Nathan sampai meminta seorang hacker mencari keberadaan sinyal terakhir ponsel Gabriel tapi hasilnya tetal sama. Ponsel itu sudah tidak dapat ditemukan lagi dan titik terakhir berada disekitar mobil Gabriel terjatuh.
"Kemana lagi aku mencarimu? Minggu depan semua ketua mafia akan berkumpul untuk membicarakan hal penting, tapi kamu tidak ada. Apa yang harus aku lakukan?" Nathan sampai bingung harus mencari keberadaan sahabatnya itu. Sementara Amanda yang telah selamat dari sekapan Tuan Pedro telah diantar oleh Jon ke rumah Amanda. Sebelum Amanda masuk ke dalam rumah, dia dan Jon saling menatap. "Sekali lagi terima kasih atas bantuanmu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kamu tidak datang tepat waktu." "Jangan berterima kasih Amanda. Apa yang aku lakukan sudah seharusnya sebagai teman." "Ya sudah! Kalau begitu aku masuk. Oh ya, ini ada sedikit uang untukmu membeli makanan. Maaf aku tidak bisa mengantarkan makanan untukmu hari ini." "Tidak usah! Pegang saja, kamu bisa menggunakannya untuk hal yang lainnya. Soal makanku hari ini jangan kamu pikirkan. Aku bisa mencarinya. Masuklah dan istirahat didalam." Amanda memberikan senyuman sebelum dia masuk ke dalam rumah. Beberapa kali Amanda menoleh kebelakang sebelum dia benar-benar masuk ke dalam rumah. Saat Amanda masuk dalam rumah dan Jon akan pergi, dia melihat beberapa orang tengah berjalan mencari dirinya. "Sial! Mereka sudah sampai kesini. Aku tidak bisa membiarkan Amanda terlibat dalam masalahku." Jon segera berjalan dengan cepat agar tidak ketahuan. Jon terus berjalan sambil sedikit menoleh ke arah belakang. Ketika beberapa orang yang mencarinya itu ada dihalaman rumah Amanda. Jon mencari cara untuk mengusir mereka. "Aku tidak bisa membiarkan mereka menemui Amanda. Semuanya akan terbongkar kalau begitu." Jon melihat situasi untuk memikirkan langkah apa yang harus dilakukannya. Jon berjalan ke belakang rumah Amanda. Tok! Tok! "Siapa yang datang? Apa Jon kembali kesini?" Kata Amanda yang baru saja masuk ke dalam rumah. Amanda berjalan menuju pintu rumah untuk membukakan pintu. Krek! Amanda melihat ada tiga pria dengan tubuh yang berotot, sepertinya mereka bukan sembarangan orang. Amanda masih memperhatikan ketiga pria itu ada didepan pintu rumahnya. "Maaf! Ada apa anda mengetuk pintu rumahku?" "Maaf mengganggu waktumu Nona. Kami kesini ingin bertanya apakah kamu...." Pyarrr! Suara pecahan kaca terdengar jelas dari arah dapur rumah Amanda. Amanda kaget dan menoleh ke arah belakang. "Maaf Tuan, saya harus melihat Ayah saya yang ada didapur. Maaf saya tidak bisa membantu anda." Amanda segera menutup pintu rumah untuk melihat suara yang ada didapur. Ketiga pria tadi berniat menunjukkan foto seorang pria yang sedang dicari oleh mereka. "Bagaimana Bos? Sepertinya Nona ini tidak mengetahuinya. Kita cari di desa seberang saja, sepertinya di desa ini kita tidak menemukan pria yang kita cari. Bawa mundur anak buah kita untuk pindah." Jon melihat ketiga pria itu sudah pergi barulah dia keluar dari persembunyiannya. "Sudah saatnya aku kembali. Aku tidak bisa membahayakan nyawa Amanda lagi." Jon berlari ke arah rumahnya, sementara Amanda yang ada didapur dikejutkan banyaknya pecahan piring yang jatuh dari atas meja. Tapi dia tidak melihat ada Ayahnya disana. "Dimana Ayah? Jika bukan Ayah lalu siapa yang menjatuhkan semua piring ini?" Amanda masih bingung kenapa piring yang di atas meja bisa sampai jatuh padahal tidak ada siapapun disana. "Aneh!" Ucapnya sambil membersihkan semua pecahan kaca yang ada di lantai. Jon yang sudah sampai di rumah kayu sewaan Amanda, mulai mengeluarkan ponsel