Mama Fani telah membawa berbelanja keperluan pribadi anak perempuannya di Nagoya Mall, Batam. Terletak di Kota Nagoya yang merupakan pusat peradaban di Batam alias ibu kota dari pulau strategis internasional tersebut.
Mama Fani tinggal di Batam sudah hampir satu tahun. Tidak ada seorang pun yang paham apa alasan utama kepergiannya ke Batam di usia yang menjelang setengah baya. Termasuk Jeta sendiri dan dua saudari kembarnya.Wanita itu meninggalkan kampung halaman setelah kedua putri kembar miliknya yang bernama Rara dan Riri menikah. Mama Fani sudah berstatus janda ditinggal mati sejak lama. Tidak pernah menikah lagi hingga kini. Hampir setahun belakangan, wanita itu tinggal di Batam dan belum pernah kembali ke Jawa. Bahkan saat kedua putri kembarnya sebentar lagi melahirkan.Juga meninggalakan Sandra Jelita, bungsu yang masih duduk di bangku mahasiswa, kala mulai memasuki semester akhir di kuliahnya. Hingga kini lulus gemilang sebagai sarjana kedokteran. Yang rencananya akan mengambil sarjana lanjutan demi mendalami profesi sebagai seorang dokter spesialis di bidangnya."Apa anak Mama sudah ada calon?" Mama Fani bertanya dengan memandang lembut Jelita. Gadis itu hanya menggeleng dengan tersenyum sangat manis. Mereka baru selesai makan siang di sebuah restoran dalam Nagoya Mall. Kini berdiri di teras mall menunggu taksi yang sudah dipesan online oleh Mama Fani."Kalo teman dekat lelaki gitu … pasti adalah, kan?" Mama Fani memandang dengan ekspresi menggoda."Emmh, memang adalah mungkin, Ma. Tapi bukan calon, soalnya dia belum ngelamar-ngelamar …," jawab Jeta setengah bercanda dan mengeluh. Ada raut kecewa di wajah cantiknya."Hei, anaknya mama sedang sangat jatuh cinta, ya?! Sampai ngarep ingin dilamar …. Siapa laki-laki yang beruntung itu? Berani sekali lambat-lambat, nggak mau gerak cepat …. Ditikung baru tau rasa, kan?!" Mama Fani merespon serius sekaligus terkejut."Aduh, Ma … Belum tentu juga dia ngelamar, terus aku langsung mau. Soalnya dia bukan orang kalangan kita, Ma." Jeta berbicara sambil membuang pandangan. Tampak garis resah di wajahnya."Maksudmu apa sayang? Dia sangat kaya? Keluarga sangat terpandang?" Mama Fani menebak dengan tatapan yang serius. Tampak betapa sayangnya wanita itu pada Jelita."Lebih dari itu, Ma. Dia dari keluarga priyayi. Salah satu keluarga pewaris pesantren di sana. Ini berat banget bagiku …," keluh Jeta seraya memencet ujung hidung mungilnya yang runcing."Hush, nggak boleh ngerasa diri kerdil dibanding manusia lain, Jeta. Semua manusia itu sama, dimuliakan ... sekaligus tempatnya salah. Mungkin lelaki yang kamu suka pun begitu. Kita tidak tahu, apa yang ada di dada dan kepalanya. Di mata orang tampak sempurna, bisa jadi dia pun banyak kurang. Hanya Allah saja yang tahu akan salah dan aibnya. Tugas kita cukup berprasangka baik saja, Jeta.""Lagipula, untuk masalah perasaan dan lamaran, semua tergantung jodoh, sayang. Siapa tahu jodoh kamu adalah keluarga priyayi itu, tapi belum waktunya melamar. Atau kita nggak nyangka jika jodoh kamu ternyata justru bersembunyi di Batam. Tiba-tiba kamu jatuh cinta pada lelaki di sini, bisa saja kan …?"Mama Fani berbicara dengan raut sungguh-sungguh. Sesekali juga tersenyum saat Jeta melebarkan mata terkejut atau saat tidak berkedip menyimak ucapannya."Apa yang Mama Fani bilang seratus persen benar semua. Memang benar, aib orang hanya Tuhan yang tahu. Serta jodoh, memang tidak bisa disangka. Tapi tetap saja kita punya gambaran lelaki idola, kan, Ma? Tapi serta merta kita jadi merasa kecil, tidak selevel …," ucap Jeta. Meluahkan apa yang dia rasakan selama ini.Keberhasilannya mencuri perhatian seorang Gus, yakni Azrul Farhan, bukanlah bahagia melulu yang dia rasakan. Namun, perang batin dan rasa tahu dirilah yang acapkali berkecamuk di jiwa."Ish, tidak boleh seperti itu. Ingat, Jeta … Allah hanya menjodohkan kita dengan orang yang sebagaimana kita dan sesuai dengan kita. Kamu paham, kan?" Mama Fani kembali membesarkan hati Jeta. Anak gadisnya pun kemudian mengangguk dengan senyuman. Tanpa disadari juga, ucapan mamanya justru memberi rasa luka.Taksi yang sedang mereka tunggu pun datang. Membawa dua wanita beda usia meluncur meninggalkan pusat perbelanjaan di Nagoya Mall. Menuju area perumahan asri di pojok kota Batam Centre milik Fani.