Damar terbangun seperti biasanya. Melakukan olahraga ringan seperti pagi-pagi yang sudah-sudah. Hanya saja pagi itu, ada aroma lain di rumahnya yang megah. Wewangian khas bayi dari dalam kamar sebelah, Damar menyeret langkahnya, perlahan menengok asal harum yang begitu menenangkan jiwa.
Keyra sedang mendandani bayi kecil itu. Bayi Naina tertawa riang, renyah menanggapi gelitikan di perut gembulnya.
Damar mendekat, ikut terkekeh melihat tawa riang Naina. "Namanya siapa?"
Keyra terhenyak, segera menarik kesadaran dan menjawab terbata, "Na-Naina, Mas."
Damar mengangguk. "Nanti kalau mau makan ambil aja apa yang ada di kulkas, aku jarang masak, jadi kebanyakan buah dan makanan langsung jadi."
Keyra mengangguk mengerti.
Damar hendak pergi saat tangannya ditahan oleh Keyra. Perempuan itu mencekal lengan kokoh Damar. Membuat pria itu kembali menoleh ke belakang. Menatap kedua mata Keyra yang berkaca-kaca.
"Astaga, Ibuk kenapa?" Damar beralih memegangi lengan Keyra.
Keyra menggeleng. Air matanya jatuh satu per satu membasahi kedua pipinya. "Aku mau minta maaf, dan ... terima kasih karena sudah menolong kami."
Damar menghela napas. Lega karena air mata perempuan di depannya bukan kesedihan seperti yang semula dia sangka. "Nggak apa-apa, Buk. Anggap saja rumah sendiri. Kalau Ibuk belum bersedia mengatakan apa yang terjadi, nanti-nanti juga nggak apa-apa."
Keyra mendongak, menatap dengan kedua mata bulatnya yang basah. "Mas Damar, boleh minta tolong nggak?"
Damar mengernyitkan dahi. "Ya?"
"Jangan panggil 'Ibuk'. Aku masih dua puluh lima, Loh."
Damar tak mengerti. Kemudian mengalirlah penjelasan singkat tentang kehadiran Naina dalam hidup Keyra. Damar sempat terperangah saat mengetahui bahwa pekerjaan Keyra adalah wanita penghibur. Tak pernah sekalipun terbesit di benaknya akan berhubungan dengan orang yang berprofesi sebagai ... wanita malam.
Damar meremas rambutnya. Merasa begitu bodoh karena lalai. "Shit! Jadi kamu cewek nggak bener? Kalau gitu Naina anak hasil ...."
Keyra bergegas menggeleng. "Naina nggak salah apa-apa, Mas. Seperti yang tadi aku bilang, Naina aku temuin di dekat tempat sampah. Aku nggak tega dan akhirnya bawa Naina pulang. Tapi karena itu juga, Mamy tempat aku kerja nggak bolehin aku kerja lagi di sana."
"Gila gila gila ...."
Keyra mengangguk. "Emang gila tuh Mamy, mana bayaran aku belum dikasih lagi. Makanya kemarin aku terpaksa nyeduh susu Naina pake air hujan"
Keyra menangis lagi mengingat memori tentang tragedi air susu hujan itu. Kembali merasa bersalah pada bayi di dekapannya. Tanpa sadar Keyra meraih pinggang Damar, kemudian meneruskan acara menangisnya bersandarkan perut bidang pria itu.
Damar terpaku. Gemetar tubuhnya mendapati Keyra yang memeluknya tiba-tiba. Tangannya bersiap melepaskan pelukan Keyra, akan tetapi isak tangis perempuan itu semakin terdengar pilu.
"Aku nggak pernah bayangin akan jadi ibu, Mas. Bagiku menikah dan mempunyai seorang anak adalah kemustahilan, perempuan kotor macam aku tidak pantas mendamba rumah tangga yang bahagia. Mas Damar juga berpikir begitu, kan?" Keyra menatap Damar dengan bola mata itu. menghunjam jantung pria yang sekarang berdetak tak menentu.
"Eh ... i-iya, iya." Damar menjawab asal.
Keyra semakin kencang menangis. "Tuh, kan, bahkan Mas Damar aja berpendapat kalau aku nggak pantas berumah tangga."
Damar mengeluh tertahan. Menyadari kebodohannya yang tanpa sengaja mengatakan jawaban salah pada Keyra. "Eh, bukan begitu. Maksudku tadi uh, itu, anu, lepasin dulu bisa nggak? Perutku kram."
