Jon mencari petunjuk untuk mengetahui dimana Amanda saat ini. Dia berjalan di sekitar sepeda yang di temukannya. Tapi Jon melihat beberapa orang yang dikenalnya berkeliaran mencari keberadaannya disana.
Jon bersembunyi sebelum mereka mengetahui kalau Jon ada didesa itu. "Aku harus sembunyi. Aku tidak bisa tertangkap oleh mereka, aku harus mencari Amanda lebih dulu." Jon menyelinap melarikan diri ke arah berlawanan. Dia mencari petunjuk dimulai dari rumah Amanda. Jon tahu kalau desa itu sangat kecil sehingga akan mudah menemukan dimana rumah Amanda. "Nyonya, maaf boleh aku bertanya?" "Iya." "Apakah Nyonya tahu di mana rumah Amanda?" "Amanda? Amanda yang mana?" Jon kebingungan karena dia tidak tahu nama panjang Amanda. "Dia berusia sekitar 22 atau 23 tahun, rambutnya panjang warna coklat terus dia putih. Oh satu lagi, dia hanya punya seorang Ayah." "Oh Amanda itu. Rumahnya ada didepan sana. Nanti kamu lurus saja hingga pertigaan jalan lalu belok kanan. Rumahnya sebelah kanan warna putih." "Baik Nyonya, terima kasih." Jon segera berjalan menuju rumah Amanda untuk mencari tahu apakah Amanda ada dirumah atau menemukan petunjuk lainnya. Dengan berjalan menunduk, Jon terus melirik ke kiri dan kekanan memastikan kalau tidak ada yang memperhatikannya. Jon sampai di rumah yang dikatakan Nyonya tadi. Saat Jon tiba, dia melihat Ayah Amanda sedang bicara dengan seseorang. "Apa ini?" "Ambillah. Tuan Pedro mengirimnya untuk mempercepat pernikahan putrimu dengan Tuan. Besok siang pernikahan antara putrimu dan Tuan Pedro segera dilakukan." "Besok?" Ayah Amanda tercengang karena begitu cepat pernikahannya. "Tapi aku belum bertemu dengan putriku untuk mengatakannya. Tapi tenang saja, aku akan mencarinya dan mengurungnya agar tidak kabur lagi." Ayah Amanda langsung mengambil tas berisikan uang untuk menyiapkan pernikahan putrinya dengan Pedro. "Tidak perlu mencarinya. Putrimu sudah aman dan dia besok tidak akan kabur lagi." "Aman?" Ayah Amanda menatap ke arah anak buah Pedro. Melihat tatapan mereka, Ayah Amanda tahu jika putrinya kini bersama Pedro. "Baiklah! Aku percayakan putriku kepada Tuan Pedro. Besok pernikahannya akan segera dilakukan." Anak buah Pedro meninggalkan rumah Amanda setelah memberikan uang yang dijanjikan kepada Ayah Amanda jika pernikahan merek akan dilakukan. Mendengar jelas apa yang dikatakan oleh Ayah Amanda dan anak buah Pedro, Jon sangat yakin jika wanita itu ada bersama Pedro. Jon mengikutinya menggunakan sepeda Amanda yang dibawanya. Mengayuh sepeda dengan kencang agar tidak kehilangan jejak untuk mengikuti mobil anak buah Pedro. Jon akhirnya melihat kemana mereka berhenti, Jon menyembunyikan sepeda dan mengintip apa yang ada didalam rumah itu. "Cantik! Jangan melawan lagi, aku sudah tidak tahan ingin membuka lebar kakimu dan menjil4ti isi didalam balik celanamu itu." "Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu menyentuhku, tua bangka. Ingat usiamu! Kamu pantasnya menjadi Ayahku bukan suamiku." Hahahaha! "Untuk sebuah kepuasan tidak mengenal umur, cantik. Jadi pasrahkan saja tubuhmu untuk aku nikmati." Amanda terus berontak bahkan berteriak keras. Jon yang ada diluar bisa mendengar teriakan itu. "Amanda!" Kaki Jon melangkah ingin berlari ke arah Amanda tapi segera dihentikannya setelah melihat banyaknya anak buah Pedro yang berjaga. "Aku akan mencari cara lain untuk menyelamatkan Amanda." Jon mencari sisi lain rumah itu yang bisa dia masuki. Jon berjalan tanpa menyimbulkan suara untuk mencari tahu ada berapa pengawal yang menjaga