Amanda terpaksa melawan keinginan orang tuanya yang ingin menjodohkan Amanda dengan pria yang usianya sama dengan Ayahnya sendiri. Amanda memilih pergi ketika dia dan Ayahnya berdebat. Untuk menenangkan dirinya, Amanda memilih duduk di pinggir pantai. Bukannya menenangkan diri, malah Amanda melihat seorang pria yang terapung di pinggir pantai. Amanda mendekati dan melihat kondisi pria itu.Amanda terkejut ketika pria itu penuh dengan luka. Saat ingin membantu, pria itu membuka mata dan berbisik sesuatu ketelinga Amanda.Apa yang dibisikkan oleh Pria itu?Apakah Amanda mau membantunya?
View MoreMobil hitam dengan kaca gelap melaju kencang di jalanan kota, mengoyak hening malam. Di dalamnya, Gabriel mengepalkan tinjunya kuat-kuat, urat-urat di dahinya menonjol, menandakan betapa marahnya dia. Setiap kali pikirannya melayang pada serangan yang baru saja dia alami, jantungnya berdegup lebih keras. Sopirnya melirik sekilas melalui kaca spion, menangkap bayangan wajah Gabriel yang terlihat tegang. Di kursi belakang, dua orang anak buahnya duduk dengan waspada, sesekali memeriksa keluar jendela, memastikan tidak ada yang mencurigakan mengikuti mereka. "Amanda... pastikan dia aman," suara Gabriel terdengar parau, mencoba menenangkan diri tapi gagal. Dia mengeluarkan ponselnya, jari-jarinya gemetar saat mengetik nomor Amanda. Tapi, layar ponsel menunjukkan bahwa ponsel Amanda tidak aktif. Hatinya semakin resah. "Boss, saya sudah perintahkan tim untuk mengawasi apartemen Miss Amanda. Mereka akan melaporkan segera jika ada yang tidak beres," kata salah satu anak buahnya, mencoba
Gabriel memarkir mobilnya di depan apartemen mewah yang menjadi tempat tinggal baru Amanda. Ia membantu Amanda membawa barang-barang hadiah yang diberikan tadi malam ke lobi gedung tersebut. Amanda, dengan senyum yang tak pernah pudar, berterima kasih kepada Gabriel atas semua kebaikan yang telah diberikan kepadanya, termasuk makan malam yang hangat dan penuh kejutan."Dengan senang hati, Amanda. Semoga kamu suka dengan semua ini," ujar Gabriel dengan senyum simpul, menyembunyikan rahasia besar di balik semua 'fasilitas kantor' yang sebenarnya hanya untuk Amanda.Mereka berdua melangkah masuk ke dalam lift, dan Amanda terus mengagumi detail apartemen baru yang akan menjadi rumahnya. Cahaya lampu yang hangat dan desain interior yang elegan membuatnya semakin takjub. Gabriel hanya tersenyum melihat reaksi Amanda, tahu bahwa semua ini adalah bagian dari rencananya untuk lebih dekat dengan wanita itu."Tidak sabar untuk melihat reaksi kamu saat memakai kalung yang sudah aku berikan tadi,"
Gabriel menatap Amanda dengan pandangan yang mengungkapkan rasa terima kasih yang mendalam. "Aku harus menyembunyikan identitasku, Amanda. Jika tidak, musuh-musuhku akan dengan mudah menemukanku di desa ini," ungkapnya dengan nada serius. Amanda mengerutkan keningnya, rasa tidak percaya terpancar dari matanya. "Aku tidak akan pernah memberitahu mereka, Gabriel! Aku tidak akan melakukannya meskipun kamu terus menyembunyikan hal ini dariku," protesnya, suara penuh emosi. Gabriel tersenyum lembut, matanya berkilauan penuh kelembutan. "Aku tahu, Amanda. Aku tahu kamu bukan tipe wanita yang akan mengkhianati kepercayaan seseorang," katanya, suaranya penuh keyakinan. "Itulah mengapa aku memilih untuk percaya dan meminta bantuanmu." Amanda tampak sedikit lebih tenang namun masih penasaran. "Lalu, siapa yang ingin menemukanmu? Siapa musuhmu itu?" tanyanya, rasa ingin tahu jelas terlihat di wajahnya. Gabriel menghela napas, matanya sejenak terlihat gelap sebelum dia menjawab. "Itu cerit
