"Cantik!" Hanya kata itu yang keluar daribmulut Jon ketika Amanda tersenyum kepadanya sebelum dia pergi bekerja.
Jon melihat makanan yang sudah disiapkan oleh Amanda sebelum dia pergi. Jon mengambil satu persatu dan menikmatinya karena Jon merasa kelaparan. Setelah menghabiskan makanan itu, Jon mencoba mengintip dibalik jendela situasi dirumah kayu yang disiapkan oleh Amanda. "Tampaknya aman. Aku belum bisa pergi dari sini dalam kondisi seperti sekarang. Lebih baik tidak ada yang mengenalku dan mengira aku sudah tiada." Jon kembali ke atas kasur yang jauh dari kata empuk. Jon sama sekali tidak menggunakan baju yang dibawa Amanda karena ukurannya sangat kecil. Tapi Jon menyukai aroma vanila pada baju milik Amanda. Dia meletakkan baju milik Amanda sebagai alas untuk kepalanya. "Pesanan dimeja 13 meminta kamu yang mengantarkannya, Amanda." "Kenapa harus aku?" Amanda mencoba mengintip dari dapur ke arah depan untuk melihat siapa yang ada di meja 13 yang meminta khusus agar dia yang mengantar pesanan. "Sial! Kenapa si tua bangka itu ada disini?" Amanda kesal ketika dia melihat Tuan Pedro datang ke restaurant tempat Amanda bekerja. Amanda tidak suka bertemu dengannya karena pasti akan dipaksa untuk menikah. "Amanda! Ini pesanan meja no.13." Lamunan Amanda buyar ketika koki restaurant memanggilnya untuk segera mengantarkan pesanan pembeli. Walau tidak suka, Amanda terpaksa mengantarkannya. Dengan senyuman yang dipaksa Amanda meletakkan semua pesanan itu di atas meja. "Pesanan anda datang Tuan." "Terima kasih calon istriku. Kamu masih bekerja saja, bukankah uang yang aku berikan sudah cukup untukmu merawat diri agar bisa melayaniku saat malam pertama kita?" "Apa ada pesanan tambahan Tuan?" "Aku mau susu hangat darimu." Mata Pedro tertuju ke arah d4d4 Amanda. Amanda harus mengontrol emosinya agar tidak terjadi keributan sementara restaurant sedang banyak pengunjung. "Anda ingin menambah minuman susu hangat Tuan? Kalau begitu aku akan menambah kedalam pesanan anda." Amanda akan berjalan untuk mengambil pesanan tambahan tapi Tuan Pedro memegang tangan Amanda. Amanda langsung menepisnya dan menatap Tuan Pedro. "Maaf Tuan, jaga sikap anda disini atau aku akan berteriak karena anda melecehkan aku." "Melecehkan? Untuk apa aku melecehkan calon istriku sendiri yang nantinya juga akan membuka kakinya lebar-lebar didepanku agar aku bisa menjil4t miliknya yang menawan itu." Merasa perkataan Tuan Pedro sudah sangat keterlaluan, Amanda akhirnya menantang Tuan Pedro dengan menatapnya. "Tuan, aku masih menghargai anda karena anda seumuran dengan Ayahku. Jadi jangan membuat masalah denganku lagi. Satu lagi! Aku tidak akan pernah mau menikah denganmu yang pantas aku panggil Paman." Amanda pergi meninggalkan Pedro yang merasa ditolak didepan umum membuat harga dirinya hancur. "Hei wanita mur4han! Kamu sudah menerima uang begitu banyak dariku untuk menjadi istriku. Jadi jangan sok jual mahal kepadaku sekarang. Dua hari lagi kamu akan menikah denganku. Jika kamu tidak mengikuti keinginanku maka kamu akan tahu akibatnya." Pedro mengatakannya dengan suara keras sehingga semua orang tahu kalau dia tengah berbicara dengan Amanda. Amanda yang sudah berjalan masuk dapur hanya bisa menyandarkan