Amanda terpaksa melawan keinginan orang tuanya yang ingin menjodohkan Amanda dengan pria yang usianya sama dengan Ayahnya sendiri. Amanda memilih pergi ketika dia dan Ayahnya berdebat. Untuk menenangkan dirinya, Amanda memilih duduk di pinggir pantai. Bukannya menenangkan diri, malah Amanda melihat seorang pria yang terapung di pinggir pantai. Amanda mendekati dan melihat kondisi pria itu.Amanda terkejut ketika pria itu penuh dengan luka. Saat ingin membantu, pria itu membuka mata dan berbisik sesuatu ketelinga Amanda.Apa yang dibisikkan oleh Pria itu?Apakah Amanda mau membantunya?
Lihat lebih banyak"Tidak Ayah! Aku tidak mau."
"Kamu tidak bisa menolak keinginanku, Amanda. Aku sudah berjanji kepada Tuan Pedro untuk menjadikanmu istrinya." "Ayah gila! Ayah tega menikahkan aku dengan pria yang usianya seumuran dengan Ayah. seharusnya dia menjadi Ayahku dibandingkan menjadi suamiku." Amanda terpaksa sedikit bicara keras karena dia tidak menyetujui permintaan Ayahnya yang ingin menikahkannya dengan seorang pemilik tanah kaya raya di desa itu. "Amanda! Dengarkan aku! Jika kamu tidak menikah dengannya sekarang maka Tuan Pedro akan menagih hutang kepada Ayah. Ayah sudah banyak meminjam uang kepadanya." Amanda terkejut mendengar alasan kenapa dia dipaksa menikah dengan pria tua saat ini juga. Amanda tidak menyangka jika Ayahnya tega menjualnya kepada Tuan tanah kaya raya hanya untuk membayar hutang. Air mata Amanda jatuh, dia merasa kalau pria yang dipanggilnya Ayah bukan lagi seperti Ayah yang dikenalnya. Amanda menatap pilu pada pria yang usianya menginjak lima puluh tahun. Semenjak kematian Ibunya, Tuan Chris banyak berubah. Dia pulang malam dan membiarkan Amanda sendirian dirumah, suka mabuk-mabukan, berjudi bahkan banyak warga yang mengatakan kalau Tuan Chris sering bersama wanita bayaran kelas teri. Amanda berusaha tidak mempercayai semua yang didengarnya dari orang lain. Tapi ketika Tuan Chris sendiri yang mengatakan langsung dihadapan Amanda maka kini Amanda merasa dia sudah tidak mengenal Ayahnya lagi. Rasa kecewa, marah dan juga kesal dengan Ayahnya membuat Amanda memilih pergi dari rumah itu. Amanda memilih meninggalkan Ayahnya yang terus memaksa Amanda untuk menikah dengan Tuan Pedro minggu depan. "Amanda! Kamu mau kemana? Pernikahanmu dengan Tuan Pedro akan dilakukan minggu depan. Ayah sudah berjanji kepadanya." Tuan Chris menyampaikannya sambil berteriak karena Amanda terus berjalan dengan hati terluka. Amanda meninggalkan rumahnya sambil meneteskan air mata. Sepanjang jalan semua orang menatap Amanda dengan air mata yang terus jatuh. Ocean Beach adalah tujuan Amanda ketika dia merasakan hatinya bersedih atau merindukan Ibunya. Nyonya Beatrice yang mengenalkan Amanda dengan pantai. Kini ketika hatinya terluka dengan sikap Ayahnya, Amanda ingin duduk dipantai itu. Mengadu pada ombak dan juga bercerita dengan angin yang berhembus. Air mata yang tidak kunjung berhenti membuat Amanda kembali terisak menangis. "Ibu! Kenapa Ibu terlalu cepat meninggalkanku? Aku sendirian! Aku butuh dirimu." Hiks! Hiks! "Lihat apa yang dilakukan Ayah kepadaku? Dia menjualku pada pria tua yang seharusnya aku panggil Ayah. Dia menjualku demi uang yang telah dia terima. Aku membencinya, Bu." Amanda kembali menangis dengan memeluk lututnya. Dia tidak memiliki keluarga selain Ayahnya. Hanya disini dia merasa bisa berteman dengan angin pantai dan suara ombak. "Aku ingin lari meninggalkannya, Bu. Tapi aku sudah berjanji kepadamu untuk menjaganya sampai tua. Apa yang harus aku lakukan, Bu?" Amanda terus bicara sendiri dengan suara ombak yang ikut menghempaskan air laut ke batu karang dengan keras, seperti bagaimana perasaan Amanda saat ini. Duduk sendiri di pantai sambil meluapkan rasa amarahnya membuat emosi Amanda