Setelah dari klinik kandungan, mereka bukan lantas langsung pulang. Melainkan pergi ke arah berlawanan dari jalur jalan pulang. Jeta membawa Faqih ke Ramayana Mall di depan alun-alun Kota Malang. Berbalanja berbagai makanan dan barang. Oleh-oleh Faqih untuk seseorang yang harus dikunjungi. Sebab memang sudah janji ingin silaturahim dan berkenalan saat dirinya bertandang ke Malang di Jawa. Yang mana niat itu sudah dia sampaikan pada Jeta jauh-jauh hari sebelumnya. “Ayo di makan dulu, ngapain pulang cepet-cepet?” Seorang wanita berdaster longgar dengan menggendong bayi, menyuruh Faqih dan Jeta untuk lekas makan. Ada satu panci besar berisi bakso berkuah yang masih panas dan berkebul asap di meja makan. Juga ada sayur daun katu serta ikan sambal yang tidak lagi tampak panas. Meski sangat suka, Jeta mengambil sayur daun katu yang tampak hijau dan segar itu sedikit. Ingat jika Riri sedang masa menyusui. Daun katu sangat bagus untuk memperlancar produksi air susu ibu. Dan Jeta merasa
Faqih dan Jeta meninggalkan masjid besar di ujung gang yang buka hingga dua puluh empat jam sepanjang hari dan tanpa dijaga satpam. Beberapa pengurus dan jamaah masih terlihat duduk i'tikaf di sana, baik di dalam maupun di serambi. Meski malam sudah merangkak, mereka terlihat nyaman dan tenang di sana. “Ada apa …?” Faqih yang dari kamar mandi dan kini menutup pintu berpapasan dengan Jeta. Sudah berganti baju tidur dan tidak lagi berkerudung. Namun, tampak terkejut memandang Faqih.“Aku … Ingin makan salad dulu. Apa keberatan?” Suara Jeta terdengar kikuk. Faqih berjalan mendekati.“Meski tidak sabar lagi untuk jenguk anak, aku tetap tidak keberatan. Daripada nanti di atas ranjang yang kamu pandang aku, tetapi yang kamu pikir dan sebut justru salad buah,” jawab Faqih tersenyum menggoda sang istri.“Gombal …!” seru Jeta dengan raut yang malu. Faqih hanya diam dan tersenyum. Diikutinya Jeta keluar kamar dan berjalan ke dapur.“Sebenarnya aku pun ingin sesuatu darimu, Jeta,” ucap Faqih sa
Setelah merasa malas untuk beranjak dan pergi ke kamar mandi, Jeta terpaksa bersedia saat diajak untuk menemani. Mereka berdua pun mandi bersama dengan penuh kebisingan. Entah apa saja yang dimainkan dan dilakukan di dalam sana, yang jelas waktu yang diperlukan jauh lebih lama dari pada mandi biasanya. “Mak Mah belum datang?” tanya Faqih sambil merebah lagi di ranjang. Masih dengan baju koko dan sarungnya. Mereka sambung shalat subuh berjamaah setelah mandi pun bersama.“Belum, ini kepagian. Biasanya habis anak bungsunya pergi ke sekolah,” sahut Jeta sambil melipat mukena dan sajadah. Ingin hati menyusul suami ke pembaringan. Tetapi ingat jika melahirkan konon butuh ekstra perjuangan, Jeta memilih gerak keluar kamar. Seperti biasa, mencabut kotak salad buah dari kulkas. Seleranya benar-benar tidak peduli waktu dan kondisi.“Jeta, ayo ikut ke Hotel Tugu! Aku lupa, Ahmad akan pergi ke Juanda pagi ini!” Ajakan Faqih yang tiba-tiba sangat mengejutkan. Untung Jeta tidak tersedak. “Sebent
Tangis bayi riuh bersahutan pagi ini. Terdengar dari kamar di luar yang berlainan. Entah di mana ibu para bayi masing-masing. Yang jelas tangis lolong pilu mereka terus membahana dan lama. “Bayi-bayi konser itu, pada ke mana mominya masing-masing?” bisik Faqih di telinga Jeta yang sedang dalam dekapan dadanya. “Aku tidak tahu. Lagi shalat subuh mungkin …,” sahut Jeta menebak asal. Sisa napas masih menderu di dadanya. Faqih baru saja selesai menyentuhnya kembali pagi-pagi. “Ini belum datang waktu subuh, belum adzan, Sayang. Apa jangan-jangan lagi ehem ehem juga kayak kita …?” Faqih tersenyum menggoda. Rambut di pucuk kepala sang istri diciuminya ulang-ulang. “Bisa jadi, ya …,” sahut Jeta membenarkan, lalu menggigiti kecil dada suaminya dengan gemas. Faqih menahan suara pekiknya dan mengaduh lirih kegelian. “Jangan nakal, Jeta. Aku bisa berteriak.” Faqih menjauhkan sedikit kepala istrinya. “Jeta, itu yang sudah kita kasih angpau di dapur semalam, yang siapa? Aku nggak bisa b