yang diambilnya dari anak buah Pedro. Jon menekan nomor seseorang untuk segera menjemputnya. "Hallo Nathan!" "Gabriel? Apa benar ini kamu Gabriel?" "Benar Nathan! Ini aku Gabriel. Kirim anak buah untuk menjemputku secepatnya. Aku akn mengirimkan lokasinya kepadamu." "Oh My God! Aku bisa mendengar suaramu lagi. Aku pikir akan menjadi gila kalau kamu tidak aku temukan. Baiklah! Aku akan meminta anak buah untuk segera menjemputmu." "Bawakan aku baju dan sejumlah uang." "Uang? Untuk apa? Apa ada yang memerasmu?" "Jangan banyak tanya. Lakukan saja apa yang aku minta." Jon alias Gabriel langsung mematikan telepon. Kini dua harus segera pergi demi keselamatan Amanda dari musuhnya. Gabriel tidak mau nyawa Amanda dalam bahaya jika musuh tahu kalau Amanda lah yang menyelamatkannya. Gabriel mulai mengemasi semua barang miliknya agar tidak meninggalkan jejak. Bahkan Gabriel membakar baju miliknya yang telah dicuci oleh Amanda. Dia tidak ingin musuh mengetahui kalau dia pernah ada dilingkungan sana. Rombongan mobil mewah datang ke alamat yang diberikan oleh Gabriel. Nathan sendiri yang menjemputnya bersama pasukan lengkap untuk menjaga Gabriel dari musuh. "Sahabatku, Gabriel!" Nathan memeluk Gabriel yang dilihatnya tampak baik-baik saja. "Ceritakan kepadaku, bagaimana kamu bisa selamat dan hidup dirumah ini?" "Ceritanya panjang, nanti aku ceritakan," jawab Gabriel, pandangan matanya mencari sesuatu. "Apakah kamu sudah membawa pesananku?" Seorang anak buah berjalan mendekat, menyerahkan pakaian bergantungan serta sebuah amplop tebal yang berisi uang. Gabriel, yang biasa dipanggil Jon, mengambilnya dan bergegas mengganti pakaian kasual yang sedari tadi dikenakannya. Kini, seakan menjelma menjadi pria berpenampilan jutaan dolar, Gabriel mengenakan setelan jas elegan dari brand ternama, sepatu kulit mewah yang harganya setara dengan satu unit mobil, dan bahkan jam tangan Rolex edisi terbatas pun telah menghiasi pergelangan tangannya. Rambutnya yang sebelumnya tak terurus dan tidak menggunakan minyak rambut kini sudah tertata rapi dan mengkilap, berkat sapuan minyak rambut berkelas. Perubahan drastis ini membuat Nathan tak mampu menahan diri untuk memberikan jempolnya sebagai tanda kagum dan penghargaan kepada sosok Gabriel yang bermetamorfosis dengan begitu memukau. "Ini baru Gabriel Anderson yang aku kenal." Puji sahabatnya itu, "Apakah kamu siap untuk kembali?" "Pasti, Nathan. Aku akan memberikan pelajaran kepada mereka yang sudah melakuknnya kepadaku." Tatapan tajam Gabriel melihat lurus ke depan. Tatapan yang selama ini tidak ditunjukkannya kepada Amanda. Gabriel berjalan keluar dari rumah reyot itu dan masuk ke dalam mobil Roll Royce miliknya ditemani oleh Nathan. "Kita kembali!" Ucap Nathan kepada supir. "Tidak! Aku ingin pergi kesuatu tempat sebelum kembali." Nathan menatapnya, "Kamu ingin pergi kemana? Dan menemui siapa?"Gabriel tidak menjawabnya, dia meminta supir untuk segera berjalan sesuai arahan Gabriel kemana dia akan pergi. Gabriel tiba di simpan rumah Amanda. Dia melihat sudah tidak ada sepeda Amanda ada di halamannya. Itu artinya Amanda sedang pergi untuk bekerja. "Masuklah ke dalam rumah itu, Nathan. Berikan uang ini kepada orang yang ada dirumah itu. Katakan ini uang untuk Amanda, ancam dia untuk tidak menggunakannya dan menyerahkannya secara utuh ketangan Amanda." "Amanda? Seorang wanita?" Gabriel menatap tajam ke arah Nathan karena terlalu banyak bertanya saat ini. "Baiklah! Aku akan masuk." Gabriel memperhatikannya dari dalam mobil ketika pintu rumah dibuka. Seorang pria yang tampak kusut baru bangun tidur bertanya kepada Nathan. Nathan memberikan amplop yang ada ditangannya sambil mengeluarkan senjata untul mengancam Ayah Amanda. Gabriel sampai tersenyum kecil ketika melihat aksi sahabatnya yang terlalu berlebihan dalam mengancam Ayah Amanda. Gabriel kembali menaikkan kaca jend
