Jeta dibawa menjelajah dan melintasi sepanjang Taman Nasional Kinabalu yang menakjubkan. Tidak terhitung lagi ragam hayati dan hewani yang mereka jumpai di sepanjang petualangan.
Terbaca board petunjuk bahwa jalan turun yang sedang mereka lalui adalah jalur daki Kiau View yang indah. Rasanya tidak ingin pergi hanya untuk terus mengagumi isi taman yang sungguh fantastis dan beragam."Apa kita tidak akan tersesat?" Jeta mulai khawatir lagi saat dibawa pada jalan yang acak. Sangat banyak jalan setapak yang bercabang dari jalur Kiau View dan lelaki itu memilih salah satu."Tidak akan. Semua jalan kecil ini akan terhubung pada jalan aspal di luar Taman Kinabalu. Kamu akan disambut rambu-rambu saat menghabiskan jalan setapak. Semua jalan aspal juga akan menuju di satu pos jaga saja," terang lelaki itu dengan gamblang.Jeta melirik. Kian penasaran dengan lelaki tenang dan sudah memberi ancaman serius. Yang sebenarnya, lelaki banyak wawasan dan pengalaman di alam itu cukup menakjubkan."Istirahat dulu!" Lelaki melirik Jeta yang terlihat sudah payah. Wajah cantik itu kemerahan diterpa sinar jingga saat senja. Keringat mengalir deras dari segala penjuru wajah dan kepala."Makan ini sementara," ucap lelaki sambil mengulur batang coklat yang masih tersegel. Jeta terbelalak sambil menyambar."Kamu … kamu pun ada makanan enak begini … tapi, ah … Kamu kedekut (pelit) sekali jadi lelaki, hah!" Jeta merutuk sebab teramat kesal. Pengalaman miris memakan ulat-ulat kaku dalam mangkuk tidak akan lupa dari kepala sepanjang waktu."Kamu itu naik gunung. Bukan bersantai ria dengan hanya makan coklat. Jadikan survive-mu ini sebagai pengalaman emas yang belum tentu bisa kamu lakukan lagi hari esok," respon lelaki itu dengan santai. Mulutnya juga sudah mengulum dan mengunyah coklat milik sendiri.Jeta tidak menyahut. Kembali bersikap layaknya seorang pendaki sejati yang tangguh dan manis. Ulasan si lelaki memang benar. Kini coklat enak mulai dikulum dalam mulut."Setelah ini akan sampai di keramaian. Jangan coba berulah dan lari. Kamu tidak memiliki apa pun, bukan? Sementara tidak akan ada yang mencarimu hingga dua hari ke depan. Kecuali keluargamu sangat peduli denganmu. Tetapi kurasa tidak mungkin, keluargamu sibuk," ucap si lelaki. Telah mengangkat ransel kembali di punggung. Batang coklat masih berada di tangannya."Lalu aku harus bagaimana?" Jeta memandang bingung. Merasa heran dengan kepahaman lelaki itu mengenai seluk beluk keluarganya."Sudah kubilang, ikuti saja dan jangan lari dariku," ucap lelaki itu dingin. Telah berjalan lagi menyusuri setapak jalur aspal. Perjalanan menuruni Gunung Kinabalu sebentar lagi berakhir.👣"Sudah?" Lelaki itu berdiri di belakangnya, bertanya dengan nada tidak sabar."Dia sudah turun … dia tidak ada menungguku …." Jeta bergumam sembari mundur menepi. Matanya tidak tahan lagi dan berair."Bergeser ke sebelah sana. Barangkali nama yang kamu cari juga ada keterangan di papan," ucap lelaki itu sambil berjalan mendahului.Begitu banyak antrian untuk melihat papan update dari korban pendakian di puncak Kinabalu akibat musibah longsor dan angin. Bersyukur sekali, belum ada laporan jatuh korban jiwa. Hanya beberapa korban luka dan hipotermia sudah dilarikan ke bangsal perawatan Kinabalu."Dia terluka ringan, seharusnya dia menungguku hingga aku terlihat turun dan selamat …," ucap Jeta sambil termangu-mangu memandangi data dengan tajuk korban luka ringan dan sudah dijemput keluarga. Ada nama Azrul di sana. Tetapi nama Zeta belum ada ...."Tapi tidak mengapa, itu lebih baik. Daripada melihatku seperti ini," keluh Jeta lagi dengan lirih."Melihatmu bgaimana?" Lelaki itu bertanya menyambar, dua telinganya ternyata juga tajam."Kepalaku terbuka, satu-satunya kerudung yang kupakai itu dibawa angin," sahut Jeta tampak kikuk. Seperti mengingatkan sendiri tentang aib yang menimpa."Jadi lelaki mesummu tidak pernah melihatmu begini?" Lelaki itu berbicara sambil memandang rambut dan kepala Jeta sekilas. "Aku sering juga tidak menutup kepala. Tapi tidak jika bertemu dengannya," sahut Jeta dengan jujur."Muslimah palsu," celutuk lelaki itu dengan raut sinis dan masam. Mengingat seorang wanita yang sangat tidak dia sukai dan Jeta sudah pasti adalah hasil didikannya."Terserah pendapatmu," sahut Jeta dengan wajah abai yang kesal."Bertambah satu lagi videoku. Kamu sedang tidak berkerudung," ujar lelaki itu lirih. Kini berjalan kembali meninggalkan Jeta yang termangu di depan board update korban."Kapan lagi kamu merekamku?!" Jeta hampir memekik."Saat makan coklat!" Lelaki itu telah melangkah menjauh."Lelaki licik, psikopat!" Jeta mengumpat dengan kaki yang terpaksa berayun mengikuti. Lelaki itu tidak peduli.Kini sedang menerima panggilan selular dari seseorang sambil menghampiri satu taksi. Memberi kode untuk segera masuk dan Jeta pun mengikuti.Taksi berhenti di depan sebuah lobi penginapan yang tidak jauh dari kaki Kinabalu. Tampak asri dan alami dengan kolam ikan mengalir memutari penginapan. Entah ikan jenis apa yang bisa hidup di air super dingin gunung Kinabalu, Jeta tidak tahu."Cepat, Jeta!" Lelaki yang telah berjalan cepat sedikit berbalik badan demi berseru menegur pada Jeta.Gadis itu seperti tersangkut di mata dan kaki sebab terpesona dengan indahnya taman penginapan. Sebelas dua belas dengan versi mini di Taman Nasional Kinabalu."Ini punyamu," tegur lelaki itu pada Jeta. Mengulur sebuah kartu kunci di depan deretan pintu kamar."Itu kamarmu," lelaki itu menunjuk ke pintu kamar di sebelah. Bermakna kamar di depan mereka adalah miliknya. Kedua pintu kamar mereka tepat bersebelahan."Terima kasih," sahut Jeta tanpa sadar. Lelaki itu tanpa sahutan kata telah lenyap di balik pintu kamar.Jeta menghembus nafas panjang. Baru kali ini terbit senyum di wajah cantiknya. Merasa sungguh lega tiba-tiba. Telah mendapat privasi dengan kamar yang akan dimiliki sendiri. Raga yang kehabisan daya saat berjuang keras menuruni Kinabalu, serasa akan impas dengan istirahat nyaman seorang diri di ranjang.Tok Tok Tok"Ada apa?" Jeta memegangi pintu dengan wajah masam. Niat merebah badan setelah mandi puas ditahankan sebab ketukan memberondong."Ikutlah aku sebentar," sorot tajam mata lelaki itu bagai gendam. Jeta mengekor begitu saja tanpa sempat menyahut dan mengangguk. Bahkan pintu kamar hampir lupa ditutup. Meski tidak memiliki apa pun di dalam, akan tampak konyol jika membiarkan pintu terbuka lebar saat ditinggal."Kenapa ke sini?" Jeta heran saat diminta masuk ke dalam ruangan yang penuh baju, bisa jadi butik pribadi milik penginapan."Masuklah. Wanita itu akan memberimu pilihan baju yang sesuai. Jangan lupa ambil kerudung untuk menutup kepalamu.""Jangan ke mana-mana. Kita akan makan setelah aku kembali." Lelaki memberi pesan.Jeta mengerti maksudnya saat si lelaki menunjuk seorang wanita dengan dagu berjambang tipisnya yang menawan."Mari, Nona. Ada banyak baju wanita koleksi terbaru yang sepaket juga dengan kerudung. Silahkan cuba ikuti saya untuk memilihnya," ucap wanita dalam butik dengan logat Melayu yang hangat.Jeta merasa ambigu dan menoleh ke samping. Namun, lelaki itu telah lenyap di ujung lorong penginapan. Meninggalkan Jeta yang lagi-lagi tidak menyahut atau mengangguk. Hanya termangu dengan arahan mendadak dari lelaki yang sama sekali tidak dia sangka dan harapkan.🙏🍎🙏"Tidak. Ini saja, Kak. Sungguh," tolak Jeta setelah menentukan satu pilihan dengan cepat. Sepasang baju modis dengan kerudung dan satu set baju dalam pun telah dikemaskan. Meski butik itu kecil, pegawainya sangat cekatan."Baiklah. Terima kasih. Semua ini akan dilunasi oleh Mr. Batam sebentar lagi," jelas wanita itu sambil mengulur paper bag berisi baju yang Jeta ingin.Si gadis beorpamitan setelah mendapat pencerahan jika Mr. Batam adalah pengunjung tetap di penginapan yang datang dari Pulau Batam. Lelaki itu tidak pernah menyebut nama sesungguhnya dan hanya mengatakan dari mana asal datangnya.Baju sopan yang dipilih tanpa tahu berapa berbandrol, sebab wanita itu juga tidak mau menyebut, tersemat pas menutup tubuh Jeta yang berlekuk indah dan sempurna. Memandang lama diri di cermin, membuat bersyukur dengan satu kelebihan yang sudah Tuhan bekalkan sejak lahir. Merasa hanya perlu merawat dan menjaga sebaik mungkin. Tanpa perlu tambah permak atau memoles yang berlebihan. Apalagi denga
Jeta berusaha menepis tangan besar tetapi halus yang menangkup lengan tangannya. Sama sekali tidak melonggar yang justru terasa kian menarik. Seperti medan magnet dengan dua kutub beradu yang kuat. Atau justru Jeta yang sekadar setengah hati saja berontak?Resah sendiri andai luluh dan tak mampu menolak. Teringat dirinya yang tak kuasa marah saat lelaki terhormat itu mencium dengan lembut tiba-tiba. Saat merayakan ulang tahunnya di puncak sesaat sebelum musibah. Membuat Jeta merasa tercengang sekaligus melayang. Kini panik andai hal itu kembali terulang."Nona Jeta!" Suara panggilan lelaki dari belakang menahan Azrul dari menutup pintu. "Siapa?!" Azrul bertanya lirih dengan nada menghardik di sela riuh hujan. Tidak mengenali lelaki itu, bukan juga orang-orangnya dari Jawa. "Maaf, saya ingin menjemput Nona Jeta. Ini sudah saatnya meninggalkan negeri Sabah." Lelaki itu menjawab dengan khidmat dan tegas."Oh, iya, aku mengerti!" Jeta berseru menyela. Memanfaatkan peluang di depan mata.
Mobil telah sampai di sebuah rumah minimalis modern berpagar besi. Terang benderang yang menandakan bahwa penghuninya masih siaga. "Masuklah sendiri ke rumah itu," ucap Mr. Batam tanpa menoleh pada Zeta. Terlalu sibuk pada iphone canggih di tangannya. Dia telah dijemput lagi sang sopir dan kini kembali bergabung setelah sempat menghilang. Entah dari mana, Jeta enggan mencari tahu. "Ini rumah siapa?" Jeta tidak beranjak. Merasa enggan jika rumah itu kosong dan harus kesepian lagi di tempat asing. Perjalanan panjang setelah dari Kinabalu dan meninggalkan negeri Sabah, ternyata tidak sampai di tujuan begitu saja. Akan tetapi masih jauh dan lama yang beberapa kali Jeta berpindah penginapan di kepulauan Riau. Hampir tiga hari di perjalanan tanpa tujuan. Lelaki itu selalu pergi lama sendiri yang datang-datang langsung mengajak pergi untuk berpindah hotel dan kota. Apakah dia mafia?"Kamu lihat saja itu rumah siapa," ucapnya lagi dengan masih tanpa mengangkat wajah."Aku ikut denganmu s
Mama Fani telah membawa berbelanja keperluan pribadi anak perempuannya di Nagoya Mall, Batam. Terletak di Kota Nagoya yang merupakan pusat peradaban di Batam alias ibu kota dari pulau strategis internasional tersebut.Mama Fani tinggal di Batam sudah hampir satu tahun. Tidak ada seorang pun yang paham apa alasan utama kepergiannya ke Batam di usia yang menjelang setengah baya. Termasuk Jeta sendiri dan dua saudari kembarnya.Wanita itu meninggalkan kampung halaman setelah kedua putri kembar miliknya yang bernama Rara dan Riri menikah. Mama Fani sudah berstatus janda ditinggal mati sejak lama. Tidak pernah menikah lagi hingga kini. Hampir setahun belakangan, wanita itu tinggal di Batam dan belum pernah kembali ke Jawa. Bahkan saat kedua putri kembarnya sebentar lagi melahirkan. Juga meninggalakan Sandra Jelita, bungsu yang masih duduk di bangku mahasiswa, kala mulai memasuki semester akhir di kuliahnya. Hingga kini lulus gemilang sebagai sarjana kedokteran. Yang rencananya akan mengam
Si lelaki penawan hanya menatap tajam seperti biasa dari duduknya. Tidak ada lambaian tangan atau ajakan untuk singgah di meja mereka. Jeta coba tidak peduli dan membuang pandangan hanya kepada Mama Fani."Ternyata kamu pun makan malam di sini, Jeta?!" Mama Fani berdiri menyambut Jeta yang perlahan mendekat. "Mama juga di sini?" Jeta menyahut dengan raut sangat bingung. "Iya, Mama di sini. Jeta akan makan di mana? Andai Jeta bisa gabung …," ucap Mama Fani menggantung. Fani melirik pada lelaki tampan yang menatap tajam sedari tadi. Merasa segan, tahu diri jika lelaki itu tidak suka sejak awal mula kedatangannya. Tetapi lelaki itu juga yang katanya mengundang Fani melalui papanya. Ingin mengenalkan calon istri."Fani, apa ini anak perempuanmu yang baru lulus sarjana itu? Kamu tidak bilang padaku akan kedatangannya ke Batam?" Pria setengah baya yang duduk di sebelah lelaki tampan itu tampak heran dan terkejut. Menatap Jeta dengan hangat dan senyum."Oh, iya. Benar sekali, Mas. Dialah
Setelah kedua pasang mata saling berperang pandang, Faqih Rushqi tiba-tiba berdiri. Menyambar ponselnya dari meja. Lalu bergeser keluar dari kursi. "Permisi Nyonya Fani. Aku izin membawa Jeta sebentar ke lantai satu. Ada hal privasi yang ingin kubicarakan padanya."Faqih Rushqi berbicara menyela sambil memandang Mama Fani sekilas. Lalu mengalihkan tatapannya pada Jeta."Ayo calon istri, kita berbicara intim sejenak di lantai satu," ucap lelaki itu lembut namun tegas. Jeta tahu jika kelembutan bicaranya sekadar pura-pura. Risih sekali rasanya."Aku ingin tetap duduk di sini," ucap Jeta menolak. Sangat enggan berdua saja dengan lelaki itu, seperti sebuah trauma baginya. Juga merasa enggan andai membicarakan hal pernikahan di bawah ancaman."Baiklah, aku akan turun sendiri. Ada sesuatu yang harus aku share dan kerjakan di beberapa media sosial dan publik. Pasti akan lebih leluasa kulakukan jika tidak denganmu." Faqih berbicara datar tanpa nada. Namun, sembari menatap tajam pada Jeta.Le
Faqih kembali meminta Jeta untuk bekerja sama mengeksekusi makanan yang dipesan. Namun, Jeta masih terus enggan dan tidak memajukan punggung dari menyandar rapat di kursi. "Ini adalah pertama kali kamu makan di meja yang layak bersama denganku. Apakah saat makan denganku di Kinabalu dalam dump itu yang ingin kamu simpan dalam ingatan sepanjang masa?" Faqih berkata datar yang diakhiri dengan pertanyaan memuakkan bagi Jeta."Ucapanmu membuatku kembali merasa mual dan ingin muntah," ketus Jeta dengan bergidik. Ingat ulat sagu yang di ingatannya adalah belatung kaku di mangkuk hasil pemberian lelaki itu."Mual dan muntah … itu gejala hamil, kan? Apa berciuman di gunung dengan kekasihmu telah membuatmu bunting? Hebat sekali dia, apa sebelum mencium, dia pun berdoa dulu?" Faqih berbicara dengan nada sinis dan senyum masam yang menyindir."Jangan mencemooh, kamu tidak punya hak mencelanya di depanku!" Jeta berkata sengit. Rasanya geram dipermainkan secara teori oleh lelaki asing dan sejahat
Rasanya sungguh lega, rumah Mama Fani mulai terlihat di kejauhan. Meski perlu jalan memutar untuk menjangkau pagar rumah dengan mudah. Tapi itu bukan masalah, sopir Ilyas begitu sigap melakukannya. Lelaki muda itu sudah menghapal baik denah jalan perumahan."Bawalah, ini milikmu," ucap Faqih. Kini duduk tegak saat Ilyas sudah parkir di depan pagar."Apa ini?" Jeta heran dan tidak mengambil paper bag yang diulur Faqih padanya."Bajumu yang di carrierku. Tadinya akan kubuang, tapi ingat jika kamu adalah pendatang, pasti bagaimana pun juga kekurangan," ucap Faqih. Diletaknya paper bag di sela duduk mereka."Tau pun, tumben agak baik dan cerdas," sahut Jeta sambil menyambar paper bag tadi tanpa segan. Sebagai pendatang baru, dirinya memang kekurangan stok baju. "Aku memang selalu baik dan cerdas. Lambat laun kamu akan mengerti sendiri. Jeta ... jangan coba lari. Aktifkan selalu ponselmu," pesan Faqih saat Jeta telah keluar dan akan menutup pintu. Si gadis hanya melengos tanpa mengiyakan