Meski masih pagi dan adzan subuh pun baru berkumandang, hawa udara di Batam sudah gerah sekali. Jeta terbangun sebelum subuh dengan nyanyian alarm yang mengalun di ponselnya. Seluruh baju dan rambut nyaris lembap sebab keringat yang banyak keluar dari kulit. Tidak ada kipas angin manual memutar apalagi mesin pendingin canggih di dalam kamar.Jeta melipat mukena serapi mungkin untuk disimpan dalam balutan sajadah. Kemudian diletak di atas sandaran ranjang. Dipandanginya buntalan itu sejenak, sajadah dan mukena adalah yang dibelikan Faqih di perjalanan. Mama Fani hanya punya sepasang, tidak memiliki cadangan mukena dan sajadah. Punyanya yang sempat Jeta pinjam saat awal datang, sudah dikembalikannya semalam. Mereka tidak lagi bergantian menggunakan. Lelaki itu telah menyertakan dengan beberapa bajunya dalam paper bag. Mungkin tukang laundry yang mengerjakan. Sebab tersusun rapi dan wangi, hanya tidak dalam balutan plastik laundry. Atau lebih cenderung asisten rumahnya yang menatakan .
Pandangan Faqih sangat tajam menatap wajahnya. Tidak Jeta pungkiri akan pesona dan ketampanan lelaki itu meski sedang bersikap dingin dan garang. Sekali pun terbaca tulisan nama si culas oleh Jeta di matanya.Mungkin Faqih terkejut dengan ucapan membangkangnya. Atau juga tidak terima dengan panggilan tanpa kata penghormatan. Notabene usia Faqih memang berbilang jauh lebih banyak dari Jeta. Wajar jika merasa tidak terima disebut hanya nama saja sesukanya."Kenapa, aku salah apa, Faqih? Kamu terlihat marah sekarang …. Kamu hanya suka jika aku tampak ketakutan, kan? Kamu lelaki berpendidikan dan berwawasan. Tidak mungkin begitu rendah dengan menyebarkan aib orang." Jeta tersenyum masam."Juga … agama kamu cukup bagus kurasa. Kamu orang Islam, kan? Tahu kan, hukum menyebarkan aib orang? Kamu akan seperti mengunyah dagingku, atau seperti akan membakarku dengan kayu. Tidak mungkin, kaaaan …," ucap Jeta menyambung. Seperti sengaja memancing kemarahan dan batas sabar Faqih. Terlihat raut pua
Terdengar kursi bergeser dan kaki melangkah di belakangnya. Jeta tahu jika Faqih pun sudah selesai makan. Terdengar suaranya sedang memanggil pegawai rumah makan. Pasti sedang berlaku transaksi pembayaran."Ilyas, kutunggu di mobil. Usahakan lebih cepat. Aku ingin sebelum hujan sudah sampai di Barelang!" Suara yang keras itu seperti gelegar petir menyambar. Tepat di belakang dan di atas kepala. Jeta terkejut sekali, nasib baik tidak sampai tersedak. Jika melihat, Faqih atau Ilyas pasti tahu jika dirinya terkejut."Iya, Bang!" Ilyas menyahut dengan menyebut si culas, Bang. Pemuda Melayu berwajah manis itu memang seringkali berubah menyebut bosnya. Bahkan tidak jarang juga menyebut Bapak. Interaksi keduanya tampak santai, hanya saja tidak dekat."Ilyas, jika gadis itu ingin pergi ke kamar mandi, antarkan!" Faqih berpesan lagi sebelum bunyi kakinya terdengar berteplak menjauh. "Iya, Bang!" Ilyas kembali mengiyakan sambil mengangguk.Jeta tersenyum masam, Faqih baru menyebutnya dengan as
Penolakan primata bonobo itu membuat mereka tegang sejenak. Hingga tiga pasang mata lelaki serta sepasang mata bonobo di sana memandang Jeta bersamaan."Apa memandangku? Aku tidak mau menyerahkan jaketku pada king kong cabull itu …." Jeta berkata dengan nada mulai bimbang. Berniat akan pergi, tetapi Faqih kembali menahan tangannya.Wajah berkerudung itu pias dan memerah dengan gestur yang serba salah. Dia paham jika Faqih ingin cepat melanjutkan perjalanan."Sebenarnya jika diabaikan, lama-lama dia pun akan diam, kan? Ayolah pergi saja," ajak Jeta sambil menatap enggan pada Faqih."Jangan, tolonglah, Nona. Dia akan mogok makan hingga sakit dan harus kubawa ke dokter hewan. Biayanya sangat mahal ...," keluh pemilik primata."Lepaskan saja di habitatnya, Pak ...," saran Jeta merasa kesal."Inginnya seperti itu. Tapi dia sudah seperti saudaraku. Memelihara dia suadh dari kecil," ucap pemilik rumah makan terlihat sedih dan galau. Jeta pun terdiam tampak bingung sambil memegangi erat jaket
Faqih telah meletak kepala kembali di sandaran dengan memejam mata. Abai pada ucapan Jeta yang keberatan melanjutkan perjalanan sebab tidak ingin menginap di mana pun. Dirinya lebih memilih pura-pura tidur dan berlagak tidak dengar. Bahkan gadis itu juga mengultimatum akan pulang ke Jawa jika tetap saja menginap di Barelang malam ini."Dia belum lagi minum obat, tidurnya kayak orang sakau saja," ucap Jeta bergumam lirih, kesal sebab keluhannnya diabaikan. Tentu saja Faqih yang pura-pura tidur itu terus memasang tegak radar telinganya. Namun, berusaha abai dan tidak memberi respon pada apa pun umpatan Jeta."Ilyas …," panggil si gadis lembut pada sopir. Dibalas tatap tanya oleh pemuda itu pada pantul kaca spion di atas kepala."Sebenarnya ... untuk urusan apa, orang ini pergi ke Barelang malam-malam begini? Bukankah di sana sedang rawan konflik?" Jeta bertanya dengan memandang Ilyas di kaca. Pemuda itu menatapnya sejenak."Nenek Abang Faqih cakap rindu. Terus mau jumpa pulak kawan bis
Dengan cepat tetapi hati-hati, dibawanya nampan berisi satu mangkuk kecil bubur ayam dan segelas besar madu jahe. Jeta melangkah menuju kamar di pojok ruang tengah. Mbah Ranti meminta mengantar itu ke tempat Faqih tidur."Masuk," sahut lelaki di dalam yang tak lain adalah Faqih setelah pintu diketuk keras.Meski rasa hati dongkol dan merasa berat, diseret paksa kaki kembali melangkah. Memasuki kamar lelaki yang ingin dia cekik saja rasanya. Bagaimana tidak, sebab Mbah Ranti sudah menyebutnya calon mantu, kini juga diminta mengantar baki ke kamar lelaki ltu. Geram bukan main rasa hati di dada."Faqih, kamu ini sakit kepala karena sudah banyak dosa!" seru Jeta menyongsong saat dalam kamar.Gadis itu mengomel sambil mendekati ranjang. Mencari di mana adanya meja. Lelaki pemilik kamar sedang mengompres sendiri kepalanya dengan selembar kecil sapu tangan."Kenapa kamu ke mari?" Lelaki itu justru bertanya yang terdengar sangat tidak mengenakkan."Kenapa aku ke mari?! Sebab mulut culasmu! K
Keringat dingin telah membasahi hampir seluruh kulit. Jeta kian cemas setelah tidak juga menemui jalan setapak yang menghubungkan kebun buah belakang rumah nenek. Beberapa gang dan cabang jalan yang dicoba, terus berputar di sekitar pasar saja. Jeta berpikir jika dirinya kemungkinan sedang berada di alam bunian. Kios kecil yang terasnya lumayan bersih dan kebetulan tidak buka lapak, Jeta duduk lelah di sana. Beberapa orang Melayu yang ditanyai di mana jalan menuju rumah Mbah Ranti, berkata tidak tahu dan sama sekali tidak kenal siapa Mbah Ranti. Ponsel yang bertahan di angka daya terakhir itu telah sempat mengirim pesan pada si culas akan kondisi dan posisi Jeta saat itu. Namun, hingga ponsel hilang power dan mati pun, tidak ada centang biru yang menanda jika lelaki itu telah membaca pesan pentingnya.Jeta merasa sungguh aneh dan membuatnya mulai takut dan waswas. Meskipun tidak pernah mengalami sendiri, dirinya percaya jika alam lain memang ada. Apalagi pasar adalah tempat yang kon
Ilyas yang berangkat menuju Pulau Galang selepas shalat dzuhur, telah kembali ke Tonton tepat sebelum adzab maghrib. Mbah Ranti sangat sigap menyiapkan rebusan air panas untuk mandi lelaki itu. Bahkan sebelumnya juga membuat rebusan air hingga mendidih untuk mandi si cucu, Faqih.Jeta dan Faqih sedang sama-sama duduk di meja makan. Memperhatikan Mbah Ranti yang sedang beraktivitas."Faqih, kenapa tidak ada satu orang pun warga kampung belakang yang kenal nama Mbah Ranti?" Tiba-tiba Jeta ingat hal aneh itu."Orang di sini tidak akan kenal dengan nama Mbah Ranti. Namanya Siti Sri Wirantini, panggilan di sini Siti atau Tini. Hanya kami yang menyebut Ranti," jelas Faqih "Oh, jadi begitu," gumam Jeta bingung. Sepenting itukah nama panggilan .... Bahkan Jeta menyebutkan ciri-ciri Mbah Ranti dan rumahnya pun, tidak ada juga yang paham."Kenapa wajahmu seperti itu?" Faqih menatap Jeta yang tertegun memandang punggung Mbah Ranti. Sedang menuang air panas ke dalam ember dan membawanya ke kama