Keyra menarik tangannya. Menyeka air matanya kemudian menatap kembali Damar yang kali ini memilih duduk di sebelah Naina. "Mas Damar aneh, kebanyakan pria rela ngeluarin uang buat nyentuh aku, tapi Mas Damar malah nggak mau dipeluk."
Damar masih canggung. Heran juga mengapa perempuan ini begitu terbuka, blak-blakan dan menceritakan hal-hal vulgar seolah tanpa beban. "Eh, nggak apa-apa. Mbak Keyra dibikin nyaman aja dulu, aku harus kerja."
Keyra menganggukkan kepala. Perempuan itu kemudian mengambil Naina dan menggendongnya. Setelah membuatkan susu dan menidurkan Naina, Keyra beralih ke dapur, berniat membuat sarapan. Sayang sekali Damar sudah berangkat ke kantor, tak sempat mencicipi nasi goreng spesial buatannya.
Keyra benar-benar menganggap rumah besar itu seperti rumahnya sendiri, bersih-bersih dan membereskan rumah tanpa diminta, tanpa persetujuan si pemiliknya. Saat sedang membersihkan rumah itulah, Keyra mendapati sebuah ruangan kosong dan gelap, tidak ada apapun di dalam sana, kecuali sebuah lukisan besar tergeletak di sudut ruangan. Sebuah gambar indah, perempuan berambut panjang yang dilukis tanpa sehelai benang pun.
***
Damar pulang sebelum jam sembilan malam. Keyra sudah menunggunya di ruang tamu. Sembari menggendong Naina yang terlelap di pangkuan.
"Loh, Mbak Keyra belum tidur?" Damar meletakkan belanjaan. Ada popok sekali pakai, susu yang Naina konsumsi, juga beberapa bahan makanan. Damar berusaha melayani tamunya dengan baik.
"Hoaaaaaheeem ..." Keyra berjalan mendekati Damar, sembari mengguncang pelan Naina yang terbangun sesaat. "Belum, Mas. Nungguin Mas Damar pulang. Tadi saya masak, Mas Damar belum makan, kan?"
Damar mengernyitkan dahi. Sebenarnya tadi sudah makan di kantor, akan tetapi demi menatap sorot mata yang begitu mengharap, Damar menggeleng pelan. "Iya, tadi belum makan. Makasih Mbak Key."
"Panggil Key aja, Mas. Biar nyaman. Siapa tahu keterusan," canda Keyra di sela menimang Naina.
Damar menanggapinya dengan tawa. Meski sebenarnya merinding membayangkan pelukan Keyra tadi pagi. Sungguh, ada luka lain yang tersembunyi di balik tubuh kuatnya. Ada masa lalu kelam yang dia harap akan selamanya tersimpan rapat.
Keyra meletakkan Naina di kamar, kemudian beralih ke ruang makan menyiapkan makan malam untuk Damar. Benar saja, Keyra memasak. Namun, Damar dibuat tertegun, menu makanan Keyra serba telur. Telur mata sapi, telur dadar, dan bacem telur.
Damar menggaruk kepalanya. 'Bisa bisulan ini.'
Keyra nyengir menatap wajah Damar yang memindai menu di atas meja. "Hehehe, maaf ya, Mas. Soalnya di kulkas cuma tahu telur aja, yang di kaleng itu nggak tahu masaknya gimana."
Damar mengangguk paham. Meski sebenarnya heran, bukankah seharusnya bisa membaca kemasan? Ada banyak jenis olahan instan yang hanya tinggal dipanaskan berupa rendang, cumi sambal, dan sei sapi. Namun, Damar memilih diam, hikmat menyantap aneka olahan telur yang terhidang. Mungkin Keyra adalah tipe pembaca yang buruk.
Keyra duduk di sebelah Damar, menatap lelaki yang sedang makan itu dengan mata berbinar. Damar yang merasa sedang diperhatikan menjadi kikuk.
"Kenapa, Mbak? Ada yang salah, ya?" Damar bertanya hati-hati.
Keyra menggeleng yakin. Sambil tersenyum perempuan itu berkata pasti, "Mas Damar, boleh kok make saya semaunya."
Makanan di mulut Damar tersembur keluar. Tepat mengenai wajah Keyra yang menanti jawaban. Duhai, detak jantung tak berirama itu kembali datang.
