Setelah semalaman menangis, Amanda ketiduran diatas kasur milik Jon. pagi ini dia harus kembali bekerja karena dia bukan seorang putri kaya raya yang harus menikmati mimpinya dikala pagi.
Amanda membuka mata dan terkejut ketika dia melihat Jon duduk dikursi sambil menatapnya. "Kamu membuatku kaget saja. Apa yang kamu lakukan disana? Kenapa kamu bangun sangat pagi seperti ini?" "Aku sudah duduk disini sejak semalam karena ada seorang wanita menangis semalaman dan tertidur di atas kasurku." Jon bangun dan mengajak Amanda berdiri. "Bangunlah! Aku sudah menyiapkan sarapan seadanya saja." Amanda langsung bangun dan melihat sebuah roti yang telah diberi selai didalamnya. "Cuma itu yang tersisa dari makanan yang kamu bawa." "Lumayan! Setidaknya aku masih bisa mengisi perutku sebelum kembali pulang untuk mengganti pakaian." "Memangnya kamu mau kemana?" "Aku harus bekerja! Aku bukan putri bangsawan yang harus duduk manis untuk mendapatkan makanan." Jon cukuo kagum dengan Amanda yang tidak kenal lelah. "Bukankah kamu bekerja di malam hari disebuah restaurant?" "Aku bekerja dari pagi hingga malam hari. Bekerja tanpa kenal lelah masih saja aku kekurangan uang." "Pagi hingga malam? Apa kamu tidak lelah?" "Ya harus bagaimana lagi? Jika tidak seperti itu aku tidak bisa makan, membantu Ayah melunasi hutangnya walau tidak pernah lunas dan aku juga mau menabung untuk bisa pergi kekota." "Kalau aku boleh tahu apa saja pekerjaan yang kamu lakukan?" "Hmm! Setiap pagi aku akan mengantar susu dari rumah ke rumah, siang hari aku menjadi kurir makanan disebuah restaurant cepat saji hingga sore, malamnya aku menjadi pelayan direstaurant." Jon sampai melipat kedua tangannya. Dia benar-benar tidak menyangka jika ada wanita yang mau bekerja keras seperti Amanda. Selama ini dia banyak bertemu dengan wanita manja yang menghabiskan waktunya di salon dan belanja. "Ya sudah! Aku harus pergi sebelum terlambat. Soal makan siangmu, akan aku usahakan untuk mengantarnya. Doakan saja semoga ada pelayan yang memberikan tips atau makanan untuk bisa kita makan." Amanda pergi sambil mengambil satu potong roti dengan senyuman manis kepada Jon. Jon memperhatikannya hingga Amanda menghilang dengan sepedanya. Amanda kembali ke rumah orang tuanya. Ayah Amanda masih tertidur lelap didalam kamar setelah mabuk semalaman dan berjudi bersama wanita-wanita yang menemaninya. Botol bekas minum sang Ayah berserakan dilantai, Amanda masih sempat membersihkannya hingga dia mengganti pakaian dan bersiap untuk pergi. Menggunakan sepeda yang selalu menemaninya, Amanda menuju sebuah toko susu untuk mengambil beberapa botol susu yang akan di antar kerumah-rumah pelanggan. Membawa satu tas yang berisi sekitar dua puluh botol susu siap diantarnya. Amanda mulai mengayuh sepedanya mengelilingi desa yang kecil itu. Satu rumah ke rumah lainnya untuk mengantarkan susu segar. Dikejauhan seseorang tengah memperhatikan Amanda yang tengah bekerja. "Culik wanita itu dan bawa dia kerumahku." "Baik Bos!" Pria tua yang tak lain adalah Tuan Pedro yang ingin menculik Amanda. "Aku ingin mencicipinya sebelum menikah. Lebih baik aku menodainya lebih dulu sebelum dia menolakku mentah-mentah." Tuan Pedro sudah memiliki niat buruk kepada Amanda. Amanda yang tidak tahu sedang di awasi masih terus mengayuh sepedanya. "Permisi! Nyonya susu segarnya aku letakkan didepan pintu." "Ok Amanda. Terima kasih." Amanda kembali naik ke atas sepeda dan mengayuhnya ke rumah lain. Ketika Amanda menuju rumah yang sedikit terpecil, disanalah anak buah Pedro mulai beraksi. Mereka menghadang