rumah dimana Amanda disekap. Jon bangkan sampai membungkukkan badannya ketika seorang anak buah Pedro melihat ke arah Jon. Jon kembali berjalan hingga dia melihat seorang anak buah Pedro. Berjalan pelan dari arah belakang dan.. Krek! Jon berhasil mematahkan lehernya hingga tewas. Jon menyeretnya dan menyembunyikan tubuh pria itu agar tidak ketahuan. Jon mengambil senjata, topi bahkan mengambil ponsel milik pria itu. Jon terus melangkah ke arah belakang rumah dan melihat ada dua orang disana. Jon mencari akal untuk busa mendekati dan melukainya. Jon melihat sebuah kaleng bekas yang bisa digunakannya untuk menarik perhatian salah satu musuh yang berjaga disana. Jon melemparnya sehingga menimbulkan bunyi yang cukup menarik perhatian. "Apa itu?" "Biar aku yang melihatnya. Kamu tetap disini." Salah satu anak buah Pedri berjalan ke arah bunyi tadi. Saat itu juga Jon keluar dan memukul kepala pria yang berjaga di pintu belakang rumah. Jon kembali menyeretnya tapi rekan pria itu kembali dengan cepat. "Hei!" Jon melepaskan musuh yang ingin di sembunyikannya dan berbalik arah karena sudah ketahuan. "Angkat tanganmu!" Jon mengikuti perkataan pria itu, dia mengangkat kedua tangannya sambil berbalik badan. Pria itu mendekati Jon untuk mengikatnya tapi dengan cepat Jon memutar tangan pria itu hingga terdengar suara patahan tulang. Jon langsung menutup mulut pria itu agar tidak menimbulkan suara. Jon memukul kepalanya hingga pingsan. Setelah kedua penjaga pintu itu berhasil dilumpuhkannya. Jon masuk ke dalam rumah, dia melihat Amanda yang berontak minta dilepaskan. "Lepaskan! Jangan menyentuhku!" "Pegang kedua tangan dan ke dua kakinya." perintah Pedro kepada anak buahnya. Mereka langsung menahan ke dua tangan Amanda diatas kepalanya dan membuka ke dua kaki Amanda dengan lebar sambil mengikatnya. "Lepaskan aku!" Amanda menangis dengan nasibnya yang sebentar lagi akan berubah karena Pedro mengambil paksa. Pedro yang tua bangka itu langsung melepask kemeja yang dipakainya dan mulai membuka ikat pinggang. Amanda menangis sambil menggelengkan kepalanya berharap ini tidak akan terjadi. "Tolong! Tolong aku!" Teriak Amanda yang meminta bantuan. Berharap siapapun yang mendengarnya bisa membantu Amanda. Mendengar Amanda yang sudah menangis dan pasrah dengan keadaannya, Jon sudah tidak tahan lagi. Dia mengambil sebuah kain yang ditemukan di dapur untuk menutup setengah wajahnya. Pedro membuka celana yang digunakan dan bersiap untuk menikmati tubuh Amanda yang masih per4wan. "Aku sudah tidak sabar menanti moment kenikmatan ini. Aku akan membuatmu mendes4h nikmat saat milikku masuk ke dalam milikmu." Pedro mulai menyentuh celana Amanda, Amanda berusaha untuk menggerakkan kakinya agar dapat menendang Pedro tapi tidak bisa karena diikat. Jon yang melihat air mata Amanda yang semakin deras membuatnya langsung berdiri dan menembak ke arah anak buah yang memegang kedua tangan Amanda. Dor! Dor! Keduanya tewas saat itu juga, Pedro kaget melihat seseorang tiba dari arah belakang dan menembak ke arah anak buahnya. Tangan Amanda yang terlepas langsung menarik rambut Pedro yang dekat dengannya. Pedro menaikkan kembali celana dan berteriak memanggil anak buahnya. "Pengawal!" Anak buah Pedro mulai masuk, mereka melindungi Pedro dari pria itu. suara tembakan terdengar jelas dimana Amanda masih terikat dibagian kakinya. "Sial! Siapa pria itu? Kenapa dia bisa masuk ke dalam rumahku?" Maki Pedro ketika menunduk melindungi dirinya dari tembakan Jon dan anak buahnya. Amanda berusaha membuka