tubuhnyabke dinding sambil menunduk dan meneteskan air mata. "Amanda!" "Aku tidak apa-apa! Bisakah kamu menggantikan aku malam ini? Pikiranku kacau dan aku ingin sendiri. Besok malam biar aku menggantikanmu bekerja." "Baiklah! Pergilah Amanda." Amanda melepaskan apron yang digunakannya dan berjalan sambil menarik tas miliknya yang ada diloker khusus karyawan. Amanda mengambil sepeda miliknya dan berjalan tidak tahu arah. Dia tidak mungkin pulang karena dia pasti akan melihat Ayahnya mabuk. Amanda ingin kepantai malam ini tempat biasa dia duduk jika hatinya sedih tapu Amanda mengurungkannya karena cuaca sebentar lagi akan hujan. Hanya satu tujuan yang terlintas dalam pikirannya saat ini, yaitu rumah kayu tempat Jon. Amanda mengayuh sepedanya menuju rumah kayu itu. Dia membuka pintu yang tidak terkunci karena memang rumah itu tidak memiliki pengunci yang kuat. Amanda masuk dan terkejut ketika dia melihat Jon belum tidur. "Kamu belum tidur?" Tanya Amanda dengan wajah lesu. "Aku terbangun karena haus. Ada apa denganmu? Kenapa wajahmu tampak lesu dan juga sedih?" "Aku lelah Jon. Aku...." Amanda memilih dudukndi lantai karena dirumah itu hanya memiliki satu kursi kayu yang reyot. "Duduklah diatas kasur Amanda. Lantainya masih kotor dan aku tidak menemukan sapu untuk membersihkannya." Amanda menuruti perkataan Jon dan berpindah ke atas kasur untuk duduk. Jon pun semakin heran kenapa Amanda mau mengikuti perkataannya karena Jon tahu Amanda tidak suka jika dia diperintah. Jon juga ikut duduk diatas kasur sambil melihat Amanda yang diam memeluk lututnya dan membenamkan kepalanya di lutut. Jon bingung harus berbuat apa, dia memilih untuk diam dan melihat Amanda. Jon mendengar tangisan Amanda yang membuatnya harus melakukan sesuatu. "Amanda! Ada apa denganmu? Bisakah kamu menceritakan semuanya kepadaku?" Amanda tidak menjawabnya, dia terus menangis yang membuat Jon bingung. "Jika kamu menangis seperti ini dan tidak mau cerita, aku tidak tahu harus membantumu." Amanda mengangkat kepalanya dan menatap Jon dengan mata yang merah karena menangis. "Jon, apakah kamu pernah merasakan kesal dengan orang tuamu sendiri? Apakah kamu pernah merasa ingin lari dari kehidupan ini?" Jon menatap mata sedih Amanda. Apa yang dirasakan Amanda tidak jauh berbeda dengannya. Jon ingin lari dari kehidupannya tapi dia belum bisa menceritakan semuanya kepada Amanda. "Ceritakanlah kepadaku. Siapa tahu aku bisa menghiburmu atau membantumu." Amanda menatap mata Jon yang ada didepannya. Belum pernah ada orang yang mau mendengarkan semua masalahnya seperti yang ditawarkan oleh Jon. "Jika kamu tidak nyaman untuk bercerita tidak masalah. Aku hanya ingin membantumu mengurangi beban yang ada dipikiranmu." Amanda masih memperhatikannya, ada rasa ingin membagi cerita itu kepada Jon, pria yang baru saja dikenalnya. "Aku dipaksa menikah oleh Ayahku dengan pria yang usianya sudah tua. Bahkan dia sudah memiliki dua istri sebelumnya. Aku tidak mau menikah dengannya, Jon. Dia pantas menjadi Ayah atau Pamanku, tapi Ayah memiliki hutang yang sangat banyak kepadanya. Bahkan tadi dia datang ke tempat kerjaku dan mengatakan didepan umum kalau aku adalah calon istrinya. Dia mengatakan hal kotor yang tidak mau aku dengarkan." Air