Damar menata hati. Sekuat tenaga mengontrol emosi yang tak terkendali. Sementara Keyra sibuk menyeka wajahnya, membersihkan air yang disemburkan Damar ke muka cantiknya.“Mas Damar apa-apaan, sih? Basah, kan, jadinya,” sungut Keyra dengan nada manja, yang jika didengar oleh lelaki normla pada umumnya akan menimbulkan gejolak liar pembangkit harap biologisnya. Namun, ini Damar. Pria dengan masa lalu menyakitkan dan membenci perasaan itu datang.“Ma-maaf, Key. Abisnya kamu ngomong ngawur gitu.” Damar tak kalah kesal sebenarnya, hanya saja dia bisa mengontrol intonasi bicaranya.Keyra menghela napas. “Mas, aku nggak mungkin, kan, nyusahin kamu terus-terusan? Aku juga pengin bales kebaikan kamu.” Entah sejak kapan pembicaraan mereka senyaman itu.Damar meremas rambutnya cemas. “Tapi nggak harus gini juga, Key. Kamu nggak mikirin Naina?”
Damar mematung menatap lukisan di dinding ruangannya. Jera. Luka lama itu masih saja menyakitkan bahkan hanya dengan meatap lukisan tanpa nyawa yang tergantung di dinding ruangannya. Lukisan yang menjadi hadiah perpisahan dengan wanita tercintanya.Siang itu, Damar hendak menemui kekasihnya, mengejutkannya dengan kedatangan yang tiba-tiba. Lelaki itu menyempatkan membeli seikat mawar merah untuk kekasihnya. Kemudian berjalan penuh debar cinta menuju apartemen. Damar terlalu bahagia, membuka pintu yang juga dia tahu kombiasi angka pembukanya. Lalu, betapa remuk hatinya saat mendapati sang kekasih sedang ditindih penuh hasrat oleh seorang pria. Mereka sempurna tanpa busana, mengkilap keringat di tubuh mereka, sama-sama menikmati bahasa cinta yang membara.“Joy?” Damar menjatuhkan bunga di tangan. Lama mematung memindai pemandangan penuh luka di depan mata.Aktivitas Joy dan pria lain itu terhenti. Keduanya sibuk memunguti pakaian masing-masing. Kemudia
Part 7Damar mondar-mandir di sebuah toko pakaian. Setelah yakin membeli beberapa pakaian dia memutuskan untuk segera pulang. Beberapa potong pakaian harian sengaja dia belikan untuk Keyra, karena seingat Damar Keyra hanya mengenakan dua pakaian bergantian. Senyum semringah seketika terpancar di wajah Damar saat membayangkan tanggapan Keyra atas hadiahnya. Lelaki itu pun tak sabar berjalan ke kasir dan membayar belanjaannya.Namun, baru saja Damar hendak berbalik, dia dikejutkan dengan sosok yang mengante tepat setelahnya. Kedua mata mereka beradu, seolah saling membahasakan rindu. Damar terpaku, pun dengan sosok itu. Mereka terdiam beberapa saat sebelum akhirnya kasir meminta mereka untuk menepi karena mengganggu pelanggan lain yang mengantre.Duduk di bangku Kafe bernuansa modern, Damar memesan latte tanpa gula, seperti hendak menyamakan dengan nasibnya yang terasa pahit begitu berjumpa dengan sosok di hadapannya. Joya.“Apa kabar, M
“Mas, tumben pulang awal?” Keyra menghampiri Damar yang duduk di sofa panjang ruang tamu. Naina sudah terlelap setelah Keyra membuatkan susu dan menimangnya beberapa saat yang lalu.“Iya, Key. Naina udah tidur?”Keyra mengangguk. Duduk di sebelah Damar yang menatap layar ponselnya.Hening.Ruang tamu rumah Damar terasa kian sunyi. Bahkan keduanya seolah bisa mendengar detak jantung masing-masing. Bagi Keyra yang biasa menjajakan raganya, berhadapan dengan pria seperti saat ini harusnya bukan hal baru. Namun, sungguh, lihatlah wajah pucat perempuan itu, terpancar jelas gugup dan risau datang menyergap bersamaan, tergambar jelas bagaimana jiwa mudanya meronta mendamba cinta."Mas …." Keyra mendekat, jarak mereka kini tak bersekat.Damar bukannya tak ingin, Damar bukannya tak suka. Pria itu susah-payah menahan gejolak kelelakiannya yang pun meronta melihat paras ayu Keyra.
