Gabriel yang duduk di kursi belakang mobil mewahnya, merasa jantungnya berdetak kencang saat matanya menangkap sosok yang berjalan di pinggir jalan. Dengan cepat ia meminta supirnya menghentikan mobil. Sambil membuka pintu mobil, jantungnya berdegup semakin kencang, harapan dan kegugupan bercampur menjadi satu. Dia berlari kecil ke arah belakang, matanya tidak lepas dari sosok wanita yang berjalan dengan langkah santai. Rambutnya yang terurai dan cara ia tertawa saat berbicara dengan seseorang di teleponnya, semua itu membuat Gabriel yakin bahwa itu adalah Amanda, wanita yang selama ini menghantui pikirannya. Namun, saat dia mendekat, detak jantungnya yang semula cepat berubah menjadi kecewa. Wanita itu memalingkan wajahnya, dan Gabriel menyadari bahwa dia bukan Amanda. Wanita desa dengan senyuman yang hangat itu bukanlah Amanda yang selama ini dia cari. Dengan rasa kecewa, Gabriel kembali ke mobil dan dengan tegas meminta supirnya melanjutkan perjalanan. Di tempat lain, Amanda ba
"Kakekkkkkkkk!" Teriak histeris Gabriel ketik dia melihat tiga tubuh yang terjepit didalam mobil. Salah satunya Tuan Wilton, Kakek Gabriel.Dunia Gabriel seolah runtuh, dia terlambat menyelamatkan Kakeknya dari keserakahan saudara tirinya yang menginginkan harta dan warisan dari keluarga Wilton.Gabriel menatap penuh keputusasaan pada tubuh kakek Wilton yang terjepit di antara reruntuhan mobil. Darah mengalir deras, membasahi pakaian yang dikenakan sang kakek, membuat pemandangan itu semakin menyayat hati. Gabriel, dengan tubuh gemetar dan mata yang berkaca-kaca, berusaha mendekat untuk menolong. Namun, tangannya dipegang erat oleh Komisaris Polisi, yang juga mengenalnya sejak kecil."Tidak, Gabriel! Kamu tidak boleh mendekat sekarang," tegas Komisaris Polisi, sambil menahan bahu Gabriel agar tidak bergerak lebih jauh."Tapi, Tuan, itu Kakekku! Aku harus..." suara Gabriel tercekat, tak mampu melanjutkan kata-katanya karena isak tangis yang pecah.Komisaris Polisi menghela napas berat
Semua orang berkumpul di rumah duka di rumah tua keluarga Wilton. Rumah duka itu penuh sesak dengan berbagai jenis orang, dari yang berpakaian rapi dengan dasi dan jas hingga yang berusaha menyamarkan diri dengan topi dan kacamata hitam. Gabriel, dalam setelan hitamnya yang ketat dan kacamata hitam yang menutupi lingkaran hitam di bawah matanya, berdiri tegak di samping peti mati kayu mahoni yang terbuka. Dengan suara yang serak, Gabriel menyambut setiap pelayat yang datang. "Terima kasih telah datang," bisiknya berulang-ulang, tangannya yang dingin berjabat dengan hangatnya tangan para tamu. Meskipun dia berusaha keras untuk terlihat tenang dan terkumpul, ada sesekali kedipan matanya yang menunjukkan kelelahan dan kesedihan mendalam yang dia rasakan. Di sudut lain, Samuel dan ibunya, yang pucat dan ketakutan, berdiri terpisah dari kerumunan utama. Gabriel, dengan tegas, telah melarang mereka mendekati peti mati, mengingat ketegangan yang belum terselesaikan dalam keluarga. Samuel
"Apa kamu serius, Gabriel? Kenapa wanita ini tidak melakukan wawancara yang sama dengan pelamar lainnya? Lalu dia ditempatkan sebagai asisten pribadimu? Apa kamu mau membuangku?" "Lakukan saja apa yang aku perintahkan. Sekarang ayo kita berangkat."Di tengah keheningan yang mencekam, langkah Gabriel bergema di lantai kantornya. Gabriel hampir tidak istirahat untuk menutup matanya selama 34jam sejak Kakek Wilton diketahui kecelakaan dan menghembuskan napas terakhir. Wajahnya yang pucat menunjukkan rasa kehilangan yang mendalam serta lelah yang diabaikannya, namun ia harus segera berangkat ke Meksiko untuk menghadapi masalah besar yang menantinya. Tangannya menggenggam ponsel yang akan menghubungkannya dengan mata-mata yang sudah dikirimnya lebih dulu terbang kesana untuk mengawasi mangsa yang akan dibahasinya. Sementara itu, Samuel dan Catherine, dua orang serakah yang sering merasa tersisih, merasa ini adalah kesempatan mereka untuk mengambil keuntungan dari situasi tersebut. Mereka