perlahan menghilang. Amanda menghapus sisa air matanya dengan tangan. Dia menatap lurus ke depan melihat hamparan laut yang luas. "Apakah aku harus mengikuti keinginan Ayah untuk bisa membuatnya bahagia? Tapi apa aku sanggup melakukannya?" Perasaan bergejolak itulah yang membuat Amanda dilema. Pikirannya kacau serta tidak tahu harus melangkah kemana. Ketika Amanda memalingkan wajah untuk menghilangkan kebingungan, Amanda melihat sesuatu di tepi pantai dekat batu karang yang cukup besar. "Apa itu?" Amanda berdiri dan melangkahkan kakinya mendekati sesuatu yang menarik perhatiannya. Semakin Amanda mendekat, Amanda semakin terkejut dengan apa yang dilihatnya. "Mayat?" ucapnya kaget ketika dia melihat sebuah tubuh pria yang ada di dekat batu karang. Amanda semakin mendekat dan melihat tubuh yang terapung itu. Amanda melihat tubuh pria dengan luka dibagian wajah, perut, bahkan celana yang digunakannya juga robek. "Apa yang harus aku lakukan? Apa pria ini masih hidup atau sudah mati?" Amanda terlihat bingung, dia tidak mau dituduh sebagai pembunuh. Amanda melihat kesekitarnya untuk meminta bantuan tapi tidak ada satupun orang dipantai saat ini. "Aku harus memeriksa nafasnya." Amanda mendekatkan telinganya ke arah hidung pria itu, ketika telinga Amanda berada dalam jarak yang dekat dengan hidungnya, pria itu perlahan membuka mata, "Help!" Amanda kaget karena merasa mendengar sesuatu, padahal niat Amanda untuk mendengar nafas pria yang ditemukannya. "Apa dia baru saja bicara?" Amanda sampai sedikit menjauhinya karena terkejut. Mata pria itu tertutup kembali, Amanda bingung apakah yang didengarnya merupaja suara pria ini atau bukan. "Jika dia sudah mati, lalu suara tadi....." Pikiran Amanda sudah berkelana kedunia lain. Dia mengira jika suara tadi adalah suara pria yang sudah tewas menjadi hantu. Amanda ingin berdiri tapi dia merasakan sesuatu yang menahan kakinya. Ketika Amanda melihatnya kebawah, dia terkejut ketika tangan pria itu memegang pergelangan kakinya. "Hantu!" teriak Amanda yang ketakutan. "Help!" ucap pria itu pelan. Amanda yang masih panik tidak mendengar apa yang dikatakannya. "Help!" pria itu kembali meminta bantuan. Amanda mulai mendengar apa yang dikatakannya dan menatap ke arah bawah dimana pria itu masih terbaring lemah dengan kondisi basah, penuh luka dan juga wajahnya sangat pucat. "Kamu masih hidup?" tanya polos Amanda padanya. Amanda mulai jongkok bahkan berlutut dihadap pria itu. Amanda ikut basah ketika dia melihat pria yang ditemukannya. "Apa yang baru saja kamu katakan? Bisa diulangi?" "Help!" ucapnya ketika Amanda mendekatkan telinga ke arah mulut pria itu. "Kamu meminta bantuanku? Kamu masih hidup?" pria itu mengedipkan matanya untuk menjawab Amanda. "Tapi aku tidak mengenalmu. Aku tidak mau membawa pria asing ke dalam rumahku, lagian aku takut dituduh yang membunuhmu." Amanda berusaha menolak karena dia tidak mau berurusan dengan pria ini. "Bantu aku! Aku mohon!" Melihat pria itu sudah memohon kepadanya, Amanda tidak tega. Dia menatap wajah pria itu yang semakin lemah dan kondisinya cukup memprihatinkan. "Baiklah! Aku akan membantumu. Aku akan membantumu berdiri, bisakah kamu berjalan menggunakan kakimu?" Pria itu kembali mengedipkan matanya. Amanda yang melihatnya langsung mencoba merangkul bahu dan menarik tubuhnya untuk bisa berdiri. "Badanmu berat sekali. Tubuhku yang mungil ini semakin kecil jika ditekan hanya menggunakan bahumu yang kekar." Amanda terus membantunya berdiri hingga dia bisa membawanya ke pinggir pantai. "Duduklah sebentar disini. Aku akan mengambil minuman atau makanan untukmu agar kamu memiliki tenaga." Pria itu tidak menjawabnya sama sekali selain menahan rasa sakit ketika luka yang didapatkannya mengenai air garam pada laut. Amanda berlari membeli minuman