ikatan pada kakinya tapi tidak berhasil sama sekali. Kemampuan menembak Jon jangan diragukan lagi. Dia sangat jago dalam menembak apalagi menembak jarak jauh Dor! Jon kembali berhasil membidik ke arah anak buah Pedro. Jumlah pengawalnya yang semakin sedikit membuat Pedro ketakutan. "Cepat maju! Habisi pria itu!" Jon malah melangkah dan berguling mencari posisi menembak yang nyaman hingga satu persatu anak buah Pedro tewas. "Sial! Anak buahku kalah dengannya. Siapa pria itu?" Pedro berusaha keluar dari rumah itu dengan diam-diam, tapi Jon mendekat dan menodongkan senjatanya diatas kepala Pedro. "Mau kemana anda Tuan?" tanya Jon yang bersiap menembak kepala Pedro."Mau kemana anda Tuan?" Jon siap menembak kepala Tuan Pedro yang ingin melarikan diri setelah dia menculik Amanda."Ampun! Ampuni aku!""Berdirilah!" Minta Jon kepada Pedro.Pria tua itu akhirnya berdiri dan mengangkat kedua tangannya. Kancing kemeja yang digunakannya sudah terlepas karena dia ingin menyentuh tubuh Amanda."Jalan!" Dorong Jon pada bahu Pedro untuk berjalan keluar dari dalam rumah. Seluruh anak buah Pedro berhasil dibunuh Jon ketika adu tembak tadi."Angkat tanganmu tinggi-tinggi!" Minta Jon kepada Pedro. Pedro terpaksa menurut perintah Jon karena dia tidak mau mati ditembak oleh pria yang wajahnya tidak terlihat."Jangan tembak Tuan. Ampuni saya!""Aku akan mengampunimu dengan saty syarat. Apa kamu mau mengikuti syarat yang aku buat?""Apa itu Tuan?" jawab Pedro dengan gugup."Jangan pernah memaksa menikah dengan Amanda. Batalkan pernikahan itu dan jauhi keluarganya. Jika sampai kamu ma
Nathan sampai meminta seorang hacker mencari keberadaan sinyal terakhir ponsel Gabriel tapi hasilnya tetal sama. Ponsel itu sudah tidak dapat ditemukan lagi dan titik terakhir berada disekitar mobil Gabriel terjatuh. "Kemana lagi aku mencarimu? Minggu depan semua ketua mafia akan berkumpul untuk membicarakan hal penting, tapi kamu tidak ada. Apa yang harus aku lakukan?" Nathan sampai bingung harus mencari keberadaan sahabatnya itu. Sementara Amanda yang telah selamat dari sekapan Tuan Pedro telah diantar oleh Jon ke rumah Amanda. Sebelum Amanda masuk ke dalam rumah, dia dan Jon saling menatap. "Sekali lagi terima kasih atas bantuanmu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kamu tidak datang tepat waktu." "Jangan berterima kasih Amanda. Apa yang aku lakukan sudah seharusnya sebagai teman." "Ya sudah! Kalau begitu aku masuk. Oh ya, ini ada sedikit uang untukmu membeli makanan. Maaf aku tidak bisa mengantarkan makanan untukmu hari ini." "Tidak usah! Pegang saja, kamu bisa mengg
Gabriel tidak menjawabnya, dia meminta supir untuk segera berjalan sesuai arahan Gabriel kemana dia akan pergi. Gabriel tiba di simpan rumah Amanda. Dia melihat sudah tidak ada sepeda Amanda ada di halamannya. Itu artinya Amanda sedang pergi untuk bekerja. "Masuklah ke dalam rumah itu, Nathan. Berikan uang ini kepada orang yang ada dirumah itu. Katakan ini uang untuk Amanda, ancam dia untuk tidak menggunakannya dan menyerahkannya secara utuh ketangan Amanda." "Amanda? Seorang wanita?" Gabriel menatap tajam ke arah Nathan karena terlalu banyak bertanya saat ini. "Baiklah! Aku akan masuk." Gabriel memperhatikannya dari dalam mobil ketika pintu rumah dibuka. Seorang pria yang tampak kusut baru bangun tidur bertanya kepada Nathan. Nathan memberikan amplop yang ada ditangannya sambil mengeluarkan senjata untul mengancam Ayah Amanda. Gabriel sampai tersenyum kecil ketika melihat aksi sahabatnya yang terlalu berlebihan dalam mengancam Ayah Amanda. Gabriel kembali menaikkan kaca jend