Gabriel membuka pintu penthouse mewahnya dengan senyum lebar di wajahnya. "Selamat datang kembali, Amanda," ucapnya, sambil memberikan isyarat agar Amanda masuk ke dalam. Ruangan itu tampak terang dengan dekorasi modern yang elegan, sama seperti yang pertama kali Amanda lihat saat Nathan memperkenalkannya beberapa waktu lalu.Amanda melangkah masuk, matahari sore menyinari ruang tamu melalui jendela besar yang menawarkan pemandangan kota yang memukau. Gabriel mempersilakan Amanda untuk duduk di sofa yang empuk. "Aku akan memasak sesuatu untukmu," kata Gabriel sambil berjalan ke dapur terbuka yang terletak tak jauh dari ruang tamu.Amanda, yang masih terkejut dengan keahlian memasak Gabriel, bertanya dengan nada penasaran, "Kamu bisa memasak, Tuan Gabriel?" Dia mengingat Gabriel sebagai pria yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, jarang memiliki waktu untuk hal-hal seperti memasak.Gabriel tersenyum sambil mengambil beberapa bahan dari kulkas. "Tenang saja, Amanda. Aku memang bukan kok
Pukul lima tepat, Gabriel keluar dari ruangannya dengan langkah pasti. Cahaya sore yang mulai redup menyorot wajahnya yang tampak serius. Amanda masih sibuk dengan tumpukan berkas di meja kerja sementara yang telah ia gunakan selama beberapa minggu terakhir. Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Gabriel memanggil sekretarisnya dengan suara yang cukup keras sehingga membuat Amanda dan beberapa rekan kerja lainnya menoleh ke arahnya."Saya ingin mulai besok, meja kerja Amanda dan Nathan diletakkan di dalam ruang saya," ucap Gabriel dengan tegas. "Cukup satu meja besar saja untuk mereka berdua."Amanda dan Nathan saling pandang, keduanya tampak terkejut dan bingung dengan keputusan tiba-tiba dari Gabriel. Amanda merasa jantungnya berdegup kencang, bingung harus merespon seperti apa. Nathan, yang biasanya tenang, kali ini terlihat mengernyitkan dahi, jelas tidak senang dengan perubahan mendadak ini.Gabriel kemudian mendekati Amanda, matanya menatap langsung ke dalam mata Amanda yang masih terbuka le
"Samuelllll" teriak Gabriel yang melihat pelipis mata Amanda berdarah.Wajah Gabriel memerah, urat-uratnya menonjol seiring emosi yang memuncak. Dengan langkah yang mantap dan penuh amarah, ia mendekati Samuel yang berdiri dengan tampang tak berdosa. Tanpa peringatan, Gabriel melayangkan pukulan keras ke wajah Samuel. Pria itu tersentak, terlempar ke lantai dengan mulut berdarah.Amanda, dengan mata yang sudah berkaca-kaca, berlari mendekati Gabriel. Ia memegang lengan Gabriel yang masih gemetar karena marah, "Jon, jangan! Tolong, hentikan!" suaranya parau, memohon.Gabriel, dengan nafas yang masih tersengal, menatap wajah Amanda. Matanya yang tajam menelisik, mencari alasan di balik permohonan Amanda. "Mengapa kau memohon untuknya, Amanda? Apa yang membuatmu menaruh belas kasihan pada pria yang telah menyakitimu?" tanyanya, suara berat penuh kekecewaan.Amanda menggigit bibir, matanya semakin berkaca-kaca, "Aku hanya... aku tidak ingin kau menjadi pembunuh, Jon. Itu bukan dirimu," uc
