Mama Fani telah membawa berbelanja keperluan pribadi anak perempuannya di Nagoya Mall, Batam. Terletak di Kota Nagoya yang merupakan pusat peradaban di Batam alias ibu kota dari pulau strategis internasional tersebut.
Mama Fani tinggal di Batam sudah hampir satu tahun. Tidak ada seorang pun yang paham apa alasan utama kepergiannya ke Batam di usia yang menjelang setengah baya. Termasuk Jeta sendiri dan dua saudari kembarnya.Wanita itu meninggalkan kampung halaman setelah kedua putri kembar miliknya yang bernama Rara dan Riri menikah. Mama Fani sudah berstatus janda ditinggal mati sejak lama. Tidak pernah menikah lagi hingga kini. Hampir setahun belakangan, wanita itu tinggal di Batam dan belum pernah kembali ke Jawa. Bahkan saat kedua putri kembarnya sebentar lagi melahirkan.Juga meninggalakan Sandra Jelita, bungsu yang masih duduk di bangku mahasiswa, kala mulai memasuki semester akhir di kuliahnya. Hingga kini lulus gemilang sebagai sarjana kedokteran. Yang rencananya akan mengambil sarjana lanjutan demi mendalami profesi sebagai seorang dokter spesialis di bidangnya."Apa anak Mama sudah ada calon?" Mama Fani bertanya dengan memandang lembut Jelita. Gadis itu hanya menggeleng dengan tersenyum sangat manis. Mereka baru selesai makan siang di sebuah restoran dalam Nagoya Mall. Kini berdiri di teras mall menunggu taksi yang sudah dipesan online oleh Mama Fani."Kalo teman dekat lelaki gitu … pasti adalah, kan?" Mama Fani memandang dengan ekspresi menggoda."Emmh, memang adalah mungkin, Ma. Tapi bukan calon, soalnya dia belum ngelamar-ngelamar …," jawab Jeta setengah bercanda dan mengeluh. Ada raut kecewa di wajah cantiknya."Hei, anaknya mama sedang sangat jatuh cinta, ya?! Sampai ngarep ingin dilamar …. Siapa laki-laki yang beruntung itu? Berani sekali lambat-lambat, nggak mau gerak cepat …. Ditikung baru tau rasa, kan?!" Mama Fani merespon serius sekaligus terkejut."Aduh, Ma … Belum tentu juga dia ngelamar, terus aku langsung mau. Soalnya dia bukan orang kalangan kita, Ma." Jeta berbicara sambil membuang pandangan. Tampak garis resah di wajahnya."Maksudmu apa sayang? Dia sangat kaya? Keluarga sangat terpandang?" Mama Fani menebak dengan tatapan yang serius. Tampak betapa sayangnya wanita itu pada Jelita."Lebih dari itu, Ma. Dia dari keluarga priyayi. Salah satu keluarga pewaris pesantren di sana. Ini berat banget bagiku …," keluh Jeta seraya memencet ujung hidung mungilnya yang runcing."Hush, nggak boleh ngerasa diri kerdil dibanding manusia lain, Jeta. Semua manusia itu sama, dimuliakan ... sekaligus tempatnya salah. Mungkin lelaki yang kamu suka pun begitu. Kita tidak tahu, apa yang ada di dada dan kepalanya. Di mata orang tampak sempurna, bisa jadi dia pun banyak kurang. Hanya Allah saja yang tahu akan salah dan aibnya. Tugas kita cukup berprasangka baik saja, Jeta.""Lagipula, untuk masalah perasaan dan lamaran, semua tergantung jodoh, sayang. Siapa tahu jodoh kamu adalah keluarga priyayi itu, tapi belum waktunya melamar. Atau kita nggak nyangka jika jodoh kamu ternyata justru bersembunyi di Batam. Tiba-tiba kamu jatuh cinta pada lelaki di sini, bisa saja kan …?"Mama Fani berbicara dengan raut sungguh-sungguh. Sesekali juga tersenyum saat Jeta melebarkan mata terkejut atau saat tidak berkedip menyimak