasanya. “Mak Mah belum datang?” tanya Faqih sambil merebah lagi di ranjang. Masih dengan baju koko dan sarungnya. Mereka sambung shalat subuh berjamaah setelah mandi pun bersama.“Belum, ini kepagian. Biasanya habis anak bungsunya pergi ke sekolah,” sahut Jeta sambil melipat mukena dan sajadah. Ingin hati menyusul suami ke pembaringan. Tetapi ingat jika melahirkan konon butuh ekstra perjuangan, Jeta memilih gerak keluar kamar. Seperti biasa, mencabut kotak salad buah dari kulkas. Seleranya benar-benar tidak peduli waktu dan kondisi.“Jeta, ayo ikut ke Hotel Tugu! Aku lupa, Ahmad akan pergi ke Juanda pagi ini!” Ajakan Faqih yang tiba-tiba sangat mengejutkan. Untung Jeta tidak tersedak. “Sebent

  • Hasrat Cinta Abang Tiri   Bab 102. Unboxing

    Faqih dan Jeta meninggalkan masjid besar di ujung gang yang buka hingga dua puluh empat jam sepanjang hari dan tanpa dijaga satpam. Beberapa pengurus dan jamaah masih terlihat duduk i'tikaf di sana, baik di dalam maupun di serambi. Meski malam sudah merangkak, mereka terlihat nyaman dan tenang di sana. “Ada apa …?” Faqih yang dari kamar mandi dan kini menutup pintu berpapasan dengan Jeta. Sudah berganti baju tidur dan tidak lagi berkerudung. Namun, tampak terkejut memandang Faqih.“Aku … Ingin makan salad dulu. Apa keberatan?” Suara Jeta terdengar kikuk. Faqih berjalan mendekati.“Meski tidak sabar lagi untuk jenguk anak, aku tetap tidak keberatan. Daripada nanti di atas ranjang yang kamu pandang aku, tetapi yang kamu pikir dan sebut justru salad buah,” jawab Faqih tersenyum menggoda sang istri.“Gombal …!” seru Jeta dengan raut yang malu. Faqih hanya diam dan tersenyum. Diikutinya Jeta keluar kamar dan berjalan ke dapur.“Sebenarnya aku pun ingin sesuatu darimu, Jeta,” ucap Faqih sa

  • Hasrat Cinta Abang Tiri   Bab 101. Tidak Nyaman

    Setelah dari klinik kandungan, mereka bukan lantas langsung pulang. Melainkan pergi ke arah berlawanan dari jalur jalan pulang. Jeta membawa Faqih ke Ramayana Mall di depan alun-alun Kota Malang. Berbalanja berbagai makanan dan barang. Oleh-oleh Faqih untuk seseorang yang harus dikunjungi. Sebab memang sudah janji ingin silaturahim dan berkenalan saat dirinya bertandang ke Malang di Jawa. Yang mana niat itu sudah dia sampaikan pada Jeta jauh-jauh hari sebelumnya. “Ayo di makan dulu, ngapain pulang cepet-cepet?” Seorang wanita berdaster longgar dengan menggendong bayi, menyuruh Faqih dan Jeta untuk lekas makan. Ada satu panci besar berisi bakso berkuah yang masih panas dan berkebul asap di meja makan. Juga ada sayur daun katu serta ikan sambal yang tidak lagi tampak panas. Meski sangat suka, Jeta mengambil sayur daun katu yang tampak hijau dan segar itu sedikit. Ingat jika Riri sedang masa menyusui. Daun katu sangat bagus untuk memperlancar produksi air susu ibu. Dan Jeta merasa

  • Hasrat Cinta Abang Tiri   Bab 100. Jenguk Anak

    Batu nisan bentuk persegi dari keramik dengan nama Ny Arlita tertulis di sana, diusap tangan saat awal datang dengan sebuah salam. Faqih mengakhiri doa ziarah kubur pada makam almarhum ibu mertua pun dengan usapan tangan di batu nisan. Serta sebuah salam kembali di akhirnya.Jeta juga berdiri mengikuti gerak suaminya. Berpamit lirih dengan caranya dan kemudian mengulur tangannya pada Faqih. Mereka berdua bergandeng tangan meninggalkan lokasi makam sang ibu dengan berjalan hati-hati dan lurus. Mengikuti tapak jalan sempit di antara makam-makam. “Angkatlah, Jeta,” ucap Faqih. Ponsel Jeta sudah banyak kali berdering di dalam tasnya sejak masih di dalam lokasi makam. Kini mereka sudah di luar dan Faqih sedang mencuci kaki, tangan dan membasuh wajah. Sambil menyimak tenang percakapan sang istri yang terdengar seru di panggilan.“Ada apa?” Faqih mengelap wajah dengan sapu tangan dan Jeta pun menatapnya, panggilan ponsel telah ditutup beberapa detik yang lalu.“Aku ada undangan pesta nikaha

