Dengan meniru sistem laundry, baju yang siang tadi dibeli, malam ini sudah dipakai. Jeta melenggang mengikuti Faqih menuju pusat keramaian. Kian dekat, langkahnya dirasa kian berat."Lekas Jeta, kenapa berjalan lamban sekali?" Faqih telah berbalik dan berhenti melangkah untuk menegur."Seharusnya aku tidak perlu ikut …." Jeta sempat menyesal saat orang-orang penting yang akan didatangi sudah tampak kian dekat."Ck …! Kamu ke sini sebab aku, ikut aku. Bukan sebab datang di acara ini. Sudah kubilang berjalanlah denganku. Abaikan Elma!" Faqih berbicara sambil melangkah menghampiri Jeta. Tangan gadis itu diambil dan digenggamnya. Dengan cepat dibawa kembali melangkah ke depan."Mana Ilyas, Faqih?" Jeta merasa Ilyas terlalu lama menyusul. Mereka datang bertiga dengan Ilyas yang pergi sendiri ke latar parkir."Jangan tanyakan Ilyas. Dia bisa mengurus dirinya sendiri," ucap Faqih lirih. Itu seperti sebuah sindiran bagi Jeta."Jangan gandeng aku, nanti dikira orang aku ini pelakor." Jeta ber
Faqih terbuai rebah di salah satu kamar hotel yang sudah dikunci sangat rapat sebelumnya. Terbangun dengan ingatan sangat memuakkan. Hasrat dan rasa luar biasa yang sempat ditanggung oleh tubuhnya sebelum terkapar. Kini telah sadar dengan kepala berputar dan teringat Jeta yang entah di mana rimbanya. Keterkejutan dan rasa waswas timbul seketika di dadanya.Panggilan yang dia lakukan pada nomor si gadis tidak diangkat. Tidak ada juga jejak panggilan atau sepatah pesan pun pada aplikasi pesan dari Jeta. Hanya ada pesan dari Ilyas beberapa jam lalu yang menerangkan jika dirinya begitu lama menunggu dan akhirnya pulang sendirian. Jeta …?! Di mana Jeta?! Faqih beringsut dan turun dari ranjang, berjalan pelan menuju kamar mandi. Rasa pening penyebab limbung serta sedikit gemetar di kaki dan lutut saat jalan. Berniat mandi untuk yang kesekian kali banyaknya malam itu.Ilyas yang sudah ditelepon sebelum pergi mandi, telah standby di lobi menunggu. Waswas akan di mana Jeta, membuat kekuata
Sejak malam kejadian itu, perilaku Jeta terlihat tidak biasa di mata Faqih. Gadis ceria dan terkadang bermulut usil yang dikenalnya selama ini, mendadak lenyap sama sekali. Berubah sebagai Jeta yang dingin, patuh dan sering bermata sembab. Seperti selalu menangis diam-diam. Ada apa dengannya ...? Membuat Faqih gundah gulana.Seperti pagi ini, Faqih mendapati hal yang sangat aneh dan mengejutkan. Dirinya yang tidak biasa keluar kamar sebelum subuh, tiba-tiba haus dan pergi ke dapur. Saat kembali, baru terlihat bahwa kamar Jeta sedang tidak ditutup dan remang. Ternyata gadis penghuni kamar sedang bertelepon di dalam. Faqih menghendap di antara dua pintu kamar."Iya, aku tidak apa-apa. Jangan khawatir." Suara Jeta menanggapi seseorang di telepon. Lalu tidak ada suara, hening sejenak. "Iya, Bang Jovan, Wa'alaikumsalam." Jeta berbicara menyambut salam dan sepertinya sudah berakhir panggilan itu. Faqih berjalan cepat untuk kembali ke kamar sendiri tanpa suara langkah kaki. Berjalan jinji
Kotak besi yang membawa meluncur turun terasa sangat lambat. Sepuluh lantai yang dilalui seperti magnit penghambat gerakan mesin yang mengangkut. Begitu waswas andai Jeta sudah tidak ada lagi kelebatnya. Dirinya akan gagal melihat siapakah seseorang yang membawa si gadis keluar sore ini.Jeta sudah berdiri di teras lobi dengan seorang pria tampan membuka pintu mobil untuknya. Tepat saat Faqih tiba di lobi dan kemudian mengamati diam-diam. Hingga mobil berlalu pun, kedua kakinya seakan telah memaku dalam ke inti bumi. Begitu tercengang hingga tubuhnya seperti sangat susah digerakkan.Hati kecil yang berharap agar jangan pria itu sebagai orang dengan nama Jovan, akhirnya kecewalah yang dia rasa. Nyatanya Jeta telah pergi diam-diam juga dengan lelaki itu. Faqih risau jika mereka ternyata menjalin hubungan serius, maka Jeta lah yang akan sering makan hati. Bagaimanapun, hubungan jarak jauh pastilah cukup beragam cobaannya. Merasa sungguh iba andai Jeta tidak bahagia. Faqih pun tidak habi
Lelaki yang tiba-tiba sangat emosi itu seketika sadar dan mengucap istighfar akan rasa amarah. Dua tangan dingin dan lembut sedang menahan gerak tangannya. Meski cekalan itu lemah dan tanpa tenaga berarti, telah mampu meredam bara api di dada."Faqih, jangan apa-apakan Bang Jovan. Kubilang dia tidak salah. Sama sekali tidak ada paksaan darinya padaku saat itu!" Jeta pun berseru lembut. Tidak ingin Faqih bertindak gegabah pada Jovan yang terlihat serba salah."Apa kamu bilang? Kamu tidak dipaksanya?" Faqih menatap Jeta terheran. Gadis itu mengangguk dan memandang Jovan sekilas. Kemudian menunduk dan menangis tersedu. Faqih mundur kembali, menghempas keras dirinya di sofa."Lekas ceritakan detail padaku, apa yang sebenarnya terjadi pada kalian?" Faqih kembali bertanya setelah bernapas dengan normal. Derunya setenang semula bahkan tidak lagi terdengar."Saat Ilyas ke latar parkir, Bang Jovan datang menghampiriku dan kami mengobrol di taman belakang hotel. Ada pegawai wanita berseragam ho
Merasa bersalah sangat besar pada gadis itu, telah membuat efisiensi kerjanya memburuk. Apalagi semalam hampir tidak bisa memejamkan mata sebab isi kepala berantakan. Menyesal dalam telah membawa Jeta ke acara Elma yang sungguh sial malam itu. Sebagai lelaki yang sebenarnya sudah memiliki hubungan keluarga sebagai saudara tiri yang sesungguhnya, Faqih merasa gagal memberikan perlindungan."Ilyas, apa yang harus kulakukan sekarang?" Pertanyaan Faqih membuat Ilyas gelagapan. Setelah si bos bercerita tentang Jeta beberapa menit lalu, asisten pribadi multiguna itu terpekur."Kasihan Jeta, Bang. Tapi, yang lalu biarlah berlalu. Jangan menyesal berlebihan dan merugikan diri sendiri. Sekarang … tidak ada orang di sekitar yang memberi perhatian lebih padanya. Hanya denganmu dia dekat. Meski juga tidak dekat. Kurasa, tidak ada salahnya Bang Faqih memberi Jeta perhatian. Supportlah Jeta, Bang," ucap Ilyas sungguh-sungguh. "Aku harus perhatian bagaimana, Yas?" Faqih terlihat suntuk dan kalut.
Kakak dan adik bersaudara tiri itu baru keluar dari klinik periksa kandungan termahal di Nagoya. Kini duduk di taman depan dan tidak jauh dari lokasi klinik."Sebenarnya, pas dengan Bang Jovan, juga datang dan periksa ke sini. Ternyata harus daftar dulu sehari sebelumnya. Tidak peduli sedang ada pasien atau tidak, waktu itu aku kena tolak," kata Jeta dengan santai pada Faqih di sebelahnya. Tampak nyaman bercerita."Terima kasih sudah mengatur pendaftaran untukku ke sini, Faqih," ucap Jeta menyambung. Lelaki itu telah memaksanya pergi periksa dengan tujuan mendapat obat mujarab anti mual dan mendapat nafsu makan. Sebab obat dan vitamin dari klinik yang dikunjungi bersama Jovan hari itu, sama sekali tidak mujarab baginya."Sudah seharusnya kulakukan. Aku tidak tahan melihatmu mual, muntah dan tidak bisa sarapan tiap pagi. Itu akan membuat tubuhmu drop. Tidak cukup hanya makan salad dan mangga tiap malam saja." Faqih menyandar di bangku taman dan menengadahkan kepala. Hamparan langit ge
Nyala lampu di apartemen masih terang benderang. Pemiliknya sedang hilir mudik di dapur membuat air panas. Lalu dituang dalam bak dengan dicampur air dingin dan ditaburi dengan garam. Selain atas saran dari Ilyas, juga hasil petuah dari googling."Masukkan kedua kaki kamu di air dalam bak ini, Jeta. Sudah bercampur garam biar kakimu tidak bengkak," ucap Faqih. Bak kecil telah diletak dekat kaki Jeta. Sedang duduk di sofa sambil menyaksikan televisi."Kenapa repot-repot begini, Faqih. Ini sudah sangat malam. Kamu tidurlah sana," ucap Jeta canggung. Belakangan, perempuan hamil tipis itu selalu susah tidur saat malam. Untuk menghilangkan jenuh, maka dibawanya duduk di sofa dengan menyalakan televisi. Hingga ketiduran sendiri menjelang subuh."Jeta, Qolbi beberapa kali menanyakan kabarmu. Serta berniat mengajakmu keluar, tapi kubilang terus terang jika dirimu sudah menerima lamaran dari seorang pria," ucap Faqih sambil mengguncang kecil ponselnya."Maaf, Faqih. Apa proyek rabatmu di huta
Tangis bayi riuh bersahutan pagi ini. Terdengar dari kamar di luar yang berlainan. Entah di mana ibu para bayi masing-masing. Yang jelas tangis lolong pilu mereka terus membahana dan lama. “Bayi-bayi konser itu, pada ke mana mominya masing-masing?” bisik Faqih di telinga Jeta yang sedang dalam dekapan dadanya. “Aku tidak tahu. Lagi shalat subuh mungkin …,” sahut Jeta menebak asal. Sisa napas masih menderu di dadanya. Faqih baru saja selesai menyentuhnya kembali pagi-pagi. “Ini belum datang waktu subuh, belum adzan, Sayang. Apa jangan-jangan lagi ehem ehem juga kayak kita …?” Faqih tersenyum menggoda. Rambut di pucuk kepala sang istri diciuminya ulang-ulang. “Bisa jadi, ya …,” sahut Jeta membenarkan, lalu menggigiti kecil dada suaminya dengan gemas. Faqih menahan suara pekiknya dan mengaduh lirih kegelian. “Jangan nakal, Jeta. Aku bisa berteriak.” Faqih menjauhkan sedikit kepala istrinya. “Jeta, itu yang sudah kita kasih angpau di dapur semalam, yang siapa? Aku nggak bisa b
Setelah merasa malas untuk beranjak dan pergi ke kamar mandi, Jeta terpaksa bersedia saat diajak untuk menemani. Mereka berdua pun mandi bersama dengan penuh kebisingan. Entah apa saja yang dimainkan dan dilakukan di dalam sana, yang jelas waktu yang diperlukan jauh lebih lama dari pada mandi biasanya. “Mak Mah belum datang?” tanya Faqih sambil merebah lagi di ranjang. Masih dengan baju koko dan sarungnya. Mereka sambung shalat subuh berjamaah setelah mandi pun bersama.“Belum, ini kepagian. Biasanya habis anak bungsunya pergi ke sekolah,” sahut Jeta sambil melipat mukena dan sajadah. Ingin hati menyusul suami ke pembaringan. Tetapi ingat jika melahirkan konon butuh ekstra perjuangan, Jeta memilih gerak keluar kamar. Seperti biasa, mencabut kotak salad buah dari kulkas. Seleranya benar-benar tidak peduli waktu dan kondisi.“Jeta, ayo ikut ke Hotel Tugu! Aku lupa, Ahmad akan pergi ke Juanda pagi ini!” Ajakan Faqih yang tiba-tiba sangat mengejutkan. Untung Jeta tidak tersedak. “Sebent
Faqih dan Jeta meninggalkan masjid besar di ujung gang yang buka hingga dua puluh empat jam sepanjang hari dan tanpa dijaga satpam. Beberapa pengurus dan jamaah masih terlihat duduk i'tikaf di sana, baik di dalam maupun di serambi. Meski malam sudah merangkak, mereka terlihat nyaman dan tenang di sana. “Ada apa …?” Faqih yang dari kamar mandi dan kini menutup pintu berpapasan dengan Jeta. Sudah berganti baju tidur dan tidak lagi berkerudung. Namun, tampak terkejut memandang Faqih.“Aku … Ingin makan salad dulu. Apa keberatan?” Suara Jeta terdengar kikuk. Faqih berjalan mendekati.“Meski tidak sabar lagi untuk jenguk anak, aku tetap tidak keberatan. Daripada nanti di atas ranjang yang kamu pandang aku, tetapi yang kamu pikir dan sebut justru salad buah,” jawab Faqih tersenyum menggoda sang istri.“Gombal …!” seru Jeta dengan raut yang malu. Faqih hanya diam dan tersenyum. Diikutinya Jeta keluar kamar dan berjalan ke dapur.“Sebenarnya aku pun ingin sesuatu darimu, Jeta,” ucap Faqih sa
Setelah dari klinik kandungan, mereka bukan lantas langsung pulang. Melainkan pergi ke arah berlawanan dari jalur jalan pulang. Jeta membawa Faqih ke Ramayana Mall di depan alun-alun Kota Malang. Berbalanja berbagai makanan dan barang. Oleh-oleh Faqih untuk seseorang yang harus dikunjungi. Sebab memang sudah janji ingin silaturahim dan berkenalan saat dirinya bertandang ke Malang di Jawa. Yang mana niat itu sudah dia sampaikan pada Jeta jauh-jauh hari sebelumnya. “Ayo di makan dulu, ngapain pulang cepet-cepet?” Seorang wanita berdaster longgar dengan menggendong bayi, menyuruh Faqih dan Jeta untuk lekas makan. Ada satu panci besar berisi bakso berkuah yang masih panas dan berkebul asap di meja makan. Juga ada sayur daun katu serta ikan sambal yang tidak lagi tampak panas. Meski sangat suka, Jeta mengambil sayur daun katu yang tampak hijau dan segar itu sedikit. Ingat jika Riri sedang masa menyusui. Daun katu sangat bagus untuk memperlancar produksi air susu ibu. Dan Jeta merasa
Batu nisan bentuk persegi dari keramik dengan nama Ny Arlita tertulis di sana, diusap tangan saat awal datang dengan sebuah salam. Faqih mengakhiri doa ziarah kubur pada makam almarhum ibu mertua pun dengan usapan tangan di batu nisan. Serta sebuah salam kembali di akhirnya.Jeta juga berdiri mengikuti gerak suaminya. Berpamit lirih dengan caranya dan kemudian mengulur tangannya pada Faqih. Mereka berdua bergandeng tangan meninggalkan lokasi makam sang ibu dengan berjalan hati-hati dan lurus. Mengikuti tapak jalan sempit di antara makam-makam. “Angkatlah, Jeta,” ucap Faqih. Ponsel Jeta sudah banyak kali berdering di dalam tasnya sejak masih di dalam lokasi makam. Kini mereka sudah di luar dan Faqih sedang mencuci kaki, tangan dan membasuh wajah. Sambil menyimak tenang percakapan sang istri yang terdengar seru di panggilan.“Ada apa?” Faqih mengelap wajah dengan sapu tangan dan Jeta pun menatapnya, panggilan ponsel telah ditutup beberapa detik yang lalu.“Aku ada undangan pesta nikaha
Pria tampan itu tampak frustasi meski akur dengan penolakan halus sang istri. Meski sama-sama penuh desir dengan gelombang meninggi, keduanya bersepakat menunda.“Faqih, apa kamu marah?” Jeta bertanya segan dengan ekspresi khawatir. Mendongak menatap Faqih yang masih menata napas memburu dan terengah. Menutup mata rapat sambil memeluk Jeta dengan pakaian yang sama-sama lepas berantakan. “Faqih, maaf, bukan aku tidak mau. Tapi aku sangat takut. Bukan aku tidak percaya padamu, tapi aku akan menanyakan pada dokter kandungan, apa kondisiku baik dan tidak bermasalah untuk menerima servis apa pun dari suamiku. Apa kamu mau mengerti?” Jeta kembali bertanya segan dengan menahan rasa malu. Tapi bukan rasa waswas dan cemas, sangat percaya jika Faqih adalah lelaki berwawasan dan bijak. Bukan melulu nafsu dan hasrat yang dikejar.“Faqih …,” panggil Jeta lagi yang mulai tidak sabar dengan kebungkaman pria yang sedang memeluk eratnya. “Hemm … tetapi aku tidak puas, Jeta. Aku sangat ingin membuat
Jeta membawa Faqih mendekati pintu kamar dengan jantung berdebum keras jumpalitan. Segala khayal dan bayang dalam kepala silih berganti meresahkan. Menduga apa yang akan dilakukan Faqih dalam kamar membuat hati jadi liar berdebar. Lelaki itu bersikeras meminta ditemani hingga ke dalam saat Jeta hanya menunjukkan daun pintu kamarnya dari jauh.“Sudah masuklah. Akan tetapi, di dalam tidak ada kamar mandi. Di situ kamar mandinya,” ucap Jeta menunjuk kamar mandi di pojok ruangan. Faqih hanya sekilas melihat. Mereka sudah berhenti tepat di depan pintu kamar.“Aku ingin kamu juga masuk ke dalam kamar denganku. Apa masih kurang paham juga?" ucap Faqih dengan berdiri tegak di depan Jeta. “Aku ingin kembali ke meja makan, masih ingin makan salad sekotak lagi. Mak Mah pun belum pulang, Faqih,” ucap Jeta menolak halus dengan mencoba beralasan.“Dia pulang? Apa dia tidak menginap juga di sini?” tanya Faqih yang merasa salah terka. “Tidak. Rumah kontraknya ada di belakang masjid. Anak-anaknya ma
Shalat maghrib bahkan dilakukan dengan lebih cepat. Juga tidak mengenakan apa pun di kulit wajah polosnya. Namun, sedikit pengorbanan itu seperti tanpa arti saat salad buah di atas meja makan sudah sangat sempurna tersajikan.“Bang Ahmad cepat sekali buatnya,” ucap Jeta sambil duduk dengan pandangan yang takjub. Tetapi, ada nada kecewa pada ucapannya.Telah menunggu dua kotak salad siap eksekusi di atas meja. Desta tidak sungkan-sungkan mendekapnya. Lelaki itu masih sibuk mengemas irisan salad buah di panci besar ke dalam wadah kotak untuk di taburi parutan keju dengan cepat. Mengabaikan keinginan Jeta untuk mengamatinya. Ahmad tidak ingin kehilangan waktu maghrib.“Dia sudah terlatih, Jeta. Kamu lihat pun juga sama cara buatnya. Tetapi hasilnya ya pasti saja jauh beda. Sudah, kamu sekarang tinggal makan saja,” ucap Mak Mah yang paham arti ucapan dan ekspresi Jeta. Mengerti jika wanita hamil itu sangat ingin melihat proses pembuatannya.“Iya, Mak Mah. Aku akan makan saja banyak-banyak
Mak Mah baru saja selesai menyiapkan makan malam dan sedang mengepel basah lantai dapur. Sangat fokus akan kerjanya dan tampak berjalan mundur mengepel dengan langkah hati-hati. Blak! “Ah …!” Suara mengejutkan diikuti jerit kaget, membuat Mak Mah seketika menoleh. “Jeta …!” Mak Mah mendekat sangat panik. “Aku tidak apa-apa, Mak. Hanya terpeleset sedikit. Nggak jatuh, kok!” Jeta menjelaskan dengan terengah dan masih merasa terkejut. Mak Mah sudah mengelusi punggung Jeta yang berposisi melengkung jongkok.“Tapi kan kaget. Perutnya, apa terasa sakit?” tanya Mak Mah cemas.“Alhamdulillah enggak, Mak. Aku sempat pegangan meja. Cuma kursinya saja yang jatuh ketendang kakiku, Mak,” terang Jeta.Kemudian bergeser dan menghenyak pantatnya di kursi. Mak Mah membungkuk meraih kursi yang ambruk ke lantai menjadi ke posisi berdiri semula.“Maaf, Jeta. Mak pikir kamu tidak akan keluar kalo nggak dipanggil.” Mak Mah memang selalu memanggil Jeta untuk keluar kamar jika meja makan sudah siap.“Tap