Jalan terjal dan curam serta lembah ngarai pun sudah dilintasi. Namun, Jeta merasa perjalanan turun yang biasanya lebih cepat, kini terasa sangat jauh dan lambat. Selisih jarak beda jauh dengan jalur saat naik. Bahkan, tidak dijumpai satu orang pun pendaki di sepanjang jalan turun.
Lewat mana mereka semua? Apakah lelaki itu telah sengaja membawanya tersesat? Waswas sekali rasanya."Apa kamu juga ingin mandi?" Lelaki itu berjalan sedikit cepat meninggalkannya. Seperti teguran agar Jeta tidak lagi mengikuti.Lalu berhenti dan menurunkan carrier dari punggung. Melepas sweater hangat dengan cepat di bawah sana. Menampakkan punggung cerahnya yang sempurna terpahat. Jeta tercekat, tergesa memalingkan wajah dan pandangan agar tidak melihat.Rupanya ada sumber air di sana. Jadi lelaki itu sudah sangat hapal medan di Kinabalu. Kini terdengar riuh kecipukan, mungkin dia sedang berenang di kolam sumber air. Meski ingin tahu, Jeta sama sekali tidak berani mendekat. Memilih terus duduk dan menikmati keindahan alam di sekitar. Yang kemungkinan adalah kawasan komersil dari Taman Nasional Kinabalu.Terkejut sekali, seekor kera tiba-tiba meluncur dari atas pohon dan menghampiri Jeta yang sedang duduk di sebongkah batu. Berusaha diusirnya dengan ayun tangan tetapi tidak ada takut sama sekali, apalagi menjauh dan pergi."Haaaaa … tolong!"Kera itu telah menyambar di mata kaki. Menggelayuti Jeta di bagian betis yang berlapis celana jins tipis.Jeritan Jeta membahana ke penjuru gunung belantara. Merasa kepanikan yang sangat. Merasa sungguh takut luar biasa. Sebab dirinya sedang sendiri tanpa seorang pun di ssekitarnya. Tubuh Jeta serasa kaku sebab ngeri dan panik."Hush … Hei!" Terdengar seruan.Suara hardikan lelaki itu sudah sangat dihapal oleh telinga Jeta. Membuat lega dengan ketegangan yang lumayan berkurang.Cengkeraman kera terasa melonggar, tetapi masih menggayut di kaki dengan tatapan ke depan. Kini lelaki itu sedang mendekat dengan membawa sebuah bungkus kwaci yang diambil dari ransel.Kera segera melepas kaki Jeta dan menyambar segenggam kwaci yang diulur ke arahnya. Menjerit ngik-ngik sambil lari menjauh dan kembali menggelayut menuju atas pohon. Mungkin akan menikmati segenggam kwaci dengan bersantai di atas sana. Jeta merasa lega dengan nafas panjang dan lapang."Kamu punya makanan, tapi memberiku makanan menjijikkan …," protes Jeta sambil melirik lelaki itu sekilas. Tidak kuat memandang lama, dada dan perut yang menggoda masih terbuka tanpa baju. Namun, lelaki itu sudah sempat bercelana panjang dan kering."Kamu hampir mati. Makanan seperti ini tidak ada guna dimakan saat genting. Kamu akan hipo sebelum sempat menelan. Memangnya sekarang sudah lapar?" Lelaki tampan berbicara, juga tidak memandang Jeta.Si gadis sedang menyingkap betis putihnya yang berdarah. Gayutan kera tadi telah meninggalkan goresan panjang di betis mulusnya yang kanan"Rasanya memang selalu kenyang hingga sekarang. Tapi tolong, jangan beri makanan seperti itu lagi padaku," ucap Jeta serius."Pikirkan manfaatnya. Jangan mengejar yang enak-enak saja!"Lelaki itu berbicara dan beranjak pergi menuju ransel, mengambil baju untuk cepat dipakai di badan. Meski matahari bersinar, hawa gunung tetap dingin.Kemudian menyambar sebotol kecil berwarna hitam untuk diberikan pada Jeta."Oleskan ini," ucap si lelaki bernada dingin."Tidak usah, hanya goresan. Ini akan cepat kering sendiri," tolak Jeta dengan ketus."Apa kamu tidak tahu, kera gunung tidak ada yang divaksin rabies," ucapnya santai dan berlalu."Apa …?!" Pekik Jeta yang seketika berdiri. Menghampiri lelaki itu yang akan memasukkan kembali botol ke dalam ransel. Tapi Jeta cepat menyambarnya."Lukaku harus dioles, aku tidak ingin tiba-tiba kena rabies. Aku belum kawin …," omel Jeta sambil menyingsing kembali celana hingga lutut. Mengoles buru-buru dengan obat sejenis minyak dari botol."Pria mesum yang menodaimu itu pasti akan membuangmu jika kamu kena rabies," sahut lelaki itu sambil mengangkat carriernya."Dia bukan mesum. Hanya mencium tangan dan mencium dua pipiku. Sebab aku ulang tahun!" Jeta menghardik dengan kesal. Lelaki itu sungguh tidak jelas apa niatnya."Di video rekaman, bibirmu kena juga," sahut lelaki itu santai. Kini duduk di bongkah batu dengan ransel tetap di punggung."Hanya sekilas, hanya tiga detik …!" Jeta menyanggah dengan kesal. Menatap penuh api pada lelaki yang telah mencuri rekam pada moment bahagianya bersama Gus Azrul menjadi sebuah video."Tetapi kamu sudah sangat takut, kan?" Senyum sinis dan mengejek di wajah tampan lelaki itu sangat memuakkan bagi Jeta."Sebab dia keluarga pesantren, dia Gus …! Sedikit saja kesalahan, sudah jadi aib besar baginya!" Jeta memekik dan sangat ingin menangis. Mengingat sang kekasih yang dia tidak tahu bagaimana nasibnya.Mereka terpisah saat musibah, Jeta telah ditarik dengan sambaran cepat oleh lelaki itu yang mengaku sebagai tim penyelamat. Tanah yang terus bergeser dengan mendung tebal dan hujan mulai jatuh, membuat panik dan percaya begitu saja.Yang kini rasa curiganya pun terbukti benar dan nyata. Lelaki itu mengancam dengan rekam video buatannya. Menginginkan Jeta untuk terus mengikuti turun dengan sikap manis di belakangnya."Kamu takut dituduh merayu seorang Gus?" Lelaki itu tersenyum masam. Kini berdiri dari duduknya."Bukan diriku yang kupikir! Tetapi, nama baik kekasihku akan tercoreng!" Jeta menjerit marah."Jika hanya untuk merayakan ulang tahun disertai asusila, sebaiknya di hotel saja!" Lelaki itu menghardik agak keras. Jeta menoleh kian marah."Itu bukan asusila, hanya spontanitas! Kami tidak pernah berbuat hal yang seperti itu sebelumnya …!" Jeta meralat. Matanya terasa panas ingin menangis."Sebenarnya siapa kamu … apa rencanamu? Apa yang kamu inginkan dari mengancamku?" Jeta bertanya dengan emosi. Lebih kesal lagi, lawan bicaranya tidak menunjukkan ekspresi apa pun."Apa botol obat itu sudah?" Lelaki bertanya sambil menunjuk botol di tangan Jeta. Mengabaikan kemaraha yang sedang meluap."Apa ini minyak burung but-but?" Jeta tiba-tiba bertanya datar dan memandang lelaki bersweater hangat di depannya yang kemudian mengangguk."Berikan padaku. Akan kuoles sesering mungkin, aku takut tiba-tiba rabies," ucap Jeta mengalah. Menyadari tiada guna menunjukkan emosi dan marah di gunung. Bagaimanpun, dirinya masih berharap pada lelaki itu untuk turun dan pulang dengan selamat. Tidak ada sepeser pun uang lagi di genggaman.Jeta menyimpan botol di dalam saku celana yang dipinjam. Memang sangat panjang dan longgar, size lelaki. Tetapi telah dipotong oleh yang punya sebatas mata kaki. Bagian pinggang pun diikat dengan tali akar yang panjang. Lelaki itu juga yang sudah menguruskan segalanya."Ikuti aku!" Perintah lelaki yang bersikeras tidak menyebutkan namanya. Hal itu juga membuat Jeta merasa kian geram. Untung saja dia sangat tampan dan waras, hingga Jeta sedikit abai sementara pada ancamannya yang meresahkan.Jeta kembali berjalan mengikuti dengan perasaan yang enggan. Lelaki gagah dan tegap dengan carrier begitu besar yang tentu berat, melangkah cepat dan ringan. Seolah tidak membawa beban apa-apa di tubuhnya!🙏🍎🙏Jeta dibawa menjelajah dan melintasi sepanjang Taman Nasional Kinabalu yang menakjubkan. Tidak terhitung lagi ragam hayati dan hewani yang mereka jumpai di sepanjang petualangan.Terbaca board petunjuk bahwa jalan turun yang sedang mereka lalui adalah jalur daki Kiau View yang indah. Rasanya tidak ingin pergi hanya untuk terus mengagumi isi taman yang sungguh fantastis dan beragam."Apa kita tidak akan tersesat?" Jeta mulai khawatir lagi saat dibawa pada jalan yang acak. Sangat banyak jalan setapak yang bercabang dari jalur Kiau View dan lelaki itu memilih salah satu."Tidak akan. Semua jalan kecil ini akan terhubung pada jalan aspal di luar Taman Kinabalu. Kamu akan disambut rambu-rambu saat menghabiskan jalan setapak. Semua jalan aspal juga akan menuju di satu pos jaga saja," terang lelaki itu dengan gamblang.Jeta melirik. Kian penasaran dengan lelaki tenang dan sudah memberi ancaman serius. Yang sebenarnya, lelaki banyak wawasan dan pengalaman di alam itu cukup menakjubkan."Istir