Gabriel berdiri di balkon kamar pribadi yang mewah, memegang gelas berisi minuman alkohol di tangan kanannya. Angin malam yang sejuk menerpa wajahnya, tapi tidak mampu mengusir panasnya rasa yang membara di dalam dada. Wajah Amanda, dengan senyum lembut dan mata yang berbinar, terus menerus menghantui pikirannya. Tiga bulan mereka bersama, bagaikan suatu mimpi indah yang kini terasa begitu jauh. Dia mencoba mengalihkan pandangannya ke lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di kejauhan, berharap bisa menghilangkan bayang-bayang Amanda dari benaknya. Namun, semakin dia mencoba untuk melupakannya, semakin kuat pula kenangan tentang Amanda muncul kembali. Setiap tawa, setiap sentuhan, setiap kata yang pernah mereka ucapkan bersama kembali berputar dalam ingatannya. Dengan frustrasi, Gabriel menghela napas berat dan berkata pada diri sendiri, "Aku harus berhenti memikirkan dia. Aku perlu fokus." Namun, suaranya terdengar getir dan penuh keraguan. Dia tahu, meski berusaha keras untuk melupa
Pagi itu, udara masih segar ketika Amanda dengan cekatan menyiapkan segala keperluan ayahnya. Dari menyeduhkan teh hangat hingga menyembunyikan uang dalam amplop cokelat yang diberikan oleh tidak dikenal pada pintu rumahnya. Dengan perasaan yang bercampur antara sayang dan kewajiban, Amanda mengecek kembali semua yang telah disiapkannya di meja dapur. Namun, keheningan pagi itu tiba-tiba terpecah oleh suara ketukan di pintu rumahnya. Zivana. Tok! Tok! Amanda yang sibuk didapur, langsung membuka pintu dan terkejut melihat seorang pria tua berdiri di depan mereka. Pria itu adalah orang yang telah dijodohkan oleh keluarga mereka untuk Amanda. Amanda, dengan mata yang melotot, memandang kebingungan ke arah pintu karena dia tidak menyangka kalau pria itu ada didepannya saat ini. Amanda, dengan apron yang masih terikat di pinggang, berjalan mendekat dengan langkah yang ragu. "Kenapa Anda datang pagi-pagi sekali ke rumah saya?" tanyanya dengan nada yang mencoba tetap sopan namun terde
Samuel berdiri di depan ruangan rapat, keringat dingin mulai mengucur deras di pelipisnya. Dalam benaknya, dia hanya menyiapkan diri untuk rapat rutin yang seharusnya dipimpin oleh kakeknya. Namun, ketika Gabriel, kakak tirinya, dengan tegas memintanya untuk memimpin rapat, Samuel seakan dibekukan di tempat. Dia tidak memiliki apa-apa, tidak satu pun dokumen atau catatan. Dengan tatapan tajam, Gabriel menatap adik tirinya yang terlihat pucat pasi itu. "Lihat, dia bahkan tidak bisa mempersiapkan diri untuk rapat biasa," cemooh Gabriel dengan suara keras yang cukup untuk semua anggota dewan mendengarnya. "Bagaimana mungkin Samuel ini layak untuk menggantikan posisiku sebagai CEO?" Gabriel mengatakannya sambil bercanda yang tertawa yang diikuti oleh semua peserta rapat termasuk Kakek Wilson. Samuel merasakan jantungnya berdetak kencang, kepalanya terasa berputar-putar mencari cara untuk membela diri. Namun, kata-kata tidak kunjung datang. Dia hanya bisa menunduk, merasa terhina dan ma
"Hentikan!" Teriak seorang wanita yang datang ingin mengunjungi putranya."Hentikan Gabriel! Kamu menyakiti putraku!"Christine, Ibu Samuel datang dan menarik tubuh Gabriel yang berada diatas tubuh putranya. Christien tampak takut jika wajah putranya hancur dipukul oleh Gabriel."Gabriel! Hentikan!" minta Nathan yang mengangkat tubuh Gabriel menjauh dari Samuel.Napas Gabriel masih memburu, hatinya bergolak dengan amarah yang tak kunjung reda. Di ruangan yang penuh dengan suara bisikan dan tatapan sinis itu, Christine, ibu tirinya, dengan lantang menuduhnya telah merusak masa depan anaknya. Dengan mata yang membara, Christine melabrak Gabriel, "Kau tahu tidak, karena ulahmu itu, wajah anakku jadi hancur! Aku akan pastikan Tuan Wilson mendengar ini dan mengurungkan niatnya menyerahkan perusahaan padamu!"Mendengar ancaman itu, Gabriel yang sudah penuh dengan frustrasi, kehilangan kesabarannya. Ia berdiri tegak, menatap tajam ke arah ibu tirinya yang berdiri di samping Christine. Dengan
Amanda, dengan mata berbinar-binar, mengemasi pakaian ke dalam koper besar yang sudah menunggu di sudut kamarnya. Dia baru saja menerima berita soal lowongan pekerjaan di Wilton Group, perusahaan yang sangat dia idamkan. Seolah-olah ada semangat baru yang mengalir dalam darahnya, dia bergegas menyusun segala sesuatunya, dari kemeja rapi hingga sepatu hak tinggi yang selalu dia simpan untuk momen penting. Ayahnya, yang sedang menonton televisi dengan ditemani minuman alkoholnya di ruang tamu, kaget bukan kepalang melihat Amanda berlarian ke sana kemari seperti ada yang mengejarnya. "Amanda, ada apa, denganmu? Sepertinya kamu dikejar-kejar setan," tanyanya dengan pandangan penuh tanya. Amanda, yang sedang memasukkan beberapa dokumen penting ke dalam tas kerjanya, menjawab tanpa menoleh, "Aku harus berangkat kekota hari ini juga Ayah. Bus akan lewat satu jam lagi dan aku tidak mau ketinggalan Bus." "Kekota? Untuk apa? Apa kamu mau pergi meninggalkanku? Lalu aku bagaimana?" tanya Ayah
Mendengar perintah Gabriel yang ingin menghabisi musuh mereka membuat ke tiga pemimpin mafia lainnya terdiam. Mereka tidak mengira jika keputusan itu yang akan di ambil Gabriel sebelum jalur komunikasi yang dilakukan oleh Tuan Wilton sebelumnya. "Apakah kamu yakin, Gabriel? Jika kita menghabisinya maka akan jadi pertumpahan darah dalam jumlah yang besar." "Bukankah kalian meminta pendapatku? Maka aku sudah memberikan pendapatku mengenai masalah ini. Kini kalian meragukan keputusanku untuk menghabisi mereka. Lalu menurut kalian apa keputusan yang tepat? Berdamai? Bicara empat mata yang pasti tidak akan membuahkan hasil sama sekali." Mathew yang menganggukkan kepalanya bisa menerima alasan Gabriel. Dia setuju dengan keputusan Gabriel untuk menghabis kelompok Meksiko itu. "Aku setuju dengan keputusan Gabriel. Kita harus memberikan shock terapi kepada siapapun yang berani bermain dengan kita. Jadi tidak ada lagi masalah yang terjadi dalam bisnis kita sehingga orang akan berpikir d
"Kemana kamu menarik bajuku Gabriel?""Ikut denganku bertemu pria itu. Aku ingin tahu siapa yang telah menyuruhnya merusak rem mobilku.""Aku sudah mencobanya Gabriel, tapi dia tidak mengaku. Katanya tidak melakukan perbuatan itu sama sekali.""Aku tidak percaya. Aku akan membuatnya membuka mulut untuk mengatakan siapa pelakunya."Nathan tampak gelisah di samping Gabriel yang dengan semangatnya mengemudi menuju bengkel langganan di kota besar ini. Ia terus melirik jam tangan, berharap perjalanan ini segera berakhir. Gabriel, yang menyadari kegelisahan sahabatnya, hanya tersenyum dan mematikan musik untuk mengurangi kebisingan.Di sisi lain kota, Amanda baru saja menginjakkan kaki di aspal yang masih basah karena hujan semalam. Mata gadis desa itu terbelalak kagum melihat deretan gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Dengan ransel yang tergantung di bahu, dan koper yang diserernya, Amanda mulai melangkah gontai mencari penginapan yan