Keyra memang hanya seorang pekerja malam yang menjajakan raga demi kebutuhan. Namun, dia membuktikan bahwa kupu-kupu malam sekalipun masih berhak merasakan manisnya cinta dan dekapan tulus. Tentang perjuangan mendapatkan pengakuan, tentang kemanusiaan yang masih menyala tanpa jeda.
view moreIni kisah tentang Key, gadis berparas sempurna yang berakhir dengan menjual dirinya. Kulit putih mulusnya harus dengan rela dijamah banyak pria, bibir tipis kemerahan itu harus dengan menggoda tersenyum kepada calon pelanggan-pelanggan di bar murahan itu. Tidak. Ini bukan tentang rutinitas malam si gadis murahan, ini kisah tentang Key, yang mencari setitik kedamaian, yang merindukan malam-malam penuh ketenangan, hingga sosok mungil yang dia temukan di aantara tumpukan sampah itu mengubah cara dia memandang.
Key masih duduk santai menunggu langganan datang, tadi sudah mendapat pesan singkat dari Mami Yulia kalau ada tamu yang memesannya. Lelah menunggu, Key mengambil sebatang rokok yang tergeletak di meja, menyulutnya santai lalu menikmati setiap detik racun padat itu membunuhnya perlahan.
“Belum datang, Mbak Key?” Johan bertanya sembari meletakkan minuman di depan Key. Bartender baru itu selalu ramah seperti biasanya. Menyapa santun tanpa menggoda, tidak seperti pria-pria kebanyakan di sana.
Key mengangguk, menikmati bising musik yang diputar tanpa kenal waktu. “Mungkin lagi nyari alesan ke istri.”
Johan terkekeh. “Ya sudah, Mbak Key nunggu di sini aja.”
“Mau kemana, Jo?” tanya Key saat melihat Johan hendak meninggalkan meja bar.
Johan tak menjawab, hanya memberi senyum sekilas dan pergi. Key tak ambil pusing, tak penting. Lalu tak lama seorang wanita paruh baya datang menemui Key, aroma parfum menyengat menguar begitu sosok itu tiba di hadapan. Setengah berteriak pada telinga Key, “Cancel, Key. Orangnya kena serangan jantung.”
Keyra mengernyitkan dahi, seolah bertanya pada diri sendiri, “Apa aku tidak salah dengar?”
“Lu boleh pulang, uang mukanya Lu ambil besok di ruangan gue.” Wanita setengah baya itu berteriak, mengimbangi suara bising di bangunan yang penuh dengan aroma bir murahan.
Key kecewa. Itu artinya bayarannya hanya separuh dari perjanjan saja. gadis itu melempar puntung rokok ke jalanan, asal. Mendengkus pelan, menggerutu sepanjang perjalanan menuju pulang. Namun, langkahnya terhenti saat pendengarannya menangkap sebuah suara asing. Jantungnya berdegup cepat, antara takut dan penasaran yang menyergap dalam waktu bersamaan.
Keyra mendekati tumpukan tong sampah di pinggir bangunan tua. Suara itu semakin terdengan jelas dan nyata. Sebuha suara tangis kecil, terisak lelah sepertinya, serak dan hampir kehabisan suara. Tangis bayi. Ya, ini tangis bayi.
Keyra bergesan membongkar tumpukan plastik-plastik hitam. Mengabaikan bau menyengat yang menyergap. Abai pada lelehan air yang menggenang di sekitarnya. Lalu matanya membelalak ketika membuka kardus bekas kemasan mie instan yang tertumpuk di bawah. Bayi itu masih hidup, menangis tanpa henti dengan suara serak yang membuat pilu hati.
Keyra ragu dengan apa yang harus dilakukannya. Namun lihatlah, tangan itu meraih tubuh kecil di dalam kardus, kemudian menimangnya. Membawanya pergi dari sana.
Tangis bayi itu tak reda meski Keyra berusaha keras menenangkannya. Pulang ke rumah kumuh miliknya, Keyra menidurkan sosok itu di busa lepek tempat biasa dia merebahkan tubuh. Kerya benar-benar tak tahu, sejenak menyesali tindakannya yang membawa bayi itu pulang alih-alih membawanya ke kantor polisi terdekat.
“Duh, kamu kok nggak diem-diem, sih? Kamu makan apa biasanya? Atau mau minum teh manis aja?” keyra meraih kembali tubuh bayi itu. Sementara tangisnya makin kencang, makin terdengar menyiksa hati dan pendengaran.
Tiba-tiba pintu rumahnya digedor keras dari luar. Keyra yang masih menggendong bayi kecil itu berlari dan membuka pintu.
