"Tidak. Ini saja, Kak. Sungguh," tolak Jeta setelah menentukan satu pilihan dengan cepat. Sepasang baju modis dengan kerudung dan satu set baju dalam pun telah dikemaskan. Meski butik itu kecil, pegawainya sangat cekatan.
"Baiklah. Terima kasih. Semua ini akan dilunasi oleh Mr. Batam sebentar lagi," jelas wanita itu sambil mengulur paper bag berisi baju yang Jeta ingin.Si gadis beorpamitan setelah mendapat pencerahan jika Mr. Batam adalah pengunjung tetap di penginapan yang datang dari Pulau Batam. Lelaki itu tidak pernah menyebut nama sesungguhnya dan hanya mengatakan dari mana asal datangnya.Baju sopan yang dipilih tanpa tahu berapa berbandrol, sebab wanita itu juga tidak mau menyebut, tersemat pas menutup tubuh Jeta yang berlekuk indah dan sempurna.Memandang lama diri di cermin, membuat bersyukur dengan satu kelebihan yang sudah Tuhan bekalkan sejak lahir. Merasa hanya perlu merawat dan menjaga sebaik mungkin. Tanpa perlu tambah permak atau memoles yang berlebihan. Apalagi dengan jalur operasi plastik.Jeta membuka pintu dengan rasa ingin tahu. Namun, seseorang yang diduga di depan pintu, ternyata bukanlah orang itu. Bukan Mr. Batam!"Nona, ini makan malam Anda. Silahkan dinikmati. Semoga Anda puas dengan menu sajian dari kami," ucap seorang pria yang ternyata seorang pegawai layanan kamar."Terima kasih, Bang," ucap Jeta saat akan menutup pintu kamar. Pegawai penginapan telah meletak baki sajian di atas meja dalam kamar.Jeta melihat secarik kertas di atas baki makan. Terselip di bawah dua sumpit yang masih tersegel plastik tebal. Menu makan malam yang diantar adalah spaghetti dan steak. Serta irisan wortel sangat lebar dan sebiji pisang hijau yang panjang. Sebotol mineral dan segelas kecil jus apel pun menyertai di baki.Selembar kertas berisi tulisan tangan yang rapi itu telah membentang di antara jemari Jeta yang lentik.*Aku sedang ada urusan kerja dan sangat sibuk. Akan kembali lusa dan langsung membawamu pulang ke Batam. Ingat, jangan coba berkhianat!**Banyak spot menarik di belakang penginapan. Juga mushola yang bisa kamu singgahi. Tidak perlu keluyuran!**Penyelamatmu di Kinabalu*Jeta meletak secarik kertas di meja tanpa perlu meremasnya. Entah, dalam hati meyakini jika lelaki itu cukup baik dan bertanggung jawab. Ketakutan akan kebenaran ancaman lelaki itu perlahan memudar. Merasa tidak mungkin dirinya akan dijahati oleh lelaki Mr. Batam. Meskipun dengan bebarapa rekaman video aib mengancam yang dibuat padanya.Jeta menghabiskan waktu kurang lebih dua hari dengan kegiatan sepi sendirian. Juga terpaksa menerima tawaran wanita butik yang mendatangi kamarnya untuk menambah lagi pembelian set pakaian. Jeta menambah dua set baju lagi denganmenentukan dari katalog. Demi empatinya pada wanita butik yang mendatangi hingga ke kamar.Sehari kemudian di saat siang. Jeta melanggar pesan dan keluar dari penginapan sebab sangat bosan …."Mas …!" Jeta memekik terkejut. Sungguh tak percaya jika lelaki yang berkuasa di kepala siang dan malam berada tepat di depannya."Jeta, kamu masih di sini? Dengan siapa? Kamu baik-baik saja?" Lelaki cerah rupawan itu juga berekspresi terkejut. Mereka sama-sama sedang mendatangi dan antri di etalase sajian pada sebuah rumah makan khas menu dari Indonesia. Agak jauh dari penginapan yang Jeta tempati."Aku … aku bersama orang yang menyelamatkanku di puncak. Semua dokumen dan ponselku tidak ada. Tertimbun dan hilang, aku ilegal sekarang, Mas." Jeta terlihat bingung dan sedih. Merasa tidak perlu menutupi dari Azrul, kekasihnya."Kenapa tidak segera kembali ke agensi travelmu? Atau melapor pada kedutaan dan imigrasi? Kupikir kamu sudah kembali ke Jawa. Bahkan aku baru melihat datamu sebagai korban selamat dan sudah berada aman di agensimu, Jeta," ucap lelaki dengan nama Azrul, terlihat bingung. Berasal dari keluarga besar pemilik pesantren ternama di Pulau Jawa."Apa tim rombonganku sudah dalam perjalanan pulang, Mas?" Jeta tercekat bertanya. Merasa diri jauh lebih kecil dan tidak bermakna tanpa selembar pun identitas dan dokumen."Sudah Jeta. Siapa tim penyelamatmu? Bagaimana bisa kamu tertinggal sendiri di negeri orang tanpa identitas? Sehebat apa tim penyelamatmu? Kenapa kamu tidak dicari? Negara Malaysia sangat ketat dalam urusan deportasi dan dokumentasi, Jeta."Azrul menatap Jeta yang berwajah cemas dan bingung. Ada senyum samar di wajah tampannya yang cerah dan bersih."Sebaiknya ikut saja denganku, Jeta. Akan kubawa kamu melapor di bagian imigrasi. Bukankah kita sama-sama jadi korban pengunjung wisata mancanegara? Ini tidak akan menyulitkan." Azrul berkata tergesa. Berharap Jeta segera mau mengikutinya. Merasa risau dengan ekspresi gadisnya kerapkali tampak bingung."Iya, itu memang benar, Mas Azrul. Tapi …," ucap Jeta menggantung. Ancaman lelaki aneh itu akan menyebar video aib mereka kembali tergaung."Ada apa, Jeta?" Azul bertaut alis akan keraguan si gadis."Sebenarnya ... pria yang menyelamatkanku sedang mengurusi dokumenku sekarang. Dia menyewakan penginapan dan melarangku pergi sebelum dia datang. Kurasa dia sambil membawakan dokumen baru saat datang. Daripada mubadzir, lebih baik menunggu dia saja. Maaf, Mas," ucap Jeta berkesimpulan sendiri tiba-tiba. Ancaman lelaki itu masih sangat membimbangkan. Takut dan tidak tega membuat aib bagi lelaki terhormat di depannya."Begitukah? Apa kamu tidak curiga pada lelaki itu, Jeta? Bagaimana jika berkunjung ke penginapanku dahulu?" Azrul bertanya lembut penuh harap."Tetapi akan hujan, Mas …." Jeta menjawab bimbang. Resah jika terjebak hujan dan terhalang untuk kembali ke penginapan."Ada payung lebar yang akan kupakai untuk mengantarmu kembali ke penginapanmu. Ayolah, Jeta. Sebenarnya kamu lebih aman denganku. Aku ini siapamu, kan? Kelak kita akan menikah, Jeta." Azrul membujuk dengan wajah yang cerah."Tapi …," ucap Jeta kian bingung.Menatap Azrul yang terlihat tenang dan meyakinkan. Gadis yang sedang penuh rasa cinta itu pun akhirnya luluh dan setuju mengikuti. Menimbang jika Azrul adalah lelaki pilihan dan terbaik setahun belakangan. Sedang lelaki asing itu adalah pengancam yang datang tiba-tiba, meresahkan dan pasti merugikan.Azrul pergi bersama beberapa orang anggota keluarga besar pesantren menggunakan tiga mobil besar yang mampu mengangkut dari Indonesia menuju Gunung Kinabalu di Malaysia. Tentu saja dengan berbekal dokumen lengkap serta uang saku sangat cukup.Azrul dari keluarga besar yang terhormat dan terpandang. Itulah sebab Jeta sangat segan dan menjaga apa pun demi nama baiknya tetap terjaga dan bersih. Mereka pergi ke Kinabalu pun bukan demi melancong melulu, melainkan karena misi dakwah dan undangan.Sedang Jeta, melewati agensi dan travel bersama teman-teman. Namun, gadis itu tidak tahu jika agensi yang mengurus pelancongannya adalah kepunyaan Mr. Batam!Jeta yang mengikuti Azrul ke penginapan miliknya, resah sebab tiba-tiba mendung kian tebal dan hembus angin sangat dingin. Juga gelisah andai lelaki asing penyelamat mendadak kembali ke penginapan dan mencarinya. Jeta bimbang, benarkah dia sungguh-sungguh dengan ancamannya saat marah?"Mas, sebaiknya aku pulang sekarang. Sudah lewat Ashar. Sudah akan turun hujan." Jeta berdiri dari kursi. Mereka sedang makan di teras kamar tempat Azrul menginap."Nah, benar, Mas! Hujan! Antar aku sekarang, Mas …!" Jeta merasa panik. Hujan telah mengguyur bumi tiba-tiba yang kian lama semakin deras. Azrul terlihat tenang dan terus menghabiskan makannannya."Masuk ke dalam saja Jeta. Di sini air hujan bisa masuk. Kamu akan masuk angin," ucap Azrul berekspresi abai dan menolak. Bersama hembus angin yang datang sangat kencang."Aku takut, Mas. Nanti keluarga besar dan tim kamu melihat. Akan jadi fitnah yang parah!" Jeta keras menolak."Tenang, Jeta. Mereka semua mendapat kamar yang jauh dari sini. Kita tidak akan terlihat siapa pun dan orang-orangku," bujuk Azrul. Juga berdiri dari kursi teras kamar dan mendekati Jeta yang gundah."Ayo, ikut ke dalam saja, Jeta," ucap Azrul seraya menarik lembut tangan Jeta."Kita di sini saja, Mas."Jeta menolak meski dadanya berdebar. Tentu saja, sebab Azrul adalah kekasih pilihan hati yang kini dicinta sepenuh jiwa. Bahkan lelaki bersahaja itulah yang pertama menyentuhnya, meski sebatas di bibir dan di pipi.Dadanya kian bertalu saat Azrul terus menarik dan sedang membuka pintu kamar. Jeta merasa susah menolak pesona paten seorang Gus Pes**tren bernama Azrul Farhan!Jeta berusaha menepis tangan besar tetapi halus yang menangkup lengan tangannya. Sama sekali tidak melonggar yang justru terasa kian menarik. Seperti medan magnet dengan dua kutub beradu yang kuat. Atau justru Jeta yang sekadar setengah hati saja berontak?Resah sendiri andai luluh dan tak mampu menolak. Teringat dirinya yang tak kuasa marah saat lelaki terhormat itu mencium dengan lembut tiba-tiba. Saat merayakan ulang tahunnya di puncak sesaat sebelum musibah. Membuat Jeta merasa tercengang sekaligus melayang. Kini panik andai hal itu kembali terulang."Nona Jeta!" Suara panggilan lelaki dari belakang menahan Azrul dari menutup pintu. "Siapa?!" Azrul bertanya lirih dengan nada menghardik di sela riuh hujan. Tidak mengenali lelaki itu, bukan juga orang-orangnya dari Jawa. "Maaf, saya ingin menjemput Nona Jeta. Ini sudah saatnya meninggalkan negeri Sabah." Lelaki itu menjawab dengan khidmat dan tegas."Oh, iya, aku mengerti!" Jeta berseru menyela. Memanfaatkan peluang di depan mata.
Mobil telah sampai di sebuah rumah minimalis modern berpagar besi. Terang benderang yang menandakan bahwa penghuninya masih siaga. "Masuklah sendiri ke rumah itu," ucap Mr. Batam tanpa menoleh pada Zeta. Terlalu sibuk pada iphone canggih di tangannya. Dia telah dijemput lagi sang sopir dan kini kembali bergabung setelah sempat menghilang. Entah dari mana, Jeta enggan mencari tahu. "Ini rumah siapa?" Jeta tidak beranjak. Merasa enggan jika rumah itu kosong dan harus kesepian lagi di tempat asing. Perjalanan panjang setelah dari Kinabalu dan meninggalkan negeri Sabah, ternyata tidak sampai di tujuan begitu saja. Akan tetapi masih jauh dan lama yang beberapa kali Jeta berpindah penginapan di kepulauan Riau. Hampir tiga hari di perjalanan tanpa tujuan. Lelaki itu selalu pergi lama sendiri yang datang-datang langsung mengajak pergi untuk berpindah hotel dan kota. Apakah dia mafia?"Kamu lihat saja itu rumah siapa," ucapnya lagi dengan masih tanpa mengangkat wajah."Aku ikut denganmu s
Mama Fani telah membawa berbelanja keperluan pribadi anak perempuannya di Nagoya Mall, Batam. Terletak di Kota Nagoya yang merupakan pusat peradaban di Batam alias ibu kota dari pulau strategis internasional tersebut.Mama Fani tinggal di Batam sudah hampir satu tahun. Tidak ada seorang pun yang paham apa alasan utama kepergiannya ke Batam di usia yang menjelang setengah baya. Termasuk Jeta sendiri dan dua saudari kembarnya.Wanita itu meninggalkan kampung halaman setelah kedua putri kembar miliknya yang bernama Rara dan Riri menikah. Mama Fani sudah berstatus janda ditinggal mati sejak lama. Tidak pernah menikah lagi hingga kini. Hampir setahun belakangan, wanita itu tinggal di Batam dan belum pernah kembali ke Jawa. Bahkan saat kedua putri kembarnya sebentar lagi melahirkan. Juga meninggalakan Sandra Jelita, bungsu yang masih duduk di bangku mahasiswa, kala mulai memasuki semester akhir di kuliahnya. Hingga kini lulus gemilang sebagai sarjana kedokteran. Yang rencananya akan mengam
Si lelaki penawan hanya menatap tajam seperti biasa dari duduknya. Tidak ada lambaian tangan atau ajakan untuk singgah di meja mereka. Jeta coba tidak peduli dan membuang pandangan hanya kepada Mama Fani."Ternyata kamu pun makan malam di sini, Jeta?!" Mama Fani berdiri menyambut Jeta yang perlahan mendekat. "Mama juga di sini?" Jeta menyahut dengan raut sangat bingung. "Iya, Mama di sini. Jeta akan makan di mana? Andai Jeta bisa gabung …," ucap Mama Fani menggantung. Fani melirik pada lelaki tampan yang menatap tajam sedari tadi. Merasa segan, tahu diri jika lelaki itu tidak suka sejak awal mula kedatangannya. Tetapi lelaki itu juga yang katanya mengundang Fani melalui papanya. Ingin mengenalkan calon istri."Fani, apa ini anak perempuanmu yang baru lulus sarjana itu? Kamu tidak bilang padaku akan kedatangannya ke Batam?" Pria setengah baya yang duduk di sebelah lelaki tampan itu tampak heran dan terkejut. Menatap Jeta dengan hangat dan senyum."Oh, iya. Benar sekali, Mas. Dialah
Setelah kedua pasang mata saling berperang pandang, Faqih Rushqi tiba-tiba berdiri. Menyambar ponselnya dari meja. Lalu bergeser keluar dari kursi. "Permisi Nyonya Fani. Aku izin membawa Jeta sebentar ke lantai satu. Ada hal privasi yang ingin kubicarakan padanya."Faqih Rushqi berbicara menyela sambil memandang Mama Fani sekilas. Lalu mengalihkan tatapannya pada Jeta."Ayo calon istri, kita berbicara intim sejenak di lantai satu," ucap lelaki itu lembut namun tegas. Jeta tahu jika kelembutan bicaranya sekadar pura-pura. Risih sekali rasanya."Aku ingin tetap duduk di sini," ucap Jeta menolak. Sangat enggan berdua saja dengan lelaki itu, seperti sebuah trauma baginya. Juga merasa enggan andai membicarakan hal pernikahan di bawah ancaman."Baiklah, aku akan turun sendiri. Ada sesuatu yang harus aku share dan kerjakan di beberapa media sosial dan publik. Pasti akan lebih leluasa kulakukan jika tidak denganmu." Faqih berbicara datar tanpa nada. Namun, sembari menatap tajam pada Jeta.Le
Faqih kembali meminta Jeta untuk bekerja sama mengeksekusi makanan yang dipesan. Namun, Jeta masih terus enggan dan tidak memajukan punggung dari menyandar rapat di kursi. "Ini adalah pertama kali kamu makan di meja yang layak bersama denganku. Apakah saat makan denganku di Kinabalu dalam dump itu yang ingin kamu simpan dalam ingatan sepanjang masa?" Faqih berkata datar yang diakhiri dengan pertanyaan memuakkan bagi Jeta."Ucapanmu membuatku kembali merasa mual dan ingin muntah," ketus Jeta dengan bergidik. Ingat ulat sagu yang di ingatannya adalah belatung kaku di mangkuk hasil pemberian lelaki itu."Mual dan muntah … itu gejala hamil, kan? Apa berciuman di gunung dengan kekasihmu telah membuatmu bunting? Hebat sekali dia, apa sebelum mencium, dia pun berdoa dulu?" Faqih berbicara dengan nada sinis dan senyum masam yang menyindir."Jangan mencemooh, kamu tidak punya hak mencelanya di depanku!" Jeta berkata sengit. Rasanya geram dipermainkan secara teori oleh lelaki asing dan sejahat
Rasanya sungguh lega, rumah Mama Fani mulai terlihat di kejauhan. Meski perlu jalan memutar untuk menjangkau pagar rumah dengan mudah. Tapi itu bukan masalah, sopir Ilyas begitu sigap melakukannya. Lelaki muda itu sudah menghapal baik denah jalan perumahan."Bawalah, ini milikmu," ucap Faqih. Kini duduk tegak saat Ilyas sudah parkir di depan pagar."Apa ini?" Jeta heran dan tidak mengambil paper bag yang diulur Faqih padanya."Bajumu yang di carrierku. Tadinya akan kubuang, tapi ingat jika kamu adalah pendatang, pasti bagaimana pun juga kekurangan," ucap Faqih. Diletaknya paper bag di sela duduk mereka."Tau pun, tumben agak baik dan cerdas," sahut Jeta sambil menyambar paper bag tadi tanpa segan. Sebagai pendatang baru, dirinya memang kekurangan stok baju. "Aku memang selalu baik dan cerdas. Lambat laun kamu akan mengerti sendiri. Jeta ... jangan coba lari. Aktifkan selalu ponselmu," pesan Faqih saat Jeta telah keluar dan akan menutup pintu. Si gadis hanya melengos tanpa mengiyakan
Jeta tidak lupa dalam ingatan tajamnya saat Mama Fani berangkat dengan penampilan sangat anggun dan rapi. Rambut disanggul modis dan indah, wanita itu jarang memilih style berkerudung. Sungguh beruntung, ketiga anak perempuannya konsisten pada fashion tertutup dan berkerudung. Meski justru Jeta-lah yang sering tidak menutup kepala jika keluar sejenak ke swalayan. Atau saat membeli makanan di warung dekat rumah yang cepat dibawa pulang. Gadis muda itu abai pada pesan dua kakak perempuan kembarnya agar senantiasa berkerudung di mana pun. Jeta masih saja berpenampilan suka-suka. Merasa aman bersandiwara, Azrul Farhan tidak sekali saja menangkap basahnya saat tidak berkerudung. Kembali pada Fani, saat baru datang dan berdiri di depan kamar Jeta, rambutnya tampak berantakan dan terurai. Juga, blouse yang rapi dimasukkan ke rok panjang saat berangkat, kini terburai keluar saat pulang. Apalagi sang mama kembali ke rumah sudah larut malam.Tidak memungkiri, bayangan dan prasangka akan hal