Ilyas yang pergi untuk menyematkan nama Sandra Jeta pada daftar bintang tamu sekaligus penyumbang lagu tampak datang kembali. Memandang Jeta yang terlihat tenang dengan wajah berseri dan bersemangat. Sedang gembira luar biasa akan janji Faqih untuk tidak lagi mengancam. "Kamu mendapat nomor urut ke sepuluh, Jeta. Apa ingin berlatih dulu? Di pojok sana ada klub karaoke, kita bisa menyewa," ucap Ilyas perhatian. "Waktunya singkat, Ilyas. Tidak ada basa basi di atas panggung. Jangan sampai kehilangan moment saat dipanggil." Faqih menyahut memutuskan."Benar, Ilyas. Lagipula ini tidak serius, semua peserta tampak tidak siap. Lihatlah, mereka di atas panggung seperti itu, sangat tidak serius. Kita pun santai saja. Lagian kurasa, seseorang juga berharap aku tidak dipilih," ucap Jeta sambil melirik pada Faqih. Pria itu sedang merenung pada wajahnya dengan pandangan tajam menembus ke jantung. Jeta tercekat dan bubgkak, tidak berani agi bersuara. Hening meraja di antara mereka bertiga. Ilya
Pria berbadan besar yang tidur menelungkup, terbangun oleh bunyi petir menggelegar dari luar jendela kamar. Unit apartemen istimewa yang dipilih berada di sudut megah bangunan. Sehingga memiliki jendela yang langsung menghubungkan apartemen dengan alam raya sekitar.Faqih berjingkat bangun dan berjalan keluar kamar untuk mengambil minum. Tenggorokan terasa kering dan serik. Selepas mandi lagi sepulang acara dari Mata Kucing, dirinya tepar di kasur dan tertidur. Kini terbangun mendekati tengah malam. Pukul sebelas lebih empat puluh lima menit larut malam.Petir kembali menyambar, meski samar terdengar dari ruang dapur, dapat dipastikan jika bunyinya menggelegar di luar. Pasti disertai angin ribut. Sudah hampir satu minggu tidak ada hujan, sekali turun deras sekali curahnya.Faqih segera berjalan menuju kamar sudut yang ditempati Jeta. Yakin jika penyumbang suara petir adalah dari kamar itu. Benar sekali, jendela di samping ranjang lagi-lagi tidak ditutup. Sepertinya, gadis penguasa kam
Hingga mereka tiba di teras lobi, hujan masih deras tercurah dari langitNya. Terpa angin pun masih menghempas dengan kencang. Namun, tidak lagi ada gelegar petir dan kilat. Hanya udara yang kian dingin menghembus di malam 8timmenuju dini hari.Faqih menghampiri seorang Servis Boy dan menyerahkan kunci. Meminta menyimpan kendaraan di latar parkir yang terdekat. Servis Boy mengangguk cerah dengan menerima lembar rupiah merah di genggaman tangan.Lift yang membawa mereka meluncur menuju lantai sebelas terasa lama. Jeta berdiri di depan Faqih dengan canggung saat mata pria itu menelusur ke arah wajahnya."Bagaimana, kamu mulai berpikir untuk mau tinggal di apartemen denganku?" Faqih bertanya dan sambil menatap Jeta terus terang."Tidak, Faqih, aku tidak ingin tinggal denganmu. Rasanya tidak bebas. Apa pandangan orang terhadapku …?" Jeta menggeleng demi mempertegas jawabnya."Ck …!" Faqih berdecak tidak sabar."Coba abaikan siapa pun saja, termasuk Elma. Ini demi memudahkan kerjamu," ujar
Piring Faqih sudah terisi dengan sedikit nasi dan bermacam sayur serta lauk. Piring yang Jeta sediakan, bukan untuk mengambil nasi goreng spesial buatannya, tetapi sudah Elma isi dengan bermacam menu saji yang tadi dia bawa. Faqih terdiam dan membiarkan saja apa yang sedang dilakukan calon istri. Meski dirasa tidak masalah, kenyataannya juga kecewa dan seperti tidak terima. Apalagi Faqih sudah mulai makan isi piring yang dibawakan oleh Elma dengan lahap. Rasa semangat saat membuat nasi goreng yang bahkan dimulai sejak habis subuh pun melayu dan gugur. Rasanya tiba-tiba jadi kesal. Seperti tidak akan sudi memasak apa pun lagi untuknya. Memang salah sendiri, mendadak punya inisiatif masak tanpa diminta. Ternyata calon istri datang dengan beragam sayur dan lauk."Jika ingin, juga tidak dilarang ikut makan." Sindiran Elma menyadarkan Jeta dari lamunan. "Aku belum lapar, silahkan kalian makan pagi. Selamat menikmati," sahut Jeta dan kemudian pergi ke wastafel. Banyak perkakas kotor sis
Jeta yang tiba-tiba sangat suntuk dan merasa butuh healing, tidak langsung pergi ke apartemen. Namun, meminta pada sopir taksi untuk membawa ke satu pusat kebugaran dan kecantikan. Taksi tidak masalah menunggu sebab segala tagihan sudah ada yang menanggung. Yakni Faqih akan membayar seluruh total tagihan jumlah argo.Dalam waktu singkat, Jeta diantar ke tempat yang dia maksudkan. Ingin relaksasi jiwa raga dari beban berat yang dia tanggung sendirian selama ini. Di bangunan megah sebagai pusat bugar dan cantik itulah Jeta berada.Hanya berenang puas-puaslah yang Jeta pilih lakukan sementara. Seorang instruktur renang wanita, begitu lihai memberi teori dan praktik sambil mencontohkan secara langsung. Jeta mendapat banyak teori dan taktik renang beragam gaya dengan cepat. Merasa itu sangat menyenangkan sekaligus memuaskan. Jeta merasa perlu mengunjungi lagi lain kali.Dari kelas kebugaran, bergeser ke kelas kecantikan. Memilih pasrah pada paket rawatan skin care yang sempurna dan keselu
Gadis berkerudung dengan polesan wajah tipis, tetapi hasil salon, terlihat memukau dan indah. Berjalan cepat seperti biasa dan meninggalkan tangga tergesa. Mendekati Faqih yang sudah berdiri menunggu di sofa."Sudah, Faqih. Hampir pukul lima," ucap Jeta saat Faqih hanya diam."Ayo, lekas!" Faqih pun beranjak diikuti Jeta di belakangnya.Ilyas standby menunggu di depan dengan kendaraan. Sigap melarikan setelah dua orang yang ditunggu duduk di dalam bersamanya. Membelah jalanan ibu kota menuju tempat yang sudah disepakati antara Jeta dan Qolbi.Mereka memasuki rumah makan hampir bersamaan dengan datangnya lelaki yang dituju. Qolbi terlihat sedang menuju ke pintu yang sama. Mereka pun saling bersembang dan bersalam sapa sebelum memutuskan untuk duduk bersama di luar saja.Meski awalnya memang menolak dan paham situasi. Faqih dan Ilyas yang berencana duduk pada meja terpisah, sebab juga ingin mengambil makan malam di tempat yang sama, terpaksa menerima undangan yang setengah memaksa dari
Jeta melewati rasa resah luar biasa dengan mengikuti kata hati. Faqih yang berjalan cepat menuju dekat vila dicegahnya. Tidak peduli lelaki itu akan marah."Kenapa, Jeta?" Pandangan mata berkilatnya tampak heran. Tiba-tiba Jeta berseru lirih, mengajak untuk kembali."Ayo kita pergi saja. Jangan bikin rusuh di sini, Faqih," ucap Jeta lembut membujuk."Jangan coba halang-halangi aku, Jeta. Mereka sudah tidak menghargaiku sama sekali." Faqih berbicara menghentak tegas. Kemudian berbalik pergi meninggalkan Jeta ke arah vila kembali. Jeta pun bergegas mengejar."Faqih!" "Jeta, apa yang kamu lakukan?!" Mereka berdua saling memekik tertahan. Jeta menggayut lengan tangan Faqih sekuat tenaga, sedang Faqih berusaha melepas dan mengibas. Mereka saling bertahan dengan keinginan masing-masing."Faqih, jangan berbuat konyol. Jangan mengganggu mereka berdua! Mereka … mereka berhak bahagia. Sudah, ayo kita pergi saja!" Jeta kembali mengerah tenaga menarik tangan Faqih. Namun, tubuh besar lelaki it
Pria lebih setengah abad yang masih tampak sangat tampan itu sedang memeluk Fani memberi perlindungan. Menatap tajam putranya dengan mulut membungkam. Setelah puas mengumpat, Faqih baru saja membanting nampan berisi empat cangkir air teh yang hangat. Serpihan kaca hampir memenuhi lantai ruang depan.Bagaimanapun, sangat berat untuk menghardik sang putra berlebihan. Mengingat bukanlah singkat waktu yang dilalui dengan satu anak lelakinya selama ini. Tidak bisa dijabarkan rasa sayang itu demikian besar pada Faqih."Anak gadismu akan kubawa. Tidak usah lagi mencarinya," ujar Faqih dingin pada Fani sambil menyambar lagi tangan Jeta. Dibawanya keluar setelah hati merasa puas. Menumpah rasa kecewa dan amarah pada papanya juga pada wanita itu. "Jangan apa-apakan Jeta, Faqih! Bagaimanapun, dia adalah gadis baik-baik, dia adikmu!" Ardi sempat berpesan dengan berdiri menyusul di teras vila."Titip Jeta, Faqih. Jeta, jika ada apa-apa telpon Mama!" Fani juga berseru dengan perasaan serba salah.
Tangis bayi riuh bersahutan pagi ini. Terdengar dari kamar di luar yang berlainan. Entah di mana ibu para bayi masing-masing. Yang jelas tangis lolong pilu mereka terus membahana dan lama. “Bayi-bayi konser itu, pada ke mana mominya masing-masing?” bisik Faqih di telinga Jeta yang sedang dalam dekapan dadanya. “Aku tidak tahu. Lagi shalat subuh mungkin …,” sahut Jeta menebak asal. Sisa napas masih menderu di dadanya. Faqih baru saja selesai menyentuhnya kembali pagi-pagi. “Ini belum datang waktu subuh, belum adzan, Sayang. Apa jangan-jangan lagi ehem ehem juga kayak kita …?” Faqih tersenyum menggoda. Rambut di pucuk kepala sang istri diciuminya ulang-ulang. “Bisa jadi, ya …,” sahut Jeta membenarkan, lalu menggigiti kecil dada suaminya dengan gemas. Faqih menahan suara pekiknya dan mengaduh lirih kegelian. “Jangan nakal, Jeta. Aku bisa berteriak.” Faqih menjauhkan sedikit kepala istrinya. “Jeta, itu yang sudah kita kasih angpau di dapur semalam, yang siapa? Aku nggak bisa b
Setelah merasa malas untuk beranjak dan pergi ke kamar mandi, Jeta terpaksa bersedia saat diajak untuk menemani. Mereka berdua pun mandi bersama dengan penuh kebisingan. Entah apa saja yang dimainkan dan dilakukan di dalam sana, yang jelas waktu yang diperlukan jauh lebih lama dari pada mandi biasanya. “Mak Mah belum datang?” tanya Faqih sambil merebah lagi di ranjang. Masih dengan baju koko dan sarungnya. Mereka sambung shalat subuh berjamaah setelah mandi pun bersama.“Belum, ini kepagian. Biasanya habis anak bungsunya pergi ke sekolah,” sahut Jeta sambil melipat mukena dan sajadah. Ingin hati menyusul suami ke pembaringan. Tetapi ingat jika melahirkan konon butuh ekstra perjuangan, Jeta memilih gerak keluar kamar. Seperti biasa, mencabut kotak salad buah dari kulkas. Seleranya benar-benar tidak peduli waktu dan kondisi.“Jeta, ayo ikut ke Hotel Tugu! Aku lupa, Ahmad akan pergi ke Juanda pagi ini!” Ajakan Faqih yang tiba-tiba sangat mengejutkan. Untung Jeta tidak tersedak. “Sebent
Faqih dan Jeta meninggalkan masjid besar di ujung gang yang buka hingga dua puluh empat jam sepanjang hari dan tanpa dijaga satpam. Beberapa pengurus dan jamaah masih terlihat duduk i'tikaf di sana, baik di dalam maupun di serambi. Meski malam sudah merangkak, mereka terlihat nyaman dan tenang di sana. “Ada apa …?” Faqih yang dari kamar mandi dan kini menutup pintu berpapasan dengan Jeta. Sudah berganti baju tidur dan tidak lagi berkerudung. Namun, tampak terkejut memandang Faqih.“Aku … Ingin makan salad dulu. Apa keberatan?” Suara Jeta terdengar kikuk. Faqih berjalan mendekati.“Meski tidak sabar lagi untuk jenguk anak, aku tetap tidak keberatan. Daripada nanti di atas ranjang yang kamu pandang aku, tetapi yang kamu pikir dan sebut justru salad buah,” jawab Faqih tersenyum menggoda sang istri.“Gombal …!” seru Jeta dengan raut yang malu. Faqih hanya diam dan tersenyum. Diikutinya Jeta keluar kamar dan berjalan ke dapur.“Sebenarnya aku pun ingin sesuatu darimu, Jeta,” ucap Faqih sa
Setelah dari klinik kandungan, mereka bukan lantas langsung pulang. Melainkan pergi ke arah berlawanan dari jalur jalan pulang. Jeta membawa Faqih ke Ramayana Mall di depan alun-alun Kota Malang. Berbalanja berbagai makanan dan barang. Oleh-oleh Faqih untuk seseorang yang harus dikunjungi. Sebab memang sudah janji ingin silaturahim dan berkenalan saat dirinya bertandang ke Malang di Jawa. Yang mana niat itu sudah dia sampaikan pada Jeta jauh-jauh hari sebelumnya. “Ayo di makan dulu, ngapain pulang cepet-cepet?” Seorang wanita berdaster longgar dengan menggendong bayi, menyuruh Faqih dan Jeta untuk lekas makan. Ada satu panci besar berisi bakso berkuah yang masih panas dan berkebul asap di meja makan. Juga ada sayur daun katu serta ikan sambal yang tidak lagi tampak panas. Meski sangat suka, Jeta mengambil sayur daun katu yang tampak hijau dan segar itu sedikit. Ingat jika Riri sedang masa menyusui. Daun katu sangat bagus untuk memperlancar produksi air susu ibu. Dan Jeta merasa
Batu nisan bentuk persegi dari keramik dengan nama Ny Arlita tertulis di sana, diusap tangan saat awal datang dengan sebuah salam. Faqih mengakhiri doa ziarah kubur pada makam almarhum ibu mertua pun dengan usapan tangan di batu nisan. Serta sebuah salam kembali di akhirnya.Jeta juga berdiri mengikuti gerak suaminya. Berpamit lirih dengan caranya dan kemudian mengulur tangannya pada Faqih. Mereka berdua bergandeng tangan meninggalkan lokasi makam sang ibu dengan berjalan hati-hati dan lurus. Mengikuti tapak jalan sempit di antara makam-makam. “Angkatlah, Jeta,” ucap Faqih. Ponsel Jeta sudah banyak kali berdering di dalam tasnya sejak masih di dalam lokasi makam. Kini mereka sudah di luar dan Faqih sedang mencuci kaki, tangan dan membasuh wajah. Sambil menyimak tenang percakapan sang istri yang terdengar seru di panggilan.“Ada apa?” Faqih mengelap wajah dengan sapu tangan dan Jeta pun menatapnya, panggilan ponsel telah ditutup beberapa detik yang lalu.“Aku ada undangan pesta nikaha
Pria tampan itu tampak frustasi meski akur dengan penolakan halus sang istri. Meski sama-sama penuh desir dengan gelombang meninggi, keduanya bersepakat menunda.“Faqih, apa kamu marah?” Jeta bertanya segan dengan ekspresi khawatir. Mendongak menatap Faqih yang masih menata napas memburu dan terengah. Menutup mata rapat sambil memeluk Jeta dengan pakaian yang sama-sama lepas berantakan. “Faqih, maaf, bukan aku tidak mau. Tapi aku sangat takut. Bukan aku tidak percaya padamu, tapi aku akan menanyakan pada dokter kandungan, apa kondisiku baik dan tidak bermasalah untuk menerima servis apa pun dari suamiku. Apa kamu mau mengerti?” Jeta kembali bertanya segan dengan menahan rasa malu. Tapi bukan rasa waswas dan cemas, sangat percaya jika Faqih adalah lelaki berwawasan dan bijak. Bukan melulu nafsu dan hasrat yang dikejar.“Faqih …,” panggil Jeta lagi yang mulai tidak sabar dengan kebungkaman pria yang sedang memeluk eratnya. “Hemm … tetapi aku tidak puas, Jeta. Aku sangat ingin membuat
Jeta membawa Faqih mendekati pintu kamar dengan jantung berdebum keras jumpalitan. Segala khayal dan bayang dalam kepala silih berganti meresahkan. Menduga apa yang akan dilakukan Faqih dalam kamar membuat hati jadi liar berdebar. Lelaki itu bersikeras meminta ditemani hingga ke dalam saat Jeta hanya menunjukkan daun pintu kamarnya dari jauh.“Sudah masuklah. Akan tetapi, di dalam tidak ada kamar mandi. Di situ kamar mandinya,” ucap Jeta menunjuk kamar mandi di pojok ruangan. Faqih hanya sekilas melihat. Mereka sudah berhenti tepat di depan pintu kamar.“Aku ingin kamu juga masuk ke dalam kamar denganku. Apa masih kurang paham juga?" ucap Faqih dengan berdiri tegak di depan Jeta. “Aku ingin kembali ke meja makan, masih ingin makan salad sekotak lagi. Mak Mah pun belum pulang, Faqih,” ucap Jeta menolak halus dengan mencoba beralasan.“Dia pulang? Apa dia tidak menginap juga di sini?” tanya Faqih yang merasa salah terka. “Tidak. Rumah kontraknya ada di belakang masjid. Anak-anaknya ma
Shalat maghrib bahkan dilakukan dengan lebih cepat. Juga tidak mengenakan apa pun di kulit wajah polosnya. Namun, sedikit pengorbanan itu seperti tanpa arti saat salad buah di atas meja makan sudah sangat sempurna tersajikan.“Bang Ahmad cepat sekali buatnya,” ucap Jeta sambil duduk dengan pandangan yang takjub. Tetapi, ada nada kecewa pada ucapannya.Telah menunggu dua kotak salad siap eksekusi di atas meja. Desta tidak sungkan-sungkan mendekapnya. Lelaki itu masih sibuk mengemas irisan salad buah di panci besar ke dalam wadah kotak untuk di taburi parutan keju dengan cepat. Mengabaikan keinginan Jeta untuk mengamatinya. Ahmad tidak ingin kehilangan waktu maghrib.“Dia sudah terlatih, Jeta. Kamu lihat pun juga sama cara buatnya. Tetapi hasilnya ya pasti saja jauh beda. Sudah, kamu sekarang tinggal makan saja,” ucap Mak Mah yang paham arti ucapan dan ekspresi Jeta. Mengerti jika wanita hamil itu sangat ingin melihat proses pembuatannya.“Iya, Mak Mah. Aku akan makan saja banyak-banyak
Mak Mah baru saja selesai menyiapkan makan malam dan sedang mengepel basah lantai dapur. Sangat fokus akan kerjanya dan tampak berjalan mundur mengepel dengan langkah hati-hati. Blak! “Ah …!” Suara mengejutkan diikuti jerit kaget, membuat Mak Mah seketika menoleh. “Jeta …!” Mak Mah mendekat sangat panik. “Aku tidak apa-apa, Mak. Hanya terpeleset sedikit. Nggak jatuh, kok!” Jeta menjelaskan dengan terengah dan masih merasa terkejut. Mak Mah sudah mengelusi punggung Jeta yang berposisi melengkung jongkok.“Tapi kan kaget. Perutnya, apa terasa sakit?” tanya Mak Mah cemas.“Alhamdulillah enggak, Mak. Aku sempat pegangan meja. Cuma kursinya saja yang jatuh ketendang kakiku, Mak,” terang Jeta.Kemudian bergeser dan menghenyak pantatnya di kursi. Mak Mah membungkuk meraih kursi yang ambruk ke lantai menjadi ke posisi berdiri semula.“Maaf, Jeta. Mak pikir kamu tidak akan keluar kalo nggak dipanggil.” Mak Mah memang selalu memanggil Jeta untuk keluar kamar jika meja makan sudah siap.“Tap