“Key, Lu kapan punya bayi? Brojol semalem?” suara Parto, tukang ojek langganan yang juga bertetangga dengannya.
“Gila, Lu, ini bayi dapet nemu tadi di deket markas. Kasihan, makanya gue bawa pulang.” Keyra masih menimang bayi kecil itu.
“Dia laper, tuh, Key, kasih susu atau bubur aja, gih. Nangisnya kedengeran sampai kamar gue. Brisik. Besok kudu narik pagi-pagi.” Parto mengeluh lagi. Lalu meninggalkan Keyra sendiri.
Tidak. Mereka terlalu malas mengurus urusan orang lain, terlebih urusan rumit yang melibatkkan kemanusiaan. Bagi Parto dan kebanyakan penduduk di lingkungan kumuh itu, hidup adalah urusan waktu, bagaimana bergelut dengan detik yang semakin berlalu sembari mengenyangkan perut. Urusan iba, urusan peduli, urusan kemanusiaan, nanti-nanti jika hati mereka terketuk nurani.
Keyra hampir menangis saat mendengar suara tangis bayi itu semakin menghilang. Sedari tadi air matanya tak keluar meski tangisnya terdengar kencang. Keyra buru-buru menuang air ke dalma gelas, lalu menyuapkannya ke mulut si bayi dengan sendok. Bayi itu mengecap, setetas air yang Key suapkan berhasil tertelan. Lagi. Suapan demi suapan Key berikan. Hingga bayi itu tenang.
Keyra lelah. Namun, hatinya belum ingin berhenti peduli. Gadis itu pergi, membawa serta bayi itu dengannya, menggendongnya sedemikian rupa dengan kain jarik peninggalan ibunya. Susah payah mengingat bagaimana dia menggendong bayi boneka sewaktu kecil dulu. Lucu, karena kainnya diikat simpul di pundak, setidaknya bayi itu tidak terjatuh dan terlepas.
Dengan sisa uang yang dia punya, hasil mencari di seluruh rumah, di bawah bantal, di bawah pakaian yang terlipat di lemar, Keyra pergi ke toko di pinggir jalan yang buka dua puluh empat jam. Mencari botol susu, susu formula dan beberapa biskuit bayi.
“Mbak, boleh korting, nggak? Ini bayi saya nemu di sana, noh. Kasian, kalau mbaknya ngasih kortingan,ntar si bayi ngedoa-in yang baek-baek ke mbaknya.” Keyra berseru dengan yakin sembari meletakkan belanjaan di meja kasir.
Kasir itu mengangguk. Bukan menyetujui permintaan Keyra, hanya saja tak mengerti harus menjawab cerocosan gadis itu dengan jawaban apa. Toh, siapa pula yang akan percaya dengan bualan Keyra? Banyak yang lebih sadis menggunakan bayi demi mencari untung, dan bagi gadis kasir itu, Keyra hanya salah satunya.
Keyra mengeluh kesal karena harga yang mahal. Tidak menyesal, hanya tidak terima dengan kegagalannya menawar harga.
Keyra pulang, melanjutkan acara mengurus bayi yang dia temukan. Membuatkan susu formula, kemudian memberikannya kepada bayi itu. Lihatlah, mulut mungilnya lahap menyantap, menyedot susu dari botol kecil itu dengan sisa isakan yang sesekali terdengar.
Keyra bertanya-tanya dalam hati, mengapa dia justru membawanya kemari. Matanya mengawasi gerak lucu si bayi yang masih lahap menikmasi susu pengganti asi, air mata Keyra menetes satu-satu, entah apa yang memasuki matanya. Dia hanya menangis, tanpa tahu alasannya.
Satu hal yang tidak Keyra tahu. Bahwa itulah cinta pada pandangan pertama, cinta yang mengetuk pintu kemanusiaan dalam hatinya, membimbing langkah dan tangannya untuk merawat makhluk kecil tak berdosa yang ditemukannya. Keyra tak tahu, karena baginya, hanya mengikuti bisikan nurani.
Saat sedang asik mengagumi makhluk kecil lucu di gendongannya, Keyra tiba-tiba mematung, menghentikan acara menimang yang sedari tadi dia lakukan. Bukan karena lelah, tiba-tiba saja tangannya terasa basah oleh cairang hangat.
Keyra menatap bayi itu, tersenyum palsu. “Kamu ngompol?”
Lagi. Keyra mengutuk diri karena lupa membeli popok sekali pakai. Tak ada uang tersisa, sementara bayarannya masih tertahan di tangan germo bernama Yulia, Keyra terpaksa menyobek beberapa kaus lama, menjadikannya popok sementara.