Dan begitulah cinta memulai perjalanannya. Dua insan itu bukan lagi remaja yang aru kemarin sore menyelam rasa, memaknai merah jambu di hati mereka secara amatiran. Bukan. Mereka adalah orang-orang dewasa yang telah paham betapa hati dan cinta bukan perkara sederhana.Namun, bagi Damar yang baru saja berselang jam dipertemukan dengan masa lalu menyakitkannnya, kehadiran Keyra mau tidak mau memberi efek padanya.“Maaf, Key. Aku … aku nggak bermaksud buat nyium kamu tadi. Cuma … Cuma kamu kenapa bisa ngomong ngawur kayak gitu, sih?” Damar memegangi kepalanya. Tampak raut bersalah dan bingung tergambar jelas di wajahnya.Berbeda dengan Keyra yang justru tersenyum malu-malu. Tersenyum penuh bahagia di sudut sofa yang satunya. Sengaja pindah tempat duduk agar puas melihat wajah Damar yang tiba-tiba saja menjadi pria paling tampan sedunia.Damar menatap prihatin sekaligus kesal ke arah Keyra yang masih tersenyum sen
Joya kemudian menghambur ke dalam kesibukan pagi. Menyiapkan dua porsi bubur ayam untuk Damar dan dirinya. Sementara Keyra melanjutkan acara memasak yang sempat tertunda. Namun, sayangnya ada satu pasang mata yang masih menyala gelisah, menatap bergantian dua wanita yang sedang sibuk menyiapkan makanan.Damar kemudian menatap Joya dengan sorot tajam, seolah ingin menyampaikan sesuatu dengan berjuta keseriusan. “Joy, sebenernya Keyra ….”“Mas, Mbak, sarapannya mau ditambahin sama ayam goreng, nggak? Kebetulan ini ada ungkepan ayam di kulkas. Aku bikin kemarin.” Keyra sengaja memotong kalimat Damar.Damar menatap Keyra tak mengerti. Bukankah ada kesalahpahaman yang harus diluruskan? Damar hendak memberontak, bersiap meneruskan kebenaran tentang keberadaan Keyra yang bukan pembantu di rumah itu. Namun, Keyra menccegahnya. Memberi tatapan penuh permohonan dan iba. Membuat Damar luluh, batal mengatakan kebenaran demi melihat sorot mengi
Di sisi lain, Bimo yang merasa kehilangan sosok Keyra semakin tersakiti. Hatinya penuh akan penyesalan, mengutuk diri sendiri karena tak pernah menyampaikan perasaannya pada Keyra. Siang itu, Bimo meminta izin pada Damar untuk bolos kerja, sesuatu yang sangat jarang Bimo lakukan.“Ngapain? Tumben?” tanya Damar penasaran. Sebenarnya hanya pertanyaan basa-basi karena dirinya pun sedang disibukkan dengan pikiran berkecamuk atas perubahan sikap Keyra pagi tadi.Bimo tahu itu hanya pertanyaan basa-basi, dia hanya melambaikan tangan ringan sebelum meninggalkan ruangan Damar. Bergegas menuju mobil yang terparkir di halaman kafe, meluncur sesegera mungkin menuju tempat yang dulu sering dia habiskan bersama Keyra.Turun dari mobilnya, Bimo segera menuju bar tempat dia biasa memesan minuman sebelum menikmati hari bersama Keyra.“ Jo, ada kabar dari Keyra?”tanya Bimo kepada Johan yang mengantar minuman.Johan menatap sedih kemudian men
Part 12.Hening malam kian memamerkan romansa pada dua insan yang tengah dirundung gulana. Ruang tamu rumah besar itu seolah meneriakkan bujukan hasrat dalam sepi dan dingin yang tiada berjeda. Keyra masih menangis di dada bidang Damar. Sementara itu, perlahan tangan kokoh Damar membalas pelukan Keyra, mengusap lembut bahu Keyra yang terguncang pelan.Keyra berhenti menangis meski masih menyisakan isakan lirih, perempuan itu mengangkat wajahnya, membuat dua pasang pata itu beradu, terbuai dalam rayuan hati yang bergejolak menuntut hangat. Perlahan Damar mendekatkan wajahnya, membuat keduanya bertukar embusan napas, hingga dua bibir manusia itu tiada lagi bersekat, terbuai dalam gerak nafsu yang semakin bergejolak.Entah bagaimana adegan itu bermula, kedua insan itu sudah berakhir di sofa empuk ruang tamu besar itu tanpa busana, tanpa sehelai benang pun yang menempel pada raga. Desah lelah itu berlagu, menambah nafsu bagi dua manusia yang lalai pada nurani, kalah
