Jeta sudah duduk di depan Faqih. Menunggu hingga lelaki itu selesai bertelepon. Merasa tidak paham kenapa dirinya disuruh duduk. Jeta berpikir sekalian akan bicara tentang masa lalu Mama Fani."Jeta," panggil Faqih kala panggilan telepon berakhir. Jeta melebarkan mata menyimak."Jam kerjamu adalah delapan jam dan dua jam over time. Jika normal, masuk pukul tujuh pagi, pulangnya jam tiga sore. Jika overtime dua jam, berarti pulang pukul lima sore. Ada pertanyaan?" Faqih menatap Jeta lekat."Hari ini, pukul berapa boleh pulang? Aku ingin bertemu mamaku," jawab Jeta."Jika kopi ini enak, pulanglah setelah dzuhur. Waktu kerja, istirahatlah pukul dua belas hingga pukul satu dan saat ashar, tiga puluh menit," terang Faqih. "Jika mengantar kopi, pakailah baki dan letaklah bersama bakinya." Faqih meletak ponsel di meja dan menarik cangkir bersama tatakan lebih dekat."Iya. Lalu, apa saja kerjaku, Faqih?" Jeta hati-hati bertanya."Bersiap dengan kabar kerja dariku," ucap Faqih lumayan pelan.
Wanita berkulit putih itu keluar lagi dari kamar. Lebih mencengangkan, bukan lagi dengan celana jins dan kemeja panjang. Melainkan bertukar dengan dress cantik tanpa lengan. Pesona seksinya kian terpancar jelas dipandang mata."Jeta, akan buat apa?" Wanita itu bertanya ramah dengan raut yang cerah. Mendekati Jeta yang kebingungan di dapur."Ingin menyiapkan makan malam …," ucap Jeta menggantung. Si wanita berdiri sejajar dan dekat. Sangat tinggi bak model, bahkan kepala mungil Jeta pun lewat."Masak apa, kamu?" tanyanya dengan mengamati wajah Jeta."Masak … nasi goreng. Iya, nasi goreng," sahut Jeta tergagap. Ya, sesungguhnya nasi goreng adalah jenis masak-masakan yang sudah dikuasainya. "Hah …? Nasi goreng? Di mana ada gizinya? Kasihan dong Bang Faqihnyaa," ucap wanita itu terkejut. Jeta pun tak kalah terkejut dengan reaksi si wanita yang lebay, sekaligus bingung dan galau. Jika nasi goreng sangat tidak layak, lalu ... masak apa?Eh, tetapi, siapa wanita sok iyess, ini?"Oh, ya … k
Gadis berkerudung menyeret koper meninggalkan apartemen mengikuti lelaki tinggi dan tegap yang berjalan di depan. Namun, besar badannya tidak diimbangi dengan gerak hati untuk membantu membawakan koper Jeta. Jauh beda dengan perlakuan hangat Ilyas saat menjemput di bandara. Bibirnya kini sedang mencibiri punggung lebar lelaki itu banyak kali."Duduk di depan," tegur Faqih saat Jeta akan membuka pintu belakang. Kopernya juga diambil dan diletakkan di bagasi. Bibir Jeta jadi tersenyum lebar sekarang. Segera menghenyak diri di kursi depan yang sudah dibuka pintunya."Kenapa tadi melarang Ilyas yang mengantar? Kamu tampak lelah, Faqih. Lagipula calon istrimu tidak suka kamu mengantarku. Aku segan." Jeta bertanya saat mobil sudah meluncur membelakangi gerbang gedung apartemen."Calon istri?" Faqih bergumam tanpa menoleh. Akan tetapi Jeta masih mendengar."Iya, Faqih, aku sudah tahu dan sangat senang. Ternyata, kamu punya calon istri. Aku jadi tenang sekarang. Aku tahu, kamu adalah lelak
Jeta bangun kesiangan. Alarm yang diatur semalam tidak berbunyi sebab ponselnya mati habis daya. Bangunnya pun bukan mandiri, melainkan Mama Fani yang masuk ke dalam kamar mengusik.Fani bilang ada taksi yang datang dan menunggu di luar. Jeta pun gegas bangun dan mandi. Nasib baik semalam datang bulan tiba-tiba, jadi tidak terlalu menyesal lambat bangun. Hanya khawatir jika Faqih marah sebab lambat datang."Ma, aku berangkat. Assalamu'alaikum!" Jeta berpamitan sambil menyalam tangan mamanya tergesa. Gelas kosong berisi susu telah pindah dari tangannya ke tangan Fani."Wa'alaikumsalam, Sayang. Nanti kalo bisa, pulang pukul tiga saja. Belajar masak sama-sama!" Fani berseru sebelum Jeta melewati pintu pagar."Iya, Ma!" Jeta sambil melambaikan tangan dan kiss bye. Kemudian mengunci pagar dan masuk ke dalam taksi. Taksi yang mengantar tidak bersedia dibayar. Sudah ditanggung oleh orang yang memesan untuk menjemput. Entah Faqih, entah Ilyas. Jeta pun melenggang riang menuju lift yang akan
Jeta akan istirahat siang setelah menunaikan shalat dzuhur. Semua ruang sudah rapi, bersih dan wangi. Segala makanan sisa juga sudah dibuangnya. Dapur pun siap dikemas sempurna sebagaimana tutorial kemas terviral di YouTube. Hanya satu yang belum, menjamah kamar si bos untuk dirapikan.Satu pesan masuk menggugurkan lena tidur raganya. Dari Faqih yang mengatakan jika acara dimulai setelah waktu ashar. Jeta diminta menyiapkan diri dengan penampilan yang pantas. Sebuah acara perkumpulan rekan bisnis yang bersyarat membawa teman lawan jenis. Acara macam apa itu? Ada-ada saja ... bibir Jeta mencibir dengan senyum.Bukan susah bagi Jeta memantas diri dalam penampilan. Secara alami, wajah dan bodi sudah tercetak cantik menarik dari lahir. Entah dari mana didapat. Meski Fani pun cantik, tidak ada kemiripan di garis wajah mereka berdua. Pesona keayuan Jeta jauh lebih mencolok dan balance.Tidak heran, dirinya adalah salah satu kembang idola di kampusnya kala itu. Bahkan, seorang Gus tampan ya
Telah terlihat banyak tamu yang hadir. Menyebar di beberapa penjuru taman hutan. Mereka bertiga melewati jalan setapak panjang menuju pintu menuju taman. Sore menjelang senja, betapa segar hawa di taman hutan."Jeta, kamu anggun dan cantik sekali sore ini." Ilyas menyempatkan memuji saat berpeluang melangkah bersisian dengan Jeta. Faqih berjalan sendiri di depan. "Jangan lebay, Ilyas," sanggah Jeta meski rasanya juga suka dengan sanjungan, tidak peduli dari siapa pun. Namun, Faqih tidak begitu, tak sekali pun melontarkan pujian."Aku berkata benar. Kamu sangat mempesona, pasti akan jadi bintang di acara ini," ucap Ilyas lirih. Mengamati Jeta dengan serius sambil terus berjalan. Gadis di samping hanya mengulum senyum."Ini acara apa, Ilyas?" Jeta bertanya tak kalah lirih. Coba meredam rasa senang hatinya."Acara bertuah. Andai hoki, mereka akan memberi diskon besar pada perusahaan Bang Faqih kala membawa orang-orang masuk ke taman hutan ini. Tapi, banyak sekali saingannya, kamu nampa
Ilyas yang pergi untuk menyematkan nama Sandra Jeta pada daftar bintang tamu sekaligus penyumbang lagu tampak datang kembali. Memandang Jeta yang terlihat tenang dengan wajah berseri dan bersemangat. Sedang gembira luar biasa akan janji Faqih untuk tidak lagi mengancam. "Kamu mendapat nomor urut ke sepuluh, Jeta. Apa ingin berlatih dulu? Di pojok sana ada klub karaoke, kita bisa menyewa," ucap Ilyas perhatian. "Waktunya singkat, Ilyas. Tidak ada basa basi di atas panggung. Jangan sampai kehilangan moment saat dipanggil." Faqih menyahut memutuskan."Benar, Ilyas. Lagipula ini tidak serius, semua peserta tampak tidak siap. Lihatlah, mereka di atas panggung seperti itu, sangat tidak serius. Kita pun santai saja. Lagian kurasa, seseorang juga berharap aku tidak dipilih," ucap Jeta sambil melirik pada Faqih. Pria itu sedang merenung pada wajahnya dengan pandangan tajam menembus ke jantung. Jeta tercekat dan bubgkak, tidak berani agi bersuara. Hening meraja di antara mereka bertiga. Ilya
Pria berbadan besar yang tidur menelungkup, terbangun oleh bunyi petir menggelegar dari luar jendela kamar. Unit apartemen istimewa yang dipilih berada di sudut megah bangunan. Sehingga memiliki jendela yang langsung menghubungkan apartemen dengan alam raya sekitar.Faqih berjingkat bangun dan berjalan keluar kamar untuk mengambil minum. Tenggorokan terasa kering dan serik. Selepas mandi lagi sepulang acara dari Mata Kucing, dirinya tepar di kasur dan tertidur. Kini terbangun mendekati tengah malam. Pukul sebelas lebih empat puluh lima menit larut malam.Petir kembali menyambar, meski samar terdengar dari ruang dapur, dapat dipastikan jika bunyinya menggelegar di luar. Pasti disertai angin ribut. Sudah hampir satu minggu tidak ada hujan, sekali turun deras sekali curahnya.Faqih segera berjalan menuju kamar sudut yang ditempati Jeta. Yakin jika penyumbang suara petir adalah dari kamar itu. Benar sekali, jendela di samping ranjang lagi-lagi tidak ditutup. Sepertinya, gadis penguasa kam