Dalam cengkeraman malam dan tangan-tangan lapar itu, Keyra merapalkan doa dalam hatinya. Doa ang sungguh-sungguh terlontar ke langit, menggetarkan angkasa beserta penghuninya.โTuhan, aku mohon selamatkan aku dan anakku. Aku tahu aku tidak pantas meminta, bahkan namaMu tak seharusnya terukir di dalam benak perempuan hina ini, tapi, Tuhan, Aku mohon โฆ sekali ini saja selamatkan aku.โKala itu, Keyra melantunkan doanya penuh pengharapan, kesungguhan dan kepercayaan. Untuk pertama kalinya dalam kehidupan, sepanjang perjalanan kelamya, sepanjang kilas balik seluruh cerita, itu adalah kali pertama Keyra memutuskan percaya pada Tuhan.Dan seperti terjawab, detik-detik sebelum tubuh itu terjaman oleh tangan-tangan penuh noda jalanan, pertolongan datang tanpa peingatan.โHENTIKAAAN!โ teriakan itu disertai serangan barbar oleh kemarahan. Tinjunya melayang, lengannya menangkis pukulan para preman, sesekali terjungkal, namun, dia bangkit dengan berkali lipat kekuatan.Keyra beringsut, berlari ke
Joya meneteskan air mata bahagia. Seperti baru saja menenggak jernih air pelepas dahaga seelah lama mengembara. Perempuan itu menikmati setiap sentuhan Damar, merasakan panas yang menjalar di aliran darah. Indah, namun terasa salah. โMas โฆ,โ bisik Joya. Damar tak mempedulikan bisikan Joya, meneruskan aksinya menjelajahi leher jenjang istri keduanya tanpa jeda. Terus menghadiahi ciuman bertubi-tubi, tanpa henti. Perlahan ritual itu terjadi, erangan tanpa irama itu mengiringi peluh yang menetes dari kedua raga, dibuai nafsu membara. Lelah, Joya terbaring dengan napas terengah, sementara Dama terlelap setelah birahinya usai tersalurkan tadi. Joya tahu bahwa apa yang dilakukan Damar tetap tanpa rasa, hanya sebatas upaya membuang gerah di dada. Joya menangis lirih, untuk pertama kalinya dia besedih tanpa dalih. Perlahan tangisnya menjelma menjadi suara-suara pilu, tangisan penuh kesedihan yang mengganggu tidur Damar. Damar mengucek matanya, melirik Joya yang terguncang tubuhnya dalam
Hari itu, saat mendung menggantung di antara redup senja dan keheningan yang melanda jiwa, Keyra dan Damar duduk berhadap-hadapan. Lebih dari satu jam lamanya kedua insan itu memeluk kesunyian, saling memasung diri dalam bungkam."Key, katakan sesuatu." Damar hampir menangis, setengah berbisik.Keyra mengangkat wajahnya, menatap garis wajah Damar yang semakin dia lupakan. "Maaf, Mas. Aku … aku tidak tahu harus memulai darimana.""Katakan apa saja, Key. Asal jangan menghukum dengan mendiamkanku seperti ini, rasanya tidak nyaman." Damar hendak berdiri dan menghampiri Keyra ke tempat duduknya, namun gerakan Keyra yang serta merta hendak menarik jarak itu membuat Damar mengurungkan niatnya."Mas, gimana kalau kit
Damar baru saja hendak membuka pintu toilet saat handphonenya berdering. Dengan wajah kesal dia menghela napas. Joya."Halo, Joy. Ada apa?" Damar berkata dengan nada yang dibuat ramah. Meskipun sungguh, hatinya teramat penuh dengan kesal."Mas, istirahat pulang, kan? Aku masak loh. Spesial buat kamu. Pulang, ya?" Joya girang bertutur.Damar tak jadi ke kamar mandi. Dia memilih menjauh dari ruangan itu, melangkah kembali menuju ruang kerjanya. Danar yang melihat kedatangan Damar mengernyitkan dahi. Seolah bertanya tentang apa yang terjadi.Damar melambaikan tangan pada adik lelakinya. Memberi isyarat untuk menunda banyak tanya. "Joy, aku banyak kerjaan di sini."