"Tidak. Ini saja, Kak. Sungguh," tolak Jeta setelah menentukan satu pilihan dengan cepat. Sepasang baju modis dengan kerudung dan satu set baju dalam pun telah dikemaskan. Meski butik itu kecil, pegawainya sangat cekatan."Baiklah. Terima kasih. Semua ini akan dilunasi oleh Mr. Batam sebentar lagi," jelas wanita itu sambil mengulur paper bag berisi baju yang Jeta ingin.Si gadis beorpamitan setelah mendapat pencerahan jika Mr. Batam adalah pengunjung tetap di penginapan yang datang dari Pulau Batam. Lelaki itu tidak pernah menyebut nama sesungguhnya dan hanya mengatakan dari mana asal datangnya.Baju sopan yang dipilih tanpa tahu berapa berbandrol, sebab wanita itu juga tidak mau menyebut, tersemat pas menutup tubuh Jeta yang berlekuk indah dan sempurna. Memandang lama diri di cermin, membuat bersyukur dengan satu kelebihan yang sudah Tuhan bekalkan sejak lahir. Merasa hanya perlu merawat dan menjaga sebaik mungkin. Tanpa perlu tambah permak atau memoles yang berlebihan. Apalagi denga
Jeta berusaha menepis tangan besar tetapi halus yang menangkup lengan tangannya. Sama sekali tidak melonggar yang justru terasa kian menarik. Seperti medan magnet dengan dua kutub beradu yang kuat. Atau justru Jeta yang sekadar setengah hati saja berontak?Resah sendiri andai luluh dan tak mampu menolak. Teringat dirinya yang tak kuasa marah saat lelaki terhormat itu mencium dengan lembut tiba-tiba. Saat merayakan ulang tahunnya di puncak sesaat sebelum musibah. Membuat Jeta merasa tercengang sekaligus melayang. Kini panik andai hal itu kembali terulang."Nona Jeta!" Suara panggilan lelaki dari belakang menahan Azrul dari menutup pintu. "Siapa?!" Azrul bertanya lirih dengan nada menghardik di sela riuh hujan. Tidak mengenali lelaki itu, bukan juga orang-orangnya dari Jawa. "Maaf, saya ingin menjemput Nona Jeta. Ini sudah saatnya meninggalkan negeri Sabah." Lelaki itu menjawab dengan khidmat dan tegas."Oh, iya, aku mengerti!" Jeta berseru menyela. Memanfaatkan peluang di depan mata.
Mobil telah sampai di sebuah rumah minimalis modern berpagar besi. Terang benderang yang menandakan bahwa penghuninya masih siaga. "Masuklah sendiri ke rumah itu," ucap Mr. Batam tanpa menoleh pada Zeta. Terlalu sibuk pada iphone canggih di tangannya. Dia telah dijemput lagi sang sopir dan kini kembali bergabung setelah sempat menghilang. Entah dari mana, Jeta enggan mencari tahu. "Ini rumah siapa?" Jeta tidak beranjak. Merasa enggan jika rumah itu kosong dan harus kesepian lagi di tempat asing. Perjalanan panjang setelah dari Kinabalu dan meninggalkan negeri Sabah, ternyata tidak sampai di tujuan begitu saja. Akan tetapi masih jauh dan lama yang beberapa kali Jeta berpindah penginapan di kepulauan Riau. Hampir tiga hari di perjalanan tanpa tujuan. Lelaki itu selalu pergi lama sendiri yang datang-datang langsung mengajak pergi untuk berpindah hotel dan kota. Apakah dia mafia?"Kamu lihat saja itu rumah siapa," ucapnya lagi dengan masih tanpa mengangkat wajah."Aku ikut denganmu s
Mama Fani telah membawa berbelanja keperluan pribadi anak perempuannya di Nagoya Mall, Batam. Terletak di Kota Nagoya yang merupakan pusat peradaban di Batam alias ibu kota dari pulau strategis internasional tersebut.Mama Fani tinggal di Batam sudah hampir satu tahun. Tidak ada seorang pun yang paham apa alasan utama kepergiannya ke Batam di usia yang menjelang setengah baya. Termasuk Jeta sendiri dan dua saudari kembarnya.Wanita itu meninggalkan kampung halaman setelah kedua putri kembar miliknya yang bernama Rara dan Riri menikah. Mama Fani sudah berstatus janda ditinggal mati sejak lama. Tidak pernah menikah lagi hingga kini. Hampir setahun belakangan, wanita itu tinggal di Batam dan belum pernah kembali ke Jawa. Bahkan saat kedua putri kembarnya sebentar lagi melahirkan. Juga meninggalakan Sandra Jelita, bungsu yang masih duduk di bangku mahasiswa, kala mulai memasuki semester akhir di kuliahnya. Hingga kini lulus gemilang sebagai sarjana kedokteran. Yang rencananya akan mengam
Si lelaki penawan hanya menatap tajam seperti biasa dari duduknya. Tidak ada lambaian tangan atau ajakan untuk singgah di meja mereka. Jeta coba tidak peduli dan membuang pandangan hanya kepada Mama Fani."Ternyata kamu pun makan malam di sini, Jeta?!" Mama Fani berdiri menyambut Jeta yang perlahan mendekat. "Mama juga di sini?" Jeta menyahut dengan raut sangat bingung. "Iya, Mama di sini. Jeta akan makan di mana? Andai Jeta bisa gabung …," ucap Mama Fani menggantung. Fani melirik pada lelaki tampan yang menatap tajam sedari tadi. Merasa segan, tahu diri jika lelaki itu tidak suka sejak awal mula kedatangannya. Tetapi lelaki itu juga yang katanya mengundang Fani melalui papanya. Ingin mengenalkan calon istri."Fani, apa ini anak perempuanmu yang baru lulus sarjana itu? Kamu tidak bilang padaku akan kedatangannya ke Batam?" Pria setengah baya yang duduk di sebelah lelaki tampan itu tampak heran dan terkejut. Menatap Jeta dengan hangat dan senyum."Oh, iya. Benar sekali, Mas. Dialah
Setelah kedua pasang mata saling berperang pandang, Faqih Rushqi tiba-tiba berdiri. Menyambar ponselnya dari meja. Lalu bergeser keluar dari kursi. "Permisi Nyonya Fani. Aku izin membawa Jeta sebentar ke lantai satu. Ada hal privasi yang ingin kubicarakan padanya."Faqih Rushqi berbicara menyela sambil memandang Mama Fani sekilas. Lalu mengalihkan tatapannya pada Jeta."Ayo calon istri, kita berbicara intim sejenak di lantai satu," ucap lelaki itu lembut namun tegas. Jeta tahu jika kelembutan bicaranya sekadar pura-pura. Risih sekali rasanya."Aku ingin tetap duduk di sini," ucap Jeta menolak. Sangat enggan berdua saja dengan lelaki itu, seperti sebuah trauma baginya. Juga merasa enggan andai membicarakan hal pernikahan di bawah ancaman."Baiklah, aku akan turun sendiri. Ada sesuatu yang harus aku share dan kerjakan di beberapa media sosial dan publik. Pasti akan lebih leluasa kulakukan jika tidak denganmu." Faqih berbicara datar tanpa nada. Namun, sembari menatap tajam pada Jeta.Le
Faqih kembali meminta Jeta untuk bekerja sama mengeksekusi makanan yang dipesan. Namun, Jeta masih terus enggan dan tidak memajukan punggung dari menyandar rapat di kursi. "Ini adalah pertama kali kamu makan di meja yang layak bersama denganku. Apakah saat makan denganku di Kinabalu dalam dump itu yang ingin kamu simpan dalam ingatan sepanjang masa?" Faqih berkata datar yang diakhiri dengan pertanyaan memuakkan bagi Jeta."Ucapanmu membuatku kembali merasa mual dan ingin muntah," ketus Jeta dengan bergidik. Ingat ulat sagu yang di ingatannya adalah belatung kaku di mangkuk hasil pemberian lelaki itu."Mual dan muntah … itu gejala hamil, kan? Apa berciuman di gunung dengan kekasihmu telah membuatmu bunting? Hebat sekali dia, apa sebelum mencium, dia pun berdoa dulu?" Faqih berbicara dengan nada sinis dan senyum masam yang menyindir."Jangan mencemooh, kamu tidak punya hak mencelanya di depanku!" Jeta berkata sengit. Rasanya geram dipermainkan secara teori oleh lelaki asing dan sejahat