mata Amanda jatuh, Jon melihat kesedihan yang amat dalam dari mata Amanda. Dia tidak menyangka jika didunia luar seperti ini masih ada perjodohan berdasarkan uang dan itu tidak jauh beda dengan kehidupan di kota yang ingin mempererat bisnis maka anak mereka dijodohkan demi bisnis. "Apa kamu sudah bicara dengan Ayahmu untyk menolaknya?" "Percuma Jon. Setiap aku menolaknya, maka aku akan berdebat dengan Ayah. Aku bahkan bertengkar dengannya. Ingin aku pergi dari sini meninggalkannya tapi...." Amanda kembali menundukkan wajahnya. Dia merasa sedih jika kembali memgingat janji yang pernah diucapkan kepada Ibunya. "Tapi apa Amanda?" Amanda kembali mengangkat kepalanya dengan air mata yang membasahi pipi. "Aku sudah berjanji dengan Ibuku sebelum dia meninggal. Aku berjanji akan menjaga Ayah sampai dia tua dan tidak akan meninggalkannya." "Lalu apa yang akan kamu lakukan?" "Aku tidak tahu! Mungkin aku harus mengikuti keinginannya dan membuatnya merasa bahagia sesuai janjiku kepada Ibu." Jon menekan rahangnya sehingga beberapa urat disekitar rahang terlihat jelas. Dia merasa keputusan Amanda bukanlah yang tepat. "Kamu yakin dengan keputusanmu itu?" "Aku tidak tahu! Aku tidak menemukan jalan yang tepat. Bahkan ini pertama kalinya aku bisa bercerita dengan seseorang mengenai masalahku." "Jadi kamu anggap aku adalah teman yang bisa diajak bicara?" "Tidak ada pilihan lain karena kamu hidup dirumah ini dari uangku." jawaj Amanda yang membuat Jon tertawa mendengarnya. "Lupakan semua itu. Kapan mereka akan memaksamu menikah?" "Dua hari lagi. Dua hari lagi hidupku akan berubah Jon. Tapi kamu tenang saja, aku menyewa rumah ini selama satu bulan sampai kamu benar-benar sembuh. Soal makanan, akan aku usahan untuk meminta bantuan dari orang mengirimnya." "Kamu tidak akan kesini lagi?" "Sepertinya! Dua hari lagi aku akan menikah dengan tua bangka itu jadi aku yakin Ayah tidak mengizinkan aku untuk keluar lagi." "Kalau boleh aku tahu, siapa pria yang akan menikahimu?" "Tuan Pedro. Dia tuan tanah didesa ini. Rumah yang aku tempati adalah miliknya jadi dia berkuasa akan semuanya termasuk diriku." Jon menganggukkan kepalanya karena dia sudah paham semua masalah yang dihadapi Amanda. Jon juga tahu siapa pria yang memaksa Amanda untuk menjadi istrinya. Malam itu, Jon membiarkan Amanda tertidur dikasurnya setelah menangis. Jon yang sudah terbiasa begadang hanya menatap Amanda yang tertidur dengan sisa air matanya. "Pernikahanmu tidak akan pernah terjadi Amanda. Kamu wanita spesial dan berbeda yang pernah aku temui." ucap Jon ketika dia merapikan rambut Amanda yang menutupi wajahnya.Setelah semalaman menangis, Amanda ketiduran diatas kasur milik Jon. pagi ini dia harus kembali bekerja karena dia bukan seorang putri kaya raya yang harus menikmati mimpinya dikala pagi.Amanda membuka mata dan terkejut ketika dia melihat Jon duduk dikursi sambil menatapnya."Kamu membuatku kaget saja. Apa yang kamu lakukan disana? Kenapa kamu bangun sangat pagi seperti ini?""Aku sudah duduk disini sejak semalam karena ada seorang wanita menangis semalaman dan tertidur di atas kasurku." Jon bangun dan mengajak Amanda berdiri. "Bangunlah! Aku sudah menyiapkan sarapan seadanya saja."Amanda langsung bangun dan melihat sebuah roti yang telah diberi selai didalamnya. "Cuma itu yang tersisa dari makanan yang kamu bawa.""Lumayan! Setidaknya aku masih bisa mengisi perutku sebelum kembali pulang untuk mengganti pakaian.""Memangnya kamu mau kemana?""Aku harus bekerja! Aku bukan putri bangsawan yang harus duduk manis untuk me
