Ilyas yang berangkat menuju Pulau Galang selepas shalat dzuhur, telah kembali ke Tonton tepat sebelum adzab maghrib. Mbah Ranti sangat sigap menyiapkan rebusan air panas untuk mandi lelaki itu. Bahkan sebelumnya juga membuat rebusan air hingga mendidih untuk mandi si cucu, Faqih.Jeta dan Faqih sedang sama-sama duduk di meja makan. Memperhatikan Mbah Ranti yang sedang beraktivitas."Faqih, kenapa tidak ada satu orang pun warga kampung belakang yang kenal nama Mbah Ranti?" Tiba-tiba Jeta ingat hal aneh itu."Orang di sini tidak akan kenal dengan nama Mbah Ranti. Namanya Siti Sri Wirantini, panggilan di sini Siti atau Tini. Hanya kami yang menyebut Ranti," jelas Faqih "Oh, jadi begitu," gumam Jeta bingung. Sepenting itukah nama panggilan .... Bahkan Jeta menyebutkan ciri-ciri Mbah Ranti dan rumahnya pun, tidak ada juga yang paham."Kenapa wajahmu seperti itu?" Faqih menatap Jeta yang tertegun memandang punggung Mbah Ranti. Sedang menuang air panas ke dalam ember dan membawanya ke kama
Makan malam berempat telah bubar dengan penutup kudapan buah jeruk. Jeta menyambar dua biji dan membawanya menuju kamar. Mbah Ranti sudah lebih dulu meluncur ke ruang tengah untuk melihat televisi sambil selonjoran."Faqih!" Jeta berseru pada lelaki yang berjalan santai di depannya. Faqih berhenti dan berbalik, berdiri diam di tempat, menunggu Jeta yang berjalan ke arahnya."Ada apa? Apa kamu tiba-tiba ingin dibekam?" Faqih bertanya dengan alis bertaut saat Jeta sudah sangat dekat di depannya."Bukan masalah bekam. Aku memang benar-benar tidak ingin." Jeta menyahut tegas sambil menggeleng."Lalu ...?" tanya si lelaki dengan memicingkan mata."Aku hanya ingin tahu, kenapa kamu tidak bilang jika aku adalah anak dari wanita yang bersama Om Ardi?" Jeta berbisik dengan berdiri lebih dekat lagi pada Faqih. Takut jika Mbah Ranti mendengarnya. Atau tiba-tiba melewati mereka untuk masuk ke dalam kamar. Model kamar-kamar dalam rumah adalah pada lorong yang sama."Kamu sangat ingin tahu?" Faqih
Jeta menyeka air mata yang menetes keluar begitu saja. Merasa sedih dan trenyuh meninggalkan Mbah Ranti di rumahnya sendirian. Wanita tua itu sedang melambai tangan yang kian lama kian mengecil dan hilang dari pandangan. Jeta menangis hingga habis berlembar-lembar tisu untuk diusapkan di mata dan di pipinya. Bukan selepas subuh lagi waktu perjalanan yang dipilih untuk kembali ke Kota Batam. Melainkan pukul tiga tepat seperti yang sudah Faqih katakan semalam. Tidak menerima usul kemunduran waktu berangkat barang semenit pun.Setelah menghampiri Jeta bersama Ilyas di teras depan kamar, pria itu menyuruh Jeta segera pergi ke kamarnya agar cepat istirahat. Sebab, dirinya ingin meninggalkan rumah Mbah Ratri pukul tiga tepat sebelum jatuh subuh.Terlepas lelaki itu mendengar atau tidak isi perbincangan Jeta dan Ilyas di teras, tidak ada teguran apa pun pada jeta darinya hingga sekarang. Mereka saling bungkam dalam perjalanan pagi yang sepi dan lengang.Kepatungan mereka terusik saat Ilyas
Masjid sangat luas itu memiliki banyak sarana tranksaksi ekonomi dan administrasi di bagian belakang dan sampingnya. Deret kios baju, buah, oleh-oleh dan kosmetik memenuhi sepanjang serambi belakang dan samping masjid. Deret perkantoran untuk urusan perpajakan, perbankan, tiket perjalanan dan akomodasi pun berjajar di serambi. Tidak ketinggalan, gerai makanan dan kafe juga berderet beragam di sana. Di serambi belakang masjid itulah Faqih membawa Jeta berkunjung. Berjalan keliling sejenak di sepanjang serambi sebelum masuk ke sebuah gerai makan pilihannya. Mereka duduk berhadapan dengan hidangan dua cangkir kopi dan dua mangkok bubur ayam.Bukan hanya mereka. Banyak lelaki berkoko dan wanita berhijab yang menempati meja kursi. Sepertinya mereka juga ingin mengisi perut dengan cepat pagi ini. Faqih memilih gerai itu sebab penasaran dengan ramainya pengunjung yang antri. Sebera lezat makanan yang disaji.Jeta duduk sedikit gelisah, berusaha keras menghindar untuk tidak terlalu sering m
Jeta menyimak saat Fani akan mulai bercerita. Wanita hampir setengah baya yang cantik itu mengambil nafas dan memulai bersuara.Bercerita jika pernah saling mencinta bersama Om Ardi yang seorang hot dady dengan anak lelaki berusia hampir lima tahun, yakni Faqih nama putranya. Om Ardi begitu cinta pada Fani hingga dicukupi segala kebutuhan dan uang jajan dengan royal. Bukan Om Ardi sepihak saja. Fani juga sangat cinta pada lelaki itu serta pada anak lelakinya, yaitu Faqih. Hubungan mereka sangat dekat sekali. Melebihi anak lelaki dan ibu kandung.Fani pulang ke Jawa yang akan disusul Ardi untuk menikah. Mereka berdua telah bersepakat. Jika Fani sudah meminta restu pada orang tua dan izin pun didapat, Ardi akan segera meluncur menyusul dan menikahinya di Jawa. Namun, di sinilah dirinya tertimpa musibah. Dalam perjalanan menuju pulang, Fani tertipu oleh seorang teman lama yang ternyata tega memperkosa. Singkatnya, si teman lama bersedia bertanggung jawab. Sedia menikahi wanita yang t
Validasi pembelian tiket secara online telah disahkan dari ponsel oleh petugas bandara di pintu masuk. Jeta bergegas menuju antrian check in keberangkatan di line maskapai penerbangan nasional sesuai dengan nama pesawat di tiket yang sudah dibeli.Segalanya lulus sensor, tidak ada bagasi berarti yang Jeta bawa pada penerbangannya. Hanya dokumen identitas dan beberapa lembar baju saja. Maka bisa dibawa ke dalam kabin badan pesawat bersamanya.Jauh beda saat penerbangan berangkat dari Juanda menuju ke Kinabalu di Negeri Sabah kala itu. Jeta membawa ransel besar untuk pendakiannya. Kini telah hilang terkubur di puncak gunung itu. Tidak ada lagi peralatan mendaki yang kini dimiliki. Mungkin ilhamNya agar Jeta benar-benar pensiun menjelajah dan mendaki.Saat Jeta berjalan cepat menuju boarding gate pesawat miliknya, panggilan kepada seluruh penumpang tujuan Medan terus bergaung di sepeaker airport announcement. Terdengar merdu dan cukup mendebarkan bagi calon penumpang yang mendengar.Jant
Jeta yang masuk ke dalam rumah kini keluar lagi dengan membawa satu cangkir kopi bersama tatakan. Diletak di atas meja tanpa ditutup sebab begitu panas."Ada apa, tadi bilang mau ngomong …," tanya Azrul setelah Jeta duduk di seberang."Iya, tapi jangan terkejut setelah tahu. Wajib terus tenang," kata Jeta mengajukan syarat, nada yang biasanya, manja. Azrul tersenyum enteng dan mengangguk."Bilang saja." Azrul terlihat santai dan tersenyum.Jeta telah memutuskan untuk mengatakan masalah yang selama ini dia tanggung sendirian. Hingga membuatnya patuh pada seorang lelaki sebab video ancaman. Seperti yang dia sangka, Azrul terperangah terkejut."Siapa yang melakukan? Aku tidak percaya, Jeta. Itu pasti gertak sambal saja. Dia hanya ingin mendekatimu dengan cara amat licik," respon Azrul tampak berang."Dia tidak main-main, Mas. Aku sangat khawatir ...," ucap Jeta dan sigap mengeluarkan ponsel. Menunjukkan video yang sudah Faqih kirim ke whatsAppnya sebagai ancaman waktu itu. "Jeta, siapa
Jeta paham apa maksud Mas Radit menepuk pelan punggungnya. Menenangkan dan memberikan dukungan. Paham jika perasaan adiknya tengah terguncang."Tidak kusangka jika putraku, Azrul, lebih memilih dan membawamu kemari. Gadis yang asal usulnya tidak pernah kami perkirakan. Sudah kubilang jauh-jauh hari pada Azrul, bahwa telah kami siapkan calon istri, bahkan sejak kecil lagi. Memang membelot sekali."Siapa yang tidak tertohok dalam oleh ucapan sarkas seperti itu? Dengan anggun dan berwibawa, ibundanya Azrul berbicara demikian kepada Jeta dan putranya. Kini mereka tengah dalam perdebatan dan Azrul adalah tokoh si pembelot. "Umi dan Abi sama sekali tidak melarang kalian berdua menikah, juga tidak menentang pilihan hatimu. Boleh menikah, tetapi setelah menikah dengan putri dari kiai pemilik pesantren di Blitar yang kubilang itu. Juga, asalkan istri pertamamu membolehkan. Serta … gadis dengan nama Jeta ini bersedia."Itu adalah ucapan abinya Azrul yang diucapkan dengan santun, lembut dan te
Tangis bayi riuh bersahutan pagi ini. Terdengar dari kamar di luar yang berlainan. Entah di mana ibu para bayi masing-masing. Yang jelas tangis lolong pilu mereka terus membahana dan lama. “Bayi-bayi konser itu, pada ke mana mominya masing-masing?” bisik Faqih di telinga Jeta yang sedang dalam dekapan dadanya. “Aku tidak tahu. Lagi shalat subuh mungkin …,” sahut Jeta menebak asal. Sisa napas masih menderu di dadanya. Faqih baru saja selesai menyentuhnya kembali pagi-pagi. “Ini belum datang waktu subuh, belum adzan, Sayang. Apa jangan-jangan lagi ehem ehem juga kayak kita …?” Faqih tersenyum menggoda. Rambut di pucuk kepala sang istri diciuminya ulang-ulang. “Bisa jadi, ya …,” sahut Jeta membenarkan, lalu menggigiti kecil dada suaminya dengan gemas. Faqih menahan suara pekiknya dan mengaduh lirih kegelian. “Jangan nakal, Jeta. Aku bisa berteriak.” Faqih menjauhkan sedikit kepala istrinya. “Jeta, itu yang sudah kita kasih angpau di dapur semalam, yang siapa? Aku nggak bisa b
Setelah merasa malas untuk beranjak dan pergi ke kamar mandi, Jeta terpaksa bersedia saat diajak untuk menemani. Mereka berdua pun mandi bersama dengan penuh kebisingan. Entah apa saja yang dimainkan dan dilakukan di dalam sana, yang jelas waktu yang diperlukan jauh lebih lama dari pada mandi biasanya. “Mak Mah belum datang?” tanya Faqih sambil merebah lagi di ranjang. Masih dengan baju koko dan sarungnya. Mereka sambung shalat subuh berjamaah setelah mandi pun bersama.“Belum, ini kepagian. Biasanya habis anak bungsunya pergi ke sekolah,” sahut Jeta sambil melipat mukena dan sajadah. Ingin hati menyusul suami ke pembaringan. Tetapi ingat jika melahirkan konon butuh ekstra perjuangan, Jeta memilih gerak keluar kamar. Seperti biasa, mencabut kotak salad buah dari kulkas. Seleranya benar-benar tidak peduli waktu dan kondisi.“Jeta, ayo ikut ke Hotel Tugu! Aku lupa, Ahmad akan pergi ke Juanda pagi ini!” Ajakan Faqih yang tiba-tiba sangat mengejutkan. Untung Jeta tidak tersedak. “Sebent
Faqih dan Jeta meninggalkan masjid besar di ujung gang yang buka hingga dua puluh empat jam sepanjang hari dan tanpa dijaga satpam. Beberapa pengurus dan jamaah masih terlihat duduk i'tikaf di sana, baik di dalam maupun di serambi. Meski malam sudah merangkak, mereka terlihat nyaman dan tenang di sana. “Ada apa …?” Faqih yang dari kamar mandi dan kini menutup pintu berpapasan dengan Jeta. Sudah berganti baju tidur dan tidak lagi berkerudung. Namun, tampak terkejut memandang Faqih.“Aku … Ingin makan salad dulu. Apa keberatan?” Suara Jeta terdengar kikuk. Faqih berjalan mendekati.“Meski tidak sabar lagi untuk jenguk anak, aku tetap tidak keberatan. Daripada nanti di atas ranjang yang kamu pandang aku, tetapi yang kamu pikir dan sebut justru salad buah,” jawab Faqih tersenyum menggoda sang istri.“Gombal …!” seru Jeta dengan raut yang malu. Faqih hanya diam dan tersenyum. Diikutinya Jeta keluar kamar dan berjalan ke dapur.“Sebenarnya aku pun ingin sesuatu darimu, Jeta,” ucap Faqih sa
Setelah dari klinik kandungan, mereka bukan lantas langsung pulang. Melainkan pergi ke arah berlawanan dari jalur jalan pulang. Jeta membawa Faqih ke Ramayana Mall di depan alun-alun Kota Malang. Berbalanja berbagai makanan dan barang. Oleh-oleh Faqih untuk seseorang yang harus dikunjungi. Sebab memang sudah janji ingin silaturahim dan berkenalan saat dirinya bertandang ke Malang di Jawa. Yang mana niat itu sudah dia sampaikan pada Jeta jauh-jauh hari sebelumnya. “Ayo di makan dulu, ngapain pulang cepet-cepet?” Seorang wanita berdaster longgar dengan menggendong bayi, menyuruh Faqih dan Jeta untuk lekas makan. Ada satu panci besar berisi bakso berkuah yang masih panas dan berkebul asap di meja makan. Juga ada sayur daun katu serta ikan sambal yang tidak lagi tampak panas. Meski sangat suka, Jeta mengambil sayur daun katu yang tampak hijau dan segar itu sedikit. Ingat jika Riri sedang masa menyusui. Daun katu sangat bagus untuk memperlancar produksi air susu ibu. Dan Jeta merasa
Batu nisan bentuk persegi dari keramik dengan nama Ny Arlita tertulis di sana, diusap tangan saat awal datang dengan sebuah salam. Faqih mengakhiri doa ziarah kubur pada makam almarhum ibu mertua pun dengan usapan tangan di batu nisan. Serta sebuah salam kembali di akhirnya.Jeta juga berdiri mengikuti gerak suaminya. Berpamit lirih dengan caranya dan kemudian mengulur tangannya pada Faqih. Mereka berdua bergandeng tangan meninggalkan lokasi makam sang ibu dengan berjalan hati-hati dan lurus. Mengikuti tapak jalan sempit di antara makam-makam. “Angkatlah, Jeta,” ucap Faqih. Ponsel Jeta sudah banyak kali berdering di dalam tasnya sejak masih di dalam lokasi makam. Kini mereka sudah di luar dan Faqih sedang mencuci kaki, tangan dan membasuh wajah. Sambil menyimak tenang percakapan sang istri yang terdengar seru di panggilan.“Ada apa?” Faqih mengelap wajah dengan sapu tangan dan Jeta pun menatapnya, panggilan ponsel telah ditutup beberapa detik yang lalu.“Aku ada undangan pesta nikaha
Pria tampan itu tampak frustasi meski akur dengan penolakan halus sang istri. Meski sama-sama penuh desir dengan gelombang meninggi, keduanya bersepakat menunda.“Faqih, apa kamu marah?” Jeta bertanya segan dengan ekspresi khawatir. Mendongak menatap Faqih yang masih menata napas memburu dan terengah. Menutup mata rapat sambil memeluk Jeta dengan pakaian yang sama-sama lepas berantakan. “Faqih, maaf, bukan aku tidak mau. Tapi aku sangat takut. Bukan aku tidak percaya padamu, tapi aku akan menanyakan pada dokter kandungan, apa kondisiku baik dan tidak bermasalah untuk menerima servis apa pun dari suamiku. Apa kamu mau mengerti?” Jeta kembali bertanya segan dengan menahan rasa malu. Tapi bukan rasa waswas dan cemas, sangat percaya jika Faqih adalah lelaki berwawasan dan bijak. Bukan melulu nafsu dan hasrat yang dikejar.“Faqih …,” panggil Jeta lagi yang mulai tidak sabar dengan kebungkaman pria yang sedang memeluk eratnya. “Hemm … tetapi aku tidak puas, Jeta. Aku sangat ingin membuat
Jeta membawa Faqih mendekati pintu kamar dengan jantung berdebum keras jumpalitan. Segala khayal dan bayang dalam kepala silih berganti meresahkan. Menduga apa yang akan dilakukan Faqih dalam kamar membuat hati jadi liar berdebar. Lelaki itu bersikeras meminta ditemani hingga ke dalam saat Jeta hanya menunjukkan daun pintu kamarnya dari jauh.“Sudah masuklah. Akan tetapi, di dalam tidak ada kamar mandi. Di situ kamar mandinya,” ucap Jeta menunjuk kamar mandi di pojok ruangan. Faqih hanya sekilas melihat. Mereka sudah berhenti tepat di depan pintu kamar.“Aku ingin kamu juga masuk ke dalam kamar denganku. Apa masih kurang paham juga?" ucap Faqih dengan berdiri tegak di depan Jeta. “Aku ingin kembali ke meja makan, masih ingin makan salad sekotak lagi. Mak Mah pun belum pulang, Faqih,” ucap Jeta menolak halus dengan mencoba beralasan.“Dia pulang? Apa dia tidak menginap juga di sini?” tanya Faqih yang merasa salah terka. “Tidak. Rumah kontraknya ada di belakang masjid. Anak-anaknya ma
Shalat maghrib bahkan dilakukan dengan lebih cepat. Juga tidak mengenakan apa pun di kulit wajah polosnya. Namun, sedikit pengorbanan itu seperti tanpa arti saat salad buah di atas meja makan sudah sangat sempurna tersajikan.“Bang Ahmad cepat sekali buatnya,” ucap Jeta sambil duduk dengan pandangan yang takjub. Tetapi, ada nada kecewa pada ucapannya.Telah menunggu dua kotak salad siap eksekusi di atas meja. Desta tidak sungkan-sungkan mendekapnya. Lelaki itu masih sibuk mengemas irisan salad buah di panci besar ke dalam wadah kotak untuk di taburi parutan keju dengan cepat. Mengabaikan keinginan Jeta untuk mengamatinya. Ahmad tidak ingin kehilangan waktu maghrib.“Dia sudah terlatih, Jeta. Kamu lihat pun juga sama cara buatnya. Tetapi hasilnya ya pasti saja jauh beda. Sudah, kamu sekarang tinggal makan saja,” ucap Mak Mah yang paham arti ucapan dan ekspresi Jeta. Mengerti jika wanita hamil itu sangat ingin melihat proses pembuatannya.“Iya, Mak Mah. Aku akan makan saja banyak-banyak
Mak Mah baru saja selesai menyiapkan makan malam dan sedang mengepel basah lantai dapur. Sangat fokus akan kerjanya dan tampak berjalan mundur mengepel dengan langkah hati-hati. Blak! “Ah …!” Suara mengejutkan diikuti jerit kaget, membuat Mak Mah seketika menoleh. “Jeta …!” Mak Mah mendekat sangat panik. “Aku tidak apa-apa, Mak. Hanya terpeleset sedikit. Nggak jatuh, kok!” Jeta menjelaskan dengan terengah dan masih merasa terkejut. Mak Mah sudah mengelusi punggung Jeta yang berposisi melengkung jongkok.“Tapi kan kaget. Perutnya, apa terasa sakit?” tanya Mak Mah cemas.“Alhamdulillah enggak, Mak. Aku sempat pegangan meja. Cuma kursinya saja yang jatuh ketendang kakiku, Mak,” terang Jeta.Kemudian bergeser dan menghenyak pantatnya di kursi. Mak Mah membungkuk meraih kursi yang ambruk ke lantai menjadi ke posisi berdiri semula.“Maaf, Jeta. Mak pikir kamu tidak akan keluar kalo nggak dipanggil.” Mak Mah memang selalu memanggil Jeta untuk keluar kamar jika meja makan sudah siap.“Tap