ucapannya."Apa yang Mama Fani bilang seratus persen benar semua. Memang benar, aib orang hanya Tuhan yang tahu. Serta jodoh, memang tidak bisa disangka. Tapi tetap saja kita punya gambaran lelaki idola, kan, Ma? Tapi serta merta kita jadi merasa kecil, tidak selevel …," ucap Jeta. Meluahkan apa yang dia rasakan selama ini.Keberhasilannya mencuri perhatian seorang Gus, yakni Azrul Farhan, bukanlah bahagia melulu yang dia rasakan. Namun, perang batin dan rasa tahu dirilah yang acapkali berkecamuk di jiwa."Ish, tidak boleh seperti itu. Ingat, Jeta … Allah hanya menjodohkan kita dengan orang yang sebagaimana kita dan sesuai dengan kita. Kamu paham, kan?" Mama Fani kembali membesarkan hati Jeta. Anak gadisnya pun kemudian mengangguk dengan senyuman. Tanpa disadari juga, ucapan mamanya justru memberi rasa luka.Taksi yang sedang mereka tunggu pun datang. Membawa dua wanita beda usia meluncur meninggalkan pusat perbelanjaan di Nagoya Mall. Menuju area perumahan asri di pojok kota Batam Centre milik Fani.👣Jeta mematut diri di depan cermin almari yang memuat bayang seluruh badan. Tersenyum pada kembaran dirinya di sana. Merasa puas dengan baju yang dipilih dan dibeli tadi pagi. Sangat serasi dengan potongan tubuh serta wajah cantiknya yang memiliki kulit mulus, cerah dan bersih.Sayang sekali, bukanlah Gus Azrul yang akan dia temui malam ini. Tetapi, hanya lelaki asing yang justru meresahkan dan menakutkan baginya. Yang tidak dimengerti, Jeta berusaha berpenampilan menarik di pertemuan mereka malam ini.Telah ada mobil biasanya yang terparkir di luar pintu pagar sana. Milik lelaki itu beserta sopirnya sekalian. Jeta buru-buru menutup pintu rumah dan dikuncinya. Pintu pagar pun telah dia kaitkan di pengunci. Itu adalah pesan seru Mama Fani sebelum meluncur duluan meninggalkan Jeta yang masih bertukar baju di kamarnya.Blak!Jeta menutup pintu setelah duduk menghenyak di kursi. Sopir yang sudah dia kenal dan hapal itu meluncur laju setelah melempar satu senyum hangat pada Jeta. Menuju ke jalanan besar yang mengarah ke pusat kota Batam Centre."Di mana bos kamu, Bang?" Jeta bertanya, tidak tahan terbenam lengang."Sudah menunggumu di tempat yang Abang pilih, Kak Jeta," sahut lelaki muda alias sang sopir. Memandang Jeta di kaca sekilas."Sebenarnya, siapa nama dia? Kamu pun tidak pernah ngasih tahu jika aku tanya namanya," gerutu Jeta sambil memandang wajah lelaki muda itu di kaca spion."Sebentar lagi sampai, Kak Jeta. Coba tanya lagi saja ke nara sumber langsung. Atau barangkali minat ingin tahu namaku, Ilyas namaku, Kak," ucap lelaki itu dengan senyum canda tetapi masih bernada sopan. Jeta hanya tersenyum masam dan mengangguk.Mobil telah dibelokkan ke sebuah rumah makan berlantai dua di pusat kota Batam Centre. Kini sudah berhenti diam di depan terasnya. Sopir yang mengaku bernama Ilyas sedang melepaskan sabuk pengaman."Masuk saja ke bagian dalam, Kak Jeta! Si Bos sudah menunggumu bersama keluarganya di meja sana!" Ilyas berseru sebelum gadis itu benar-benar turun.Jeta tidak menyahut lagi saat menutup pintu dan benar-benar meninggalkan Ilyas di mobil tanpa melempar basa-basi segaris senyum pun. Otaknya hanya bekerja maksimal saat mendengar bahwa lelaki asing itu bersama keluarga. Untuk apa?! Huh, kesal sekaligus penasaran