Amanda ketika ingin berbelok. "Minggir Tuan!" "Mau kemana cantik! Apa kamu tidak lelah mengayuh sepeda sejak tadi?" "Minggirlah! Itu bukan urusanmu." Amanda membelokkan sepedanya dan kembali mendorongnya. Pria yang menghadang Amanda menahan sepeda bagian belakang Amanda. "Hei! Apa yang kamu lakukan?" "Apa yang aku lakukan? Aku ingin menahanmu Nona cantik!" Pria itu berani menggoda Amanda yang membuat Amanda memilih segera pergi tapi sepedanya kembali di tahan. Pria itu mendekat dan menatap Amanda, "Ikutlah denganku maka kamu akan hidup tenang tanpa perlu bekerja seperti ini. Bosku akan memberikanmu uang untuk hidup mewah." "Lepaskan! Aku tidak mengenalmu dan aku tidak perlu hidup dengan Bosmu itu. Cari saja wanita yang menyukai uang Bosmu." Amanda mendorong pria itu tapi sayang, tangan Amanda di pegang dan ditarik ke belakang. "Jangan melawan Nona jika kamu tidak ingin kesakitan." "Lepaskan aku! Lepaskan!" "Tenanglah! Aku akan melepaskanmu ketika kamu bertemu dengan Bosku." Pria itu semakin menahan tangan Amanda dibelakang punggungnya yang membuat Amanda kesakitan. Tubuh Amanda didorong hingga masuk ke dalam mobil. Ketika Amanda masuk ke dalam mobil dia disambut oleh senyuman manis Pedro. "Hallo calon istriku." Suara pintu mobil terdengar jelas. Amanda berniat ingin kabur tapi tangannya di tarik Pedri mendekatinya. "Apa maumu? Lepaskan aku Tuan Pedro!" "Kamu tanya mauku? Aku ingin kamu menjadi istriku dan merasakan kemolekan tubuh s3ksimu ini dan merasakan kenikmatan d3sahan yang lembut dari mulutmu." "Jangan mimpi untuk bisa menikah denganku apalagi menyentuh tubuhku. Aku akan membuatmu menyesal sudah mengenalku, Tuan Pedro." Hahahaha! "Kamu akan membuatku menyesal? Bagaimana caranya cantik? Harusnya aku yang akan menyesal karena tidak bisa meremas d4d4mu ini dan menghisapnya. Apalagi melihat bagian bawah ini membuatku ingin segera merasakan kenikmatannya dengan lid4hku." Cuih! Amanda yang kesal karena di hina bahkan direndahkan seperti itu membuatnya melud4hi wajah Tuan Pedro yang ada didepannya. Tuan Pedro tersenyum bahkan membersihkan bekas air lud4h Amanda dengan tangannya. Tuan Pedro masih menahan amarahnya hingga dia melihat wajah Amanda yang membencinya. "Jalan!" ucap Tuan Pedro yang meminta supirnyo membawa mereka meninggalkan tempat. Sepeda dan juga beberapa botol susu segar tergeletak di jalanan setelah Amanda dipaksa masuk ke dalam mobil. Amanda masih terus berontak didalam mobil meminta dilepaskan. Melihat Amanda yang tidak bisa tenang, amatah Tuan Pedro ikut terpancing. "Berhentilah berontak, Amanda!" "Lepaskan aku! Aku tidak mau bersamamu." Plak! Tamparan Tuan Pedro membuat Amanda terkulai lemah dan pingsan setelah mendapatkan tamparan yang cukup keras. Tuan Pedro kembali duduk santai sambil merebahkan kepala Amanda di sandaran kursi mobil. "Kita langsung kerumah saja." "Baik Tuan." Tuan Pedro melihat Amanda disampingnya yang telah pingsan. Dia mengelus pipi Amanda dan mendekatkan wajahnya untuk mencium aroma vanila milik Amanda. "Kamu begitu wangi cantik. Bahkan wangimu membuat milikku semakin berdiri dan keras seperti ini." Tuan Pedro menjil4ti wajah Amanda merasakan manisnya wajah Amanda. Tuan Pedro sudah tidak sabar ingin menikmato tubuh Amanda dirumahnya. Sementara dirumah kayu yang tidak ada perabot sama sekali telah menunggu seorang pria bernama Jon. Jon merasa Amanda tidak kunjung datang padahal ini sudah lewat waktu makan siang. "Kemana dia? Apakah pekerjaannya begitu banyak sampai dia lupa mengantarkan aku makanan?" Jon masih terus menunggu didalam rumah sambil mengintip. Jon tidak bisa keluar begitu saja karena dia yakin akan masih ada orang yang mencari keberadaannya. "Dimana kamu Amanda?" Perasaan Jon yang tidak enak, membuatnya tidak bisa tinggal diam. Jon memilih keluar daro rumah setelah dia mengamati beberapa menit kondisi diluar sana. Jon berjalan sambil menunduk agar wajahnya tidak terlihat. Dengan luka tusukan di perutnya yang masih sakit, Jon berjalan pelan tanpa tahu kemana mencari Amanda. Tapi Jon yakin jika dia bisa menemukan Amanda didesa yang kecil ini. Jon terus berjalan hingga dia melihat sebuah sepeda yang sama persis dengan milik Amanda. Jon mendekati sepeda itu dan melihat dua tas yang tergeletak di aspal. "Susu! Dan ini tas milik Amanda." Jon yakin jika tas itu milik Amanda, karena dia menemukan sebuah ikat rambut yang sering digunakan Amanda ketika dia bertemu. "Apa yang terjadi dengannya? Dimana dia?" Jon berdiri dan melihat sekitarnya. Jon mencoba menerka apa yang terjadi dengan Amanda.Jon mencari petunjuk untuk mengetahui dimana Amanda saat ini. Dia berjalan di sekitar sepeda yang di temukannya. Tapi Jon melihat beberapa orang yang dikenalnya berkeliaran mencari keberadaannya disana.Jon bersembunyi sebelum mereka mengetahui kalau Jon ada didesa itu."Aku harus sembunyi. Aku tidak bisa tertangkap oleh mereka, aku harus mencari Amanda lebih dulu."Jon menyelinap melarikan diri ke arah berlawanan. Dia mencari petunjuk dimulai dari rumah Amanda. Jon tahu kalau desa itu sangat kecil sehingga akan mudah menemukan dimana rumah Amanda."Nyonya, maaf boleh aku bertanya?""Iya.""Apakah Nyonya tahu di mana rumah Amanda?""Amanda? Amanda yang mana?"Jon kebingungan karena dia tidak tahu nama panjang Amanda. "Dia berusia sekitar 22 atau 23 tahun, rambutnya panjang warna coklat terus dia putih. Oh satu lagi, dia hanya punya seorang Ayah.""Oh Amanda itu. Rumahnya ada didepan sana. Nanti kamu lur
"Mau kemana anda Tuan?" Jon siap menembak kepala Tuan Pedro yang ingin melarikan diri setelah dia menculik Amanda."Ampun! Ampuni aku!""Berdirilah!" Minta Jon kepada Pedro.Pria tua itu akhirnya berdiri dan mengangkat kedua tangannya. Kancing kemeja yang digunakannya sudah terlepas karena dia ingin menyentuh tubuh Amanda."Jalan!" Dorong Jon pada bahu Pedro untuk berjalan keluar dari dalam rumah. Seluruh anak buah Pedro berhasil dibunuh Jon ketika adu tembak tadi."Angkat tanganmu tinggi-tinggi!" Minta Jon kepada Pedro. Pedro terpaksa menurut perintah Jon karena dia tidak mau mati ditembak oleh pria yang wajahnya tidak terlihat."Jangan tembak Tuan. Ampuni saya!""Aku akan mengampunimu dengan saty syarat. Apa kamu mau mengikuti syarat yang aku buat?""Apa itu Tuan?" jawab Pedro dengan gugup."Jangan pernah memaksa menikah dengan Amanda. Batalkan pernikahan itu dan jauhi keluarganya. Jika sampai kamu ma
Nathan sampai meminta seorang hacker mencari keberadaan sinyal terakhir ponsel Gabriel tapi hasilnya tetal sama. Ponsel itu sudah tidak dapat ditemukan lagi dan titik terakhir berada disekitar mobil Gabriel terjatuh. "Kemana lagi aku mencarimu? Minggu depan semua ketua mafia akan berkumpul untuk membicarakan hal penting, tapi kamu tidak ada. Apa yang harus aku lakukan?" Nathan sampai bingung harus mencari keberadaan sahabatnya itu. Sementara Amanda yang telah selamat dari sekapan Tuan Pedro telah diantar oleh Jon ke rumah Amanda. Sebelum Amanda masuk ke dalam rumah, dia dan Jon saling menatap. "Sekali lagi terima kasih atas bantuanmu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kamu tidak datang tepat waktu." "Jangan berterima kasih Amanda. Apa yang aku lakukan sudah seharusnya sebagai teman." "Ya sudah! Kalau begitu aku masuk. Oh ya, ini ada sedikit uang untukmu membeli makanan. Maaf aku tidak bisa mengantarkan makanan untukmu hari ini." "Tidak usah! Pegang saja, kamu bisa mengg
Gabriel tidak menjawabnya, dia meminta supir untuk segera berjalan sesuai arahan Gabriel kemana dia akan pergi. Gabriel tiba di simpan rumah Amanda. Dia melihat sudah tidak ada sepeda Amanda ada di halamannya. Itu artinya Amanda sedang pergi untuk bekerja. "Masuklah ke dalam rumah itu, Nathan. Berikan uang ini kepada orang yang ada dirumah itu. Katakan ini uang untuk Amanda, ancam dia untuk tidak menggunakannya dan menyerahkannya secara utuh ketangan Amanda." "Amanda? Seorang wanita?" Gabriel menatap tajam ke arah Nathan karena terlalu banyak bertanya saat ini. "Baiklah! Aku akan masuk." Gabriel memperhatikannya dari dalam mobil ketika pintu rumah dibuka. Seorang pria yang tampak kusut baru bangun tidur bertanya kepada Nathan. Nathan memberikan amplop yang ada ditangannya sambil mengeluarkan senjata untul mengancam Ayah Amanda. Gabriel sampai tersenyum kecil ketika melihat aksi sahabatnya yang terlalu berlebihan dalam mengancam Ayah Amanda. Gabriel kembali menaikkan kaca jend
Gabriel berdiri di balkon kamar pribadi yang mewah, memegang gelas berisi minuman alkohol di tangan kanannya. Angin malam yang sejuk menerpa wajahnya, tapi tidak mampu mengusir panasnya rasa yang membara di dalam dada. Wajah Amanda, dengan senyum lembut dan mata yang berbinar, terus menerus menghantui pikirannya. Tiga bulan mereka bersama, bagaikan suatu mimpi indah yang kini terasa begitu jauh. Dia mencoba mengalihkan pandangannya ke lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di kejauhan, berharap bisa menghilangkan bayang-bayang Amanda dari benaknya. Namun, semakin dia mencoba untuk melupakannya, semakin kuat pula kenangan tentang Amanda muncul kembali. Setiap tawa, setiap sentuhan, setiap kata yang pernah mereka ucapkan bersama kembali berputar dalam ingatannya. Dengan frustrasi, Gabriel menghela napas berat dan berkata pada diri sendiri, "Aku harus berhenti memikirkan dia. Aku perlu fokus." Namun, suaranya terdengar getir dan penuh keraguan. Dia tahu, meski berusaha keras untuk melupa
Pagi itu, udara masih segar ketika Amanda dengan cekatan menyiapkan segala keperluan ayahnya. Dari menyeduhkan teh hangat hingga menyembunyikan uang dalam amplop cokelat yang diberikan oleh tidak dikenal pada pintu rumahnya. Dengan perasaan yang bercampur antara sayang dan kewajiban, Amanda mengecek kembali semua yang telah disiapkannya di meja dapur. Namun, keheningan pagi itu tiba-tiba terpecah oleh suara ketukan di pintu rumahnya. Zivana. Tok! Tok! Amanda yang sibuk didapur, langsung membuka pintu dan terkejut melihat seorang pria tua berdiri di depan mereka. Pria itu adalah orang yang telah dijodohkan oleh keluarga mereka untuk Amanda. Amanda, dengan mata yang melotot, memandang kebingungan ke arah pintu karena dia tidak menyangka kalau pria itu ada didepannya saat ini. Amanda, dengan apron yang masih terikat di pinggang, berjalan mendekat dengan langkah yang ragu. "Kenapa Anda datang pagi-pagi sekali ke rumah saya?" tanyanya dengan nada yang mencoba tetap sopan namun terde
Samuel berdiri di depan ruangan rapat, keringat dingin mulai mengucur deras di pelipisnya. Dalam benaknya, dia hanya menyiapkan diri untuk rapat rutin yang seharusnya dipimpin oleh kakeknya. Namun, ketika Gabriel, kakak tirinya, dengan tegas memintanya untuk memimpin rapat, Samuel seakan dibekukan di tempat. Dia tidak memiliki apa-apa, tidak satu pun dokumen atau catatan. Dengan tatapan tajam, Gabriel menatap adik tirinya yang terlihat pucat pasi itu. "Lihat, dia bahkan tidak bisa mempersiapkan diri untuk rapat biasa," cemooh Gabriel dengan suara keras yang cukup untuk semua anggota dewan mendengarnya. "Bagaimana mungkin Samuel ini layak untuk menggantikan posisiku sebagai CEO?" Gabriel mengatakannya sambil bercanda yang tertawa yang diikuti oleh semua peserta rapat termasuk Kakek Wilson. Samuel merasakan jantungnya berdetak kencang, kepalanya terasa berputar-putar mencari cara untuk membela diri. Namun, kata-kata tidak kunjung datang. Dia hanya bisa menunduk, merasa terhina dan ma
"Hentikan!" Teriak seorang wanita yang datang ingin mengunjungi putranya."Hentikan Gabriel! Kamu menyakiti putraku!"Christine, Ibu Samuel datang dan menarik tubuh Gabriel yang berada diatas tubuh putranya. Christien tampak takut jika wajah putranya hancur dipukul oleh Gabriel."Gabriel! Hentikan!" minta Nathan yang mengangkat tubuh Gabriel menjauh dari Samuel.Napas Gabriel masih memburu, hatinya bergolak dengan amarah yang tak kunjung reda. Di ruangan yang penuh dengan suara bisikan dan tatapan sinis itu, Christine, ibu tirinya, dengan lantang menuduhnya telah merusak masa depan anaknya. Dengan mata yang membara, Christine melabrak Gabriel, "Kau tahu tidak, karena ulahmu itu, wajah anakku jadi hancur! Aku akan pastikan Tuan Wilson mendengar ini dan mengurungkan niatnya menyerahkan perusahaan padamu!"Mendengar ancaman itu, Gabriel yang sudah penuh dengan frustrasi, kehilangan kesabarannya. Ia berdiri tegak, menatap tajam ke arah ibu tirinya yang berdiri di samping Christine. Dengan
Mobil hitam dengan kaca gelap melaju kencang di jalanan kota, mengoyak hening malam. Di dalamnya, Gabriel mengepalkan tinjunya kuat-kuat, urat-urat di dahinya menonjol, menandakan betapa marahnya dia. Setiap kali pikirannya melayang pada serangan yang baru saja dia alami, jantungnya berdegup lebih keras. Sopirnya melirik sekilas melalui kaca spion, menangkap bayangan wajah Gabriel yang terlihat tegang. Di kursi belakang, dua orang anak buahnya duduk dengan waspada, sesekali memeriksa keluar jendela, memastikan tidak ada yang mencurigakan mengikuti mereka. "Amanda... pastikan dia aman," suara Gabriel terdengar parau, mencoba menenangkan diri tapi gagal. Dia mengeluarkan ponselnya, jari-jarinya gemetar saat mengetik nomor Amanda. Tapi, layar ponsel menunjukkan bahwa ponsel Amanda tidak aktif. Hatinya semakin resah. "Boss, saya sudah perintahkan tim untuk mengawasi apartemen Miss Amanda. Mereka akan melaporkan segera jika ada yang tidak beres," kata salah satu anak buahnya, mencoba
Gabriel memarkir mobilnya di depan apartemen mewah yang menjadi tempat tinggal baru Amanda. Ia membantu Amanda membawa barang-barang hadiah yang diberikan tadi malam ke lobi gedung tersebut. Amanda, dengan senyum yang tak pernah pudar, berterima kasih kepada Gabriel atas semua kebaikan yang telah diberikan kepadanya, termasuk makan malam yang hangat dan penuh kejutan."Dengan senang hati, Amanda. Semoga kamu suka dengan semua ini," ujar Gabriel dengan senyum simpul, menyembunyikan rahasia besar di balik semua 'fasilitas kantor' yang sebenarnya hanya untuk Amanda.Mereka berdua melangkah masuk ke dalam lift, dan Amanda terus mengagumi detail apartemen baru yang akan menjadi rumahnya. Cahaya lampu yang hangat dan desain interior yang elegan membuatnya semakin takjub. Gabriel hanya tersenyum melihat reaksi Amanda, tahu bahwa semua ini adalah bagian dari rencananya untuk lebih dekat dengan wanita itu."Tidak sabar untuk melihat reaksi kamu saat memakai kalung yang sudah aku berikan tadi,"
