Jeta berusaha menepis tangan besar tetapi halus yang menangkup lengan tangannya. Sama sekali tidak melonggar yang justru terasa kian menarik. Seperti medan magnet dengan dua kutub beradu yang kuat. Atau justru Jeta yang sekadar setengah hati saja berontak?
Resah sendiri andai luluh dan tak mampu menolak. Teringat dirinya yang tak kuasa marah saat lelaki terhormat itu mencium dengan lembut tiba-tiba. Saat merayakan ulang tahunnya di puncak sesaat sebelum musibah. Membuat Jeta merasa tercengang sekaligus melayang. Kini panik andai hal itu kembali terulang."Nona Jeta!" Suara panggilan lelaki dari belakang menahan Azrul dari menutup pintu."Siapa?!" Azrul bertanya lirih dengan nada menghardik di sela riuh hujan. Tidak mengenali lelaki itu, bukan juga orang-orangnya dari Jawa."Maaf, saya ingin menjemput Nona Jeta. Ini sudah saatnya meninggalkan negeri Sabah." Lelaki itu menjawab dengan khidmat dan tegas."Oh, iya, aku mengerti!" Jeta berseru menyela. Memanfaatkan peluang di depan mata. Meski rasa hati ingin bersama kekasih. Apa daya, dirinya pun takut terbawa suasana. Juga resah andai ancaman lelaki aneh itu dibuktikan dan mencoreng nama baik seorang Azrul Farhan yang mulia.Jeta tidak menyahut saat Azrul berkata akan menunggu dan menemuinya di Jawa. Juga terlihat kesal sebab Jeta lebih memilih percaya pada anggota penyelamat daripada dirinya.Bukan pergi ke penginapan yang ditinggali, tetapi sebuah mobil telah menunggu di luar pagar penginapan Azrul. Jeta langsung dimasukkan ke dalam oleh lelaki yang menjemput dengan payung lebar tadi.Jeta mendapati lelaki aneh yang misterius alias Mr. Batam, telah duduk di dalam dengan pandangan tajam padanya. Meskipun kini terlihat jauh lebih tampan menawan dengan jas dan dasi di badan, tetap saja menakutkan bagi Jeta."Kita ke mana? Baju-bajuku dan bajumu itu masih di kamar penginapan," ucap Jeta saat menyadari bahwa mereka menjauhi arah penginapan. Sedang lelaki penjemput berpayung lebar terlihat menjauh pergi setelah menerima lembaran uang dari lelaki penyelamat yang duduk di depan bersama sopir muda."Semua sudah di ransel," sahut lelaki itu dari depan.Jeta pun membungkam. Sedang kunci kamar juga masih di tangannya. Bisa jadi lelaki itu telah keluar uang lagi untuk menebus kunci kamar. Merasa kian tebal saja kesalahan. Yang mungkin lelaki itu semakin mendendam."Apakah benar ini akan ke Pulau Batam?"Jeta bertanya takjub saat seorang pilot heli melambai pada si Mr. Batam. Sopir telah membawa mobil berhenti di padang lapang yang luas. Sebuah bangunan teras yang kokoh adalah tempat mereka bernaung. Tampak jauh di ujung sana, hamparan air yang mungkin adalah selat dan tanah yang mereka pijak adalah tanjung."Benar. Sebentar lagi hujan akan reda dan kamu akan terbang. Tetapi tidak langsung ke Batam, kita mendarat di Riau kepulauan," jawab lelaki itu setelah menatap dingin pada Jeta. Terus menatap tajam hingga Jeta menunduk dengan resah dan bungkam."Aku tidak mengatakan apa-apa pada siapa pun. Aku juga berniat segera kembali ke penginapan. Tidak ingin lama-lama di sana," ucap Jeta tersendat dan tegang. Menjelaskan sendiri tanpa diminta sebab perasaan gelisah dan gentar."Terserah, Jeta. Aku hanya perlu menambahkan daftar pelanggaranmu barusan. Kau akan masuk ke dalam kamarnya," tukas lelaki itu dengan membuang wajah ke arah helikopter. Hujan perlahan reda. Sebentar lagi akan kehilangan rintiknya."Kamu memata-mataiku …!" Jeta bersungut keras sambil berjalan. Mengikuti si lelaki yang sudah berjalan ke depan bersama carrier menempel di punggung tegapnya. Menuju helikopter."Berterima kasih saja padaku. Jika tidak, mungkin sekarang tubuh kamu itu sudah tidak lagi berbaju!" Lelaki itu berbicara sambil terus berjalan.Kemudian berhenti di kaki tangga helikopter, memandang Jeta agar naik dulu ke dalam badan heli. Gadis itu segara menuruti tanpa bantah dan melewati dengan melenggang kangkung. Tidak ada apa pun yang membebani badan dan kedua tangan. Meniti tangga begitu saja dengan sangat mudah."Sebenarnya, apa kerjamu?! Siapa kamu ini, tidak mungkin hanya sekadar anggota SAR saja, kan?!" Jeta memecah bisu dengan suara keras yang bersaing dengan keributan baling heli."Cukup amati saja, Jeta! Jangan tanya-tanya!" Lelaki di sampingnya itu juga menyahut sangat keras. Sopir muda yang manis tadi juga ikut serta. Terlihat rapi dan keren. Kian yakin jika Mr. Batam bukan seorang tim selamat.Jeta pun coba bungkam dan menahan diri. Memilih menikmati penerbangan dengan helikopter dan merupakan pengalaman yang pertama. Menekan rasa kesal jauh ke dalam jurang hati. Hanya menatap muak pada lelaki tampan yang sungguh pelit menjawab yang diibarat bagai teroris.Jeta terkejut, heli terasa oleng tiba-tiba. Rupanya akan segera mendarat. Mereka sebentar lagi akan sampai pada salah satu pulau di kepulauan Riau.Kian lama kian berguncang dan Jeta memejam rapat matanya. Nafas kian sesak saat telapak tangan menggenggam lengan di bahu. Ternyata lelaki itu mencoba membantunya bertenang."Kencangkan seat belt. Sebentar lagi mendarat dan mungkin keras berguncang. Di bawah hujan deras." Lelaki itu bicara tidak keras, suasana tegang membuat pendengaran menajam. Juga mulutnya lebih mendekat pada Jeta.Jeta teleh merapatkan sabuk pengaman. Tepat dengan guncangan heli yang jauh terasa lebih keras tiba-tiba. Seketika disembunyikan kepala ke arah lelaki di samping dengan tangan mencengkeram pundaknya."Maaf, aku sangat terkejut. Keras sekali guncangan ini," keluh Jeta kikuk setelah menjauhkan diri ke posisinya kembali."Tidak masalah. Masih bagus kamu tidak minta kupangku. Hanya pernah merengek minta digendong," ujar lelaki itu santai tetapi dingin. Guncangan berhenti dan lelaki itu sudah melepas sabuk pengaman. Sama hal dengan sopir muda di sebelah."Sudah tugasmu menyelamatkan. Lagipula kenapa membawaku ke jalur yang penuh lintah?!" Jeta bertanya keras, berusaha meralat.Merasa tidak nyaman jika proses penyelamatan saat turun dari Gunung Kinabalu kembali diungkit. Yang dirinya pernah memohon hingga menangis untuk diangkat saat mereka akan menyeberangi sungai kecil yang penuh dengan lintah."Lain kali jika akan menjelajah ke alam mana pun, belilah obat anti parasit," ucap lelaki itu sambil menyorong dagu ke arah pintu. Mereka benar-benar sudah mendarat. Jeta pun segera mengeluarkan diri dari heli melewatinya."Naiklah," ucap lelaki itu.Mereka sudah berpijak kaki di tanah. Heli pun sudah terbang menjauh. Jeta dibawa menghampiri sebuah mobil."Ini … ini … aku mau ke mana lagi?!" Jeta panik saat pintu mobil sudah dihempaskan. Namun, lelaki itu masih di luar dengan tas carrier kembali menempel di punggung."Hubungi keluarga serta kawan-kawanmu bahwa kamu selamat. Ini milikmu," lelaki itu berbicara sambil mengulur sebuah tas cantik yang dia keuarkan dari carrier."Aku mau dibawa ke mana?! Kamu kenapa tidak naik?!" Jeta kembali berseru panik dari kaca pintu yang tidak merapat. Mobil telah meluncur meninggalkan lelaki itu hingga tidak lagi terlihat."Kamu akan membawaku ke mana?" Jeta bertanya pada sopir."Saya diminta mengantar Anda ke sebuah alamat. Namun, perjalanan masih sangat jauh. Anda akan menginap lagi di satu tempat. Tenang saja, Anda akan selalu selamat. Buka saja tas itu, Nona," ucap sang sopir muda dengan hangat.Jeta tercengang luar biasa. Semua harta benda miliknya ada dalam tas yang diberikan Mr. Batam. Bahkan juga ponsel, dokumen dan identitas, semua ada di sana. Itu adalah asli miliknya dan bukan baru. Andai mengurus lagi pun, tidak akan dapat terganti secepat itu.Jeta benar-benar merasa dipermainkan sekaligus sangat heran. Sedang tenda miliknya, dia lihat dengan mata kepala sendiri bergeser dan terkubur tanah amat cepat. Tidak ada seorang pun berani mendekat. Bagaimana lelaki itu bisa menyimpan seluruh barang pentingnya?🙏🍎🙏Mobil telah sampai di sebuah rumah minimalis modern berpagar besi. Terang benderang yang menandakan bahwa penghuninya masih siaga. "Masuklah sendiri ke rumah itu," ucap Mr. Batam tanpa menoleh pada Zeta. Terlalu sibuk pada iphone canggih di tangannya. Dia telah dijemput lagi sang sopir dan kini kembali bergabung setelah sempat menghilang. Entah dari mana, Jeta enggan mencari tahu. "Ini rumah siapa?" Jeta tidak beranjak. Merasa enggan jika rumah itu kosong dan harus kesepian lagi di tempat asing. Perjalanan panjang setelah dari Kinabalu dan meninggalkan negeri Sabah, ternyata tidak sampai di tujuan begitu saja. Akan tetapi masih jauh dan lama yang beberapa kali Jeta berpindah penginapan di kepulauan Riau. Hampir tiga hari di perjalanan tanpa tujuan. Lelaki itu selalu pergi lama sendiri yang datang-datang langsung mengajak pergi untuk berpindah hotel dan kota. Apakah dia mafia?"Kamu lihat saja itu rumah siapa," ucapnya lagi dengan masih tanpa mengangkat wajah."Aku ikut denganmu s
Mama Fani telah membawa berbelanja keperluan pribadi anak perempuannya di Nagoya Mall, Batam. Terletak di Kota Nagoya yang merupakan pusat peradaban di Batam alias ibu kota dari pulau strategis internasional tersebut.Mama Fani tinggal di Batam sudah hampir satu tahun. Tidak ada seorang pun yang paham apa alasan utama kepergiannya ke Batam di usia yang menjelang setengah baya. Termasuk Jeta sendiri dan dua saudari kembarnya.Wanita itu meninggalkan kampung halaman setelah kedua putri kembar miliknya yang bernama Rara dan Riri menikah. Mama Fani sudah berstatus janda ditinggal mati sejak lama. Tidak pernah menikah lagi hingga kini. Hampir setahun belakangan, wanita itu tinggal di Batam dan belum pernah kembali ke Jawa. Bahkan saat kedua putri kembarnya sebentar lagi melahirkan. Juga meninggalakan Sandra Jelita, bungsu yang masih duduk di bangku mahasiswa, kala mulai memasuki semester akhir di kuliahnya. Hingga kini lulus gemilang sebagai sarjana kedokteran. Yang rencananya akan mengam
Si lelaki penawan hanya menatap tajam seperti biasa dari duduknya. Tidak ada lambaian tangan atau ajakan untuk singgah di meja mereka. Jeta coba tidak peduli dan membuang pandangan hanya kepada Mama Fani."Ternyata kamu pun makan malam di sini, Jeta?!" Mama Fani berdiri menyambut Jeta yang perlahan mendekat. "Mama juga di sini?" Jeta menyahut dengan raut sangat bingung. "Iya, Mama di sini. Jeta akan makan di mana? Andai Jeta bisa gabung …," ucap Mama Fani menggantung. Fani melirik pada lelaki tampan yang menatap tajam sedari tadi. Merasa segan, tahu diri jika lelaki itu tidak suka sejak awal mula kedatangannya. Tetapi lelaki itu juga yang katanya mengundang Fani melalui papanya. Ingin mengenalkan calon istri."Fani, apa ini anak perempuanmu yang baru lulus sarjana itu? Kamu tidak bilang padaku akan kedatangannya ke Batam?" Pria setengah baya yang duduk di sebelah lelaki tampan itu tampak heran dan terkejut. Menatap Jeta dengan hangat dan senyum."Oh, iya. Benar sekali, Mas. Dialah
Setelah kedua pasang mata saling berperang pandang, Faqih Rushqi tiba-tiba berdiri. Menyambar ponselnya dari meja. Lalu bergeser keluar dari kursi. "Permisi Nyonya Fani. Aku izin membawa Jeta sebentar ke lantai satu. Ada hal privasi yang ingin kubicarakan padanya."Faqih Rushqi berbicara menyela sambil memandang Mama Fani sekilas. Lalu mengalihkan tatapannya pada Jeta."Ayo calon istri, kita berbicara intim sejenak di lantai satu," ucap lelaki itu lembut namun tegas. Jeta tahu jika kelembutan bicaranya sekadar pura-pura. Risih sekali rasanya."Aku ingin tetap duduk di sini," ucap Jeta menolak. Sangat enggan berdua saja dengan lelaki itu, seperti sebuah trauma baginya. Juga merasa enggan andai membicarakan hal pernikahan di bawah ancaman."Baiklah, aku akan turun sendiri. Ada sesuatu yang harus aku share dan kerjakan di beberapa media sosial dan publik. Pasti akan lebih leluasa kulakukan jika tidak denganmu." Faqih berbicara datar tanpa nada. Namun, sembari menatap tajam pada Jeta.Le
Faqih kembali meminta Jeta untuk bekerja sama mengeksekusi makanan yang dipesan. Namun, Jeta masih terus enggan dan tidak memajukan punggung dari menyandar rapat di kursi. "Ini adalah pertama kali kamu makan di meja yang layak bersama denganku. Apakah saat makan denganku di Kinabalu dalam dump itu yang ingin kamu simpan dalam ingatan sepanjang masa?" Faqih berkata datar yang diakhiri dengan pertanyaan memuakkan bagi Jeta."Ucapanmu membuatku kembali merasa mual dan ingin muntah," ketus Jeta dengan bergidik. Ingat ulat sagu yang di ingatannya adalah belatung kaku di mangkuk hasil pemberian lelaki itu."Mual dan muntah … itu gejala hamil, kan? Apa berciuman di gunung dengan kekasihmu telah membuatmu bunting? Hebat sekali dia, apa sebelum mencium, dia pun berdoa dulu?" Faqih berbicara dengan nada sinis dan senyum masam yang menyindir."Jangan mencemooh, kamu tidak punya hak mencelanya di depanku!" Jeta berkata sengit. Rasanya geram dipermainkan secara teori oleh lelaki asing dan sejahat
Rasanya sungguh lega, rumah Mama Fani mulai terlihat di kejauhan. Meski perlu jalan memutar untuk menjangkau pagar rumah dengan mudah. Tapi itu bukan masalah, sopir Ilyas begitu sigap melakukannya. Lelaki muda itu sudah menghapal baik denah jalan perumahan."Bawalah, ini milikmu," ucap Faqih. Kini duduk tegak saat Ilyas sudah parkir di depan pagar."Apa ini?" Jeta heran dan tidak mengambil paper bag yang diulur Faqih padanya."Bajumu yang di carrierku. Tadinya akan kubuang, tapi ingat jika kamu adalah pendatang, pasti bagaimana pun juga kekurangan," ucap Faqih. Diletaknya paper bag di sela duduk mereka."Tau pun, tumben agak baik dan cerdas," sahut Jeta sambil menyambar paper bag tadi tanpa segan. Sebagai pendatang baru, dirinya memang kekurangan stok baju. "Aku memang selalu baik dan cerdas. Lambat laun kamu akan mengerti sendiri. Jeta ... jangan coba lari. Aktifkan selalu ponselmu," pesan Faqih saat Jeta telah keluar dan akan menutup pintu. Si gadis hanya melengos tanpa mengiyakan
Jeta tidak lupa dalam ingatan tajamnya saat Mama Fani berangkat dengan penampilan sangat anggun dan rapi. Rambut disanggul modis dan indah, wanita itu jarang memilih style berkerudung. Sungguh beruntung, ketiga anak perempuannya konsisten pada fashion tertutup dan berkerudung. Meski justru Jeta-lah yang sering tidak menutup kepala jika keluar sejenak ke swalayan. Atau saat membeli makanan di warung dekat rumah yang cepat dibawa pulang. Gadis muda itu abai pada pesan dua kakak perempuan kembarnya agar senantiasa berkerudung di mana pun. Jeta masih saja berpenampilan suka-suka. Merasa aman bersandiwara, Azrul Farhan tidak sekali saja menangkap basahnya saat tidak berkerudung. Kembali pada Fani, saat baru datang dan berdiri di depan kamar Jeta, rambutnya tampak berantakan dan terurai. Juga, blouse yang rapi dimasukkan ke rok panjang saat berangkat, kini terburai keluar saat pulang. Apalagi sang mama kembali ke rumah sudah larut malam.Tidak memungkiri, bayangan dan prasangka akan hal
Meski masih pagi dan adzan subuh pun baru berkumandang, hawa udara di Batam sudah gerah sekali. Jeta terbangun sebelum subuh dengan nyanyian alarm yang mengalun di ponselnya. Seluruh baju dan rambut nyaris lembap sebab keringat yang banyak keluar dari kulit. Tidak ada kipas angin manual memutar apalagi mesin pendingin canggih di dalam kamar.Jeta melipat mukena serapi mungkin untuk disimpan dalam balutan sajadah. Kemudian diletak di atas sandaran ranjang. Dipandanginya buntalan itu sejenak, sajadah dan mukena adalah yang dibelikan Faqih di perjalanan. Mama Fani hanya punya sepasang, tidak memiliki cadangan mukena dan sajadah. Punyanya yang sempat Jeta pinjam saat awal datang, sudah dikembalikannya semalam. Mereka tidak lagi bergantian menggunakan. Lelaki itu telah menyertakan dengan beberapa bajunya dalam paper bag. Mungkin tukang laundry yang mengerjakan. Sebab tersusun rapi dan wangi, hanya tidak dalam balutan plastik laundry. Atau lebih cenderung asisten rumahnya yang menatakan .