Jon mencari petunjuk untuk mengetahui dimana Amanda saat ini. Dia berjalan di sekitar sepeda yang di temukannya. Tapi Jon melihat beberapa orang yang dikenalnya berkeliaran mencari keberadaannya disana.Jon bersembunyi sebelum mereka mengetahui kalau Jon ada didesa itu."Aku harus sembunyi. Aku tidak bisa tertangkap oleh mereka, aku harus mencari Amanda lebih dulu."Jon menyelinap melarikan diri ke arah berlawanan. Dia mencari petunjuk dimulai dari rumah Amanda. Jon tahu kalau desa itu sangat kecil sehingga akan mudah menemukan dimana rumah Amanda."Nyonya, maaf boleh aku bertanya?""Iya.""Apakah Nyonya tahu di mana rumah Amanda?""Amanda? Amanda yang mana?"Jon kebingungan karena dia tidak tahu nama panjang Amanda. "Dia berusia sekitar 22 atau 23 tahun, rambutnya panjang warna coklat terus dia putih. Oh satu lagi, dia hanya punya seorang Ayah.""Oh Amanda itu. Rumahnya ada didepan sana. Nanti kamu lur
"Mau kemana anda Tuan?" Jon siap menembak kepala Tuan Pedro yang ingin melarikan diri setelah dia menculik Amanda."Ampun! Ampuni aku!""Berdirilah!" Minta Jon kepada Pedro.Pria tua itu akhirnya berdiri dan mengangkat kedua tangannya. Kancing kemeja yang digunakannya sudah terlepas karena dia ingin menyentuh tubuh Amanda."Jalan!" Dorong Jon pada bahu Pedro untuk berjalan keluar dari dalam rumah. Seluruh anak buah Pedro berhasil dibunuh Jon ketika adu tembak tadi."Angkat tanganmu tinggi-tinggi!" Minta Jon kepada Pedro. Pedro terpaksa menurut perintah Jon karena dia tidak mau mati ditembak oleh pria yang wajahnya tidak terlihat."Jangan tembak Tuan. Ampuni saya!""Aku akan mengampunimu dengan saty syarat. Apa kamu mau mengikuti syarat yang aku buat?""Apa itu Tuan?" jawab Pedro dengan gugup."Jangan pernah memaksa menikah dengan Amanda. Batalkan pernikahan itu dan jauhi keluarganya. Jika sampai kamu ma
Nathan sampai meminta seorang hacker mencari keberadaan sinyal terakhir ponsel Gabriel tapi hasilnya tetal sama. Ponsel itu sudah tidak dapat ditemukan lagi dan titik terakhir berada disekitar mobil Gabriel terjatuh. "Kemana lagi aku mencarimu? Minggu depan semua ketua mafia akan berkumpul untuk membicarakan hal penting, tapi kamu tidak ada. Apa yang harus aku lakukan?" Nathan sampai bingung harus mencari keberadaan sahabatnya itu. Sementara Amanda yang telah selamat dari sekapan Tuan Pedro telah diantar oleh Jon ke rumah Amanda. Sebelum Amanda masuk ke dalam rumah, dia dan Jon saling menatap. "Sekali lagi terima kasih atas bantuanmu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kamu tidak datang tepat waktu." "Jangan berterima kasih Amanda. Apa yang aku lakukan sudah seharusnya sebagai teman." "Ya sudah! Kalau begitu aku masuk. Oh ya, ini ada sedikit uang untukmu membeli makanan. Maaf aku tidak bisa mengantarkan makanan untukmu hari ini." "Tidak usah! Pegang saja, kamu bisa mengg
Gabriel tidak menjawabnya, dia meminta supir untuk segera berjalan sesuai arahan Gabriel kemana dia akan pergi. Gabriel tiba di simpan rumah Amanda. Dia melihat sudah tidak ada sepeda Amanda ada di halamannya. Itu artinya Amanda sedang pergi untuk bekerja. "Masuklah ke dalam rumah itu, Nathan. Berikan uang ini kepada orang yang ada dirumah itu. Katakan ini uang untuk Amanda, ancam dia untuk tidak menggunakannya dan menyerahkannya secara utuh ketangan Amanda." "Amanda? Seorang wanita?" Gabriel menatap tajam ke arah Nathan karena terlalu banyak bertanya saat ini. "Baiklah! Aku akan masuk." Gabriel memperhatikannya dari dalam mobil ketika pintu rumah dibuka. Seorang pria yang tampak kusut baru bangun tidur bertanya kepada Nathan. Nathan memberikan amplop yang ada ditangannya sambil mengeluarkan senjata untul mengancam Ayah Amanda. Gabriel sampai tersenyum kecil ketika melihat aksi sahabatnya yang terlalu berlebihan dalam mengancam Ayah Amanda. Gabriel kembali menaikkan kaca jend
Gabriel berdiri di balkon kamar pribadi yang mewah, memegang gelas berisi minuman alkohol di tangan kanannya. Angin malam yang sejuk menerpa wajahnya, tapi tidak mampu mengusir panasnya rasa yang membara di dalam dada. Wajah Amanda, dengan senyum lembut dan mata yang berbinar, terus menerus menghantui pikirannya. Tiga bulan mereka bersama, bagaikan suatu mimpi indah yang kini terasa begitu jauh. Dia mencoba mengalihkan pandangannya ke lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di kejauhan, berharap bisa menghilangkan bayang-bayang Amanda dari benaknya. Namun, semakin dia mencoba untuk melupakannya, semakin kuat pula kenangan tentang Amanda muncul kembali. Setiap tawa, setiap sentuhan, setiap kata yang pernah mereka ucapkan bersama kembali berputar dalam ingatannya. Dengan frustrasi, Gabriel menghela napas berat dan berkata pada diri sendiri, "Aku harus berhenti memikirkan dia. Aku perlu fokus." Namun, suaranya terdengar getir dan penuh keraguan. Dia tahu, meski berusaha keras untuk melupa
Pagi itu, udara masih segar ketika Amanda dengan cekatan menyiapkan segala keperluan ayahnya. Dari menyeduhkan teh hangat hingga menyembunyikan uang dalam amplop cokelat yang diberikan oleh tidak dikenal pada pintu rumahnya. Dengan perasaan yang bercampur antara sayang dan kewajiban, Amanda mengecek kembali semua yang telah disiapkannya di meja dapur. Namun, keheningan pagi itu tiba-tiba terpecah oleh suara ketukan di pintu rumahnya. Zivana. Tok! Tok! Amanda yang sibuk didapur, langsung membuka pintu dan terkejut melihat seorang pria tua berdiri di depan mereka. Pria itu adalah orang yang telah dijodohkan oleh keluarga mereka untuk Amanda. Amanda, dengan mata yang melotot, memandang kebingungan ke arah pintu karena dia tidak menyangka kalau pria itu ada didepannya saat ini. Amanda, dengan apron yang masih terikat di pinggang, berjalan mendekat dengan langkah yang ragu. "Kenapa Anda datang pagi-pagi sekali ke rumah saya?" tanyanya dengan nada yang mencoba tetap sopan namun terde
Samuel berdiri di depan ruangan rapat, keringat dingin mulai mengucur deras di pelipisnya. Dalam benaknya, dia hanya menyiapkan diri untuk rapat rutin yang seharusnya dipimpin oleh kakeknya. Namun, ketika Gabriel, kakak tirinya, dengan tegas memintanya untuk memimpin rapat, Samuel seakan dibekukan di tempat. Dia tidak memiliki apa-apa, tidak satu pun dokumen atau catatan. Dengan tatapan tajam, Gabriel menatap adik tirinya yang terlihat pucat pasi itu. "Lihat, dia bahkan tidak bisa mempersiapkan diri untuk rapat biasa," cemooh Gabriel dengan suara keras yang cukup untuk semua anggota dewan mendengarnya. "Bagaimana mungkin Samuel ini layak untuk menggantikan posisiku sebagai CEO?" Gabriel mengatakannya sambil bercanda yang tertawa yang diikuti oleh semua peserta rapat termasuk Kakek Wilson. Samuel merasakan jantungnya berdetak kencang, kepalanya terasa berputar-putar mencari cara untuk membela diri. Namun, kata-kata tidak kunjung datang. Dia hanya bisa menunduk, merasa terhina dan ma
Mobil hitam dengan kaca gelap melaju kencang di jalanan kota, mengoyak hening malam. Di dalamnya, Gabriel mengepalkan tinjunya kuat-kuat, urat-urat di dahinya menonjol, menandakan betapa marahnya dia. Setiap kali pikirannya melayang pada serangan yang baru saja dia alami, jantungnya berdegup lebih keras. Sopirnya melirik sekilas melalui kaca spion, menangkap bayangan wajah Gabriel yang terlihat tegang. Di kursi belakang, dua orang anak buahnya duduk dengan waspada, sesekali memeriksa keluar jendela, memastikan tidak ada yang mencurigakan mengikuti mereka. "Amanda... pastikan dia aman," suara Gabriel terdengar parau, mencoba menenangkan diri tapi gagal. Dia mengeluarkan ponselnya, jari-jarinya gemetar saat mengetik nomor Amanda. Tapi, layar ponsel menunjukkan bahwa ponsel Amanda tidak aktif. Hatinya semakin resah. "Boss, saya sudah perintahkan tim untuk mengawasi apartemen Miss Amanda. Mereka akan melaporkan segera jika ada yang tidak beres," kata salah satu anak buahnya, mencoba
Gabriel memarkir mobilnya di depan apartemen mewah yang menjadi tempat tinggal baru Amanda. Ia membantu Amanda membawa barang-barang hadiah yang diberikan tadi malam ke lobi gedung tersebut. Amanda, dengan senyum yang tak pernah pudar, berterima kasih kepada Gabriel atas semua kebaikan yang telah diberikan kepadanya, termasuk makan malam yang hangat dan penuh kejutan."Dengan senang hati, Amanda. Semoga kamu suka dengan semua ini," ujar Gabriel dengan senyum simpul, menyembunyikan rahasia besar di balik semua 'fasilitas kantor' yang sebenarnya hanya untuk Amanda.Mereka berdua melangkah masuk ke dalam lift, dan Amanda terus mengagumi detail apartemen baru yang akan menjadi rumahnya. Cahaya lampu yang hangat dan desain interior yang elegan membuatnya semakin takjub. Gabriel hanya tersenyum melihat reaksi Amanda, tahu bahwa semua ini adalah bagian dari rencananya untuk lebih dekat dengan wanita itu."Tidak sabar untuk melihat reaksi kamu saat memakai kalung yang sudah aku berikan tadi,"
Gabriel menatap Amanda dengan pandangan yang mengungkapkan rasa terima kasih yang mendalam. "Aku harus menyembunyikan identitasku, Amanda. Jika tidak, musuh-musuhku akan dengan mudah menemukanku di desa ini," ungkapnya dengan nada serius. Amanda mengerutkan keningnya, rasa tidak percaya terpancar dari matanya. "Aku tidak akan pernah memberitahu mereka, Gabriel! Aku tidak akan melakukannya meskipun kamu terus menyembunyikan hal ini dariku," protesnya, suara penuh emosi. Gabriel tersenyum lembut, matanya berkilauan penuh kelembutan. "Aku tahu, Amanda. Aku tahu kamu bukan tipe wanita yang akan mengkhianati kepercayaan seseorang," katanya, suaranya penuh keyakinan. "Itulah mengapa aku memilih untuk percaya dan meminta bantuanmu." Amanda tampak sedikit lebih tenang namun masih penasaran. "Lalu, siapa yang ingin menemukanmu? Siapa musuhmu itu?" tanyanya, rasa ingin tahu jelas terlihat di wajahnya. Gabriel menghela napas, matanya sejenak terlihat gelap sebelum dia menjawab. "Itu cerit
Gabriel membuka pintu penthouse mewahnya dengan senyum lebar di wajahnya. "Selamat datang kembali, Amanda," ucapnya, sambil memberikan isyarat agar Amanda masuk ke dalam. Ruangan itu tampak terang dengan dekorasi modern yang elegan, sama seperti yang pertama kali Amanda lihat saat Nathan memperkenalkannya beberapa waktu lalu.Amanda melangkah masuk, matahari sore menyinari ruang tamu melalui jendela besar yang menawarkan pemandangan kota yang memukau. Gabriel mempersilakan Amanda untuk duduk di sofa yang empuk. "Aku akan memasak sesuatu untukmu," kata Gabriel sambil berjalan ke dapur terbuka yang terletak tak jauh dari ruang tamu.Amanda, yang masih terkejut dengan keahlian memasak Gabriel, bertanya dengan nada penasaran, "Kamu bisa memasak, Tuan Gabriel?" Dia mengingat Gabriel sebagai pria yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, jarang memiliki waktu untuk hal-hal seperti memasak.Gabriel tersenyum sambil mengambil beberapa bahan dari kulkas. "Tenang saja, Amanda. Aku memang bukan kok
Pukul lima tepat, Gabriel keluar dari ruangannya dengan langkah pasti. Cahaya sore yang mulai redup menyorot wajahnya yang tampak serius. Amanda masih sibuk dengan tumpukan berkas di meja kerja sementara yang telah ia gunakan selama beberapa minggu terakhir. Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Gabriel memanggil sekretarisnya dengan suara yang cukup keras sehingga membuat Amanda dan beberapa rekan kerja lainnya menoleh ke arahnya."Saya ingin mulai besok, meja kerja Amanda dan Nathan diletakkan di dalam ruang saya," ucap Gabriel dengan tegas. "Cukup satu meja besar saja untuk mereka berdua."Amanda dan Nathan saling pandang, keduanya tampak terkejut dan bingung dengan keputusan tiba-tiba dari Gabriel. Amanda merasa jantungnya berdegup kencang, bingung harus merespon seperti apa. Nathan, yang biasanya tenang, kali ini terlihat mengernyitkan dahi, jelas tidak senang dengan perubahan mendadak ini.Gabriel kemudian mendekati Amanda, matanya menatap langsung ke dalam mata Amanda yang masih terbuka le
"Samuelllll" teriak Gabriel yang melihat pelipis mata Amanda berdarah.Wajah Gabriel memerah, urat-uratnya menonjol seiring emosi yang memuncak. Dengan langkah yang mantap dan penuh amarah, ia mendekati Samuel yang berdiri dengan tampang tak berdosa. Tanpa peringatan, Gabriel melayangkan pukulan keras ke wajah Samuel. Pria itu tersentak, terlempar ke lantai dengan mulut berdarah.Amanda, dengan mata yang sudah berkaca-kaca, berlari mendekati Gabriel. Ia memegang lengan Gabriel yang masih gemetar karena marah, "Jon, jangan! Tolong, hentikan!" suaranya parau, memohon.Gabriel, dengan nafas yang masih tersengal, menatap wajah Amanda. Matanya yang tajam menelisik, mencari alasan di balik permohonan Amanda. "Mengapa kau memohon untuknya, Amanda? Apa yang membuatmu menaruh belas kasihan pada pria yang telah menyakitimu?" tanyanya, suara berat penuh kekecewaan.Amanda menggigit bibir, matanya semakin berkaca-kaca, "Aku hanya... aku tidak ingin kau menjadi pembunuh, Jon. Itu bukan dirimu," uc