dan makanan yang cukup jauh dari pantai. Dia kembali membawa sebuab gerobak kayu untuk mengangkat barang. "Ini makanlah sedikit agar kamu tidak terlalu lemah, dan ini air putih. Aku tahu kamu pasti haus dan minum air laut tidak terlalu enak." Amanda membukakan botol minum dan membantunya minum. Amanda juga menyuapi pria itu memasukkan sebuah potongan roti ke dalam mulutnya. Setelah menghabiskan setengah roti yang dibeli Amanda, mereka segera berjalan. Pria itu duduk dalam gerobak yang dibawa Amanda. "Aaaaaaa!" Amanda mendorong gerobak itu sekuat tenaganya di atas pasir pantai menuju daratan. Pria itu melihat dengan jelas bagaimana Amanda dengan tulus dan bersusah payah mendorong gerobak dengan tubuhnya yang berat. "Kamu tinggal dimana agar aku bisa mengantarkanmu?" "Aku tidak tahu!" "Apa maksudmu tidak tahu? Apa kamu tidak tahu sedang berada dimana saat ini?" "Memangnya kita ada dimana?" Pria itu malah berbalik bertanya kepada Amanda. Amanda sampai mengerutkan keningnya karena bingung dengan pertanyaan yang diajukan malah dibalas dengan balik bertanya. "Siapa namamu?" tanya Amanda yang curiga dengan pria ini. Pria itu menggelengkan kepalanya. "Kamu tidak tahu siapa namamu? Apa kepalamu terbentur batu karang dengan keras sampai melupakan nama sendiri?" Amanda mendekat dan melihat kepala pria itu untuk memastikan tidak ada luka yang parah dibagian kepalanya. "Lalu aku harus membawamu kemana? Aku tidak bisa membawamu pulang kerumah. Masalahku saja belum selesai ditambah lagi dengan membawamu pulang." Pria itu tetap dia, dia menatap Amanda yang terlihat kebingungan. "Bawa aku menjauh dari pantai ini." "Apa? Bawa kamu menjauh dari pantai ini? Memangnya apa yang terjadi? Kenapa kamu sampai ada di pantai ini?" "Aku tidak tahu Nona. Tapi aku mohon, bawa aku segera menjauh dari pantai ini. Kamu bisa menempatkan aku digudang atau rumah kosong, aku tidak masalah soal itu yang pasti segera bawa aku menjauh dari pantai ini." "Baiklah!" Jawab Amanda yang masih bingung kenapa pria itu sangat ingin segera menjauhi pantai. Saat mereka pergi meninggalkan pantai beberapa mobil datang ke area itu. "Cepat cari sepanjang pantai ini. Temukan dia segera!" Ucap salah seorang berpakaian serba hitam dan rambut yang klimis.Mobil hitam dengan kaca gelap melaju kencang di jalanan kota, mengoyak hening malam. Di dalamnya, Gabriel mengepalkan tinjunya kuat-kuat, urat-urat di dahinya menonjol, menandakan betapa marahnya dia. Setiap kali pikirannya melayang pada serangan yang baru saja dia alami, jantungnya berdegup lebih keras. Sopirnya melirik sekilas melalui kaca spion, menangkap bayangan wajah Gabriel yang terlihat tegang. Di kursi belakang, dua orang anak buahnya duduk dengan waspada, sesekali memeriksa keluar jendela, memastikan tidak ada yang mencurigakan mengikuti mereka. "Amanda... pastikan dia aman," suara Gabriel terdengar parau, mencoba menenangkan diri tapi gagal. Dia mengeluarkan ponselnya, jari-jarinya gemetar saat mengetik nomor Amanda. Tapi, layar ponsel menunjukkan bahwa ponsel Amanda tidak aktif. Hatinya semakin resah. "Boss, saya sudah perintahkan tim untuk mengawasi apartemen Miss Amanda. Mereka akan melaporkan segera jika ada yang tidak beres," kata salah satu anak buahnya, mencoba
Gabriel memarkir mobilnya di depan apartemen mewah yang menjadi tempat tinggal baru Amanda. Ia membantu Amanda membawa barang-barang hadiah yang diberikan tadi malam ke lobi gedung tersebut. Amanda, dengan senyum yang tak pernah pudar, berterima kasih kepada Gabriel atas semua kebaikan yang telah diberikan kepadanya, termasuk makan malam yang hangat dan penuh kejutan."Dengan senang hati, Amanda. Semoga kamu suka dengan semua ini," ujar Gabriel dengan senyum simpul, menyembunyikan rahasia besar di balik semua 'fasilitas kantor' yang sebenarnya hanya untuk Amanda.Mereka berdua melangkah masuk ke dalam lift, dan Amanda terus mengagumi detail apartemen baru yang akan menjadi rumahnya. Cahaya lampu yang hangat dan desain interior yang elegan membuatnya semakin takjub. Gabriel hanya tersenyum melihat reaksi Amanda, tahu bahwa semua ini adalah bagian dari rencananya untuk lebih dekat dengan wanita itu."Tidak sabar untuk melihat reaksi kamu saat memakai kalung yang sudah aku berikan tadi,"
