Pria lebih setengah abad yang masih tampak sangat tampan itu sedang memeluk Fani memberi perlindungan. Menatap tajam putranya dengan mulut membungkam. Setelah puas mengumpat, Faqih baru saja membanting nampan berisi empat cangkir air teh yang hangat. Serpihan kaca hampir memenuhi lantai ruang depan.Bagaimanapun, sangat berat untuk menghardik sang putra berlebihan. Mengingat bukanlah singkat waktu yang dilalui dengan satu anak lelakinya selama ini. Tidak bisa dijabarkan rasa sayang itu demikian besar pada Faqih."Anak gadismu akan kubawa. Tidak usah lagi mencarinya," ujar Faqih dingin pada Fani sambil menyambar lagi tangan Jeta. Dibawanya keluar setelah hati merasa puas. Menumpah rasa kecewa dan amarah pada papanya juga pada wanita itu. "Jangan apa-apakan Jeta, Faqih! Bagaimanapun, dia adalah gadis baik-baik, dia adikmu!" Ardi sempat berpesan dengan berdiri menyusul di teras vila."Titip Jeta, Faqih. Jeta, jika ada apa-apa telpon Mama!" Fani juga berseru dengan perasaan serba salah.
Faqih memegang daun pintu yang seakan hendak ditutup. Mencoba menggertak Jeta agar segera mengikuti masuk ke dalam kamar. Namun, gadis itu kukuh dan tidak bisa diperdaya. Rasanya ingin terbahak saat wajah bermata bening itu terlihat tegang, cemas dan takut. Begitu kaku hingga bernapas pun kemungkinan dia juga lupa. "Tunggu apa lagi? Kamu bahkan pernah denganku dalam dump yang jauh lebih sempit dari kamar mana pun …," ucap Faqih dengan ekspresi mengejek. Teringat saat mereka dalam satu tenda dump di Kinabalu kemarin dulu. Jeta memberengut."Faqih …! Aku tidak mau! Keadaan sekarang dan waktu itu tidak sama. Jika tidak masuk dump, aku akan mati. Beda dengan saat ini. Kamu pasti paham, kan? Jangan mengarang alasan!" Jeta berseru dengan terus berdiri tegak di depan pintu. "Apa salahnya bernostalgia?" Faqih memandang dalam dengan senyum mengambang. Berpikir jika itu dia lakukan, Jeta tidak akan bisa menolak. Tidak mungkin juga gadis cantik berkerudung sepertinya akan tidur di lobi. Namu
Faqih bersikeras tidak kembali ke kamarnya, kini justru tidur di sofa kamar Jeta. Alasan dia adalah, risau andai gadis itu tiba-tiba berpikiran sesat lalu ingin mati. Dirinya akan merasa bersalah dan menyesal, sebab telah gagal menjaga seorang gadis yang baru saja menjadi saudara tirinya. "Faqih, bangun!" Jeta sedikit mengguncang ujung kakinya. "Faqih!" Ulang Jeta membangunkan. Kini lebih kuat dan keras. Susah sekali lelaki itu terjaga. Guncangan kali ini membawa dampak lumayan. Perlahan badan besar itu berbalik dari tidur yang tengkurap di sofa. Matanya memicing tipis saat sudah terlentang dan menatap Jata yang menjulang di dekat kakinya."Faqih, kembalilah ke kamarmu. Ada kamu, aku malah tidak bisa tidur. Kamu tidak kasihan padaku? Sudah hampir pukul dua. Aku benar-benar tak bisa tidur, kepalaku sakit," ucap Jeta mengusir."Tidur, tidur saja. Kenapa tidak bisa tidur?" tanya Faqih terheran. Lelaki itu belum juga bangun dan berdiri."Kamu pikir aku biasa tidur sama kamar dengan lel
Dengan meniru sistem laundry, baju yang siang tadi dibeli, malam ini sudah dipakai. Jeta melenggang mengikuti Faqih menuju pusat keramaian. Kian dekat, langkahnya dirasa kian berat."Lekas Jeta, kenapa berjalan lamban sekali?" Faqih telah berbalik dan berhenti melangkah untuk menegur."Seharusnya aku tidak perlu ikut …." Jeta sempat menyesal saat orang-orang penting yang akan didatangi sudah tampak kian dekat."Ck …! Kamu ke sini sebab aku, ikut aku. Bukan sebab datang di acara ini. Sudah kubilang berjalanlah denganku. Abaikan Elma!" Faqih berbicara sambil melangkah menghampiri Jeta. Tangan gadis itu diambil dan digenggamnya. Dengan cepat dibawa kembali melangkah ke depan."Mana Ilyas, Faqih?" Jeta merasa Ilyas terlalu lama menyusul. Mereka datang bertiga dengan Ilyas yang pergi sendiri ke latar parkir."Jangan tanyakan Ilyas. Dia bisa mengurus dirinya sendiri," ucap Faqih lirih. Itu seperti sebuah sindiran bagi Jeta."Jangan gandeng aku, nanti dikira orang aku ini pelakor." Jeta ber
Faqih terbuai rebah di salah satu kamar hotel yang sudah dikunci sangat rapat sebelumnya. Terbangun dengan ingatan sangat memuakkan. Hasrat dan rasa luar biasa yang sempat ditanggung oleh tubuhnya sebelum terkapar. Kini telah sadar dengan kepala berputar dan teringat Jeta yang entah di mana rimbanya. Keterkejutan dan rasa waswas timbul seketika di dadanya.Panggilan yang dia lakukan pada nomor si gadis tidak diangkat. Tidak ada juga jejak panggilan atau sepatah pesan pun pada aplikasi pesan dari Jeta. Hanya ada pesan dari Ilyas beberapa jam lalu yang menerangkan jika dirinya begitu lama menunggu dan akhirnya pulang sendirian. Jeta …?! Di mana Jeta?! Faqih beringsut dan turun dari ranjang, berjalan pelan menuju kamar mandi. Rasa pening penyebab limbung serta sedikit gemetar di kaki dan lutut saat jalan. Berniat mandi untuk yang kesekian kali banyaknya malam itu.Ilyas yang sudah ditelepon sebelum pergi mandi, telah standby di lobi menunggu. Waswas akan di mana Jeta, membuat kekuata
Sejak malam kejadian itu, perilaku Jeta terlihat tidak biasa di mata Faqih. Gadis ceria dan terkadang bermulut usil yang dikenalnya selama ini, mendadak lenyap sama sekali. Berubah sebagai Jeta yang dingin, patuh dan sering bermata sembab. Seperti selalu menangis diam-diam. Ada apa dengannya ...? Membuat Faqih gundah gulana.Seperti pagi ini, Faqih mendapati hal yang sangat aneh dan mengejutkan. Dirinya yang tidak biasa keluar kamar sebelum subuh, tiba-tiba haus dan pergi ke dapur. Saat kembali, baru terlihat bahwa kamar Jeta sedang tidak ditutup dan remang. Ternyata gadis penghuni kamar sedang bertelepon di dalam. Faqih menghendap di antara dua pintu kamar."Iya, aku tidak apa-apa. Jangan khawatir." Suara Jeta menanggapi seseorang di telepon. Lalu tidak ada suara, hening sejenak. "Iya, Bang Jovan, Wa'alaikumsalam." Jeta berbicara menyambut salam dan sepertinya sudah berakhir panggilan itu. Faqih berjalan cepat untuk kembali ke kamar sendiri tanpa suara langkah kaki. Berjalan jinji
Kotak besi yang membawa meluncur turun terasa sangat lambat. Sepuluh lantai yang dilalui seperti magnit penghambat gerakan mesin yang mengangkut. Begitu waswas andai Jeta sudah tidak ada lagi kelebatnya. Dirinya akan gagal melihat siapakah seseorang yang membawa si gadis keluar sore ini.Jeta sudah berdiri di teras lobi dengan seorang pria tampan membuka pintu mobil untuknya. Tepat saat Faqih tiba di lobi dan kemudian mengamati diam-diam. Hingga mobil berlalu pun, kedua kakinya seakan telah memaku dalam ke inti bumi. Begitu tercengang hingga tubuhnya seperti sangat susah digerakkan.Hati kecil yang berharap agar jangan pria itu sebagai orang dengan nama Jovan, akhirnya kecewalah yang dia rasa. Nyatanya Jeta telah pergi diam-diam juga dengan lelaki itu. Faqih risau jika mereka ternyata menjalin hubungan serius, maka Jeta lah yang akan sering makan hati. Bagaimanapun, hubungan jarak jauh pastilah cukup beragam cobaannya. Merasa sungguh iba andai Jeta tidak bahagia. Faqih pun tidak habi
Lelaki yang tiba-tiba sangat emosi itu seketika sadar dan mengucap istighfar akan rasa amarah. Dua tangan dingin dan lembut sedang menahan gerak tangannya. Meski cekalan itu lemah dan tanpa tenaga berarti, telah mampu meredam bara api di dada."Faqih, jangan apa-apakan Bang Jovan. Kubilang dia tidak salah. Sama sekali tidak ada paksaan darinya padaku saat itu!" Jeta pun berseru lembut. Tidak ingin Faqih bertindak gegabah pada Jovan yang terlihat serba salah."Apa kamu bilang? Kamu tidak dipaksanya?" Faqih menatap Jeta terheran. Gadis itu mengangguk dan memandang Jovan sekilas. Kemudian menunduk dan menangis tersedu. Faqih mundur kembali, menghempas keras dirinya di sofa."Lekas ceritakan detail padaku, apa yang sebenarnya terjadi pada kalian?" Faqih kembali bertanya setelah bernapas dengan normal. Derunya setenang semula bahkan tidak lagi terdengar."Saat Ilyas ke latar parkir, Bang Jovan datang menghampiriku dan kami mengobrol di taman belakang hotel. Ada pegawai wanita berseragam ho