Amanda berdiri tegap di ruang tunggu besar yang berhiaskan mahkota kristal di langit-langitnya. Hari ini, dia akan bertemu dengan Gabriel Wilton, bos yang belum pernah dia temui sejak dipekerjakan sebagai asisten pribadi. Rumor yang beredar mengatakan bahwa Gabriel adalah sosok yang keras kepala dan sering kali hilang tanpa kabar ketika marah.Di sisi lain, Nathan, teman sekerja Amanda, tampak gelisah memeriksa jam tangannya berkali-kali. Dia tahu Gabriel biasa menenangkan diri di villa keluarga Wilton ketika sesuatu mengusik emosinya. Nathan berharap bahwa minggu ini Gabriel akan kembali tepat waktu karena hari ini adalah hari penting; hari membaca isi surat wasiat kakek Wilton.Tepat pukul sepuluh pagi, langkah berat terdengar memasuki ruangan. Semua mata tertuju pada pintu masuk. Gabriel, dengan rambutnya yang rapi serta pakaian setelan jas mahal dan pas ditubuhnya membuat penampilan Gabriel sangat memukau. Dia mengenakan setelan jas hitam yang sempurna, namun ada sedikit kerutan d
"Ternyata benar, engkau! Mengapa? Mengapa harus kakekku?" desak Gabriel, suaranya bergetar namun penuh kekuatan.Gabriel mendatangi sebuah rumah yang sudah lama kosong. Ternyata itu adalah rumah ketika Kakek Mai muda sebelum menjadi seorang pria kaya raya. Kakek Mai berteman dengan Kakek Wilton saat mereka sama-sama merintih kesuksesan. Hal ini bisa terlihat dari foto kebersamaan mereka yang masih tersimpan didalam rumah itu.Tidak ada satupun orang yang bisa ditemui Gabriel. Bahkan Gabriel tidak tahu dimana Kakek Mai tinggal. Selama ini Gabriel hanya tahu jika Kakek Mai adalah keturunan China yang suka hidup berpindah-pindah. Walaupun perusahaannya ada di Las Vegas tapi Kakek Mai tidak pernah ada ditempat."Aku harus menemukanmu, Kakek Mai. Aku harus tahu kenapa kamu sampai tega membunuh sahabatmu sendiri." Gabriel menatap foto Kakek Wilton yang memeluk Kakek Mai.Gabriel menjejakkan kaki keluar dari bangunan tua yang kosong, dengan foto yang telah lusuh di tangannya; foto itu menam
"Baiklah Amanda. Aku rasa sudah semuanya aku beritahu kepadamu. Lusa Tuan Gabriel akan masuk ke kantor dan bertemu denganmu.""Baik Tuan Nathan. Terima kasih sudah mengajarkan dan memberitahuku tugas apa saja yang harus aku lakukan. Kalau begitu, aku permisi pulang Tuan.""Ya!"Saat Amanda meninggalkan ruang tamu penthouse, Gabriel mengirim pesan kelada Nathan agar Amanda pulang diantarkan oleh supir pribadi Gabriel."Amanda! Amanda." Panggil Nathan kepada Amanda yang sudah ada didepan lift."Anda memanggilku, Tuan?""Ya. Kamu pulang diantar oleh supir Tuan Gabriel. Dia sudah menunggundi lobi bawah.""Terima kasih banyak Tuan Nathan."Amanda segera melangkah masuk ke dalam lift yang sudah terbuka, mengayunkan tas tangannya sembari melambaikan tangan pada Nathan yang masih berdiri di luar. Nathan yang bingung dengan kejadian tersebut, menoleh dan berbalik masuk ke dalam penthouse, berniat bertanya kepada Gabriel tentang situasi yang terjadi. Namun, begitu ia memasuki ruang, dia terkeju