Lelaki mencurigakan itu tidak merespon tanya Jeta. Tetap sibuk dengan hidangan lezat di mangkuk stainless yang dipegang. Dia tidak menggunakan sendok.
Namun, menggunakan sumpit untuk menjepit ulat sagu dengan sangat lihai. Bahkan hanya tersisa beberapa ekor di mangkuk yang dalam hitungan detik telah berpindah aman ke dalam mulut."Siapa kamu ...?" Jeta bertanya kembali dengan lemah.Lelaki itu menoleh, menatap sambil mengelap mulut dengan telapak tangan. Pandangan mereka bertemu, dan baru kali ini Jeta benar-benar menatapnya. Seluruh penutup kepala dan wajah telah ditanggal.Di antara rasa lemah raga, mengakui jika wajah itu sangat tampan dengan dagu yang berjanggut tipis. Berwajah cerah, bersih dan terawat. Rambutnya lurus, tebal dan rapi. Seperti tidak serasi jika profesi yang dia geluti adalah seorang anggota tim penyelamat."Aku hanya mengingatkan padamu. Bersikaplah yang baik dan manis selama dalam perjalanan turun. Tidak perlu tahu siapa aku. Yang jelas, niatku adalah membawamu turun dengan selamat," ucap lelaki itu.Jeta menangkap suara yang stereo, terdengar empuk dan berat. Tatapan matanya tajam berkilat, tidak mengharap ada sanggah dan debat. Hidung itu juga mancung dan panjang, serasi dengan alisnya yang lebat."Apakah benar kamu anggota tim SAR dari Indonesia?" tanya Jeta hati-hati. Wajah tampan itu tetap saja tanpa reaksi, datar."Cepat makan bagianmu. Aku tidak sudi menghabiskan sendiri jika akhirnya kamu akan mati di sini. Kamu tidak merasa jika kabut sudah turun?" ucap lelaki itu menegaskan.Jeta serta merta mengangguk begitu saja membenarkan. Sangat paham jika gunung telah berselimut kabut, hawa gunung akan lebih dingin membekukan. Juga tidak terlihat jalan dan apa saja pemandangan, akan susah untuk bergeser ke mana pun.Bahkan meski hujan sudah berhenti, rasanya tidak mungkin bergeser pergi. Apa lagi gunung yang sedang mereka pijak adalah Kinabalu …."Tetapi aku justru merasa akan mati melihat itu …," ucap Jeta dengan suara yang tersendat dan gemetar. Ucapannya bukan menolak, hanya terdengar ragu. Merasa daya tahan kian lemah, energi kian pergi."Setidaknya, matimu tidak terlalu singkat dan aku terpaksa meninggalkanmu. Cobalah kunyah dengan cepat dan tahan nafasmu hingga tertelan." Pria itu bicara tanpa beban. Jeta merasa ini menyakitkan tetapi juga membenarkan ucapannya.Lelaki itu mengeluarkan botol mineral kecil dari ransel."Lakukan cepat sebelum kamu pingsan kelaparan." Sambil menyodor botol mineral pada Jeta.Jeta mengambil dengan ragu, meneguk sedikit. Kemudian melakukan apa yang dikatakan lelaki itu. Entah, Jeta menuruti seperti sedang diperdaya hipnotis. Meski merasa jijik dan sama sekali tidak selera, mulut membuka begitu saja. Napas Jeta benar-benar terhenti demi memasukkan pangan yang baginya seperti belatung besar.Jeta menyudahi, masih banyak ulat dalam mangkuk. Mungkin hanya tiga saja yang sanggup ditelan. Badannya kian menggigil dan lemah."Aku sungguh mual. Ingin muntah!" Jeta berseru lirih dan panik. Tidak sanggup lagi menahan, pura-pura doyan itu sangat berat!"Tahan!" Lelaki itu berseru sambil membuka kembali tas carrier. Mengeluarkan sebutir pil dari salah satu kantung. Diberikan buru-buru pada Jeta."Telan ini segera!" serunya.Jeta segera menerima dan menyambar botol. Ditelan bersama sedikit air dengan rasa penuh harap. Dirinya bukanlah pendaki manja dan buta survive sebelum ini. Namun, jika dihadapkan dengan segala pangan serupa belatung, big no! Siksa!"Habiskan milikmu jika perutmu sudah tanpa masalah," tegur lelaki ltu saat mendapati si gadis termenung.Gadis itu merasa bingung. Begitu cepat pil bekerja. Rasa mual, pening dan jijik hilang seketika. Yang ada rasa lapar gemetar dengan pandangan pada isi mangkuk. Ingin saja memasukkan semua belatung ke dalam mulut andai tidak merasa segan dan malu. Teguran tiba-tiba dari lelaki itu membuatnya bersemangat."Heeiiik …."Jeta kelepasan sendawa panjang saat menutup botol minum setelah belatung-belatung pedas dalam mangkuk berpindah ke dalam perut tanpa sisa. Ditutup mulutnya seketika dengan telapak tangan. Merasa sungguh gengsi.Namun, lelaki itu abai dan seperti tidak mendengar suara seru apa pun. Asyik menunduk pada satu buku kecil dan pensil di pegangan. Itu membuat Jeta merasa lega, berkurang sedikit perasaan malunya."Jika mengantuk, tidurlah. Hujan dan angin masih lama berhenti." Lelaki itu berbicara tiba-tiba. Jeta yang mulai pening sebab kenyang dan kepala terasa sangat berat pun terkejut. Lelaki itu berbicara tanpa memandangnya."Terima kasih," tanpa ragu Jeta merebah dengan menekuk kaki menyiku. Coba tidak berburuk sangka. Menganggap lelaki itu tim penyelamat meski merasa curiga dengan perasaan tidak enak.Namun, dalam keadaan genting begini, bukan waktu untuk curiga dan mengusut. Yakin jika lelaki itu tidak akan berbuat merugikan disaat alam sedang tidak ramah dan mengancam.Alas tenda dump terasa nyaman dan empuk. Rupanya serupa kasur angin pompa serba guna. Jeta mengakui jika dump ini sangat canggih dan pastinya sungguh mahal. Angin begitu kencang dan menghantam keras banyak kali, tetapi dump ini terus tegak sombong tanpa doyong.Diliriknya pria yang masih terus mencoreti buku dengan pensil. Entah sepenting apa tulisan yang sedang digoresnya. Alam yang sedang mencekam serasa bukanlah ancaman baginya."Sebenarnya kamu ini siapa? Kamu membawaku dengan acak. Aku juga tanpa memiliki dokumen identitas. Semua hilang! Darimana tahu nama panjangku?"Jeta kembali menuntut ingin tahu setelah tubuhnya terasa hangat dan tenang kembali. Mengakui jika pil kecil tadi mampu berkolaborasi apik dengan para belatung itu dalam lambung.Kini merasa sungguh nyaman tanpa mual dan pusing meski gelungan rambut di kepala masih basah. Kerudung instan ringan di kepalanya telah tersambar oleh angin gunung yang ugal-ugalan berhembus saat turun."Setelah tidur, akan kubilang padamu Sandra Jelita." Lelaki itu tiba-tiba menyahut dingin dengan tatapan tajam menghunjam. Sengaja menyebut lagi nama lengkap Jeta."Jadi, kamu adalah tim penyelamat palsu?" Sambar Jeta mencecar. Kecurigaannya kian menebal."Apa aku kurang terampil membawamu? Jadi kamu bilang aku anggota penyelamat palsu?" Lelaki itu menatap kian tajam. Namun, paras garangnya terlihat kian tampan."Katakan saja sekarang, siapa kamu? Dari tim penyelamat negara mana?" Jeta benar-benar ingin tahu. Rasa raga yang sudah nyaman, justru membuat sedikit kembali kesal. Lelaki itu demikian fasih dengan logat bahasa Indonesia, sama dengan dirinya. Orang mana dia?Jeta mendapat musibah di Kinabalu saat mendaki. Demikian cepat diselamatkan oleh lelaki ini. Seharusnya regu penyelamat yang siaga adalah tim dari Kinabalu di Bumi Malaysia. Tetapi lelaki yang membawanya dan mengaku tim penyelamat ini seperti orang Indonesia."Tidurlah. Kamu perlu tenaga besar untuk lanjut turun gunung. Atau kamu ingin pil tidur?" tanya lelaki itu dingin.Itu adalah ancaman, Jeta tidak lagi menawar. Kebribadian lelaki itu sama sekali bukan negosiasi yang tidak suka bantahan dan rayuan. Memilih menahan penasaran daripada tidak akan ada penjelasan sama sekali untuknya.Jeta perlahan pun memejam mata seperti yang diarahkan. Lagipula kedua mata sudah sangat berat akibat rasa lelah dengan isi perut yang penuh.Merasa penuh syukur terlepas dari ancaman kematian. Yang belasan menit lalu tubuhnya serasa lemah, kaku dan beku, alias hampir hipotermia, kini terasa hangat dan nyaman.Jeta ingin segera tidur dan terbangun untuk mendengar pengakuan jujur dari lelaki penyelamatnya. Sebagaimana yang sudah dia janjikan.🙏🍎🙏Jalan terjal dan curam serta lembah ngarai pun sudah dilintasi. Namun, Jeta merasa perjalanan turun yang biasanya lebih cepat, kini terasa sangat jauh dan lambat. Selisih jarak beda jauh dengan jalur saat naik. Bahkan, tidak dijumpai satu orang pun pendaki di sepanjang jalan turun. Lewat mana mereka semua? Apakah lelaki itu telah sengaja membawanya tersesat? Waswas sekali rasanya."Apa kamu juga ingin mandi?" Lelaki itu berjalan sedikit cepat meninggalkannya. Seperti teguran agar Jeta tidak lagi mengikuti.Lalu berhenti dan menurunkan carrier dari punggung. Melepas sweater hangat dengan cepat di bawah sana. Menampakkan punggung cerahnya yang sempurna terpahat. Jeta tercekat, tergesa memalingkan wajah dan pandangan agar tidak melihat.Rupanya ada sumber air di sana. Jadi lelaki itu sudah sangat hapal medan di Kinabalu. Kini terdengar riuh kecipukan, mungkin dia sedang berenang di kolam sumber air. Meski ingin tahu, Jeta sama sekali tidak berani mendekat. Memilih terus duduk dan menikm
Jeta dibawa menjelajah dan melintasi sepanjang Taman Nasional Kinabalu yang menakjubkan. Tidak terhitung lagi ragam hayati dan hewani yang mereka jumpai di sepanjang petualangan.Terbaca board petunjuk bahwa jalan turun yang sedang mereka lalui adalah jalur daki Kiau View yang indah. Rasanya tidak ingin pergi hanya untuk terus mengagumi isi taman yang sungguh fantastis dan beragam."Apa kita tidak akan tersesat?" Jeta mulai khawatir lagi saat dibawa pada jalan yang acak. Sangat banyak jalan setapak yang bercabang dari jalur Kiau View dan lelaki itu memilih salah satu."Tidak akan. Semua jalan kecil ini akan terhubung pada jalan aspal di luar Taman Kinabalu. Kamu akan disambut rambu-rambu saat menghabiskan jalan setapak. Semua jalan aspal juga akan menuju di satu pos jaga saja," terang lelaki itu dengan gamblang.Jeta melirik. Kian penasaran dengan lelaki tenang dan sudah memberi ancaman serius. Yang sebenarnya, lelaki banyak wawasan dan pengalaman di alam itu cukup menakjubkan."Istir
"Tidak. Ini saja, Kak. Sungguh," tolak Jeta setelah menentukan satu pilihan dengan cepat. Sepasang baju modis dengan kerudung dan satu set baju dalam pun telah dikemaskan. Meski butik itu kecil, pegawainya sangat cekatan."Baiklah. Terima kasih. Semua ini akan dilunasi oleh Mr. Batam sebentar lagi," jelas wanita itu sambil mengulur paper bag berisi baju yang Jeta ingin.Si gadis beorpamitan setelah mendapat pencerahan jika Mr. Batam adalah pengunjung tetap di penginapan yang datang dari Pulau Batam. Lelaki itu tidak pernah menyebut nama sesungguhnya dan hanya mengatakan dari mana asal datangnya.Baju sopan yang dipilih tanpa tahu berapa berbandrol, sebab wanita itu juga tidak mau menyebut, tersemat pas menutup tubuh Jeta yang berlekuk indah dan sempurna. Memandang lama diri di cermin, membuat bersyukur dengan satu kelebihan yang sudah Tuhan bekalkan sejak lahir. Merasa hanya perlu merawat dan menjaga sebaik mungkin. Tanpa perlu tambah permak atau memoles yang berlebihan. Apalagi denga
Jeta berusaha menepis tangan besar tetapi halus yang menangkup lengan tangannya. Sama sekali tidak melonggar yang justru terasa kian menarik. Seperti medan magnet dengan dua kutub beradu yang kuat. Atau justru Jeta yang sekadar setengah hati saja berontak?Resah sendiri andai luluh dan tak mampu menolak. Teringat dirinya yang tak kuasa marah saat lelaki terhormat itu mencium dengan lembut tiba-tiba. Saat merayakan ulang tahunnya di puncak sesaat sebelum musibah. Membuat Jeta merasa tercengang sekaligus melayang. Kini panik andai hal itu kembali terulang."Nona Jeta!" Suara panggilan lelaki dari belakang menahan Azrul dari menutup pintu. "Siapa?!" Azrul bertanya lirih dengan nada menghardik di sela riuh hujan. Tidak mengenali lelaki itu, bukan juga orang-orangnya dari Jawa. "Maaf, saya ingin menjemput Nona Jeta. Ini sudah saatnya meninggalkan negeri Sabah." Lelaki itu menjawab dengan khidmat dan tegas."Oh, iya, aku mengerti!" Jeta berseru menyela. Memanfaatkan peluang di depan mata.
Mobil telah sampai di sebuah rumah minimalis modern berpagar besi. Terang benderang yang menandakan bahwa penghuninya masih siaga. "Masuklah sendiri ke rumah itu," ucap Mr. Batam tanpa menoleh pada Zeta. Terlalu sibuk pada iphone canggih di tangannya. Dia telah dijemput lagi sang sopir dan kini kembali bergabung setelah sempat menghilang. Entah dari mana, Jeta enggan mencari tahu. "Ini rumah siapa?" Jeta tidak beranjak. Merasa enggan jika rumah itu kosong dan harus kesepian lagi di tempat asing. Perjalanan panjang setelah dari Kinabalu dan meninggalkan negeri Sabah, ternyata tidak sampai di tujuan begitu saja. Akan tetapi masih jauh dan lama yang beberapa kali Jeta berpindah penginapan di kepulauan Riau. Hampir tiga hari di perjalanan tanpa tujuan. Lelaki itu selalu pergi lama sendiri yang datang-datang langsung mengajak pergi untuk berpindah hotel dan kota. Apakah dia mafia?"Kamu lihat saja itu rumah siapa," ucapnya lagi dengan masih tanpa mengangkat wajah."Aku ikut denganmu s
Mama Fani telah membawa berbelanja keperluan pribadi anak perempuannya di Nagoya Mall, Batam. Terletak di Kota Nagoya yang merupakan pusat peradaban di Batam alias ibu kota dari pulau strategis internasional tersebut.Mama Fani tinggal di Batam sudah hampir satu tahun. Tidak ada seorang pun yang paham apa alasan utama kepergiannya ke Batam di usia yang menjelang setengah baya. Termasuk Jeta sendiri dan dua saudari kembarnya.Wanita itu meninggalkan kampung halaman setelah kedua putri kembar miliknya yang bernama Rara dan Riri menikah. Mama Fani sudah berstatus janda ditinggal mati sejak lama. Tidak pernah menikah lagi hingga kini. Hampir setahun belakangan, wanita itu tinggal di Batam dan belum pernah kembali ke Jawa. Bahkan saat kedua putri kembarnya sebentar lagi melahirkan. Juga meninggalakan Sandra Jelita, bungsu yang masih duduk di bangku mahasiswa, kala mulai memasuki semester akhir di kuliahnya. Hingga kini lulus gemilang sebagai sarjana kedokteran. Yang rencananya akan mengam
Si lelaki penawan hanya menatap tajam seperti biasa dari duduknya. Tidak ada lambaian tangan atau ajakan untuk singgah di meja mereka. Jeta coba tidak peduli dan membuang pandangan hanya kepada Mama Fani."Ternyata kamu pun makan malam di sini, Jeta?!" Mama Fani berdiri menyambut Jeta yang perlahan mendekat. "Mama juga di sini?" Jeta menyahut dengan raut sangat bingung. "Iya, Mama di sini. Jeta akan makan di mana? Andai Jeta bisa gabung …," ucap Mama Fani menggantung. Fani melirik pada lelaki tampan yang menatap tajam sedari tadi. Merasa segan, tahu diri jika lelaki itu tidak suka sejak awal mula kedatangannya. Tetapi lelaki itu juga yang katanya mengundang Fani melalui papanya. Ingin mengenalkan calon istri."Fani, apa ini anak perempuanmu yang baru lulus sarjana itu? Kamu tidak bilang padaku akan kedatangannya ke Batam?" Pria setengah baya yang duduk di sebelah lelaki tampan itu tampak heran dan terkejut. Menatap Jeta dengan hangat dan senyum."Oh, iya. Benar sekali, Mas. Dialah
Setelah kedua pasang mata saling berperang pandang, Faqih Rushqi tiba-tiba berdiri. Menyambar ponselnya dari meja. Lalu bergeser keluar dari kursi. "Permisi Nyonya Fani. Aku izin membawa Jeta sebentar ke lantai satu. Ada hal privasi yang ingin kubicarakan padanya."Faqih Rushqi berbicara menyela sambil memandang Mama Fani sekilas. Lalu mengalihkan tatapannya pada Jeta."Ayo calon istri, kita berbicara intim sejenak di lantai satu," ucap lelaki itu lembut namun tegas. Jeta tahu jika kelembutan bicaranya sekadar pura-pura. Risih sekali rasanya."Aku ingin tetap duduk di sini," ucap Jeta menolak. Sangat enggan berdua saja dengan lelaki itu, seperti sebuah trauma baginya. Juga merasa enggan andai membicarakan hal pernikahan di bawah ancaman."Baiklah, aku akan turun sendiri. Ada sesuatu yang harus aku share dan kerjakan di beberapa media sosial dan publik. Pasti akan lebih leluasa kulakukan jika tidak denganmu." Faqih berbicara datar tanpa nada. Namun, sembari menatap tajam pada Jeta.Le