Dalam cengkeraman malam dan tangan-tangan lapar itu, Keyra merapalkan doa dalam hatinya. Doa ang sungguh-sungguh terlontar ke langit, menggetarkan angkasa beserta penghuninya.“Tuhan, aku mohon selamatkan aku dan anakku. Aku tahu aku tidak pantas meminta, bahkan namaMu tak seharusnya terukir di dalam benak perempuan hina ini, tapi, Tuhan, Aku mohon … sekali ini saja selamatkan aku.”Kala itu, Keyra melantunkan doanya penuh pengharapan, kesungguhan dan kepercayaan. Untuk pertama kalinya dalam kehidupan, sepanjang perjalanan kelamya, sepanjang kilas balik seluruh cerita, itu adalah kali pertama Keyra memutuskan percaya pada Tuhan.Dan seperti terjawab, detik-detik sebelum tubuh itu terjaman oleh tangan-tangan penuh noda jalanan, pertolongan datang tanpa peingatan.“HENTIKAAAN!” teriakan itu disertai serangan barbar oleh kemarahan. Tinjunya melayang, lengannya menangkis pukulan para preman, sesekali terjungkal, namun, dia bangkit dengan berkali lipat kekuatan.Keyra beringsut, berlari ke
Joya meneteskan air mata bahagia. Seperti baru saja menenggak jernih air pelepas dahaga seelah lama mengembara. Perempuan itu menikmati setiap sentuhan Damar, merasakan panas yang menjalar di aliran darah. Indah, namun terasa salah. “Mas …,” bisik Joya. Damar tak mempedulikan bisikan Joya, meneruskan aksinya menjelajahi leher jenjang istri keduanya tanpa jeda. Terus menghadiahi ciuman bertubi-tubi, tanpa henti. Perlahan ritual itu terjadi, erangan tanpa irama itu mengiringi peluh yang menetes dari kedua raga, dibuai nafsu membara. Lelah, Joya terbaring dengan napas terengah, sementara Dama terlelap setelah birahinya usai tersalurkan tadi. Joya tahu bahwa apa yang dilakukan Damar tetap tanpa rasa, hanya sebatas upaya membuang gerah di dada. Joya menangis lirih, untuk pertama kalinya dia besedih tanpa dalih. Perlahan tangisnya menjelma menjadi suara-suara pilu, tangisan penuh kesedihan yang mengganggu tidur Damar. Damar mengucek matanya, melirik Joya yang terguncang tubuhnya dalam
Hari itu, saat mendung menggantung di antara redup senja dan keheningan yang melanda jiwa, Keyra dan Damar duduk berhadap-hadapan. Lebih dari satu jam lamanya kedua insan itu memeluk kesunyian, saling memasung diri dalam bungkam."Key, katakan sesuatu." Damar hampir menangis, setengah berbisik.Keyra mengangkat wajahnya, menatap garis wajah Damar yang semakin dia lupakan. "Maaf, Mas. Aku … aku tidak tahu harus memulai darimana.""Katakan apa saja, Key. Asal jangan menghukum dengan mendiamkanku seperti ini, rasanya tidak nyaman." Damar hendak berdiri dan menghampiri Keyra ke tempat duduknya, namun gerakan Keyra yang serta merta hendak menarik jarak itu membuat Damar mengurungkan niatnya."Mas, gimana kalau kit
Damar baru saja hendak membuka pintu toilet saat handphonenya berdering. Dengan wajah kesal dia menghela napas. Joya."Halo, Joy. Ada apa?" Damar berkata dengan nada yang dibuat ramah. Meskipun sungguh, hatinya teramat penuh dengan kesal."Mas, istirahat pulang, kan? Aku masak loh. Spesial buat kamu. Pulang, ya?" Joya girang bertutur.Damar tak jadi ke kamar mandi. Dia memilih menjauh dari ruangan itu, melangkah kembali menuju ruang kerjanya. Danar yang melihat kedatangan Damar mengernyitkan dahi. Seolah bertanya tentang apa yang terjadi.Damar melambaikan tangan pada adik lelakinya. Memberi isyarat untuk menunda banyak tanya. "Joy, aku banyak kerjaan di sini."