  • Hasrat Cinta Abang Tiri   Bab 99. Feel Good

    Pria tampan itu tampak frustasi meski akur dengan penolakan halus sang istri. Meski sama-sama penuh desir dengan gelombang meninggi, keduanya bersepakat menunda.“Faqih, apa kamu marah?” Jeta bertanya segan dengan ekspresi khawatir. Mendongak menatap Faqih yang masih menata napas memburu dan terengah. Menutup mata rapat sambil memeluk Jeta dengan pakaian yang sama-sama lepas berantakan. “Faqih, maaf, bukan aku tidak mau. Tapi aku sangat takut. Bukan aku tidak percaya padamu, tapi aku akan menanyakan pada dokter kandungan, apa kondisiku baik dan tidak bermasalah untuk menerima servis apa pun dari suamiku. Apa kamu mau mengerti?” Jeta kembali bertanya segan dengan menahan rasa malu. Tapi bukan rasa waswas dan cemas, sangat percaya jika Faqih adalah lelaki berwawasan dan bijak. Bukan melulu nafsu dan hasrat yang dikejar.“Faqih …,” panggil Jeta lagi yang mulai tidak sabar dengan kebungkaman pria yang sedang memeluk eratnya. “Hemm … tetapi aku tidak puas, Jeta. Aku sangat ingin membuat

  • Hasrat Cinta Abang Tiri   Bab 98. Rindu

    Jeta membawa Faqih mendekati pintu kamar dengan jantung berdebum keras jumpalitan. Segala khayal dan bayang dalam kepala silih berganti meresahkan. Menduga apa yang akan dilakukan Faqih dalam kamar membuat hati jadi liar berdebar. Lelaki itu bersikeras meminta ditemani hingga ke dalam saat Jeta hanya menunjukkan daun pintu kamarnya dari jauh.“Sudah masuklah. Akan tetapi, di dalam tidak ada kamar mandi. Di situ kamar mandinya,” ucap Jeta menunjuk kamar mandi di pojok ruangan. Faqih hanya sekilas melihat. Mereka sudah berhenti tepat di depan pintu kamar.“Aku ingin kamu juga masuk ke dalam kamar denganku. Apa masih kurang paham juga?" ucap Faqih dengan berdiri tegak di depan Jeta. “Aku ingin kembali ke meja makan, masih ingin makan salad sekotak lagi. Mak Mah pun belum pulang, Faqih,” ucap Jeta menolak halus dengan mencoba beralasan.“Dia pulang? Apa dia tidak menginap juga di sini?” tanya Faqih yang merasa salah terka. “Tidak. Rumah kontraknya ada di belakang masjid. Anak-anaknya ma

  • Hasrat Cinta Abang Tiri   Bab 97. Berjumpa

    Shalat maghrib bahkan dilakukan dengan lebih cepat. Juga tidak mengenakan apa pun di kulit wajah polosnya. Namun, sedikit pengorbanan itu seperti tanpa arti saat salad buah di atas meja makan sudah sangat sempurna tersajikan.“Bang Ahmad cepat sekali buatnya,” ucap Jeta sambil duduk dengan pandangan yang takjub. Tetapi, ada nada kecewa pada ucapannya.Telah menunggu dua kotak salad siap eksekusi di atas meja. Desta tidak sungkan-sungkan mendekapnya. Lelaki itu masih sibuk mengemas irisan salad buah di panci besar ke dalam wadah kotak untuk di taburi parutan keju dengan cepat. Mengabaikan keinginan Jeta untuk mengamatinya. Ahmad tidak ingin kehilangan waktu maghrib.“Dia sudah terlatih, Jeta. Kamu lihat pun juga sama cara buatnya. Tetapi hasilnya ya pasti saja jauh beda. Sudah, kamu sekarang tinggal makan saja,” ucap Mak Mah yang paham arti ucapan dan ekspresi Jeta. Mengerti jika wanita hamil itu sangat ingin melihat proses pembuatannya.“Iya, Mak Mah. Aku akan makan saja banyak-banyak

  • Hasrat Cinta Abang Tiri   Bab 96. Kejutan

    Mak Mah baru saja selesai menyiapkan makan malam dan sedang mengepel basah lantai dapur. Sangat fokus akan kerjanya dan tampak berjalan mundur mengepel dengan langkah hati-hati. Blak! “Ah …!” Suara mengejutkan diikuti jerit kaget, membuat Mak Mah seketika menoleh. “Jeta …!” Mak Mah mendekat sangat panik. “Aku tidak apa-apa, Mak. Hanya terpeleset sedikit. Nggak jatuh, kok!” Jeta menjelaskan dengan terengah dan masih merasa terkejut. Mak Mah sudah mengelusi punggung Jeta yang berposisi melengkung jongkok.“Tapi kan kaget. Perutnya, apa terasa sakit?” tanya Mak Mah cemas.“Alhamdulillah enggak, Mak. Aku sempat pegangan meja. Cuma kursinya saja yang jatuh ketendang kakiku, Mak,” terang Jeta.Kemudian bergeser dan menghenyak pantatnya di kursi. Mak Mah membungkuk meraih kursi yang ambruk ke lantai menjadi ke posisi berdiri semula.“Maaf, Jeta. Mak pikir kamu tidak akan keluar kalo nggak dipanggil.” Mak Mah memang selalu memanggil Jeta untuk keluar kamar jika meja makan sudah siap.“Tap

DMCA.com Protection Status