Semua tak akan sama lagi bagi Keyra. Kini, saat lelakinya pulang dan berharap pelukan hangat, Keyra akan berpikir tentang banyak hal yang amat dia sesali. Bahwa tubuh itu semalam habis memeluk perempuan lain. Bahwa aroma tubuh itu telah dihidu oleh perempuan lain. Bahwa kehangatan itu tak lagi mutlak miliknya seorang.Keyra sadar dia telah berbagi. Sepenuh hati mengakui bawa dia turut andil dalam hal ini. Namun, terluka kini merupakan hal yang tak direncanakan olehnya. Dia berikir akan mampu mendamaikakn diri, akan mampu berbagi tanpa tersakiti. Nyatanya, Keyra hanya wanita biasa. Hatinya rapuh.Pagi itu, tepat setelah semalaman menahan kram tangan karena Joya hanya bisa tidur di atas lengannya, Damar pulang. Pulang pada Keyra, sang cinta sejatinya.“Key … Mas pulang, Loh. Kamu nggak mau meluk Masmu ini?” Damar merentangkan tangan. Menatap Keyra yang melamun sendirian di muka pintu. Seperti sedang menunggunya, akan tetapi tak menyadari kehadir
Pernikahan kedua itu akhirnya datang. Sepi saja karena memang demikian harusnya. Tak banyak tamu yang datang.Wangsa sendirian selaku wali dari Joya. Darmawan dan dan Rahayu hanya mengundang beberapa kerabat saja. Sungguh tak banyak.Damar duduk di sisi ranjang, menatap layar handphone yang sedari tadi diam. Jemarinya ragu mengetik Kalimat panjang kemudian mengahpusnya lagi. Hampir saja ponselnya terlempar andai saja Rahayu tak masuk ke dalam kamar."Le, sudah siap. Ayo, semua sudah menunggu di mobil." Rahayu mengelus lembut kepala anaknya.Damar menatap sang ibu. Kemudian mengangguk setuju. Meski ragu akhirnya jalan itu pula yang Damar pijaki. Jalan menuju akad keduanya.
Malam menjelang bak untaian luka bagi dua insan di rumah itu. Damar hanya berani menatap istrinya yang masih menyibukkan diri dengan segala hal.Keyra sendiri berusaha untuk tak berinteraksi dengan sang suami. Bukan marah, dia hanya belum siap menghadapi kesedihan dan luka yang sama. Membayangkan esok pagi suaminya akan mengucapkan janji suci dengan perempuan lain, tentu saja membuatnya begitu menderita.Sementara Danar yang tak tahu menahu duduk perkaranya hanya bisa terheran. Menatap dua polah suami istri yang biasanya mengumbar kemesraan mendadak seperti diselimuti jarak."Oy, kenapa, Bro?" bisik Danar begitu tiba di kursi yang letaknya tepat di sisi kanan Damar.Damar menoleh sesaat, kemudian menatap kembali Keyra yang tengah menyiapkan makan malam."Berantem?" tanya Danar lagi.Damar menggeleng. Masih menujukan pandangan ke tempat yang sama.
Dua malam tanpa Keyra di sisinya, Damar terpaksa menjalani detik menyiksa di sisi Joya. Bukan mendua. Bukan. Sama sekali bukan."Mas, besok kita mau nikah. Kenapa Mas nggak kelihatan bahagia?" Joya yang sedang duduk di sebelah lelaki tampan itu menarik tangan Damar, menggenggamnya erat.Damar berusaha tersenyum sebisanya. Setelah kemarin bersusah-payah meyakinkan Joya untuk melakukan pernikahan sederhana saja, setelah berkeras upaya membuat Joya menerima rencananya untuk menikah di masjid terdekat, tak mungkin merusak mood gadis itu dengan jawaban yang salah."Nggak, kok, aku cuma gugup aja." Damar mengelus pundak Joya. Masih dengan senyuman terpaksa.Joya tersenyum bahagia. Sungguh teramat banyak bunga-bunga
Andai gelap bisa menyamarkan noda, andai pula pekat mampu mengurai hina, mungkin luka di dalam hati dan jiwa Keyra akan sirna seiring bertambahnya masa. Namun, bahkan setelah fakta baru bahwa Danar adalah saudara kandug Damar, luka dan trauma itu masih terasa nyata.“Kamu kemana saja, Dan? Kami kesulitan nyari kamu. Dan, ya, aku nikah tanpa kehadiran adik badungku ini.” damar mengacak-acak rambut gondrong adiknya.Danar yang biasanya banyak bicara hari itu terlihat sebaliknnya. Melirik Keyra beberapa kali dengan tatapan tak terjabarkan. Namun, sungguh sandiwara itu bahkan tak mampu menyembunyikan rasa bersalahnya.Danar tersenyum, setengah dipaksakan. “Iya, maaf, Mar. tahu sendirilah liarnya adikmu ini.”Damar menyerang kelapa adiknya dengan kepalan tangan, tak sampai memukul, hanya sekadar menyampaikan rasa sayang dengan gesekan tinju.“So, jadi dia istri kamu?” Danar menunjuk Keyra yang sudah tenggelam dalam ke
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments