Hingga mereka tiba di teras lobi, hujan masih deras tercurah dari langitNya. Terpa angin pun masih menghempas dengan kencang. Namun, tidak lagi ada gelegar petir dan kilat. Hanya udara yang kian dingin menghembus di malam 8timmenuju dini hari.Faqih menghampiri seorang Servis Boy dan menyerahkan kunci. Meminta menyimpan kendaraan di latar parkir yang terdekat. Servis Boy mengangguk cerah dengan menerima lembar rupiah merah di genggaman tangan.Lift yang membawa mereka meluncur menuju lantai sebelas terasa lama. Jeta berdiri di depan Faqih dengan canggung saat mata pria itu menelusur ke arah wajahnya."Bagaimana, kamu mulai berpikir untuk mau tinggal di apartemen denganku?" Faqih bertanya dan sambil menatap Jeta terus terang."Tidak, Faqih, aku tidak ingin tinggal denganmu. Rasanya tidak bebas. Apa pandangan orang terhadapku …?" Jeta menggeleng demi mempertegas jawabnya."Ck …!" Faqih berdecak tidak sabar."Coba abaikan siapa pun saja, termasuk Elma. Ini demi memudahkan kerjamu," ujar
Piring Faqih sudah terisi dengan sedikit nasi dan bermacam sayur serta lauk. Piring yang Jeta sediakan, bukan untuk mengambil nasi goreng spesial buatannya, tetapi sudah Elma isi dengan bermacam menu saji yang tadi dia bawa. Faqih terdiam dan membiarkan saja apa yang sedang dilakukan calon istri. Meski dirasa tidak masalah, kenyataannya juga kecewa dan seperti tidak terima. Apalagi Faqih sudah mulai makan isi piring yang dibawakan oleh Elma dengan lahap. Rasa semangat saat membuat nasi goreng yang bahkan dimulai sejak habis subuh pun melayu dan gugur. Rasanya tiba-tiba jadi kesal. Seperti tidak akan sudi memasak apa pun lagi untuknya. Memang salah sendiri, mendadak punya inisiatif masak tanpa diminta. Ternyata calon istri datang dengan beragam sayur dan lauk."Jika ingin, juga tidak dilarang ikut makan." Sindiran Elma menyadarkan Jeta dari lamunan. "Aku belum lapar, silahkan kalian makan pagi. Selamat menikmati," sahut Jeta dan kemudian pergi ke wastafel. Banyak perkakas kotor sis
Jeta yang tiba-tiba sangat suntuk dan merasa butuh healing, tidak langsung pergi ke apartemen. Namun, meminta pada sopir taksi untuk membawa ke satu pusat kebugaran dan kecantikan. Taksi tidak masalah menunggu sebab segala tagihan sudah ada yang menanggung. Yakni Faqih akan membayar seluruh total tagihan jumlah argo.Dalam waktu singkat, Jeta diantar ke tempat yang dia maksudkan. Ingin relaksasi jiwa raga dari beban berat yang dia tanggung sendirian selama ini. Di bangunan megah sebagai pusat bugar dan cantik itulah Jeta berada.Hanya berenang puas-puaslah yang Jeta pilih lakukan sementara. Seorang instruktur renang wanita, begitu lihai memberi teori dan praktik sambil mencontohkan secara langsung. Jeta mendapat banyak teori dan taktik renang beragam gaya dengan cepat. Merasa itu sangat menyenangkan sekaligus memuaskan. Jeta merasa perlu mengunjungi lagi lain kali.Dari kelas kebugaran, bergeser ke kelas kecantikan. Memilih pasrah pada paket rawatan skin care yang sempurna dan keselu
Gadis berkerudung dengan polesan wajah tipis, tetapi hasil salon, terlihat memukau dan indah. Berjalan cepat seperti biasa dan meninggalkan tangga tergesa. Mendekati Faqih yang sudah berdiri menunggu di sofa."Sudah, Faqih. Hampir pukul lima," ucap Jeta saat Faqih hanya diam."Ayo, lekas!" Faqih pun beranjak diikuti Jeta di belakangnya.Ilyas standby menunggu di depan dengan kendaraan. Sigap melarikan setelah dua orang yang ditunggu duduk di dalam bersamanya. Membelah jalanan ibu kota menuju tempat yang sudah disepakati antara Jeta dan Qolbi.Mereka memasuki rumah makan hampir bersamaan dengan datangnya lelaki yang dituju. Qolbi terlihat sedang menuju ke pintu yang sama. Mereka pun saling bersembang dan bersalam sapa sebelum memutuskan untuk duduk bersama di luar saja.Meski awalnya memang menolak dan paham situasi. Faqih dan Ilyas yang berencana duduk pada meja terpisah, sebab juga ingin mengambil makan malam di tempat yang sama, terpaksa menerima undangan yang setengah memaksa dari
Jeta melewati rasa resah luar biasa dengan mengikuti kata hati. Faqih yang berjalan cepat menuju dekat vila dicegahnya. Tidak peduli lelaki itu akan marah."Kenapa, Jeta?" Pandangan mata berkilatnya tampak heran. Tiba-tiba Jeta berseru lirih, mengajak untuk kembali."Ayo kita pergi saja. Jangan bikin rusuh di sini, Faqih," ucap Jeta lembut membujuk."Jangan coba halang-halangi aku, Jeta. Mereka sudah tidak menghargaiku sama sekali." Faqih berbicara menghentak tegas. Kemudian berbalik pergi meninggalkan Jeta ke arah vila kembali. Jeta pun bergegas mengejar."Faqih!" "Jeta, apa yang kamu lakukan?!" Mereka berdua saling memekik tertahan. Jeta menggayut lengan tangan Faqih sekuat tenaga, sedang Faqih berusaha melepas dan mengibas. Mereka saling bertahan dengan keinginan masing-masing."Faqih, jangan berbuat konyol. Jangan mengganggu mereka berdua! Mereka … mereka berhak bahagia. Sudah, ayo kita pergi saja!" Jeta kembali mengerah tenaga menarik tangan Faqih. Namun, tubuh besar lelaki it
Pria lebih setengah abad yang masih tampak sangat tampan itu sedang memeluk Fani memberi perlindungan. Menatap tajam putranya dengan mulut membungkam. Setelah puas mengumpat, Faqih baru saja membanting nampan berisi empat cangkir air teh yang hangat. Serpihan kaca hampir memenuhi lantai ruang depan.Bagaimanapun, sangat berat untuk menghardik sang putra berlebihan. Mengingat bukanlah singkat waktu yang dilalui dengan satu anak lelakinya selama ini. Tidak bisa dijabarkan rasa sayang itu demikian besar pada Faqih."Anak gadismu akan kubawa. Tidak usah lagi mencarinya," ujar Faqih dingin pada Fani sambil menyambar lagi tangan Jeta. Dibawanya keluar setelah hati merasa puas. Menumpah rasa kecewa dan amarah pada papanya juga pada wanita itu. "Jangan apa-apakan Jeta, Faqih! Bagaimanapun, dia adalah gadis baik-baik, dia adikmu!" Ardi sempat berpesan dengan berdiri menyusul di teras vila."Titip Jeta, Faqih. Jeta, jika ada apa-apa telpon Mama!" Fani juga berseru dengan perasaan serba salah.
Faqih memegang daun pintu yang seakan hendak ditutup. Mencoba menggertak Jeta agar segera mengikuti masuk ke dalam kamar. Namun, gadis itu kukuh dan tidak bisa diperdaya. Rasanya ingin terbahak saat wajah bermata bening itu terlihat tegang, cemas dan takut. Begitu kaku hingga bernapas pun kemungkinan dia juga lupa. "Tunggu apa lagi? Kamu bahkan pernah denganku dalam dump yang jauh lebih sempit dari kamar mana pun …," ucap Faqih dengan ekspresi mengejek. Teringat saat mereka dalam satu tenda dump di Kinabalu kemarin dulu. Jeta memberengut."Faqih …! Aku tidak mau! Keadaan sekarang dan waktu itu tidak sama. Jika tidak masuk dump, aku akan mati. Beda dengan saat ini. Kamu pasti paham, kan? Jangan mengarang alasan!" Jeta berseru dengan terus berdiri tegak di depan pintu. "Apa salahnya bernostalgia?" Faqih memandang dalam dengan senyum mengambang. Berpikir jika itu dia lakukan, Jeta tidak akan bisa menolak. Tidak mungkin juga gadis cantik berkerudung sepertinya akan tidur di lobi. Namu
Faqih bersikeras tidak kembali ke kamarnya, kini justru tidur di sofa kamar Jeta. Alasan dia adalah, risau andai gadis itu tiba-tiba berpikiran sesat lalu ingin mati. Dirinya akan merasa bersalah dan menyesal, sebab telah gagal menjaga seorang gadis yang baru saja menjadi saudara tirinya. "Faqih, bangun!" Jeta sedikit mengguncang ujung kakinya. "Faqih!" Ulang Jeta membangunkan. Kini lebih kuat dan keras. Susah sekali lelaki itu terjaga. Guncangan kali ini membawa dampak lumayan. Perlahan badan besar itu berbalik dari tidur yang tengkurap di sofa. Matanya memicing tipis saat sudah terlentang dan menatap Jata yang menjulang di dekat kakinya."Faqih, kembalilah ke kamarmu. Ada kamu, aku malah tidak bisa tidur. Kamu tidak kasihan padaku? Sudah hampir pukul dua. Aku benar-benar tak bisa tidur, kepalaku sakit," ucap Jeta mengusir."Tidur, tidur saja. Kenapa tidak bisa tidur?" tanya Faqih terheran. Lelaki itu belum juga bangun dan berdiri."Kamu pikir aku biasa tidur sama kamar dengan lel