Gabriel menatap Amanda dengan pandangan yang mengungkapkan rasa terima kasih yang mendalam. "Aku harus menyembunyikan identitasku, Amanda. Jika tidak, musuh-musuhku akan dengan mudah menemukanku di desa ini," ungkapnya dengan nada serius. Amanda mengerutkan keningnya, rasa tidak percaya terpancar dari matanya. "Aku tidak akan pernah memberitahu mereka, Gabriel! Aku tidak akan melakukannya meskipun kamu terus menyembunyikan hal ini dariku," protesnya, suara penuh emosi. Gabriel tersenyum lembut, matanya berkilauan penuh kelembutan. "Aku tahu, Amanda. Aku tahu kamu bukan tipe wanita yang akan mengkhianati kepercayaan seseorang," katanya, suaranya penuh keyakinan. "Itulah mengapa aku memilih untuk percaya dan meminta bantuanmu." Amanda tampak sedikit lebih tenang namun masih penasaran. "Lalu, siapa yang ingin menemukanmu? Siapa musuhmu itu?" tanyanya, rasa ingin tahu jelas terlihat di wajahnya. Gabriel menghela napas, matanya sejenak terlihat gelap sebelum dia menjawab. "Itu cerit
Gabriel membuka pintu penthouse mewahnya dengan senyum lebar di wajahnya. "Selamat datang kembali, Amanda," ucapnya, sambil memberikan isyarat agar Amanda masuk ke dalam. Ruangan itu tampak terang dengan dekorasi modern yang elegan, sama seperti yang pertama kali Amanda lihat saat Nathan memperkenalkannya beberapa waktu lalu.Amanda melangkah masuk, matahari sore menyinari ruang tamu melalui jendela besar yang menawarkan pemandangan kota yang memukau. Gabriel mempersilakan Amanda untuk duduk di sofa yang empuk. "Aku akan memasak sesuatu untukmu," kata Gabriel sambil berjalan ke dapur terbuka yang terletak tak jauh dari ruang tamu.Amanda, yang masih terkejut dengan keahlian memasak Gabriel, bertanya dengan nada penasaran, "Kamu bisa memasak, Tuan Gabriel?" Dia mengingat Gabriel sebagai pria yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, jarang memiliki waktu untuk hal-hal seperti memasak.Gabriel tersenyum sambil mengambil beberapa bahan dari kulkas. "Tenang saja, Amanda. Aku memang bukan kok
Pukul lima tepat, Gabriel keluar dari ruangannya dengan langkah pasti. Cahaya sore yang mulai redup menyorot wajahnya yang tampak serius. Amanda masih sibuk dengan tumpukan berkas di meja kerja sementara yang telah ia gunakan selama beberapa minggu terakhir. Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Gabriel memanggil sekretarisnya dengan suara yang cukup keras sehingga membuat Amanda dan beberapa rekan kerja lainnya menoleh ke arahnya."Saya ingin mulai besok, meja kerja Amanda dan Nathan diletakkan di dalam ruang saya," ucap Gabriel dengan tegas. "Cukup satu meja besar saja untuk mereka berdua."Amanda dan Nathan saling pandang, keduanya tampak terkejut dan bingung dengan keputusan tiba-tiba dari Gabriel. Amanda merasa jantungnya berdegup kencang, bingung harus merespon seperti apa. Nathan, yang biasanya tenang, kali ini terlihat mengernyitkan dahi, jelas tidak senang dengan perubahan mendadak ini.Gabriel kemudian mendekati Amanda, matanya menatap langsung ke dalam mata Amanda yang masih terbuka le
"Samuelllll" teriak Gabriel yang melihat pelipis mata Amanda berdarah.Wajah Gabriel memerah, urat-uratnya menonjol seiring emosi yang memuncak. Dengan langkah yang mantap dan penuh amarah, ia mendekati Samuel yang berdiri dengan tampang tak berdosa. Tanpa peringatan, Gabriel melayangkan pukulan keras ke wajah Samuel. Pria itu tersentak, terlempar ke lantai dengan mulut berdarah.Amanda, dengan mata yang sudah berkaca-kaca, berlari mendekati Gabriel. Ia memegang lengan Gabriel yang masih gemetar karena marah, "Jon, jangan! Tolong, hentikan!" suaranya parau, memohon.Gabriel, dengan nafas yang masih tersengal, menatap wajah Amanda. Matanya yang tajam menelisik, mencari alasan di balik permohonan Amanda. "Mengapa kau memohon untuknya, Amanda? Apa yang membuatmu menaruh belas kasihan pada pria yang telah menyakitimu?" tanyanya, suara berat penuh kekecewaan.Amanda menggigit bibir, matanya semakin berkaca-kaca, "Aku hanya... aku tidak ingin kau menjadi pembunuh, Jon. Itu bukan dirimu," uc
Amanda berdiri tegap di ruang tunggu besar yang berhiaskan mahkota kristal di langit-langitnya. Hari ini, dia akan bertemu dengan Gabriel Wilton, bos yang belum pernah dia temui sejak dipekerjakan sebagai asisten pribadi. Rumor yang beredar mengatakan bahwa Gabriel adalah sosok yang keras kepala dan sering kali hilang tanpa kabar ketika marah.Di sisi lain, Nathan, teman sekerja Amanda, tampak gelisah memeriksa jam tangannya berkali-kali. Dia tahu Gabriel biasa menenangkan diri di villa keluarga Wilton ketika sesuatu mengusik emosinya. Nathan berharap bahwa minggu ini Gabriel akan kembali tepat waktu karena hari ini adalah hari penting; hari membaca isi surat wasiat kakek Wilton.Tepat pukul sepuluh pagi, langkah berat terdengar memasuki ruangan. Semua mata tertuju pada pintu masuk. Gabriel, dengan rambutnya yang rapi serta pakaian setelan jas mahal dan pas ditubuhnya membuat penampilan Gabriel sangat memukau. Dia mengenakan setelan jas hitam yang sempurna, namun ada sedikit kerutan d
"Ternyata benar, engkau! Mengapa? Mengapa harus kakekku?" desak Gabriel, suaranya bergetar namun penuh kekuatan.Gabriel mendatangi sebuah rumah yang sudah lama kosong. Ternyata itu adalah rumah ketika Kakek Mai muda sebelum menjadi seorang pria kaya raya. Kakek Mai berteman dengan Kakek Wilton saat mereka sama-sama merintih kesuksesan. Hal ini bisa terlihat dari foto kebersamaan mereka yang masih tersimpan didalam rumah itu.Tidak ada satupun orang yang bisa ditemui Gabriel. Bahkan Gabriel tidak tahu dimana Kakek Mai tinggal. Selama ini Gabriel hanya tahu jika Kakek Mai adalah keturunan China yang suka hidup berpindah-pindah. Walaupun perusahaannya ada di Las Vegas tapi Kakek Mai tidak pernah ada ditempat."Aku harus menemukanmu, Kakek Mai. Aku harus tahu kenapa kamu sampai tega membunuh sahabatmu sendiri." Gabriel menatap foto Kakek Wilton yang memeluk Kakek Mai.Gabriel menjejakkan kaki keluar dari bangunan tua yang kosong, dengan foto yang telah lusuh di tangannya; foto itu menam
"Baiklah Amanda. Aku rasa sudah semuanya aku beritahu kepadamu. Lusa Tuan Gabriel akan masuk ke kantor dan bertemu denganmu.""Baik Tuan Nathan. Terima kasih sudah mengajarkan dan memberitahuku tugas apa saja yang harus aku lakukan. Kalau begitu, aku permisi pulang Tuan.""Ya!"Saat Amanda meninggalkan ruang tamu penthouse, Gabriel mengirim pesan kelada Nathan agar Amanda pulang diantarkan oleh supir pribadi Gabriel."Amanda! Amanda." Panggil Nathan kepada Amanda yang sudah ada didepan lift."Anda memanggilku, Tuan?""Ya. Kamu pulang diantar oleh supir Tuan Gabriel. Dia sudah menunggundi lobi bawah.""Terima kasih banyak Tuan Nathan."Amanda segera melangkah masuk ke dalam lift yang sudah terbuka, mengayunkan tas tangannya sembari melambaikan tangan pada Nathan yang masih berdiri di luar. Nathan yang bingung dengan kejadian tersebut, menoleh dan berbalik masuk ke dalam penthouse, berniat bertanya kepada Gabriel tentang situasi yang terjadi. Namun, begitu ia memasuki ruang, dia terkeju
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen