Gabriel berdiri di balkon kamar pribadi yang mewah, memegang gelas berisi minuman alkohol di tangan kanannya. Angin malam yang sejuk menerpa wajahnya, tapi tidak mampu mengusir panasnya rasa yang membara di dalam dada. Wajah Amanda, dengan senyum lembut dan mata yang berbinar, terus menerus menghantui pikirannya. Tiga bulan mereka bersama, bagaikan suatu mimpi indah yang kini terasa begitu jauh. Dia mencoba mengalihkan pandangannya ke lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di kejauhan, berharap bisa menghilangkan bayang-bayang Amanda dari benaknya. Namun, semakin dia mencoba untuk melupakannya, semakin kuat pula kenangan tentang Amanda muncul kembali. Setiap tawa, setiap sentuhan, setiap kata yang pernah mereka ucapkan bersama kembali berputar dalam ingatannya. Dengan frustrasi, Gabriel menghela napas berat dan berkata pada diri sendiri, "Aku harus berhenti memikirkan dia. Aku perlu fokus." Namun, suaranya terdengar getir dan penuh keraguan. Dia tahu, meski berusaha keras untuk melupa
Pagi itu, udara masih segar ketika Amanda dengan cekatan menyiapkan segala keperluan ayahnya. Dari menyeduhkan teh hangat hingga menyembunyikan uang dalam amplop cokelat yang diberikan oleh tidak dikenal pada pintu rumahnya. Dengan perasaan yang bercampur antara sayang dan kewajiban, Amanda mengecek kembali semua yang telah disiapkannya di meja dapur. Namun, keheningan pagi itu tiba-tiba terpecah oleh suara ketukan di pintu rumahnya. Zivana. Tok! Tok! Amanda yang sibuk didapur, langsung membuka pintu dan terkejut melihat seorang pria tua berdiri di depan mereka. Pria itu adalah orang yang telah dijodohkan oleh keluarga mereka untuk Amanda. Amanda, dengan mata yang melotot, memandang kebingungan ke arah pintu karena dia tidak menyangka kalau pria itu ada didepannya saat ini. Amanda, dengan apron yang masih terikat di pinggang, berjalan mendekat dengan langkah yang ragu. "Kenapa Anda datang pagi-pagi sekali ke rumah saya?" tanyanya dengan nada yang mencoba tetap sopan namun terde
Samuel berdiri di depan ruangan rapat, keringat dingin mulai mengucur deras di pelipisnya. Dalam benaknya, dia hanya menyiapkan diri untuk rapat rutin yang seharusnya dipimpin oleh kakeknya. Namun, ketika Gabriel, kakak tirinya, dengan tegas memintanya untuk memimpin rapat, Samuel seakan dibekukan di tempat. Dia tidak memiliki apa-apa, tidak satu pun dokumen atau catatan. Dengan tatapan tajam, Gabriel menatap adik tirinya yang terlihat pucat pasi itu. "Lihat, dia bahkan tidak bisa mempersiapkan diri untuk rapat biasa," cemooh Gabriel dengan suara keras yang cukup untuk semua anggota dewan mendengarnya. "Bagaimana mungkin Samuel ini layak untuk menggantikan posisiku sebagai CEO?" Gabriel mengatakannya sambil bercanda yang tertawa yang diikuti oleh semua peserta rapat termasuk Kakek Wilson. Samuel merasakan jantungnya berdetak kencang, kepalanya terasa berputar-putar mencari cara untuk membela diri. Namun, kata-kata tidak kunjung datang. Dia hanya bisa menunduk, merasa terhina dan ma
"Hentikan!" Teriak seorang wanita yang datang ingin mengunjungi putranya."Hentikan Gabriel! Kamu menyakiti putraku!"Christine, Ibu Samuel datang dan menarik tubuh Gabriel yang berada diatas tubuh putranya. Christien tampak takut jika wajah putranya hancur dipukul oleh Gabriel."Gabriel! Hentikan!" minta Nathan yang mengangkat tubuh Gabriel menjauh dari Samuel.Napas Gabriel masih memburu, hatinya bergolak dengan amarah yang tak kunjung reda. Di ruangan yang penuh dengan suara bisikan dan tatapan sinis itu, Christine, ibu tirinya, dengan lantang menuduhnya telah merusak masa depan anaknya. Dengan mata yang membara, Christine melabrak Gabriel, "Kau tahu tidak, karena ulahmu itu, wajah anakku jadi hancur! Aku akan pastikan Tuan Wilson mendengar ini dan mengurungkan niatnya menyerahkan perusahaan padamu!"Mendengar ancaman itu, Gabriel yang sudah penuh dengan frustrasi, kehilangan kesabarannya. Ia berdiri tegak, menatap tajam ke arah ibu tirinya yang berdiri di samping Christine. Dengan