👣Jeta mematut diri di depan cermin almari yang memuat bayang seluruh badan. Tersenyum pada kembaran dirinya di sana. Merasa puas dengan baju yang dipilih dan dibeli tadi pagi. Sangat serasi dengan potongan tubuh serta wajah cantiknya yang memiliki kulit mulus, cerah dan bersih.Sayang sekali, bukanlah Gus Azrul yang akan dia temui malam ini. Tetapi, hanya lelaki asing yang justru meresahkan dan menakutkan baginya. Yang tidak dimengerti, Jeta berusaha berpenampilan menarik di pertemuan mereka malam ini.Telah ada mobil biasanya yang terparkir di luar pintu pagar sana. Milik lelaki itu beserta sopirnya sekalian. Jeta buru-buru menutup pintu rumah dan dikuncinya. Pintu pagar pun telah dia kaitkan di pengunci. Itu adalah pesan seru Mama Fani sebelum meluncur duluan meninggalkan Jeta yang masih bertukar baju di kamarnya.Blak!Jeta menutup pintu setelah duduk menghenyak di kursi. Sopir yang sudah dia kenal dan hapal itu meluncur laju setelah melempar satu senyum hangat pada Jeta. Menuju ke jalanan besar yang mengarah ke pusat kota Batam Centre."Di mana bos kamu, Bang?" Jeta bertanya, tidak tahan terbenam lengang."Sudah menunggumu di tempat yang Abang pilih, Kak Jeta," sahut lelaki muda alias sang sopir. Memandang Jeta di kaca sekilas."Sebenarnya, siapa nama dia? Kamu pun tidak pernah ngasih tahu jika aku tanya namanya," gerutu Jeta sambil memandang wajah lelaki muda itu di kaca spion."Sebentar lagi sampai, Kak Jeta. Coba tanya lagi saja ke nara sumber langsung. Atau barangkali minat ingin tahu namaku, Ilyas namaku, Kak," ucap lelaki itu dengan senyum canda tetapi masih bernada sopan. Jeta hanya tersenyum masam dan mengangguk.Mobil telah dibelokkan ke sebuah rumah makan berlantai dua di pusat kota Batam Centre. Kini sudah berhenti diam di depan terasnya. Sopir yang mengaku bernama Ilyas sedang melepaskan sabuk pengaman."Masuk saja ke bagian dalam, Kak Jeta! Si Bos sudah menunggumu bersama keluarganya di meja sana!" Ilyas berseru sebelum gadis itu benar-benar turun.Jeta tidak menyahut lagi saat menutup pintu dan benar-benar meninggalkan Ilyas di mobil tanpa melempar basa-basi segaris senyum pun. Otaknya hanya bekerja maksimal saat mendengar bahwa lelaki asing itu bersama keluarga. Untuk apa?! Huh, kesal sekaligus penasaran sekali dibuatnya."Hei Jeta, sini …!" Satu seruan nyaring dengan suara yang familiar pun menyambut saat kepala Jeta celingukan.Sangat terkejut, seruan yang memang adalah Mama Fani, tidak hanya berdua dengan seorang lelaki. Tetapi, ada satu laki-laki lagi yang duduk di meja bersama mereka. Adalah lelaki aneh yang saat itu sedang Jeta cari-cari."Ternyata kamu pun makan malam di sini, Jeta?!" Mama Fani berdiri menyambut Jeta yang perlahan mendekat. Wajah Jeta terlihat bingung, antara menatap Mama Fani, dengan menatap Mr. Batam yang memang sedang Jeta buru.🙏🍎🙏Si lelaki penawan hanya menatap tajam seperti biasa dari duduknya. Tidak ada lambaian tangan atau ajakan untuk singgah di meja mereka. Jeta coba tidak peduli dan membuang pandangan hanya kepada Mama Fani."Ternyata kamu pun makan malam di sini, Jeta?!" Mama Fani berdiri menyambut Jeta yang perlahan mendekat. "Mama juga di sini?" Jeta menyahut dengan raut sangat bingung. "Iya, Mama di sini. Jeta akan makan di mana? Andai Jeta bisa gabung …," ucap Mama Fani menggantung. Fani melirik pada lelaki tampan yang menatap tajam sedari tadi. Merasa segan, tahu diri jika lelaki itu tidak suka sejak awal mula kedatangannya. Tetapi lelaki itu juga yang katanya mengundang Fani melalui papanya. Ingin mengenalkan calon istri."Fani, apa ini anak perempuanmu yang baru lulus sarjana itu? Kamu tidak bilang padaku akan kedatangannya ke Batam?" Pria setengah baya yang duduk di sebelah lelaki tampan itu tampak heran dan terkejut. Menatap Jeta dengan hangat dan senyum."Oh, iya. Benar sekali, Mas. Dialah
Setelah kedua pasang mata saling berperang pandang, Faqih Rushqi tiba-tiba berdiri. Menyambar ponselnya dari meja. Lalu bergeser keluar dari kursi. "Permisi Nyonya Fani. Aku izin membawa Jeta sebentar ke lantai satu. Ada hal privasi yang ingin kubicarakan padanya."Faqih Rushqi berbicara menyela sambil memandang Mama Fani sekilas. Lalu mengalihkan tatapannya pada Jeta."Ayo calon istri, kita berbicara intim sejenak di lantai satu," ucap lelaki itu lembut namun tegas. Jeta tahu jika kelembutan bicaranya sekadar pura-pura. Risih sekali rasanya."Aku ingin tetap duduk di sini," ucap Jeta menolak. Sangat enggan berdua saja dengan lelaki itu, seperti sebuah trauma baginya. Juga merasa enggan andai membicarakan hal pernikahan di bawah ancaman."Baiklah, aku akan turun sendiri. Ada sesuatu yang harus aku share dan kerjakan di beberapa media sosial dan publik. Pasti akan lebih leluasa kulakukan jika tidak denganmu." Faqih berbicara datar tanpa nada. Namun, sembari menatap tajam pada Jeta.Le
Faqih kembali meminta Jeta untuk bekerja sama mengeksekusi makanan yang dipesan. Namun, Jeta masih terus enggan dan tidak memajukan punggung dari menyandar rapat di kursi. "Ini adalah pertama kali kamu makan di meja yang layak bersama denganku. Apakah saat makan denganku di Kinabalu dalam dump itu yang ingin kamu simpan dalam ingatan sepanjang masa?" Faqih berkata datar yang diakhiri dengan pertanyaan memuakkan bagi Jeta."Ucapanmu membuatku kembali merasa mual dan ingin muntah," ketus Jeta dengan bergidik. Ingat ulat sagu yang di ingatannya adalah belatung kaku di mangkuk hasil pemberian lelaki itu."Mual dan muntah … itu gejala hamil, kan? Apa berciuman di gunung dengan kekasihmu telah membuatmu bunting? Hebat sekali dia, apa sebelum mencium, dia pun berdoa dulu?" Faqih berbicara dengan nada sinis dan senyum masam yang menyindir."Jangan mencemooh, kamu tidak punya hak mencelanya di depanku!" Jeta berkata sengit. Rasanya geram dipermainkan secara teori oleh lelaki asing dan sejahat
Rasanya sungguh lega, rumah Mama Fani mulai terlihat di kejauhan. Meski perlu jalan memutar untuk menjangkau pagar rumah dengan mudah. Tapi itu bukan masalah, sopir Ilyas begitu sigap melakukannya. Lelaki muda itu sudah menghapal baik denah jalan perumahan."Bawalah, ini milikmu," ucap Faqih. Kini duduk tegak saat Ilyas sudah parkir di depan pagar."Apa ini?" Jeta heran dan tidak mengambil paper bag yang diulur Faqih padanya."Bajumu yang di carrierku. Tadinya akan kubuang, tapi ingat jika kamu adalah pendatang, pasti bagaimana pun juga kekurangan," ucap Faqih. Diletaknya paper bag di sela duduk mereka."Tau pun, tumben agak baik dan cerdas," sahut Jeta sambil menyambar paper bag tadi tanpa segan. Sebagai pendatang baru, dirinya memang kekurangan stok baju. "Aku memang selalu baik dan cerdas. Lambat laun kamu akan mengerti sendiri. Jeta ... jangan coba lari. Aktifkan selalu ponselmu," pesan Faqih saat Jeta telah keluar dan akan menutup pintu. Si gadis hanya melengos tanpa mengiyakan
