Menjalin hubungan spesial dentan seorang Gus, sangat tidak bebas hanya untuk bertemu. Mereka berdua selalu memilih waktu dan tempat secara tepat serta rahasia. Tapi terasa seru dan juga menyenangkan. Toh, nyatanya hubungan mereka telah bertahan sekian lama. Seperti sore ini, Azrul memintanya datang ke sebuah rumah makan yang sudah dia tentukan di pusat Kota Malang.Jeta sengaja datang lebih awal guna singgah sebentar di alun-alun indah kota yang sudah lama tidak didatangi. Dulu, semasa kuliah, hampir tiap hari Jeta bersantai di sana bersama teman-teman. Kini mereka sudah pada pulang ke daerah asalnya masing-masing setelah menamatkan pendidikan dan wisuda. Sementara teman dekat di Malang, Jeta kesulitan menghubungi. Dari pesan grup yang diikuti, mereka tengah ada kesibukan dan urusan masing-masing. Sebagai generasi milenial, urusan datang pun beragam silih berganti.Rumah makan khas padang di belakang pusat berbelanjaan, Jeta sedang menuju ke sana sekarang. Duduk di hadapan seorang le
Sesak dada Jeta sebab geram. Entah sungguh-sungguh, gertak sambal, atau justru hanya menggoda. Merasa sungguh risih setiap Faqih mengklaim bahwa Jeta adalah calon istrinya. Menggelikan sekali."Jeta …? Kamu masih di sana?" Faqih bertanya heran. Talian dalam selular terasa hening tanpa desih nafas."Tidak, aku tidak di sini," ucap Jeta. Ingin menghibur diri sendiri kali ini."Kamu di mana?" Faqih menyahut cepat di talian."Di belakang kamu, Faqih. Hi … hi … hi …," sahut Jeta. Rasa kesal telah berubah tawa sebab lelucon yang dibuat sendiri."Jeta …! Itu ucapanmu ya. Kupastikan dalam tiga hari ini kamu sudah harus terbang kembali ke sini," tandas Faqih tegas. Rasanya geram sekali sebab dipermainkan, berani-beraninya. "Kenapa kamu tidak tertawa? Sesekali bercandalah, agar kamu tidak tampak setua umurmu, Faqih …," ucap jeta di sela reda tawanya. Mengingat wajah tegang lelaki itu, rasanya terus ingin tertawa. Marah pun hanya seperti itu. Tidak memaki, membentak, apalagi membanting, sangat
Saat petang selepas shalat maghrib, di teras sebuah rumah khas model Belanda yang direnovasi .…"Lepaskan dong, Mas!" Jeta berusaha menarik tangannya dari ditahan oleh Azrul. "Tidak Jeta. Katakan dulu kamu bersedia menungguku. Kita akan hidup bersama, aku sudah mengupayakan segalanya dengan damai. Orang tuaku dan orang tua perempuan yang akan dinikahkan denganku, menerima keputusanku untuk menikah yang kedua denganmu. Bukan nikah siri. Kita akan menikah resmi." Azrul terus mencekal tangan Jeta. Gadis itu keberatan untuk kembali membahas masalah mereka dengan kesepakatan yang sejalan. Jeta menganggap masalah sudah selesai dan tidak ada yang perlu dibincang lagi. Tetapi tidak dengan Azrul."Tidak ada hal pribadi apa pun yang patut dibahas. Anggap hubungan yang pernah ada itu adalah masa lalu, please …," ucap Jeta kesal dan sedih. Merasa diri tidak punya kebebasan dan seperti dikendalikan."Aku tidak bisa. Aku terlanjur berniat serius denganmu, Jeta," tandas Azrul mengiba."Lepaskan du
Jeta menghembus napas lega. Lagi-lagi Radit adalah penyelamat. Memberi peluang Jeta untuk meninggalkan Azrul di teras.Azrul kembali datang dan membicarakan hal sama dengan malam sebelumnya. Lagi-lagi tidak ada sepakat yang sama sebab keduanya masih terus berlawan kemauan. Jeta tidak ingin diduakan, Azrul berjanji manis akan bersikap adil dan perhatian meskipun memadu.Jeta merasa tidak bisa terus-terusan menerima Azrul bertamu. Bisa jadi lambat laun mengiyakan sebab rasa jadi iba. Bahkan barusan, Azrul hingga menitikkan air mata. Lelaki itu merasa kecewa dan sedih yang mendalam. Begitu sayang dan cinta perasaannya pada Jeta. Tidak sanggup jika mereka benar-benar harus saling melupakan. Namun, apa daya, Jeta tetap saja tak bersedia sebagai yang kedua dalam pernikahan. Menolak rencana matang Azrul menggelar akad nikah yang kedua dengannya."Sudah pulang?" Mbak Riri menyambut di meja makan. Jeta mengangguk namun kemudian menggeleng. "Mas Azrul masih di teras sama Mas Radit, Mbak," sah
Gadis berkerudung yang anggun, modis dan cantik itu benar-benar menahan nafas saat pintu bergerak ditarik ke dalam. Perlahan terbuka lebar dengan lelaki berdiri di balik pintu berteralis besi. Wajah yang senantiasa tampak rupawan pun menyembul.Sesaat menatap Jeta dengan datar dan tanpa senyum. Gadis berwajah pucat meski cantik itu juga sedang menatap lebar padanya tanpa kedip. Bibir manisnya merapat tanpa senyum samar pun."Assalamu'alaikum," sapa Jeta akhirnya. Tidak tahan dengan pandangan pemilik appartment yang tidak ramah. Jauh-jauh datang dari Jawa ke Batam sebagai tamu, disambut senyum pun tidak. Padahal dia juga yang mengundang. Faqih memang arrogant sekali. Itulah sebab Jeta tidak melempar senyum, enggan tidak dibalas."Wa'alaikumsalam," sambut Faqih dengan suara bergema stereo. Lelaki itu juga mengangguk dan berubah sedikit ramah. Jeta merasa lega dengan respon baiknya."Sudah sampai? Ilyas, apa kalian sudah makan?" Faqih mengalihkan pandang kepada asisten sekaligus sang s
Jeta sudah duduk di depan Faqih. Menunggu hingga lelaki itu selesai bertelepon. Merasa tidak paham kenapa dirinya disuruh duduk. Jeta berpikir sekalian akan bicara tentang masa lalu Mama Fani."Jeta," panggil Faqih kala panggilan telepon berakhir. Jeta melebarkan mata menyimak."Jam kerjamu adalah delapan jam dan dua jam over time. Jika normal, masuk pukul tujuh pagi, pulangnya jam tiga sore. Jika overtime dua jam, berarti pulang pukul lima sore. Ada pertanyaan?" Faqih menatap Jeta lekat."Hari ini, pukul berapa boleh pulang? Aku ingin bertemu mamaku," jawab Jeta."Jika kopi ini enak, pulanglah setelah dzuhur. Waktu kerja, istirahatlah pukul dua belas hingga pukul satu dan saat ashar, tiga puluh menit," terang Faqih. "Jika mengantar kopi, pakailah baki dan letaklah bersama bakinya." Faqih meletak ponsel di meja dan menarik cangkir bersama tatakan lebih dekat."Iya. Lalu, apa saja kerjaku, Faqih?" Jeta hati-hati bertanya."Bersiap dengan kabar kerja dariku," ucap Faqih lumayan pelan.
Wanita berkulit putih itu keluar lagi dari kamar. Lebih mencengangkan, bukan lagi dengan celana jins dan kemeja panjang. Melainkan bertukar dengan dress cantik tanpa lengan. Pesona seksinya kian terpancar jelas dipandang mata."Jeta, akan buat apa?" Wanita itu bertanya ramah dengan raut yang cerah. Mendekati Jeta yang kebingungan di dapur."Ingin menyiapkan makan malam …," ucap Jeta menggantung. Si wanita berdiri sejajar dan dekat. Sangat tinggi bak model, bahkan kepala mungil Jeta pun lewat."Masak apa, kamu?" tanyanya dengan mengamati wajah Jeta."Masak … nasi goreng. Iya, nasi goreng," sahut Jeta tergagap. Ya, sesungguhnya nasi goreng adalah jenis masak-masakan yang sudah dikuasainya. "Hah …? Nasi goreng? Di mana ada gizinya? Kasihan dong Bang Faqihnyaa," ucap wanita itu terkejut. Jeta pun tak kalah terkejut dengan reaksi si wanita yang lebay, sekaligus bingung dan galau. Jika nasi goreng sangat tidak layak, lalu ... masak apa?Eh, tetapi, siapa wanita sok iyess, ini?"Oh, ya … k
Gadis berkerudung menyeret koper meninggalkan apartemen mengikuti lelaki tinggi dan tegap yang berjalan di depan. Namun, besar badannya tidak diimbangi dengan gerak hati untuk membantu membawakan koper Jeta. Jauh beda dengan perlakuan hangat Ilyas saat menjemput di bandara. Bibirnya kini sedang mencibiri punggung lebar lelaki itu banyak kali."Duduk di depan," tegur Faqih saat Jeta akan membuka pintu belakang. Kopernya juga diambil dan diletakkan di bagasi. Bibir Jeta jadi tersenyum lebar sekarang. Segera menghenyak diri di kursi depan yang sudah dibuka pintunya."Kenapa tadi melarang Ilyas yang mengantar? Kamu tampak lelah, Faqih. Lagipula calon istrimu tidak suka kamu mengantarku. Aku segan." Jeta bertanya saat mobil sudah meluncur membelakangi gerbang gedung apartemen."Calon istri?" Faqih bergumam tanpa menoleh. Akan tetapi Jeta masih mendengar."Iya, Faqih, aku sudah tahu dan sangat senang. Ternyata, kamu punya calon istri. Aku jadi tenang sekarang. Aku tahu, kamu adalah lelak