Setelah merasa malas untuk beranjak dan pergi ke kamar mandi, Jeta terpaksa bersedia saat diajak untuk menemani. Mereka berdua pun mandi bersama dengan penuh kebisingan. Entah apa saja yang dimainkan dan dilakukan di dalam sana, yang jelas waktu yang diperlukan jauh lebih lama dari pada mandi biasanya. “Mak Mah belum datang?” tanya Faqih sambil merebah lagi di ranjang. Masih dengan baju koko dan sarungnya. Mereka sambung shalat subuh berjamaah setelah mandi pun bersama.“Belum, ini kepagian. Biasanya habis anak bungsunya pergi ke sekolah,” sahut Jeta sambil melipat mukena dan sajadah. Ingin hati menyusul suami ke pembaringan. Tetapi ingat jika melahirkan konon butuh ekstra perjuangan, Jeta memilih gerak keluar kamar. Seperti biasa, mencabut kotak salad buah dari kulkas. Seleranya benar-benar tidak peduli waktu dan kondisi.“Jeta, ayo ikut ke Hotel Tugu! Aku lupa, Ahmad akan pergi ke Juanda pagi ini!” Ajakan Faqih yang tiba-tiba sangat mengejutkan. Untung Jeta tidak tersedak. “Sebent
Tangis bayi riuh bersahutan pagi ini. Terdengar dari kamar di luar yang berlainan. Entah di mana ibu para bayi masing-masing. Yang jelas tangis lolong pilu mereka terus membahana dan lama. “Bayi-bayi konser itu, pada ke mana mominya masing-masing?” bisik Faqih di telinga Jeta yang sedang dalam dekapan dadanya. “Aku tidak tahu. Lagi shalat subuh mungkin …,” sahut Jeta menebak asal. Sisa napas masih menderu di dadanya. Faqih baru saja selesai menyentuhnya kembali pagi-pagi. “Ini belum datang waktu subuh, belum adzan, Sayang. Apa jangan-jangan lagi ehem ehem juga kayak kita …?” Faqih tersenyum menggoda. Rambut di pucuk kepala sang istri diciuminya ulang-ulang. “Bisa jadi, ya …,” sahut Jeta membenarkan, lalu menggigiti kecil dada suaminya dengan gemas. Faqih menahan suara pekiknya dan mengaduh lirih kegelian. “Jangan nakal, Jeta. Aku bisa berteriak.” Faqih menjauhkan sedikit kepala istrinya. “Jeta, itu yang sudah kita kasih angpau di dapur semalam, yang siapa? Aku nggak bisa b
Lelaki mencurigakan itu tidak merespon tanya Jeta. Tetap sibuk dengan hidangan lezat di mangkuk stainless yang dipegang. Dia tidak menggunakan sendok. Namun, menggunakan sumpit untuk menjepit ulat sagu dengan sangat lihai. Bahkan hanya tersisa beberapa ekor di mangkuk yang dalam hitungan detik telah berpindah aman ke dalam mulut. "Siapa kamu ...?" Jeta bertanya kembali dengan lemah.Lelaki itu menoleh, menatap sambil mengelap mulut dengan telapak tangan. Pandangan mereka bertemu, dan baru kali ini Jeta benar-benar menatapnya. Seluruh penutup kepala dan wajah telah ditanggal.Di antara rasa lemah raga, mengakui jika wajah itu sangat tampan dengan dagu yang berjanggut tipis. Berwajah cerah, bersih dan terawat. Rambutnya lurus, tebal dan rapi. Seperti tidak serasi jika profesi yang dia geluti adalah seorang anggota tim penyelamat. "Aku hanya mengingatkan padamu. Bersikaplah yang baik dan manis selama dalam perjalanan turun. Tidak perlu tahu siapa aku. Yang jelas, niatku adalah membawa
Jalan terjal dan curam serta lembah ngarai pun sudah dilintasi. Namun, Jeta merasa perjalanan turun yang biasanya lebih cepat, kini terasa sangat jauh dan lambat. Selisih jarak beda jauh dengan jalur saat naik. Bahkan, tidak dijumpai satu orang pun pendaki di sepanjang jalan turun. Lewat mana mereka semua? Apakah lelaki itu telah sengaja membawanya tersesat? Waswas sekali rasanya."Apa kamu juga ingin mandi?" Lelaki itu berjalan sedikit cepat meninggalkannya. Seperti teguran agar Jeta tidak lagi mengikuti.Lalu berhenti dan menurunkan carrier dari punggung. Melepas sweater hangat dengan cepat di bawah sana. Menampakkan punggung cerahnya yang sempurna terpahat. Jeta tercekat, tergesa memalingkan wajah dan pandangan agar tidak melihat.Rupanya ada sumber air di sana. Jadi lelaki itu sudah sangat hapal medan di Kinabalu. Kini terdengar riuh kecipukan, mungkin dia sedang berenang di kolam sumber air. Meski ingin tahu, Jeta sama sekali tidak berani mendekat. Memilih terus duduk dan menikm
Jeta dibawa menjelajah dan melintasi sepanjang Taman Nasional Kinabalu yang menakjubkan. Tidak terhitung lagi ragam hayati dan hewani yang mereka jumpai di sepanjang petualangan.Terbaca board petunjuk bahwa jalan turun yang sedang mereka lalui adalah jalur daki Kiau View yang indah. Rasanya tidak ingin pergi hanya untuk terus mengagumi isi taman yang sungguh fantastis dan beragam."Apa kita tidak akan tersesat?" Jeta mulai khawatir lagi saat dibawa pada jalan yang acak. Sangat banyak jalan setapak yang bercabang dari jalur Kiau View dan lelaki itu memilih salah satu."Tidak akan. Semua jalan kecil ini akan terhubung pada jalan aspal di luar Taman Kinabalu. Kamu akan disambut rambu-rambu saat menghabiskan jalan setapak. Semua jalan aspal juga akan menuju di satu pos jaga saja," terang lelaki itu dengan gamblang.Jeta melirik. Kian penasaran dengan lelaki tenang dan sudah memberi ancaman serius. Yang sebenarnya, lelaki banyak wawasan dan pengalaman di alam itu cukup menakjubkan."Istir
"Tidak. Ini saja, Kak. Sungguh," tolak Jeta setelah menentukan satu pilihan dengan cepat. Sepasang baju modis dengan kerudung dan satu set baju dalam pun telah dikemaskan. Meski butik itu kecil, pegawainya sangat cekatan."Baiklah. Terima kasih. Semua ini akan dilunasi oleh Mr. Batam sebentar lagi," jelas wanita itu sambil mengulur paper bag berisi baju yang Jeta ingin.Si gadis beorpamitan setelah mendapat pencerahan jika Mr. Batam adalah pengunjung tetap di penginapan yang datang dari Pulau Batam. Lelaki itu tidak pernah menyebut nama sesungguhnya dan hanya mengatakan dari mana asal datangnya.Baju sopan yang dipilih tanpa tahu berapa berbandrol, sebab wanita itu juga tidak mau menyebut, tersemat pas menutup tubuh Jeta yang berlekuk indah dan sempurna. Memandang lama diri di cermin, membuat bersyukur dengan satu kelebihan yang sudah Tuhan bekalkan sejak lahir. Merasa hanya perlu merawat dan menjaga sebaik mungkin. Tanpa perlu tambah permak atau memoles yang berlebihan. Apalagi denga
Jeta berusaha menepis tangan besar tetapi halus yang menangkup lengan tangannya. Sama sekali tidak melonggar yang justru terasa kian menarik. Seperti medan magnet dengan dua kutub beradu yang kuat. Atau justru Jeta yang sekadar setengah hati saja berontak?Resah sendiri andai luluh dan tak mampu menolak. Teringat dirinya yang tak kuasa marah saat lelaki terhormat itu mencium dengan lembut tiba-tiba. Saat merayakan ulang tahunnya di puncak sesaat sebelum musibah. Membuat Jeta merasa tercengang sekaligus melayang. Kini panik andai hal itu kembali terulang."Nona Jeta!" Suara panggilan lelaki dari belakang menahan Azrul dari menutup pintu. "Siapa?!" Azrul bertanya lirih dengan nada menghardik di sela riuh hujan. Tidak mengenali lelaki itu, bukan juga orang-orangnya dari Jawa. "Maaf, saya ingin menjemput Nona Jeta. Ini sudah saatnya meninggalkan negeri Sabah." Lelaki itu menjawab dengan khidmat dan tegas."Oh, iya, aku mengerti!" Jeta berseru menyela. Memanfaatkan peluang di depan mata.
Mobil telah sampai di sebuah rumah minimalis modern berpagar besi. Terang benderang yang menandakan bahwa penghuninya masih siaga. "Masuklah sendiri ke rumah itu," ucap Mr. Batam tanpa menoleh pada Zeta. Terlalu sibuk pada iphone canggih di tangannya. Dia telah dijemput lagi sang sopir dan kini kembali bergabung setelah sempat menghilang. Entah dari mana, Jeta enggan mencari tahu. "Ini rumah siapa?" Jeta tidak beranjak. Merasa enggan jika rumah itu kosong dan harus kesepian lagi di tempat asing. Perjalanan panjang setelah dari Kinabalu dan meninggalkan negeri Sabah, ternyata tidak sampai di tujuan begitu saja. Akan tetapi masih jauh dan lama yang beberapa kali Jeta berpindah penginapan di kepulauan Riau. Hampir tiga hari di perjalanan tanpa tujuan. Lelaki itu selalu pergi lama sendiri yang datang-datang langsung mengajak pergi untuk berpindah hotel dan kota. Apakah dia mafia?"Kamu lihat saja itu rumah siapa," ucapnya lagi dengan masih tanpa mengangkat wajah."Aku ikut denganmu s