Keringat dingin telah membasahi hampir seluruh kulit. Jeta kian cemas setelah tidak juga menemui jalan setapak yang menghubungkan kebun buah belakang rumah nenek. Beberapa gang dan cabang jalan yang dicoba, terus berputar di sekitar pasar saja. Jeta berpikir jika dirinya kemungkinan sedang berada di alam bunian. Kios kecil yang terasnya lumayan bersih dan kebetulan tidak buka lapak, Jeta duduk lelah di sana. Beberapa orang Melayu yang ditanyai di mana jalan menuju rumah Mbah Ranti, berkata tidak tahu dan sama sekali tidak kenal siapa Mbah Ranti. Ponsel yang bertahan di angka daya terakhir itu telah sempat mengirim pesan pada si culas akan kondisi dan posisi Jeta saat itu. Namun, hingga ponsel hilang power dan mati pun, tidak ada centang biru yang menanda jika lelaki itu telah membaca pesan pentingnya.Jeta merasa sungguh aneh dan membuatnya mulai takut dan waswas. Meskipun tidak pernah mengalami sendiri, dirinya percaya jika alam lain memang ada. Apalagi pasar adalah tempat yang kon
Ilyas yang berangkat menuju Pulau Galang selepas shalat dzuhur, telah kembali ke Tonton tepat sebelum adzab maghrib. Mbah Ranti sangat sigap menyiapkan rebusan air panas untuk mandi lelaki itu. Bahkan sebelumnya juga membuat rebusan air hingga mendidih untuk mandi si cucu, Faqih.Jeta dan Faqih sedang sama-sama duduk di meja makan. Memperhatikan Mbah Ranti yang sedang beraktivitas."Faqih, kenapa tidak ada satu orang pun warga kampung belakang yang kenal nama Mbah Ranti?" Tiba-tiba Jeta ingat hal aneh itu."Orang di sini tidak akan kenal dengan nama Mbah Ranti. Namanya Siti Sri Wirantini, panggilan di sini Siti atau Tini. Hanya kami yang menyebut Ranti," jelas Faqih "Oh, jadi begitu," gumam Jeta bingung. Sepenting itukah nama panggilan .... Bahkan Jeta menyebutkan ciri-ciri Mbah Ranti dan rumahnya pun, tidak ada juga yang paham."Kenapa wajahmu seperti itu?" Faqih menatap Jeta yang tertegun memandang punggung Mbah Ranti. Sedang menuang air panas ke dalam ember dan membawanya ke kama
Makan malam berempat telah bubar dengan penutup kudapan buah jeruk. Jeta menyambar dua biji dan membawanya menuju kamar. Mbah Ranti sudah lebih dulu meluncur ke ruang tengah untuk melihat televisi sambil selonjoran."Faqih!" Jeta berseru pada lelaki yang berjalan santai di depannya. Faqih berhenti dan berbalik, berdiri diam di tempat, menunggu Jeta yang berjalan ke arahnya."Ada apa? Apa kamu tiba-tiba ingin dibekam?" Faqih bertanya dengan alis bertaut saat Jeta sudah sangat dekat di depannya."Bukan masalah bekam. Aku memang benar-benar tidak ingin." Jeta menyahut tegas sambil menggeleng."Lalu ...?" tanya si lelaki dengan memicingkan mata."Aku hanya ingin tahu, kenapa kamu tidak bilang jika aku adalah anak dari wanita yang bersama Om Ardi?" Jeta berbisik dengan berdiri lebih dekat lagi pada Faqih. Takut jika Mbah Ranti mendengarnya. Atau tiba-tiba melewati mereka untuk masuk ke dalam kamar. Model kamar-kamar dalam rumah adalah pada lorong yang sama."Kamu sangat ingin tahu?" Faqih
Jeta menyeka air mata yang menetes keluar begitu saja. Merasa sedih dan trenyuh meninggalkan Mbah Ranti di rumahnya sendirian. Wanita tua itu sedang melambai tangan yang kian lama kian mengecil dan hilang dari pandangan. Jeta menangis hingga habis berlembar-lembar tisu untuk diusapkan di mata dan di pipinya. Bukan selepas subuh lagi waktu perjalanan yang dipilih untuk kembali ke Kota Batam. Melainkan pukul tiga tepat seperti yang sudah Faqih katakan semalam. Tidak menerima usul kemunduran waktu berangkat barang semenit pun.Setelah menghampiri Jeta bersama Ilyas di teras depan kamar, pria itu menyuruh Jeta segera pergi ke kamarnya agar cepat istirahat. Sebab, dirinya ingin meninggalkan rumah Mbah Ratri pukul tiga tepat sebelum jatuh subuh.Terlepas lelaki itu mendengar atau tidak isi perbincangan Jeta dan Ilyas di teras, tidak ada teguran apa pun pada jeta darinya hingga sekarang. Mereka saling bungkam dalam perjalanan pagi yang sepi dan lengang.Kepatungan mereka terusik saat Ilyas
Masjid sangat luas itu memiliki banyak sarana tranksaksi ekonomi dan administrasi di bagian belakang dan sampingnya. Deret kios baju, buah, oleh-oleh dan kosmetik memenuhi sepanjang serambi belakang dan samping masjid. Deret perkantoran untuk urusan perpajakan, perbankan, tiket perjalanan dan akomodasi pun berjajar di serambi. Tidak ketinggalan, gerai makanan dan kafe juga berderet beragam di sana. Di serambi belakang masjid itulah Faqih membawa Jeta berkunjung. Berjalan keliling sejenak di sepanjang serambi sebelum masuk ke sebuah gerai makan pilihannya. Mereka duduk berhadapan dengan hidangan dua cangkir kopi dan dua mangkok bubur ayam.Bukan hanya mereka. Banyak lelaki berkoko dan wanita berhijab yang menempati meja kursi. Sepertinya mereka juga ingin mengisi perut dengan cepat pagi ini. Faqih memilih gerai itu sebab penasaran dengan ramainya pengunjung yang antri. Sebera lezat makanan yang disaji.Jeta duduk sedikit gelisah, berusaha keras menghindar untuk tidak terlalu sering m
Jeta menyimak saat Fani akan mulai bercerita. Wanita hampir setengah baya yang cantik itu mengambil nafas dan memulai bersuara.Bercerita jika pernah saling mencinta bersama Om Ardi yang seorang hot dady dengan anak lelaki berusia hampir lima tahun, yakni Faqih nama putranya. Om Ardi begitu cinta pada Fani hingga dicukupi segala kebutuhan dan uang jajan dengan royal. Bukan Om Ardi sepihak saja. Fani juga sangat cinta pada lelaki itu serta pada anak lelakinya, yaitu Faqih. Hubungan mereka sangat dekat sekali. Melebihi anak lelaki dan ibu kandung.Fani pulang ke Jawa yang akan disusul Ardi untuk menikah. Mereka berdua telah bersepakat. Jika Fani sudah meminta restu pada orang tua dan izin pun didapat, Ardi akan segera meluncur menyusul dan menikahinya di Jawa. Namun, di sinilah dirinya tertimpa musibah. Dalam perjalanan menuju pulang, Fani tertipu oleh seorang teman lama yang ternyata tega memperkosa. Singkatnya, si teman lama bersedia bertanggung jawab. Sedia menikahi wanita yang t
Validasi pembelian tiket secara online telah disahkan dari ponsel oleh petugas bandara di pintu masuk. Jeta bergegas menuju antrian check in keberangkatan di line maskapai penerbangan nasional sesuai dengan nama pesawat di tiket yang sudah dibeli.Segalanya lulus sensor, tidak ada bagasi berarti yang Jeta bawa pada penerbangannya. Hanya dokumen identitas dan beberapa lembar baju saja. Maka bisa dibawa ke dalam kabin badan pesawat bersamanya.Jauh beda saat penerbangan berangkat dari Juanda menuju ke Kinabalu di Negeri Sabah kala itu. Jeta membawa ransel besar untuk pendakiannya. Kini telah hilang terkubur di puncak gunung itu. Tidak ada lagi peralatan mendaki yang kini dimiliki. Mungkin ilhamNya agar Jeta benar-benar pensiun menjelajah dan mendaki.Saat Jeta berjalan cepat menuju boarding gate pesawat miliknya, panggilan kepada seluruh penumpang tujuan Medan terus bergaung di sepeaker airport announcement. Terdengar merdu dan cukup mendebarkan bagi calon penumpang yang mendengar.Jant
Jeta yang masuk ke dalam rumah kini keluar lagi dengan membawa satu cangkir kopi bersama tatakan. Diletak di atas meja tanpa ditutup sebab begitu panas."Ada apa, tadi bilang mau ngomong …," tanya Azrul setelah Jeta duduk di seberang."Iya, tapi jangan terkejut setelah tahu. Wajib terus tenang," kata Jeta mengajukan syarat, nada yang biasanya, manja. Azrul tersenyum enteng dan mengangguk."Bilang saja." Azrul terlihat santai dan tersenyum.Jeta telah memutuskan untuk mengatakan masalah yang selama ini dia tanggung sendirian. Hingga membuatnya patuh pada seorang lelaki sebab video ancaman. Seperti yang dia sangka, Azrul terperangah terkejut."Siapa yang melakukan? Aku tidak percaya, Jeta. Itu pasti gertak sambal saja. Dia hanya ingin mendekatimu dengan cara amat licik," respon Azrul tampak berang."Dia tidak main-main, Mas. Aku sangat khawatir ...," ucap Jeta dan sigap mengeluarkan ponsel. Menunjukkan video yang sudah Faqih kirim ke whatsAppnya sebagai ancaman waktu itu. "Jeta, siapa