Lelaki mencurigakan itu tidak merespon tanya Jeta. Tetap sibuk dengan hidangan lezat di mangkuk stainless yang dipegang. Dia tidak menggunakan sendok. Namun, menggunakan sumpit untuk menjepit ulat sagu dengan sangat lihai. Bahkan hanya tersisa beberapa ekor di mangkuk yang dalam hitungan detik telah berpindah aman ke dalam mulut. "Siapa kamu ...?" Jeta bertanya kembali dengan lemah.Lelaki itu menoleh, menatap sambil mengelap mulut dengan telapak tangan. Pandangan mereka bertemu, dan baru kali ini Jeta benar-benar menatapnya. Seluruh penutup kepala dan wajah telah ditanggal.Di antara rasa lemah raga, mengakui jika wajah itu sangat tampan dengan dagu yang berjanggut tipis. Berwajah cerah, bersih dan terawat. Rambutnya lurus, tebal dan rapi. Seperti tidak serasi jika profesi yang dia geluti adalah seorang anggota tim penyelamat. "Aku hanya mengingatkan padamu. Bersikaplah yang baik dan manis selama dalam perjalanan turun. Tidak perlu tahu siapa aku. Yang jelas, niatku adalah membawa
Jalan terjal dan curam serta lembah ngarai pun sudah dilintasi. Namun, Jeta merasa perjalanan turun yang biasanya lebih cepat, kini terasa sangat jauh dan lambat. Selisih jarak beda jauh dengan jalur saat naik. Bahkan, tidak dijumpai satu orang pun pendaki di sepanjang jalan turun. Lewat mana mereka semua? Apakah lelaki itu telah sengaja membawanya tersesat? Waswas sekali rasanya."Apa kamu juga ingin mandi?" Lelaki itu berjalan sedikit cepat meninggalkannya. Seperti teguran agar Jeta tidak lagi mengikuti.Lalu berhenti dan menurunkan carrier dari punggung. Melepas sweater hangat dengan cepat di bawah sana. Menampakkan punggung cerahnya yang sempurna terpahat. Jeta tercekat, tergesa memalingkan wajah dan pandangan agar tidak melihat.Rupanya ada sumber air di sana. Jadi lelaki itu sudah sangat hapal medan di Kinabalu. Kini terdengar riuh kecipukan, mungkin dia sedang berenang di kolam sumber air. Meski ingin tahu, Jeta sama sekali tidak berani mendekat. Memilih terus duduk dan menikm
Jeta dibawa menjelajah dan melintasi sepanjang Taman Nasional Kinabalu yang menakjubkan. Tidak terhitung lagi ragam hayati dan hewani yang mereka jumpai di sepanjang petualangan.Terbaca board petunjuk bahwa jalan turun yang sedang mereka lalui adalah jalur daki Kiau View yang indah. Rasanya tidak ingin pergi hanya untuk terus mengagumi isi taman yang sungguh fantastis dan beragam."Apa kita tidak akan tersesat?" Jeta mulai khawatir lagi saat dibawa pada jalan yang acak. Sangat banyak jalan setapak yang bercabang dari jalur Kiau View dan lelaki itu memilih salah satu."Tidak akan. Semua jalan kecil ini akan terhubung pada jalan aspal di luar Taman Kinabalu. Kamu akan disambut rambu-rambu saat menghabiskan jalan setapak. Semua jalan aspal juga akan menuju di satu pos jaga saja," terang lelaki itu dengan gamblang.Jeta melirik. Kian penasaran dengan lelaki tenang dan sudah memberi ancaman serius. Yang sebenarnya, lelaki banyak wawasan dan pengalaman di alam itu cukup menakjubkan."Istir
"Tidak. Ini saja, Kak. Sungguh," tolak Jeta setelah menentukan satu pilihan dengan cepat. Sepasang baju modis dengan kerudung dan satu set baju dalam pun telah dikemaskan. Meski butik itu kecil, pegawainya sangat cekatan."Baiklah. Terima kasih. Semua ini akan dilunasi oleh Mr. Batam sebentar lagi," jelas wanita itu sambil mengulur paper bag berisi baju yang Jeta ingin.Si gadis beorpamitan setelah mendapat pencerahan jika Mr. Batam adalah pengunjung tetap di penginapan yang datang dari Pulau Batam. Lelaki itu tidak pernah menyebut nama sesungguhnya dan hanya mengatakan dari mana asal datangnya.Baju sopan yang dipilih tanpa tahu berapa berbandrol, sebab wanita itu juga tidak mau menyebut, tersemat pas menutup tubuh Jeta yang berlekuk indah dan sempurna. Memandang lama diri di cermin, membuat bersyukur dengan satu kelebihan yang sudah Tuhan bekalkan sejak lahir. Merasa hanya perlu merawat dan menjaga sebaik mungkin. Tanpa perlu tambah permak atau memoles yang berlebihan. Apalagi denga