sekali dibuatnya."Hei Jeta, sini …!" Satu seruan nyaring dengan suara yang familiar pun menyambut saat kepala Jeta celingukan.Sangat terkejut, seruan yang memang adalah Mama Fani, tidak hanya berdua dengan seorang lelaki. Tetapi, ada satu laki-laki lagi yang duduk di meja bersama mereka. Adalah lelaki aneh yang saat itu sedang Jeta cari-cari."Ternyata kamu pun makan malam di sini, Jeta?!" Mama Fani berdiri menyambut Jeta yang perlahan mendekat. Wajah Jeta terlihat bingung, antara menatap Mama Fani, dengan menatap Mr. Batam yang memang sedang Jeta buru.🙏🍎🙏Si lelaki penawan hanya menatap tajam seperti biasa dari duduknya. Tidak ada lambaian tangan atau ajakan untuk singgah di meja mereka. Jeta coba tidak peduli dan membuang pandangan hanya kepada Mama Fani."Ternyata kamu pun makan malam di sini, Jeta?!" Mama Fani berdiri menyambut Jeta yang perlahan mendekat. "Mama juga di sini?" Jeta menyahut dengan raut sangat bingung. "Iya, Mama di sini. Jeta akan makan di mana? Andai Jeta bisa gabung …," ucap Mama Fani menggantung. Fani melirik pada lelaki tampan yang menatap tajam sedari tadi. Merasa segan, tahu diri jika lelaki itu tidak suka sejak awal mula kedatangannya. Tetapi lelaki itu juga yang katanya mengundang Fani melalui papanya. Ingin mengenalkan calon istri."Fani, apa ini anak perempuanmu yang baru lulus sarjana itu? Kamu tidak bilang padaku akan kedatangannya ke Batam?" Pria setengah baya yang duduk di sebelah lelaki tampan itu tampak heran dan terkejut. Menatap Jeta dengan hangat dan senyum."Oh, iya. Benar sekali, Mas. Dialah
Setelah kedua pasang mata saling berperang pandang, Faqih Rushqi tiba-tiba berdiri. Menyambar ponselnya dari meja. Lalu bergeser keluar dari kursi. "Permisi Nyonya Fani. Aku izin membawa Jeta sebentar ke lantai satu. Ada hal privasi yang ingin kubicarakan padanya."Faqih Rushqi berbicara menyela sambil memandang Mama Fani sekilas. Lalu mengalihkan tatapannya pada Jeta."Ayo calon istri, kita berbicara intim sejenak di lantai satu," ucap lelaki itu lembut namun tegas. Jeta tahu jika kelembutan bicaranya sekadar pura-pura. Risih sekali rasanya."Aku ingin tetap duduk di sini," ucap Jeta menolak. Sangat enggan berdua saja dengan lelaki itu, seperti sebuah trauma baginya. Juga merasa enggan andai membicarakan hal pernikahan di bawah ancaman."Baiklah, aku akan turun sendiri. Ada sesuatu yang harus aku share dan kerjakan di beberapa media sosial dan publik. Pasti akan lebih leluasa kulakukan jika tidak denganmu." Faqih berbicara datar tanpa nada. Namun, sembari menatap tajam pada Jeta.Le
Faqih kembali meminta Jeta untuk bekerja sama mengeksekusi makanan yang dipesan. Namun, Jeta masih terus enggan dan tidak memajukan punggung dari menyandar rapat di kursi. "Ini adalah pertama kali kamu makan di meja yang layak bersama denganku. Apakah saat makan denganku di Kinabalu dalam dump itu yang ingin kamu simpan dalam ingatan sepanjang masa?" Faqih berkata datar yang diakhiri dengan pertanyaan memuakkan bagi Jeta."Ucapanmu membuatku kembali merasa mual dan ingin muntah," ketus Jeta dengan bergidik. Ingat ulat sagu yang di ingatannya adalah belatung kaku di mangkuk hasil pemberian lelaki itu."Mual dan muntah … itu gejala hamil, kan? Apa berciuman di gunung dengan kekasihmu telah membuatmu bunting? Hebat sekali dia, apa sebelum mencium, dia pun berdoa dulu?" Faqih berbicara dengan nada sinis dan senyum masam yang menyindir."Jangan mencemooh, kamu tidak punya hak mencelanya di depanku!" Jeta berkata sengit. Rasanya geram dipermainkan secara teori oleh lelaki asing dan sejahat