Gabriel menatap Amanda dengan pandangan yang mengungkapkan rasa terima kasih yang mendalam. "Aku harus menyembunyikan identitasku, Amanda. Jika tidak, musuh-musuhku akan dengan mudah menemukanku di desa ini," ungkapnya dengan nada serius. Amanda mengerutkan keningnya, rasa tidak percaya terpancar dari matanya. "Aku tidak akan pernah memberitahu mereka, Gabriel! Aku tidak akan melakukannya meskipun kamu terus menyembunyikan hal ini dariku," protesnya, suara penuh emosi. Gabriel tersenyum lembut, matanya berkilauan penuh kelembutan. "Aku tahu, Amanda. Aku tahu kamu bukan tipe wanita yang akan mengkhianati kepercayaan seseorang," katanya, suaranya penuh keyakinan. "Itulah mengapa aku memilih untuk percaya dan meminta bantuanmu." Amanda tampak sedikit lebih tenang namun masih penasaran. "Lalu, siapa yang ingin menemukanmu? Siapa musuhmu itu?" tanyanya, rasa ingin tahu jelas terlihat di wajahnya. Gabriel menghela napas, matanya sejenak terlihat gelap sebelum dia menjawab. "Itu cerit
Gabriel membuka pintu penthouse mewahnya dengan senyum lebar di wajahnya. "Selamat datang kembali, Amanda," ucapnya, sambil memberikan isyarat agar Amanda masuk ke dalam. Ruangan itu tampak terang dengan dekorasi modern yang elegan, sama seperti yang pertama kali Amanda lihat saat Nathan memperkenalkannya beberapa waktu lalu.Amanda melangkah masuk, matahari sore menyinari ruang tamu melalui jendela besar yang menawarkan pemandangan kota yang memukau. Gabriel mempersilakan Amanda untuk duduk di sofa yang empuk. "Aku akan memasak sesuatu untukmu," kata Gabriel sambil berjalan ke dapur terbuka yang terletak tak jauh dari ruang tamu.Amanda, yang masih terkejut dengan keahlian memasak Gabriel, bertanya dengan nada penasaran, "Kamu bisa memasak, Tuan Gabriel?" Dia mengingat Gabriel sebagai pria yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, jarang memiliki waktu untuk hal-hal seperti memasak.Gabriel tersenyum sambil mengambil beberapa bahan dari kulkas. "Tenang saja, Amanda. Aku memang bukan kok
Pukul lima tepat, Gabriel keluar dari ruangannya dengan langkah pasti. Cahaya sore yang mulai redup menyorot wajahnya yang tampak serius. Amanda masih sibuk dengan tumpukan berkas di meja kerja sementara yang telah ia gunakan selama beberapa minggu terakhir. Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Gabriel memanggil sekretarisnya dengan suara yang cukup keras sehingga membuat Amanda dan beberapa rekan kerja lainnya menoleh ke arahnya."Saya ingin mulai besok, meja kerja Amanda dan Nathan diletakkan di dalam ruang saya," ucap Gabriel dengan tegas. "Cukup satu meja besar saja untuk mereka berdua."Amanda dan Nathan saling pandang, keduanya tampak terkejut dan bingung dengan keputusan tiba-tiba dari Gabriel. Amanda merasa jantungnya berdegup kencang, bingung harus merespon seperti apa. Nathan, yang biasanya tenang, kali ini terlihat mengernyitkan dahi, jelas tidak senang dengan perubahan mendadak ini.Gabriel kemudian mendekati Amanda, matanya menatap langsung ke dalam mata Amanda yang masih terbuka le