Amanda, dengan mata berbinar-binar, mengemasi pakaian ke dalam koper besar yang sudah menunggu di sudut kamarnya. Dia baru saja menerima berita soal lowongan pekerjaan di Wilton Group, perusahaan yang sangat dia idamkan. Seolah-olah ada semangat baru yang mengalir dalam darahnya, dia bergegas menyusun segala sesuatunya, dari kemeja rapi hingga sepatu hak tinggi yang selalu dia simpan untuk momen penting. Ayahnya, yang sedang menonton televisi dengan ditemani minuman alkoholnya di ruang tamu, kaget bukan kepalang melihat Amanda berlarian ke sana kemari seperti ada yang mengejarnya. "Amanda, ada apa, denganmu? Sepertinya kamu dikejar-kejar setan," tanyanya dengan pandangan penuh tanya. Amanda, yang sedang memasukkan beberapa dokumen penting ke dalam tas kerjanya, menjawab tanpa menoleh, "Aku harus berangkat kekota hari ini juga Ayah. Bus akan lewat satu jam lagi dan aku tidak mau ketinggalan Bus." "Kekota? Untuk apa? Apa kamu mau pergi meninggalkanku? Lalu aku bagaimana?" tanya Ayah
Mendengar perintah Gabriel yang ingin menghabisi musuh mereka membuat ke tiga pemimpin mafia lainnya terdiam. Mereka tidak mengira jika keputusan itu yang akan di ambil Gabriel sebelum jalur komunikasi yang dilakukan oleh Tuan Wilton sebelumnya. "Apakah kamu yakin, Gabriel? Jika kita menghabisinya maka akan jadi pertumpahan darah dalam jumlah yang besar." "Bukankah kalian meminta pendapatku? Maka aku sudah memberikan pendapatku mengenai masalah ini. Kini kalian meragukan keputusanku untuk menghabisi mereka. Lalu menurut kalian apa keputusan yang tepat? Berdamai? Bicara empat mata yang pasti tidak akan membuahkan hasil sama sekali." Mathew yang menganggukkan kepalanya bisa menerima alasan Gabriel. Dia setuju dengan keputusan Gabriel untuk menghabis kelompok Meksiko itu. "Aku setuju dengan keputusan Gabriel. Kita harus memberikan shock terapi kepada siapapun yang berani bermain dengan kita. Jadi tidak ada lagi masalah yang terjadi dalam bisnis kita sehingga orang akan berpikir d
"Kemana kamu menarik bajuku Gabriel?""Ikut denganku bertemu pria itu. Aku ingin tahu siapa yang telah menyuruhnya merusak rem mobilku.""Aku sudah mencobanya Gabriel, tapi dia tidak mengaku. Katanya tidak melakukan perbuatan itu sama sekali.""Aku tidak percaya. Aku akan membuatnya membuka mulut untuk mengatakan siapa pelakunya."Nathan tampak gelisah di samping Gabriel yang dengan semangatnya mengemudi menuju bengkel langganan di kota besar ini. Ia terus melirik jam tangan, berharap perjalanan ini segera berakhir. Gabriel, yang menyadari kegelisahan sahabatnya, hanya tersenyum dan mematikan musik untuk mengurangi kebisingan.Di sisi lain kota, Amanda baru saja menginjakkan kaki di aspal yang masih basah karena hujan semalam. Mata gadis desa itu terbelalak kagum melihat deretan gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Dengan ransel yang tergantung di bahu, dan koper yang diserernya, Amanda mulai melangkah gontai mencari penginapan yan
Pagi itu, Gabriel terlihat begitu tenang namun dalam hati bergejolak. Di ruangannya yang berdindingkan kaca, dia memandang langit yang cerah sambil mempersiapkan diri untuk menghadapi hari yang akan sangat panjang. Ia memeriksa berkas-berkas calon karyawan yang akan diwawancarainya satu per satu, mencari tahu siapa yang mungkin cocok untuk menjadi bagian dari timnya.Sementara itu, Nathan, tangan kanannya yang biasanya membantu dalam proses seleksi, kini tidak ada di kantor. Nathan sedang dalam misi rahasia yang diperintahkan Gabriel untuk menyelidiki kelompok mafia Meksiko yang telah merusak pasar perdagangan barang haram. Kepercayaan Gabriel kepada Nathan sangat besar, sehingga dia merasa cukup yakin bahwa Nathan bisa mengatasi masalah tersebut.Di ruang interview, Gabriel duduk di belakang meja panjangnya, menatap para pelamar dengan tatapan tajam. Setiap calon karyawan yang masuk merasa gugup karena aura ketegasan Gabriel sangat terasa. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang tajam dan