Rasanya sungguh lega, rumah Mama Fani mulai terlihat di kejauhan. Meski perlu jalan memutar untuk menjangkau pagar rumah dengan mudah. Tapi itu bukan masalah, sopir Ilyas begitu sigap melakukannya. Lelaki muda itu sudah menghapal baik denah jalan perumahan."Bawalah, ini milikmu," ucap Faqih. Kini duduk tegak saat Ilyas sudah parkir di depan pagar."Apa ini?" Jeta heran dan tidak mengambil paper bag yang diulur Faqih padanya."Bajumu yang di carrierku. Tadinya akan kubuang, tapi ingat jika kamu adalah pendatang, pasti bagaimana pun juga kekurangan," ucap Faqih. Diletaknya paper bag di sela duduk mereka."Tau pun, tumben agak baik dan cerdas," sahut Jeta sambil menyambar paper bag tadi tanpa segan. Sebagai pendatang baru, dirinya memang kekurangan stok baju. "Aku memang selalu baik dan cerdas. Lambat laun kamu akan mengerti sendiri. Jeta ... jangan coba lari. Aktifkan selalu ponselmu," pesan Faqih saat Jeta telah keluar dan akan menutup pintu. Si gadis hanya melengos tanpa mengiyakan
Jeta tidak lupa dalam ingatan tajamnya saat Mama Fani berangkat dengan penampilan sangat anggun dan rapi. Rambut disanggul modis dan indah, wanita itu jarang memilih style berkerudung. Sungguh beruntung, ketiga anak perempuannya konsisten pada fashion tertutup dan berkerudung. Meski justru Jeta-lah yang sering tidak menutup kepala jika keluar sejenak ke swalayan. Atau saat membeli makanan di warung dekat rumah yang cepat dibawa pulang. Gadis muda itu abai pada pesan dua kakak perempuan kembarnya agar senantiasa berkerudung di mana pun. Jeta masih saja berpenampilan suka-suka. Merasa aman bersandiwara, Azrul Farhan tidak sekali saja menangkap basahnya saat tidak berkerudung. Kembali pada Fani, saat baru datang dan berdiri di depan kamar Jeta, rambutnya tampak berantakan dan terurai. Juga, blouse yang rapi dimasukkan ke rok panjang saat berangkat, kini terburai keluar saat pulang. Apalagi sang mama kembali ke rumah sudah larut malam.Tidak memungkiri, bayangan dan prasangka akan hal
Meski masih pagi dan adzan subuh pun baru berkumandang, hawa udara di Batam sudah gerah sekali. Jeta terbangun sebelum subuh dengan nyanyian alarm yang mengalun di ponselnya. Seluruh baju dan rambut nyaris lembap sebab keringat yang banyak keluar dari kulit. Tidak ada kipas angin manual memutar apalagi mesin pendingin canggih di dalam kamar.Jeta melipat mukena serapi mungkin untuk disimpan dalam balutan sajadah. Kemudian diletak di atas sandaran ranjang. Dipandanginya buntalan itu sejenak, sajadah dan mukena adalah yang dibelikan Faqih di perjalanan. Mama Fani hanya punya sepasang, tidak memiliki cadangan mukena dan sajadah. Punyanya yang sempat Jeta pinjam saat awal datang, sudah dikembalikannya semalam. Mereka tidak lagi bergantian menggunakan. Lelaki itu telah menyertakan dengan beberapa bajunya dalam paper bag. Mungkin tukang laundry yang mengerjakan. Sebab tersusun rapi dan wangi, hanya tidak dalam balutan plastik laundry. Atau lebih cenderung asisten rumahnya yang menatakan .
Pandangan Faqih sangat tajam menatap wajahnya. Tidak Jeta pungkiri akan pesona dan ketampanan lelaki itu meski sedang bersikap dingin dan garang. Sekali pun terbaca tulisan nama si culas oleh Jeta di matanya.Mungkin Faqih terkejut dengan ucapan membangkangnya. Atau juga tidak terima dengan panggilan tanpa kata penghormatan. Notabene usia Faqih memang berbilang jauh lebih banyak dari Jeta. Wajar jika merasa tidak terima disebut hanya nama saja sesukanya."Kenapa, aku salah apa, Faqih? Kamu terlihat marah sekarang …. Kamu hanya suka jika aku tampak ketakutan, kan? Kamu lelaki berpendidikan dan berwawasan. Tidak mungkin begitu rendah dengan menyebarkan aib orang." Jeta tersenyum masam."Juga … agama kamu cukup bagus kurasa. Kamu orang Islam, kan? Tahu kan, hukum menyebarkan aib orang? Kamu akan seperti mengunyah dagingku, atau seperti akan membakarku dengan kayu. Tidak mungkin, kaaaan …," ucap Jeta menyambung. Seperti sengaja memancing kemarahan dan batas sabar Faqih. Terlihat raut pua
Terdengar kursi bergeser dan kaki melangkah di belakangnya. Jeta tahu jika Faqih pun sudah selesai makan. Terdengar suaranya sedang memanggil pegawai rumah makan. Pasti sedang berlaku transaksi pembayaran."Ilyas, kutunggu di mobil. Usahakan lebih cepat. Aku ingin sebelum hujan sudah sampai di Barelang!" Suara yang keras itu seperti gelegar petir menyambar. Tepat di belakang dan di atas kepala. Jeta terkejut sekali, nasib baik tidak sampai tersedak. Jika melihat, Faqih atau Ilyas pasti tahu jika dirinya terkejut."Iya, Bang!" Ilyas menyahut dengan menyebut si culas, Bang. Pemuda Melayu berwajah manis itu memang seringkali berubah menyebut bosnya. Bahkan tidak jarang juga menyebut Bapak. Interaksi keduanya tampak santai, hanya saja tidak dekat."Ilyas, jika gadis itu ingin pergi ke kamar mandi, antarkan!" Faqih berpesan lagi sebelum bunyi kakinya terdengar berteplak menjauh. "Iya, Bang!" Ilyas kembali mengiyakan sambil mengangguk.Jeta tersenyum masam, Faqih baru menyebutnya dengan as
Tangis bayi riuh bersahutan pagi ini. Terdengar dari kamar di luar yang berlainan. Entah di mana ibu para bayi masing-masing. Yang jelas tangis lolong pilu mereka terus membahana dan lama. “Bayi-bayi konser itu, pada ke mana mominya masing-masing?” bisik Faqih di telinga Jeta yang sedang dalam dekapan dadanya. “Aku tidak tahu. Lagi shalat subuh mungkin …,” sahut Jeta menebak asal. Sisa napas masih menderu di dadanya. Faqih baru saja selesai menyentuhnya kembali pagi-pagi. “Ini belum datang waktu subuh, belum adzan, Sayang. Apa jangan-jangan lagi ehem ehem juga kayak kita …?” Faqih tersenyum menggoda. Rambut di pucuk kepala sang istri diciuminya ulang-ulang. “Bisa jadi, ya …,” sahut Jeta membenarkan, lalu menggigiti kecil dada suaminya dengan gemas. Faqih menahan suara pekiknya dan mengaduh lirih kegelian. “Jangan nakal, Jeta. Aku bisa berteriak.” Faqih menjauhkan sedikit kepala istrinya. “Jeta, itu yang sudah kita kasih angpau di dapur semalam, yang siapa? Aku nggak bisa b
Setelah merasa malas untuk beranjak dan pergi ke kamar mandi, Jeta terpaksa bersedia saat diajak untuk menemani. Mereka berdua pun mandi bersama dengan penuh kebisingan. Entah apa saja yang dimainkan dan dilakukan di dalam sana, yang jelas waktu yang diperlukan jauh lebih lama dari pada mandi biasanya. “Mak Mah belum datang?” tanya Faqih sambil merebah lagi di ranjang. Masih dengan baju koko dan sarungnya. Mereka sambung shalat subuh berjamaah setelah mandi pun bersama.“Belum, ini kepagian. Biasanya habis anak bungsunya pergi ke sekolah,” sahut Jeta sambil melipat mukena dan sajadah. Ingin hati menyusul suami ke pembaringan. Tetapi ingat jika melahirkan konon butuh ekstra perjuangan, Jeta memilih gerak keluar kamar. Seperti biasa, mencabut kotak salad buah dari kulkas. Seleranya benar-benar tidak peduli waktu dan kondisi.“Jeta, ayo ikut ke Hotel Tugu! Aku lupa, Ahmad akan pergi ke Juanda pagi ini!” Ajakan Faqih yang tiba-tiba sangat mengejutkan. Untung Jeta tidak tersedak. “Sebent
Faqih dan Jeta meninggalkan masjid besar di ujung gang yang buka hingga dua puluh empat jam sepanjang hari dan tanpa dijaga satpam. Beberapa pengurus dan jamaah masih terlihat duduk i'tikaf di sana, baik di dalam maupun di serambi. Meski malam sudah merangkak, mereka terlihat nyaman dan tenang di sana. “Ada apa …?” Faqih yang dari kamar mandi dan kini menutup pintu berpapasan dengan Jeta. Sudah berganti baju tidur dan tidak lagi berkerudung. Namun, tampak terkejut memandang Faqih.“Aku … Ingin makan salad dulu. Apa keberatan?” Suara Jeta terdengar kikuk. Faqih berjalan mendekati.“Meski tidak sabar lagi untuk jenguk anak, aku tetap tidak keberatan. Daripada nanti di atas ranjang yang kamu pandang aku, tetapi yang kamu pikir dan sebut justru salad buah,” jawab Faqih tersenyum menggoda sang istri.“Gombal …!” seru Jeta dengan raut yang malu. Faqih hanya diam dan tersenyum. Diikutinya Jeta keluar kamar dan berjalan ke dapur.“Sebenarnya aku pun ingin sesuatu darimu, Jeta,” ucap Faqih sa
Setelah dari klinik kandungan, mereka bukan lantas langsung pulang. Melainkan pergi ke arah berlawanan dari jalur jalan pulang. Jeta membawa Faqih ke Ramayana Mall di depan alun-alun Kota Malang. Berbalanja berbagai makanan dan barang. Oleh-oleh Faqih untuk seseorang yang harus dikunjungi. Sebab memang sudah janji ingin silaturahim dan berkenalan saat dirinya bertandang ke Malang di Jawa. Yang mana niat itu sudah dia sampaikan pada Jeta jauh-jauh hari sebelumnya. “Ayo di makan dulu, ngapain pulang cepet-cepet?” Seorang wanita berdaster longgar dengan menggendong bayi, menyuruh Faqih dan Jeta untuk lekas makan. Ada satu panci besar berisi bakso berkuah yang masih panas dan berkebul asap di meja makan. Juga ada sayur daun katu serta ikan sambal yang tidak lagi tampak panas. Meski sangat suka, Jeta mengambil sayur daun katu yang tampak hijau dan segar itu sedikit. Ingat jika Riri sedang masa menyusui. Daun katu sangat bagus untuk memperlancar produksi air susu ibu. Dan Jeta merasa
Batu nisan bentuk persegi dari keramik dengan nama Ny Arlita tertulis di sana, diusap tangan saat awal datang dengan sebuah salam. Faqih mengakhiri doa ziarah kubur pada makam almarhum ibu mertua pun dengan usapan tangan di batu nisan. Serta sebuah salam kembali di akhirnya.Jeta juga berdiri mengikuti gerak suaminya. Berpamit lirih dengan caranya dan kemudian mengulur tangannya pada Faqih. Mereka berdua bergandeng tangan meninggalkan lokasi makam sang ibu dengan berjalan hati-hati dan lurus. Mengikuti tapak jalan sempit di antara makam-makam. “Angkatlah, Jeta,” ucap Faqih. Ponsel Jeta sudah banyak kali berdering di dalam tasnya sejak masih di dalam lokasi makam. Kini mereka sudah di luar dan Faqih sedang mencuci kaki, tangan dan membasuh wajah. Sambil menyimak tenang percakapan sang istri yang terdengar seru di panggilan.“Ada apa?” Faqih mengelap wajah dengan sapu tangan dan Jeta pun menatapnya, panggilan ponsel telah ditutup beberapa detik yang lalu.“Aku ada undangan pesta nikaha