"Samuelllll" teriak Gabriel yang melihat pelipis mata Amanda berdarah.Wajah Gabriel memerah, urat-uratnya menonjol seiring emosi yang memuncak. Dengan langkah yang mantap dan penuh amarah, ia mendekati Samuel yang berdiri dengan tampang tak berdosa. Tanpa peringatan, Gabriel melayangkan pukulan keras ke wajah Samuel. Pria itu tersentak, terlempar ke lantai dengan mulut berdarah.Amanda, dengan mata yang sudah berkaca-kaca, berlari mendekati Gabriel. Ia memegang lengan Gabriel yang masih gemetar karena marah, "Jon, jangan! Tolong, hentikan!" suaranya parau, memohon.Gabriel, dengan nafas yang masih tersengal, menatap wajah Amanda. Matanya yang tajam menelisik, mencari alasan di balik permohonan Amanda. "Mengapa kau memohon untuknya, Amanda? Apa yang membuatmu menaruh belas kasihan pada pria yang telah menyakitimu?" tanyanya, suara berat penuh kekecewaan.Amanda menggigit bibir, matanya semakin berkaca-kaca, "Aku hanya... aku tidak ingin kau menjadi pembunuh, Jon. Itu bukan dirimu," uc
Amanda berdiri tegap di ruang tunggu besar yang berhiaskan mahkota kristal di langit-langitnya. Hari ini, dia akan bertemu dengan Gabriel Wilton, bos yang belum pernah dia temui sejak dipekerjakan sebagai asisten pribadi. Rumor yang beredar mengatakan bahwa Gabriel adalah sosok yang keras kepala dan sering kali hilang tanpa kabar ketika marah.Di sisi lain, Nathan, teman sekerja Amanda, tampak gelisah memeriksa jam tangannya berkali-kali. Dia tahu Gabriel biasa menenangkan diri di villa keluarga Wilton ketika sesuatu mengusik emosinya. Nathan berharap bahwa minggu ini Gabriel akan kembali tepat waktu karena hari ini adalah hari penting; hari membaca isi surat wasiat kakek Wilton.Tepat pukul sepuluh pagi, langkah berat terdengar memasuki ruangan. Semua mata tertuju pada pintu masuk. Gabriel, dengan rambutnya yang rapi serta pakaian setelan jas mahal dan pas ditubuhnya membuat penampilan Gabriel sangat memukau. Dia mengenakan setelan jas hitam yang sempurna, namun ada sedikit kerutan d
"Ternyata benar, engkau! Mengapa? Mengapa harus kakekku?" desak Gabriel, suaranya bergetar namun penuh kekuatan.Gabriel mendatangi sebuah rumah yang sudah lama kosong. Ternyata itu adalah rumah ketika Kakek Mai muda sebelum menjadi seorang pria kaya raya. Kakek Mai berteman dengan Kakek Wilton saat mereka sama-sama merintih kesuksesan. Hal ini bisa terlihat dari foto kebersamaan mereka yang masih tersimpan didalam rumah itu.Tidak ada satupun orang yang bisa ditemui Gabriel. Bahkan Gabriel tidak tahu dimana Kakek Mai tinggal. Selama ini Gabriel hanya tahu jika Kakek Mai adalah keturunan China yang suka hidup berpindah-pindah. Walaupun perusahaannya ada di Las Vegas tapi Kakek Mai tidak pernah ada ditempat."Aku harus menemukanmu, Kakek Mai. Aku harus tahu kenapa kamu sampai tega membunuh sahabatmu sendiri." Gabriel menatap foto Kakek Wilton yang memeluk Kakek Mai.Gabriel menjejakkan kaki keluar dari bangunan tua yang kosong, dengan foto yang telah lusuh di tangannya; foto itu menam
"Baiklah Amanda. Aku rasa sudah semuanya aku beritahu kepadamu. Lusa Tuan Gabriel akan masuk ke kantor dan bertemu denganmu.""Baik Tuan Nathan. Terima kasih sudah mengajarkan dan memberitahuku tugas apa saja yang harus aku lakukan. Kalau begitu, aku permisi pulang Tuan.""Ya!"Saat Amanda meninggalkan ruang tamu penthouse, Gabriel mengirim pesan kelada Nathan agar Amanda pulang diantarkan oleh supir pribadi Gabriel."Amanda! Amanda." Panggil Nathan kepada Amanda yang sudah ada didepan lift."Anda memanggilku, Tuan?""Ya. Kamu pulang diantar oleh supir Tuan Gabriel. Dia sudah menunggundi lobi bawah.""Terima kasih banyak Tuan Nathan."Amanda segera melangkah masuk ke dalam lift yang sudah terbuka, mengayunkan tas tangannya sembari melambaikan tangan pada Nathan yang masih berdiri di luar. Nathan yang bingung dengan kejadian tersebut, menoleh dan berbalik masuk ke dalam penthouse, berniat bertanya kepada Gabriel tentang situasi yang terjadi. Namun, begitu ia memasuki ruang, dia terkeju