Amanda berdiri tegap di ruang tunggu besar yang berhiaskan mahkota kristal di langit-langitnya. Hari ini, dia akan bertemu dengan Gabriel Wilton, bos yang belum pernah dia temui sejak dipekerjakan sebagai asisten pribadi. Rumor yang beredar mengatakan bahwa Gabriel adalah sosok yang keras kepala dan sering kali hilang tanpa kabar ketika marah.Di sisi lain, Nathan, teman sekerja Amanda, tampak gelisah memeriksa jam tangannya berkali-kali. Dia tahu Gabriel biasa menenangkan diri di villa keluarga Wilton ketika sesuatu mengusik emosinya. Nathan berharap bahwa minggu ini Gabriel akan kembali tepat waktu karena hari ini adalah hari penting; hari membaca isi surat wasiat kakek Wilton.Tepat pukul sepuluh pagi, langkah berat terdengar memasuki ruangan. Semua mata tertuju pada pintu masuk. Gabriel, dengan rambutnya yang rapi serta pakaian setelan jas mahal dan pas ditubuhnya membuat penampilan Gabriel sangat memukau. Dia mengenakan setelan jas hitam yang sempurna, namun ada sedikit kerutan d
"Ternyata benar, engkau! Mengapa? Mengapa harus kakekku?" desak Gabriel, suaranya bergetar namun penuh kekuatan.Gabriel mendatangi sebuah rumah yang sudah lama kosong. Ternyata itu adalah rumah ketika Kakek Mai muda sebelum menjadi seorang pria kaya raya. Kakek Mai berteman dengan Kakek Wilton saat mereka sama-sama merintih kesuksesan. Hal ini bisa terlihat dari foto kebersamaan mereka yang masih tersimpan didalam rumah itu.Tidak ada satupun orang yang bisa ditemui Gabriel. Bahkan Gabriel tidak tahu dimana Kakek Mai tinggal. Selama ini Gabriel hanya tahu jika Kakek Mai adalah keturunan China yang suka hidup berpindah-pindah. Walaupun perusahaannya ada di Las Vegas tapi Kakek Mai tidak pernah ada ditempat."Aku harus menemukanmu, Kakek Mai. Aku harus tahu kenapa kamu sampai tega membunuh sahabatmu sendiri." Gabriel menatap foto Kakek Wilton yang memeluk Kakek Mai.Gabriel menjejakkan kaki keluar dari bangunan tua yang kosong, dengan foto yang telah lusuh di tangannya; foto itu menam
"Baiklah Amanda. Aku rasa sudah semuanya aku beritahu kepadamu. Lusa Tuan Gabriel akan masuk ke kantor dan bertemu denganmu.""Baik Tuan Nathan. Terima kasih sudah mengajarkan dan memberitahuku tugas apa saja yang harus aku lakukan. Kalau begitu, aku permisi pulang Tuan.""Ya!"Saat Amanda meninggalkan ruang tamu penthouse, Gabriel mengirim pesan kelada Nathan agar Amanda pulang diantarkan oleh supir pribadi Gabriel."Amanda! Amanda." Panggil Nathan kepada Amanda yang sudah ada didepan lift."Anda memanggilku, Tuan?""Ya. Kamu pulang diantar oleh supir Tuan Gabriel. Dia sudah menunggundi lobi bawah.""Terima kasih banyak Tuan Nathan."Amanda segera melangkah masuk ke dalam lift yang sudah terbuka, mengayunkan tas tangannya sembari melambaikan tangan pada Nathan yang masih berdiri di luar. Nathan yang bingung dengan kejadian tersebut, menoleh dan berbalik masuk ke dalam penthouse, berniat bertanya kepada Gabriel tentang situasi yang terjadi. Namun, begitu ia memasuki ruang, dia terkeju
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments