Validasi pembelian tiket secara online telah disahkan dari ponsel oleh petugas bandara di pintu masuk. Jeta bergegas menuju antrian check in keberangkatan di line maskapai penerbangan nasional sesuai dengan nama pesawat di tiket yang sudah dibeli.Segalanya lulus sensor, tidak ada bagasi berarti yang Jeta bawa pada penerbangannya. Hanya dokumen identitas dan beberapa lembar baju saja. Maka bisa dibawa ke dalam kabin badan pesawat bersamanya.Jauh beda saat penerbangan berangkat dari Juanda menuju ke Kinabalu di Negeri Sabah kala itu. Jeta membawa ransel besar untuk pendakiannya. Kini telah hilang terkubur di puncak gunung itu. Tidak ada lagi peralatan mendaki yang kini dimiliki. Mungkin ilhamNya agar Jeta benar-benar pensiun menjelajah dan mendaki.Saat Jeta berjalan cepat menuju boarding gate pesawat miliknya, panggilan kepada seluruh penumpang tujuan Medan terus bergaung di sepeaker airport announcement. Terdengar merdu dan cukup mendebarkan bagi calon penumpang yang mendengar.Jant
Jeta yang masuk ke dalam rumah kini keluar lagi dengan membawa satu cangkir kopi bersama tatakan. Diletak di atas meja tanpa ditutup sebab begitu panas."Ada apa, tadi bilang mau ngomong …," tanya Azrul setelah Jeta duduk di seberang."Iya, tapi jangan terkejut setelah tahu. Wajib terus tenang," kata Jeta mengajukan syarat, nada yang biasanya, manja. Azrul tersenyum enteng dan mengangguk."Bilang saja." Azrul terlihat santai dan tersenyum.Jeta telah memutuskan untuk mengatakan masalah yang selama ini dia tanggung sendirian. Hingga membuatnya patuh pada seorang lelaki sebab video ancaman. Seperti yang dia sangka, Azrul terperangah terkejut."Siapa yang melakukan? Aku tidak percaya, Jeta. Itu pasti gertak sambal saja. Dia hanya ingin mendekatimu dengan cara amat licik," respon Azrul tampak berang."Dia tidak main-main, Mas. Aku sangat khawatir ...," ucap Jeta dan sigap mengeluarkan ponsel. Menunjukkan video yang sudah Faqih kirim ke whatsAppnya sebagai ancaman waktu itu. "Jeta, siapa
Jeta paham apa maksud Mas Radit menepuk pelan punggungnya. Menenangkan dan memberikan dukungan. Paham jika perasaan adiknya tengah terguncang."Tidak kusangka jika putraku, Azrul, lebih memilih dan membawamu kemari. Gadis yang asal usulnya tidak pernah kami perkirakan. Sudah kubilang jauh-jauh hari pada Azrul, bahwa telah kami siapkan calon istri, bahkan sejak kecil lagi. Memang membelot sekali."Siapa yang tidak tertohok dalam oleh ucapan sarkas seperti itu? Dengan anggun dan berwibawa, ibundanya Azrul berbicara demikian kepada Jeta dan putranya. Kini mereka tengah dalam perdebatan dan Azrul adalah tokoh si pembelot. "Umi dan Abi sama sekali tidak melarang kalian berdua menikah, juga tidak menentang pilihan hatimu. Boleh menikah, tetapi setelah menikah dengan putri dari kiai pemilik pesantren di Blitar yang kubilang itu. Juga, asalkan istri pertamamu membolehkan. Serta … gadis dengan nama Jeta ini bersedia."Itu adalah ucapan abinya Azrul yang diucapkan dengan santun, lembut dan te
Menjalin hubungan spesial dentan seorang Gus, sangat tidak bebas hanya untuk bertemu. Mereka berdua selalu memilih waktu dan tempat secara tepat serta rahasia. Tapi terasa seru dan juga menyenangkan. Toh, nyatanya hubungan mereka telah bertahan sekian lama. Seperti sore ini, Azrul memintanya datang ke sebuah rumah makan yang sudah dia tentukan di pusat Kota Malang.Jeta sengaja datang lebih awal guna singgah sebentar di alun-alun indah kota yang sudah lama tidak didatangi. Dulu, semasa kuliah, hampir tiap hari Jeta bersantai di sana bersama teman-teman. Kini mereka sudah pada pulang ke daerah asalnya masing-masing setelah menamatkan pendidikan dan wisuda. Sementara teman dekat di Malang, Jeta kesulitan menghubungi. Dari pesan grup yang diikuti, mereka tengah ada kesibukan dan urusan masing-masing. Sebagai generasi milenial, urusan datang pun beragam silih berganti.Rumah makan khas padang di belakang pusat berbelanjaan, Jeta sedang menuju ke sana sekarang. Duduk di hadapan seorang le
Sesak dada Jeta sebab geram. Entah sungguh-sungguh, gertak sambal, atau justru hanya menggoda. Merasa sungguh risih setiap Faqih mengklaim bahwa Jeta adalah calon istrinya. Menggelikan sekali."Jeta …? Kamu masih di sana?" Faqih bertanya heran. Talian dalam selular terasa hening tanpa desih nafas."Tidak, aku tidak di sini," ucap Jeta. Ingin menghibur diri sendiri kali ini."Kamu di mana?" Faqih menyahut cepat di talian."Di belakang kamu, Faqih. Hi … hi … hi …," sahut Jeta. Rasa kesal telah berubah tawa sebab lelucon yang dibuat sendiri."Jeta …! Itu ucapanmu ya. Kupastikan dalam tiga hari ini kamu sudah harus terbang kembali ke sini," tandas Faqih tegas. Rasanya geram sekali sebab dipermainkan, berani-beraninya. "Kenapa kamu tidak tertawa? Sesekali bercandalah, agar kamu tidak tampak setua umurmu, Faqih …," ucap jeta di sela reda tawanya. Mengingat wajah tegang lelaki itu, rasanya terus ingin tertawa. Marah pun hanya seperti itu. Tidak memaki, membentak, apalagi membanting, sangat
Saat petang selepas shalat maghrib, di teras sebuah rumah khas model Belanda yang direnovasi .…"Lepaskan dong, Mas!" Jeta berusaha menarik tangannya dari ditahan oleh Azrul. "Tidak Jeta. Katakan dulu kamu bersedia menungguku. Kita akan hidup bersama, aku sudah mengupayakan segalanya dengan damai. Orang tuaku dan orang tua perempuan yang akan dinikahkan denganku, menerima keputusanku untuk menikah yang kedua denganmu. Bukan nikah siri. Kita akan menikah resmi." Azrul terus mencekal tangan Jeta. Gadis itu keberatan untuk kembali membahas masalah mereka dengan kesepakatan yang sejalan. Jeta menganggap masalah sudah selesai dan tidak ada yang perlu dibincang lagi. Tetapi tidak dengan Azrul."Tidak ada hal pribadi apa pun yang patut dibahas. Anggap hubungan yang pernah ada itu adalah masa lalu, please …," ucap Jeta kesal dan sedih. Merasa diri tidak punya kebebasan dan seperti dikendalikan."Aku tidak bisa. Aku terlanjur berniat serius denganmu, Jeta," tandas Azrul mengiba."Lepaskan du
Jeta menghembus napas lega. Lagi-lagi Radit adalah penyelamat. Memberi peluang Jeta untuk meninggalkan Azrul di teras.Azrul kembali datang dan membicarakan hal sama dengan malam sebelumnya. Lagi-lagi tidak ada sepakat yang sama sebab keduanya masih terus berlawan kemauan. Jeta tidak ingin diduakan, Azrul berjanji manis akan bersikap adil dan perhatian meskipun memadu.Jeta merasa tidak bisa terus-terusan menerima Azrul bertamu. Bisa jadi lambat laun mengiyakan sebab rasa jadi iba. Bahkan barusan, Azrul hingga menitikkan air mata. Lelaki itu merasa kecewa dan sedih yang mendalam. Begitu sayang dan cinta perasaannya pada Jeta. Tidak sanggup jika mereka benar-benar harus saling melupakan. Namun, apa daya, Jeta tetap saja tak bersedia sebagai yang kedua dalam pernikahan. Menolak rencana matang Azrul menggelar akad nikah yang kedua dengannya."Sudah pulang?" Mbak Riri menyambut di meja makan. Jeta mengangguk namun kemudian menggeleng. "Mas Azrul masih di teras sama Mas Radit, Mbak," sah
Gadis berkerudung yang anggun, modis dan cantik itu benar-benar menahan nafas saat pintu bergerak ditarik ke dalam. Perlahan terbuka lebar dengan lelaki berdiri di balik pintu berteralis besi. Wajah yang senantiasa tampak rupawan pun menyembul.Sesaat menatap Jeta dengan datar dan tanpa senyum. Gadis berwajah pucat meski cantik itu juga sedang menatap lebar padanya tanpa kedip. Bibir manisnya merapat tanpa senyum samar pun."Assalamu'alaikum," sapa Jeta akhirnya. Tidak tahan dengan pandangan pemilik appartment yang tidak ramah. Jauh-jauh datang dari Jawa ke Batam sebagai tamu, disambut senyum pun tidak. Padahal dia juga yang mengundang. Faqih memang arrogant sekali. Itulah sebab Jeta tidak melempar senyum, enggan tidak dibalas."Wa'alaikumsalam," sambut Faqih dengan suara bergema stereo. Lelaki itu juga mengangguk dan berubah sedikit ramah. Jeta merasa lega dengan respon baiknya."Sudah sampai? Ilyas, apa kalian sudah makan?" Faqih mengalihkan pandang kepada asisten sekaligus sang s
Tangis bayi riuh bersahutan pagi ini. Terdengar dari kamar di luar yang berlainan. Entah di mana ibu para bayi masing-masing. Yang jelas tangis lolong pilu mereka terus membahana dan lama. “Bayi-bayi konser itu, pada ke mana mominya masing-masing?” bisik Faqih di telinga Jeta yang sedang dalam dekapan dadanya. “Aku tidak tahu. Lagi shalat subuh mungkin …,” sahut Jeta menebak asal. Sisa napas masih menderu di dadanya. Faqih baru saja selesai menyentuhnya kembali pagi-pagi. “Ini belum datang waktu subuh, belum adzan, Sayang. Apa jangan-jangan lagi ehem ehem juga kayak kita …?” Faqih tersenyum menggoda. Rambut di pucuk kepala sang istri diciuminya ulang-ulang. “Bisa jadi, ya …,” sahut Jeta membenarkan, lalu menggigiti kecil dada suaminya dengan gemas. Faqih menahan suara pekiknya dan mengaduh lirih kegelian. “Jangan nakal, Jeta. Aku bisa berteriak.” Faqih menjauhkan sedikit kepala istrinya. “Jeta, itu yang sudah kita kasih angpau di dapur semalam, yang siapa? Aku nggak bisa b
Setelah merasa malas untuk beranjak dan pergi ke kamar mandi, Jeta terpaksa bersedia saat diajak untuk menemani. Mereka berdua pun mandi bersama dengan penuh kebisingan. Entah apa saja yang dimainkan dan dilakukan di dalam sana, yang jelas waktu yang diperlukan jauh lebih lama dari pada mandi biasanya. “Mak Mah belum datang?” tanya Faqih sambil merebah lagi di ranjang. Masih dengan baju koko dan sarungnya. Mereka sambung shalat subuh berjamaah setelah mandi pun bersama.“Belum, ini kepagian. Biasanya habis anak bungsunya pergi ke sekolah,” sahut Jeta sambil melipat mukena dan sajadah. Ingin hati menyusul suami ke pembaringan. Tetapi ingat jika melahirkan konon butuh ekstra perjuangan, Jeta memilih gerak keluar kamar. Seperti biasa, mencabut kotak salad buah dari kulkas. Seleranya benar-benar tidak peduli waktu dan kondisi.“Jeta, ayo ikut ke Hotel Tugu! Aku lupa, Ahmad akan pergi ke Juanda pagi ini!” Ajakan Faqih yang tiba-tiba sangat mengejutkan. Untung Jeta tidak tersedak. “Sebent
Faqih dan Jeta meninggalkan masjid besar di ujung gang yang buka hingga dua puluh empat jam sepanjang hari dan tanpa dijaga satpam. Beberapa pengurus dan jamaah masih terlihat duduk i'tikaf di sana, baik di dalam maupun di serambi. Meski malam sudah merangkak, mereka terlihat nyaman dan tenang di sana. “Ada apa …?” Faqih yang dari kamar mandi dan kini menutup pintu berpapasan dengan Jeta. Sudah berganti baju tidur dan tidak lagi berkerudung. Namun, tampak terkejut memandang Faqih.“Aku … Ingin makan salad dulu. Apa keberatan?” Suara Jeta terdengar kikuk. Faqih berjalan mendekati.“Meski tidak sabar lagi untuk jenguk anak, aku tetap tidak keberatan. Daripada nanti di atas ranjang yang kamu pandang aku, tetapi yang kamu pikir dan sebut justru salad buah,” jawab Faqih tersenyum menggoda sang istri.“Gombal …!” seru Jeta dengan raut yang malu. Faqih hanya diam dan tersenyum. Diikutinya Jeta keluar kamar dan berjalan ke dapur.“Sebenarnya aku pun ingin sesuatu darimu, Jeta,” ucap Faqih sa
Setelah dari klinik kandungan, mereka bukan lantas langsung pulang. Melainkan pergi ke arah berlawanan dari jalur jalan pulang. Jeta membawa Faqih ke Ramayana Mall di depan alun-alun Kota Malang. Berbalanja berbagai makanan dan barang. Oleh-oleh Faqih untuk seseorang yang harus dikunjungi. Sebab memang sudah janji ingin silaturahim dan berkenalan saat dirinya bertandang ke Malang di Jawa. Yang mana niat itu sudah dia sampaikan pada Jeta jauh-jauh hari sebelumnya. “Ayo di makan dulu, ngapain pulang cepet-cepet?” Seorang wanita berdaster longgar dengan menggendong bayi, menyuruh Faqih dan Jeta untuk lekas makan. Ada satu panci besar berisi bakso berkuah yang masih panas dan berkebul asap di meja makan. Juga ada sayur daun katu serta ikan sambal yang tidak lagi tampak panas. Meski sangat suka, Jeta mengambil sayur daun katu yang tampak hijau dan segar itu sedikit. Ingat jika Riri sedang masa menyusui. Daun katu sangat bagus untuk memperlancar produksi air susu ibu. Dan Jeta merasa
Batu nisan bentuk persegi dari keramik dengan nama Ny Arlita tertulis di sana, diusap tangan saat awal datang dengan sebuah salam. Faqih mengakhiri doa ziarah kubur pada makam almarhum ibu mertua pun dengan usapan tangan di batu nisan. Serta sebuah salam kembali di akhirnya.Jeta juga berdiri mengikuti gerak suaminya. Berpamit lirih dengan caranya dan kemudian mengulur tangannya pada Faqih. Mereka berdua bergandeng tangan meninggalkan lokasi makam sang ibu dengan berjalan hati-hati dan lurus. Mengikuti tapak jalan sempit di antara makam-makam. “Angkatlah, Jeta,” ucap Faqih. Ponsel Jeta sudah banyak kali berdering di dalam tasnya sejak masih di dalam lokasi makam. Kini mereka sudah di luar dan Faqih sedang mencuci kaki, tangan dan membasuh wajah. Sambil menyimak tenang percakapan sang istri yang terdengar seru di panggilan.“Ada apa?” Faqih mengelap wajah dengan sapu tangan dan Jeta pun menatapnya, panggilan ponsel telah ditutup beberapa detik yang lalu.“Aku ada undangan pesta nikaha
Pria tampan itu tampak frustasi meski akur dengan penolakan halus sang istri. Meski sama-sama penuh desir dengan gelombang meninggi, keduanya bersepakat menunda.“Faqih, apa kamu marah?” Jeta bertanya segan dengan ekspresi khawatir. Mendongak menatap Faqih yang masih menata napas memburu dan terengah. Menutup mata rapat sambil memeluk Jeta dengan pakaian yang sama-sama lepas berantakan. “Faqih, maaf, bukan aku tidak mau. Tapi aku sangat takut. Bukan aku tidak percaya padamu, tapi aku akan menanyakan pada dokter kandungan, apa kondisiku baik dan tidak bermasalah untuk menerima servis apa pun dari suamiku. Apa kamu mau mengerti?” Jeta kembali bertanya segan dengan menahan rasa malu. Tapi bukan rasa waswas dan cemas, sangat percaya jika Faqih adalah lelaki berwawasan dan bijak. Bukan melulu nafsu dan hasrat yang dikejar.“Faqih …,” panggil Jeta lagi yang mulai tidak sabar dengan kebungkaman pria yang sedang memeluk eratnya. “Hemm … tetapi aku tidak puas, Jeta. Aku sangat ingin membuat
Jeta membawa Faqih mendekati pintu kamar dengan jantung berdebum keras jumpalitan. Segala khayal dan bayang dalam kepala silih berganti meresahkan. Menduga apa yang akan dilakukan Faqih dalam kamar membuat hati jadi liar berdebar. Lelaki itu bersikeras meminta ditemani hingga ke dalam saat Jeta hanya menunjukkan daun pintu kamarnya dari jauh.“Sudah masuklah. Akan tetapi, di dalam tidak ada kamar mandi. Di situ kamar mandinya,” ucap Jeta menunjuk kamar mandi di pojok ruangan. Faqih hanya sekilas melihat. Mereka sudah berhenti tepat di depan pintu kamar.“Aku ingin kamu juga masuk ke dalam kamar denganku. Apa masih kurang paham juga?" ucap Faqih dengan berdiri tegak di depan Jeta. “Aku ingin kembali ke meja makan, masih ingin makan salad sekotak lagi. Mak Mah pun belum pulang, Faqih,” ucap Jeta menolak halus dengan mencoba beralasan.“Dia pulang? Apa dia tidak menginap juga di sini?” tanya Faqih yang merasa salah terka. “Tidak. Rumah kontraknya ada di belakang masjid. Anak-anaknya ma
Shalat maghrib bahkan dilakukan dengan lebih cepat. Juga tidak mengenakan apa pun di kulit wajah polosnya. Namun, sedikit pengorbanan itu seperti tanpa arti saat salad buah di atas meja makan sudah sangat sempurna tersajikan.“Bang Ahmad cepat sekali buatnya,” ucap Jeta sambil duduk dengan pandangan yang takjub. Tetapi, ada nada kecewa pada ucapannya.Telah menunggu dua kotak salad siap eksekusi di atas meja. Desta tidak sungkan-sungkan mendekapnya. Lelaki itu masih sibuk mengemas irisan salad buah di panci besar ke dalam wadah kotak untuk di taburi parutan keju dengan cepat. Mengabaikan keinginan Jeta untuk mengamatinya. Ahmad tidak ingin kehilangan waktu maghrib.“Dia sudah terlatih, Jeta. Kamu lihat pun juga sama cara buatnya. Tetapi hasilnya ya pasti saja jauh beda. Sudah, kamu sekarang tinggal makan saja,” ucap Mak Mah yang paham arti ucapan dan ekspresi Jeta. Mengerti jika wanita hamil itu sangat ingin melihat proses pembuatannya.“Iya, Mak Mah. Aku akan makan saja banyak-banyak
Mak Mah baru saja selesai menyiapkan makan malam dan sedang mengepel basah lantai dapur. Sangat fokus akan kerjanya dan tampak berjalan mundur mengepel dengan langkah hati-hati. Blak! “Ah …!” Suara mengejutkan diikuti jerit kaget, membuat Mak Mah seketika menoleh. “Jeta …!” Mak Mah mendekat sangat panik. “Aku tidak apa-apa, Mak. Hanya terpeleset sedikit. Nggak jatuh, kok!” Jeta menjelaskan dengan terengah dan masih merasa terkejut. Mak Mah sudah mengelusi punggung Jeta yang berposisi melengkung jongkok.“Tapi kan kaget. Perutnya, apa terasa sakit?” tanya Mak Mah cemas.“Alhamdulillah enggak, Mak. Aku sempat pegangan meja. Cuma kursinya saja yang jatuh ketendang kakiku, Mak,” terang Jeta.Kemudian bergeser dan menghenyak pantatnya di kursi. Mak Mah membungkuk meraih kursi yang ambruk ke lantai menjadi ke posisi berdiri semula.“Maaf, Jeta. Mak pikir kamu tidak akan keluar kalo nggak dipanggil.” Mak Mah memang selalu memanggil Jeta untuk keluar kamar jika meja makan sudah siap.“Tap