Gabriel berdiri di balkon kamar pribadi yang mewah, memegang gelas berisi minuman alkohol di tangan kanannya. Angin malam yang sejuk menerpa wajahnya, tapi tidak mampu mengusir panasnya rasa yang membara di dalam dada. Wajah Amanda, dengan senyum lembut dan mata yang berbinar, terus menerus menghantui pikirannya. Tiga bulan mereka bersama, bagaikan suatu mimpi indah yang kini terasa begitu jauh. Dia mencoba mengalihkan pandangannya ke lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di kejauhan, berharap bisa menghilangkan bayang-bayang Amanda dari benaknya. Namun, semakin dia mencoba untuk melupakannya, semakin kuat pula kenangan tentang Amanda muncul kembali. Setiap tawa, setiap sentuhan, setiap kata yang pernah mereka ucapkan bersama kembali berputar dalam ingatannya. Dengan frustrasi, Gabriel menghela napas berat dan berkata pada diri sendiri, "Aku harus berhenti memikirkan dia. Aku perlu fokus." Namun, suaranya terdengar getir dan penuh keraguan. Dia tahu, meski berusaha keras untuk melupa
Pagi itu, udara masih segar ketika Amanda dengan cekatan menyiapkan segala keperluan ayahnya. Dari menyeduhkan teh hangat hingga menyembunyikan uang dalam amplop cokelat yang diberikan oleh tidak dikenal pada pintu rumahnya. Dengan perasaan yang bercampur antara sayang dan kewajiban, Amanda mengecek kembali semua yang telah disiapkannya di meja dapur. Namun, keheningan pagi itu tiba-tiba terpecah oleh suara ketukan di pintu rumahnya. Zivana. Tok! Tok! Amanda yang sibuk didapur, langsung membuka pintu dan terkejut melihat seorang pria tua berdiri di depan mereka. Pria itu adalah orang yang telah dijodohkan oleh keluarga mereka untuk Amanda. Amanda, dengan mata yang melotot, memandang kebingungan ke arah pintu karena dia tidak menyangka kalau pria itu ada didepannya saat ini. Amanda, dengan apron yang masih terikat di pinggang, berjalan mendekat dengan langkah yang ragu. "Kenapa Anda datang pagi-pagi sekali ke rumah saya?" tanyanya dengan nada yang mencoba tetap sopan namun terde
Samuel berdiri di depan ruangan rapat, keringat dingin mulai mengucur deras di pelipisnya. Dalam benaknya, dia hanya menyiapkan diri untuk rapat rutin yang seharusnya dipimpin oleh kakeknya. Namun, ketika Gabriel, kakak tirinya, dengan tegas memintanya untuk memimpin rapat, Samuel seakan dibekukan di tempat. Dia tidak memiliki apa-apa, tidak satu pun dokumen atau catatan. Dengan tatapan tajam, Gabriel menatap adik tirinya yang terlihat pucat pasi itu. "Lihat, dia bahkan tidak bisa mempersiapkan diri untuk rapat biasa," cemooh Gabriel dengan suara keras yang cukup untuk semua anggota dewan mendengarnya. "Bagaimana mungkin Samuel ini layak untuk menggantikan posisiku sebagai CEO?" Gabriel mengatakannya sambil bercanda yang tertawa yang diikuti oleh semua peserta rapat termasuk Kakek Wilson. Samuel merasakan jantungnya berdetak kencang, kepalanya terasa berputar-putar mencari cara untuk membela diri. Namun, kata-kata tidak kunjung datang. Dia hanya bisa menunduk, merasa terhina dan ma
"Hentikan!" Teriak seorang wanita yang datang ingin mengunjungi putranya."Hentikan Gabriel! Kamu menyakiti putraku!"Christine, Ibu Samuel datang dan menarik tubuh Gabriel yang berada diatas tubuh putranya. Christien tampak takut jika wajah putranya hancur dipukul oleh Gabriel."Gabriel! Hentikan!" minta Nathan yang mengangkat tubuh Gabriel menjauh dari Samuel.Napas Gabriel masih memburu, hatinya bergolak dengan amarah yang tak kunjung reda. Di ruangan yang penuh dengan suara bisikan dan tatapan sinis itu, Christine, ibu tirinya, dengan lantang menuduhnya telah merusak masa depan anaknya. Dengan mata yang membara, Christine melabrak Gabriel, "Kau tahu tidak, karena ulahmu itu, wajah anakku jadi hancur! Aku akan pastikan Tuan Wilson mendengar ini dan mengurungkan niatnya menyerahkan perusahaan padamu!"Mendengar ancaman itu, Gabriel yang sudah penuh dengan frustrasi, kehilangan kesabarannya. Ia berdiri tegak, menatap tajam ke arah ibu tirinya yang berdiri di samping Christine. Dengan
Amanda, dengan mata berbinar-binar, mengemasi pakaian ke dalam koper besar yang sudah menunggu di sudut kamarnya. Dia baru saja menerima berita soal lowongan pekerjaan di Wilton Group, perusahaan yang sangat dia idamkan. Seolah-olah ada semangat baru yang mengalir dalam darahnya, dia bergegas menyusun segala sesuatunya, dari kemeja rapi hingga sepatu hak tinggi yang selalu dia simpan untuk momen penting. Ayahnya, yang sedang menonton televisi dengan ditemani minuman alkoholnya di ruang tamu, kaget bukan kepalang melihat Amanda berlarian ke sana kemari seperti ada yang mengejarnya. "Amanda, ada apa, denganmu? Sepertinya kamu dikejar-kejar setan," tanyanya dengan pandangan penuh tanya. Amanda, yang sedang memasukkan beberapa dokumen penting ke dalam tas kerjanya, menjawab tanpa menoleh, "Aku harus berangkat kekota hari ini juga Ayah. Bus akan lewat satu jam lagi dan aku tidak mau ketinggalan Bus." "Kekota? Untuk apa? Apa kamu mau pergi meninggalkanku? Lalu aku bagaimana?" tanya Ayah
Mobil hitam dengan kaca gelap melaju kencang di jalanan kota, mengoyak hening malam. Di dalamnya, Gabriel mengepalkan tinjunya kuat-kuat, urat-urat di dahinya menonjol, menandakan betapa marahnya dia. Setiap kali pikirannya melayang pada serangan yang baru saja dia alami, jantungnya berdegup lebih keras. Sopirnya melirik sekilas melalui kaca spion, menangkap bayangan wajah Gabriel yang terlihat tegang. Di kursi belakang, dua orang anak buahnya duduk dengan waspada, sesekali memeriksa keluar jendela, memastikan tidak ada yang mencurigakan mengikuti mereka. "Amanda... pastikan dia aman," suara Gabriel terdengar parau, mencoba menenangkan diri tapi gagal. Dia mengeluarkan ponselnya, jari-jarinya gemetar saat mengetik nomor Amanda. Tapi, layar ponsel menunjukkan bahwa ponsel Amanda tidak aktif. Hatinya semakin resah. "Boss, saya sudah perintahkan tim untuk mengawasi apartemen Miss Amanda. Mereka akan melaporkan segera jika ada yang tidak beres," kata salah satu anak buahnya, mencoba
Gabriel memarkir mobilnya di depan apartemen mewah yang menjadi tempat tinggal baru Amanda. Ia membantu Amanda membawa barang-barang hadiah yang diberikan tadi malam ke lobi gedung tersebut. Amanda, dengan senyum yang tak pernah pudar, berterima kasih kepada Gabriel atas semua kebaikan yang telah diberikan kepadanya, termasuk makan malam yang hangat dan penuh kejutan."Dengan senang hati, Amanda. Semoga kamu suka dengan semua ini," ujar Gabriel dengan senyum simpul, menyembunyikan rahasia besar di balik semua 'fasilitas kantor' yang sebenarnya hanya untuk Amanda.Mereka berdua melangkah masuk ke dalam lift, dan Amanda terus mengagumi detail apartemen baru yang akan menjadi rumahnya. Cahaya lampu yang hangat dan desain interior yang elegan membuatnya semakin takjub. Gabriel hanya tersenyum melihat reaksi Amanda, tahu bahwa semua ini adalah bagian dari rencananya untuk lebih dekat dengan wanita itu."Tidak sabar untuk melihat reaksi kamu saat memakai kalung yang sudah aku berikan tadi,"
Gabriel menatap Amanda dengan pandangan yang mengungkapkan rasa terima kasih yang mendalam. "Aku harus menyembunyikan identitasku, Amanda. Jika tidak, musuh-musuhku akan dengan mudah menemukanku di desa ini," ungkapnya dengan nada serius. Amanda mengerutkan keningnya, rasa tidak percaya terpancar dari matanya. "Aku tidak akan pernah memberitahu mereka, Gabriel! Aku tidak akan melakukannya meskipun kamu terus menyembunyikan hal ini dariku," protesnya, suara penuh emosi. Gabriel tersenyum lembut, matanya berkilauan penuh kelembutan. "Aku tahu, Amanda. Aku tahu kamu bukan tipe wanita yang akan mengkhianati kepercayaan seseorang," katanya, suaranya penuh keyakinan. "Itulah mengapa aku memilih untuk percaya dan meminta bantuanmu." Amanda tampak sedikit lebih tenang namun masih penasaran. "Lalu, siapa yang ingin menemukanmu? Siapa musuhmu itu?" tanyanya, rasa ingin tahu jelas terlihat di wajahnya. Gabriel menghela napas, matanya sejenak terlihat gelap sebelum dia menjawab. "Itu cerit
Gabriel membuka pintu penthouse mewahnya dengan senyum lebar di wajahnya. "Selamat datang kembali, Amanda," ucapnya, sambil memberikan isyarat agar Amanda masuk ke dalam. Ruangan itu tampak terang dengan dekorasi modern yang elegan, sama seperti yang pertama kali Amanda lihat saat Nathan memperkenalkannya beberapa waktu lalu.Amanda melangkah masuk, matahari sore menyinari ruang tamu melalui jendela besar yang menawarkan pemandangan kota yang memukau. Gabriel mempersilakan Amanda untuk duduk di sofa yang empuk. "Aku akan memasak sesuatu untukmu," kata Gabriel sambil berjalan ke dapur terbuka yang terletak tak jauh dari ruang tamu.Amanda, yang masih terkejut dengan keahlian memasak Gabriel, bertanya dengan nada penasaran, "Kamu bisa memasak, Tuan Gabriel?" Dia mengingat Gabriel sebagai pria yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, jarang memiliki waktu untuk hal-hal seperti memasak.Gabriel tersenyum sambil mengambil beberapa bahan dari kulkas. "Tenang saja, Amanda. Aku memang bukan kok
Pukul lima tepat, Gabriel keluar dari ruangannya dengan langkah pasti. Cahaya sore yang mulai redup menyorot wajahnya yang tampak serius. Amanda masih sibuk dengan tumpukan berkas di meja kerja sementara yang telah ia gunakan selama beberapa minggu terakhir. Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Gabriel memanggil sekretarisnya dengan suara yang cukup keras sehingga membuat Amanda dan beberapa rekan kerja lainnya menoleh ke arahnya."Saya ingin mulai besok, meja kerja Amanda dan Nathan diletakkan di dalam ruang saya," ucap Gabriel dengan tegas. "Cukup satu meja besar saja untuk mereka berdua."Amanda dan Nathan saling pandang, keduanya tampak terkejut dan bingung dengan keputusan tiba-tiba dari Gabriel. Amanda merasa jantungnya berdegup kencang, bingung harus merespon seperti apa. Nathan, yang biasanya tenang, kali ini terlihat mengernyitkan dahi, jelas tidak senang dengan perubahan mendadak ini.Gabriel kemudian mendekati Amanda, matanya menatap langsung ke dalam mata Amanda yang masih terbuka le
"Samuelllll" teriak Gabriel yang melihat pelipis mata Amanda berdarah.Wajah Gabriel memerah, urat-uratnya menonjol seiring emosi yang memuncak. Dengan langkah yang mantap dan penuh amarah, ia mendekati Samuel yang berdiri dengan tampang tak berdosa. Tanpa peringatan, Gabriel melayangkan pukulan keras ke wajah Samuel. Pria itu tersentak, terlempar ke lantai dengan mulut berdarah.Amanda, dengan mata yang sudah berkaca-kaca, berlari mendekati Gabriel. Ia memegang lengan Gabriel yang masih gemetar karena marah, "Jon, jangan! Tolong, hentikan!" suaranya parau, memohon.Gabriel, dengan nafas yang masih tersengal, menatap wajah Amanda. Matanya yang tajam menelisik, mencari alasan di balik permohonan Amanda. "Mengapa kau memohon untuknya, Amanda? Apa yang membuatmu menaruh belas kasihan pada pria yang telah menyakitimu?" tanyanya, suara berat penuh kekecewaan.Amanda menggigit bibir, matanya semakin berkaca-kaca, "Aku hanya... aku tidak ingin kau menjadi pembunuh, Jon. Itu bukan dirimu," uc
Amanda berdiri tegap di ruang tunggu besar yang berhiaskan mahkota kristal di langit-langitnya. Hari ini, dia akan bertemu dengan Gabriel Wilton, bos yang belum pernah dia temui sejak dipekerjakan sebagai asisten pribadi. Rumor yang beredar mengatakan bahwa Gabriel adalah sosok yang keras kepala dan sering kali hilang tanpa kabar ketika marah.Di sisi lain, Nathan, teman sekerja Amanda, tampak gelisah memeriksa jam tangannya berkali-kali. Dia tahu Gabriel biasa menenangkan diri di villa keluarga Wilton ketika sesuatu mengusik emosinya. Nathan berharap bahwa minggu ini Gabriel akan kembali tepat waktu karena hari ini adalah hari penting; hari membaca isi surat wasiat kakek Wilton.Tepat pukul sepuluh pagi, langkah berat terdengar memasuki ruangan. Semua mata tertuju pada pintu masuk. Gabriel, dengan rambutnya yang rapi serta pakaian setelan jas mahal dan pas ditubuhnya membuat penampilan Gabriel sangat memukau. Dia mengenakan setelan jas hitam yang sempurna, namun ada sedikit kerutan d
"Ternyata benar, engkau! Mengapa? Mengapa harus kakekku?" desak Gabriel, suaranya bergetar namun penuh kekuatan.Gabriel mendatangi sebuah rumah yang sudah lama kosong. Ternyata itu adalah rumah ketika Kakek Mai muda sebelum menjadi seorang pria kaya raya. Kakek Mai berteman dengan Kakek Wilton saat mereka sama-sama merintih kesuksesan. Hal ini bisa terlihat dari foto kebersamaan mereka yang masih tersimpan didalam rumah itu.Tidak ada satupun orang yang bisa ditemui Gabriel. Bahkan Gabriel tidak tahu dimana Kakek Mai tinggal. Selama ini Gabriel hanya tahu jika Kakek Mai adalah keturunan China yang suka hidup berpindah-pindah. Walaupun perusahaannya ada di Las Vegas tapi Kakek Mai tidak pernah ada ditempat."Aku harus menemukanmu, Kakek Mai. Aku harus tahu kenapa kamu sampai tega membunuh sahabatmu sendiri." Gabriel menatap foto Kakek Wilton yang memeluk Kakek Mai.Gabriel menjejakkan kaki keluar dari bangunan tua yang kosong, dengan foto yang telah lusuh di tangannya; foto itu menam
"Baiklah Amanda. Aku rasa sudah semuanya aku beritahu kepadamu. Lusa Tuan Gabriel akan masuk ke kantor dan bertemu denganmu.""Baik Tuan Nathan. Terima kasih sudah mengajarkan dan memberitahuku tugas apa saja yang harus aku lakukan. Kalau begitu, aku permisi pulang Tuan.""Ya!"Saat Amanda meninggalkan ruang tamu penthouse, Gabriel mengirim pesan kelada Nathan agar Amanda pulang diantarkan oleh supir pribadi Gabriel."Amanda! Amanda." Panggil Nathan kepada Amanda yang sudah ada didepan lift."Anda memanggilku, Tuan?""Ya. Kamu pulang diantar oleh supir Tuan Gabriel. Dia sudah menunggundi lobi bawah.""Terima kasih banyak Tuan Nathan."Amanda segera melangkah masuk ke dalam lift yang sudah terbuka, mengayunkan tas tangannya sembari melambaikan tangan pada Nathan yang masih berdiri di luar. Nathan yang bingung dengan kejadian tersebut, menoleh dan berbalik masuk ke dalam penthouse, berniat bertanya kepada Gabriel tentang situasi yang terjadi. Namun, begitu ia memasuki ruang, dia terkeju