Pria tampan itu tampak frustasi meski akur dengan penolakan halus sang istri. Meski sama-sama penuh desir dengan gelombang meninggi, keduanya bersepakat menunda.“Faqih, apa kamu marah?” Jeta bertanya segan dengan ekspresi khawatir. Mendongak menatap Faqih yang masih menata napas memburu dan terengah. Menutup mata rapat sambil memeluk Jeta dengan pakaian yang sama-sama lepas berantakan. “Faqih, maaf, bukan aku tidak mau. Tapi aku sangat takut. Bukan aku tidak percaya padamu, tapi aku akan menanyakan pada dokter kandungan, apa kondisiku baik dan tidak bermasalah untuk menerima servis apa pun dari suamiku. Apa kamu mau mengerti?” Jeta kembali bertanya segan dengan menahan rasa malu. Tapi bukan rasa waswas dan cemas, sangat percaya jika Faqih adalah lelaki berwawasan dan bijak. Bukan melulu nafsu dan hasrat yang dikejar.“Faqih …,” panggil Jeta lagi yang mulai tidak sabar dengan kebungkaman pria yang sedang memeluk eratnya. “Hemm … tetapi aku tidak puas, Jeta. Aku sangat ingin membuat
Jeta membawa Faqih mendekati pintu kamar dengan jantung berdebum keras jumpalitan. Segala khayal dan bayang dalam kepala silih berganti meresahkan. Menduga apa yang akan dilakukan Faqih dalam kamar membuat hati jadi liar berdebar. Lelaki itu bersikeras meminta ditemani hingga ke dalam saat Jeta hanya menunjukkan daun pintu kamarnya dari jauh.“Sudah masuklah. Akan tetapi, di dalam tidak ada kamar mandi. Di situ kamar mandinya,” ucap Jeta menunjuk kamar mandi di pojok ruangan. Faqih hanya sekilas melihat. Mereka sudah berhenti tepat di depan pintu kamar.“Aku ingin kamu juga masuk ke dalam kamar denganku. Apa masih kurang paham juga?" ucap Faqih dengan berdiri tegak di depan Jeta. “Aku ingin kembali ke meja makan, masih ingin makan salad sekotak lagi. Mak Mah pun belum pulang, Faqih,” ucap Jeta menolak halus dengan mencoba beralasan.“Dia pulang? Apa dia tidak menginap juga di sini?” tanya Faqih yang merasa salah terka. “Tidak. Rumah kontraknya ada di belakang masjid. Anak-anaknya ma
Shalat maghrib bahkan dilakukan dengan lebih cepat. Juga tidak mengenakan apa pun di kulit wajah polosnya. Namun, sedikit pengorbanan itu seperti tanpa arti saat salad buah di atas meja makan sudah sangat sempurna tersajikan.“Bang Ahmad cepat sekali buatnya,” ucap Jeta sambil duduk dengan pandangan yang takjub. Tetapi, ada nada kecewa pada ucapannya.Telah menunggu dua kotak salad siap eksekusi di atas meja. Desta tidak sungkan-sungkan mendekapnya. Lelaki itu masih sibuk mengemas irisan salad buah di panci besar ke dalam wadah kotak untuk di taburi parutan keju dengan cepat. Mengabaikan keinginan Jeta untuk mengamatinya. Ahmad tidak ingin kehilangan waktu maghrib.“Dia sudah terlatih, Jeta. Kamu lihat pun juga sama cara buatnya. Tetapi hasilnya ya pasti saja jauh beda. Sudah, kamu sekarang tinggal makan saja,” ucap Mak Mah yang paham arti ucapan dan ekspresi Jeta. Mengerti jika wanita hamil itu sangat ingin melihat proses pembuatannya.“Iya, Mak Mah. Aku akan makan saja banyak-banyak
Mak Mah baru saja selesai menyiapkan makan malam dan sedang mengepel basah lantai dapur. Sangat fokus akan kerjanya dan tampak berjalan mundur mengepel dengan langkah hati-hati. Blak! “Ah …!” Suara mengejutkan diikuti jerit kaget, membuat Mak Mah seketika menoleh. “Jeta …!” Mak Mah mendekat sangat panik. “Aku tidak apa-apa, Mak. Hanya terpeleset sedikit. Nggak jatuh, kok!” Jeta menjelaskan dengan terengah dan masih merasa terkejut. Mak Mah sudah mengelusi punggung Jeta yang berposisi melengkung jongkok.“Tapi kan kaget. Perutnya, apa terasa sakit?” tanya Mak Mah cemas.“Alhamdulillah enggak, Mak. Aku sempat pegangan meja. Cuma kursinya saja yang jatuh ketendang kakiku, Mak,” terang Jeta.Kemudian bergeser dan menghenyak pantatnya di kursi. Mak Mah membungkuk meraih kursi yang ambruk ke lantai menjadi ke posisi berdiri semula.“Maaf, Jeta. Mak pikir kamu tidak akan keluar kalo nggak dipanggil.” Mak Mah memang selalu memanggil Jeta untuk keluar kamar jika meja makan sudah siap.“Tap