Jeta tidak lupa dalam ingatan tajamnya saat Mama Fani berangkat dengan penampilan sangat anggun dan rapi. Rambut disanggul modis dan indah, wanita itu jarang memilih style berkerudung. Sungguh beruntung, ketiga anak perempuannya konsisten pada fashion tertutup dan berkerudung. Meski justru Jeta-lah yang sering tidak menutup kepala jika keluar sejenak ke swalayan. Atau saat membeli makanan di warung dekat rumah yang cepat dibawa pulang. Gadis muda itu abai pada pesan dua kakak perempuan kembarnya agar senantiasa berkerudung di mana pun. Jeta masih saja berpenampilan suka-suka. Merasa aman bersandiwara, Azrul Farhan tidak sekali saja menangkap basahnya saat tidak berkerudung. Kembali pada Fani, saat baru datang dan berdiri di depan kamar Jeta, rambutnya tampak berantakan dan terurai. Juga, blouse yang rapi dimasukkan ke rok panjang saat berangkat, kini terburai keluar saat pulang. Apalagi sang mama kembali ke rumah sudah larut malam.Tidak memungkiri, bayangan dan prasangka akan hal
Meski masih pagi dan adzan subuh pun baru berkumandang, hawa udara di Batam sudah gerah sekali. Jeta terbangun sebelum subuh dengan nyanyian alarm yang mengalun di ponselnya. Seluruh baju dan rambut nyaris lembap sebab keringat yang banyak keluar dari kulit. Tidak ada kipas angin manual memutar apalagi mesin pendingin canggih di dalam kamar.Jeta melipat mukena serapi mungkin untuk disimpan dalam balutan sajadah. Kemudian diletak di atas sandaran ranjang. Dipandanginya buntalan itu sejenak, sajadah dan mukena adalah yang dibelikan Faqih di perjalanan. Mama Fani hanya punya sepasang, tidak memiliki cadangan mukena dan sajadah. Punyanya yang sempat Jeta pinjam saat awal datang, sudah dikembalikannya semalam. Mereka tidak lagi bergantian menggunakan. Lelaki itu telah menyertakan dengan beberapa bajunya dalam paper bag. Mungkin tukang laundry yang mengerjakan. Sebab tersusun rapi dan wangi, hanya tidak dalam balutan plastik laundry. Atau lebih cenderung asisten rumahnya yang menatakan .
Pandangan Faqih sangat tajam menatap wajahnya. Tidak Jeta pungkiri akan pesona dan ketampanan lelaki itu meski sedang bersikap dingin dan garang. Sekali pun terbaca tulisan nama si culas oleh Jeta di matanya.Mungkin Faqih terkejut dengan ucapan membangkangnya. Atau juga tidak terima dengan panggilan tanpa kata penghormatan. Notabene usia Faqih memang berbilang jauh lebih banyak dari Jeta. Wajar jika merasa tidak terima disebut hanya nama saja sesukanya."Kenapa, aku salah apa, Faqih? Kamu terlihat marah sekarang …. Kamu hanya suka jika aku tampak ketakutan, kan? Kamu lelaki berpendidikan dan berwawasan. Tidak mungkin begitu rendah dengan menyebarkan aib orang." Jeta tersenyum masam."Juga … agama kamu cukup bagus kurasa. Kamu orang Islam, kan? Tahu kan, hukum menyebarkan aib orang? Kamu akan seperti mengunyah dagingku, atau seperti akan membakarku dengan kayu. Tidak mungkin, kaaaan …," ucap Jeta menyambung. Seperti sengaja memancing kemarahan dan batas sabar Faqih. Terlihat raut pua
Terdengar kursi bergeser dan kaki melangkah di belakangnya. Jeta tahu jika Faqih pun sudah selesai makan. Terdengar suaranya sedang memanggil pegawai rumah makan. Pasti sedang berlaku transaksi pembayaran."Ilyas, kutunggu di mobil. Usahakan lebih cepat. Aku ingin sebelum hujan sudah sampai di Barelang!" Suara yang keras itu seperti gelegar petir menyambar. Tepat di belakang dan di atas kepala. Jeta terkejut sekali, nasib baik tidak sampai tersedak. Jika melihat, Faqih atau Ilyas pasti tahu jika dirinya terkejut."Iya, Bang!" Ilyas menyahut dengan menyebut si culas, Bang. Pemuda Melayu berwajah manis itu memang seringkali berubah menyebut bosnya. Bahkan tidak jarang juga menyebut Bapak. Interaksi keduanya tampak santai, hanya saja tidak dekat."Ilyas, jika gadis itu ingin pergi ke kamar mandi, antarkan!" Faqih berpesan lagi sebelum bunyi kakinya terdengar berteplak menjauh. "Iya, Bang!" Ilyas kembali mengiyakan sambil mengangguk.Jeta tersenyum masam, Faqih baru menyebutnya dengan as