Gabriel, dengan tatapan yang tajam dan penuh kewaspadaan, melangkahkan kakinya di tanah Meksiko bersama Nathan dan puluhan anak buahnya. Matahari terik Meksiko tidak sedikit pun mengurangi ketegangan yang terasa di antara mereka. Kelompok Genovese, kelompok mafia yang dipimpin oleh Gabriel, adalah warisan keluarga yang tidak bisa dia tolak. Nama Genovese sendiri diambil dari kakek Wilton, pendiri kelompok ini, yang dikenal kejam dan disegani di dunia bawah tanah.Mereka bergerak cepat menuju sebuah gudang terpencil yang akan dijadikan markas sementara. Di dalam gudang yang remang-remang, Gabriel memeriksa setiap sudut, memastikan tidak ada yang mengikuti atau mengawasi mereka. Suasana hening, hanya suara langkah kaki mereka yang bergema.Nathan mendekati Gabriel, membisikkan beberapa informasi penting. Wajah Gabriel yang selama ini hanya dikenal oleh orang-oranh yanh dipercaya dan orang terdekatnya, kini harus lebih waspada dari sebelumnya. Tidak ada yang boleh tahu keberadaan atau ba
"Amanda! Amanda!" ucap Gabriel saat matanya masih tertutup.Nathan duduk di sisi ranjang Gabriel, tangan Gabriel yang pucat tergenggam erat di tangannya. Keringat dingin membasahi dahi Gabriel yang pucat pasi, seolah menandakan rasa sakit yang masih menggelayuti tubuhnya. Suara Gabriel terdengar parau dan lemah, mengingau seakan-akan terjebak dalam mimpi buruk yang tak berkesudahan.Sejak kembali ke penthouse, demam tinggi tak kunjung surut, dan pengingauan Gabriel semakin sering terdengar. Nathan mencoba membangunkan sahabatnya dengan lembut, menggoyangkan bahu Gabriel pelan. Matanya yang cemas menatap wajah Gabriel yang tampak menderita.Gabriel terbangun dengan tiba-tiba, matanya yang setengah terbuka langsung mencari sesuatu, atau seseorang. "Amanda," gumamnya lemah, suara yang hampir tak terdengar. Nathan, dengan raut muka yang penuh kekhawatiran, bertanya dengan lembut, "Kamu baik-baik saja, Gab?"Mengusap wajahnya yang basah oleh keringat, Gabriel mengangguk perlahan. "Aku baik
Gabriel berdiri dengan tenang di ruang pengacara keluarga yang megah, tangannya memegang surat wasiat yang telah diubah oleh Samuel dan ibunya. Wajahnya menampilkan senyuman tipis, mengetahui bahwa kedua pelaku itu tak menyadari telah terperangkap dalam permainannya yang cermat. Mata Gabriel yang tajam menatap pengacara keluarga, seorang pria setia yang telah lama bekerja untuk keluarga Wilton."Pastikan surat wasiat asli ini terjaga dengan baik," ujarnya dengan suara yang berwibawa, sambil menyerahkan dokumen yang sangat penting itu.Pengacara itu mengangguk serius, "Tentu, Tuan Gabriel. Akan saya lakukan sesuai permintaan mendiang Kakek Wilton."Kepuasan tergambar di wajah Gabriel saat dia merobek surat wasiat palsu itu menjadi berkeping-keping, kemudian melemparkannya ke dalam tong sampah seperti membuang sampah tak berguna. Tanpa menoleh lagi, Gabriel berjalan keluar dari kantor pengacara dengan langkah yang mantap, menuju pertemuan dengan orang suruhannya yang telah menunggu di s
Matahari terbenam memancarkan cahaya merah muda melalui jendela besar penthouse milik Gabriel. Dalam ketegangan, Gabriel berlarian mengelilingi ruangan luas itu, mengumpulkan foto-foto dan barang-barang pribadi yang terserak, memastikan tidak ada yang tertinggal di luar. Ia menyusun semuanya ke dalam laci sebelum mengunci pintu kamar tamu, tempat dia memutuskan untuk bersembunyi.Dengan napas yang masih tersengal, Gabriel mengambil ponselnya dan mengirim pesan singkat kepada Nathan, "Pintu terbuka, masuk pakai kode yang kamu tahu." Detik berikutnya, suara pintu penthouse terdengar terbuka dan langkah kaki Nathan yang tergesa-gesa memasuki ruangan, diikuti oleh suara lembut Amanda yang menyapa ruangan itu."Ini penthouse Tuan Gabriel. Kode pintunya adalah 070313, kamu harus mengingatnya agar nanti kamu bisa bebas masuk ke dalam sini untuk mengambil barang."Nathan, dengan tatapan yang penasaran, memperhatikan setiap sudut penthouse yang tampak sedikit berantakan. Beberapa foto keluarga