Semua tak akan sama lagi bagi Keyra. Kini, saat lelakinya pulang dan berharap pelukan hangat, Keyra akan berpikir tentang banyak hal yang amat dia sesali. Bahwa tubuh itu semalam habis memeluk perempuan lain. Bahwa aroma tubuh itu telah dihidu oleh perempuan lain. Bahwa kehangatan itu tak lagi mutlak miliknya seorang.Keyra sadar dia telah berbagi. Sepenuh hati mengakui bawa dia turut andil dalam hal ini. Namun, terluka kini merupakan hal yang tak direncanakan olehnya. Dia berikir akan mampu mendamaikakn diri, akan mampu berbagi tanpa tersakiti. Nyatanya, Keyra hanya wanita biasa. Hatinya rapuh.Pagi itu, tepat setelah semalaman menahan kram tangan karena Joya hanya bisa tidur di atas lengannya, Damar pulang. Pulang pada Keyra, sang cinta sejatinya.“Key … Mas pulang, Loh. Kamu nggak mau meluk Masmu ini?” Damar merentangkan tangan. Menatap Keyra yang melamun sendirian di muka pintu. Seperti sedang menunggunya, akan tetapi tak menyadari kehadir
Pernikahan kedua itu akhirnya datang. Sepi saja karena memang demikian harusnya. Tak banyak tamu yang datang.Wangsa sendirian selaku wali dari Joya. Darmawan dan dan Rahayu hanya mengundang beberapa kerabat saja. Sungguh tak banyak.Damar duduk di sisi ranjang, menatap layar handphone yang sedari tadi diam. Jemarinya ragu mengetik Kalimat panjang kemudian mengahpusnya lagi. Hampir saja ponselnya terlempar andai saja Rahayu tak masuk ke dalam kamar."Le, sudah siap. Ayo, semua sudah menunggu di mobil." Rahayu mengelus lembut kepala anaknya.Damar menatap sang ibu. Kemudian mengangguk setuju. Meski ragu akhirnya jalan itu pula yang Damar pijaki. Jalan menuju akad keduanya.
Malam menjelang bak untaian luka bagi dua insan di rumah itu. Damar hanya berani menatap istrinya yang masih menyibukkan diri dengan segala hal.Keyra sendiri berusaha untuk tak berinteraksi dengan sang suami. Bukan marah, dia hanya belum siap menghadapi kesedihan dan luka yang sama. Membayangkan esok pagi suaminya akan mengucapkan janji suci dengan perempuan lain, tentu saja membuatnya begitu menderita.Sementara Danar yang tak tahu menahu duduk perkaranya hanya bisa terheran. Menatap dua polah suami istri yang biasanya mengumbar kemesraan mendadak seperti diselimuti jarak."Oy, kenapa, Bro?" bisik Danar begitu tiba di kursi yang letaknya tepat di sisi kanan Damar.Damar menoleh sesaat, kemudian menatap kembali Keyra yang tengah menyiapkan makan malam."Berantem?" tanya Danar lagi.Damar menggeleng. Masih menujukan pandangan ke tempat yang sama.
Dua malam tanpa Keyra di sisinya, Damar terpaksa menjalani detik menyiksa di sisi Joya. Bukan mendua. Bukan. Sama sekali bukan."Mas, besok kita mau nikah. Kenapa Mas nggak kelihatan bahagia?" Joya yang sedang duduk di sebelah lelaki tampan itu menarik tangan Damar, menggenggamnya erat.Damar berusaha tersenyum sebisanya. Setelah kemarin bersusah-payah meyakinkan Joya untuk melakukan pernikahan sederhana saja, setelah berkeras upaya membuat Joya menerima rencananya untuk menikah di masjid terdekat, tak mungkin merusak mood gadis itu dengan jawaban yang salah."Nggak, kok, aku cuma gugup aja." Damar mengelus pundak Joya. Masih dengan senyuman terpaksa.Joya tersenyum bahagia. Sungguh teramat banyak bunga-bunga
Andai gelap bisa menyamarkan noda, andai pula pekat mampu mengurai hina, mungkin luka di dalam hati dan jiwa Keyra akan sirna seiring bertambahnya masa. Namun, bahkan setelah fakta baru bahwa Danar adalah saudara kandug Damar, luka dan trauma itu masih terasa nyata.“Kamu kemana saja, Dan? Kami kesulitan nyari kamu. Dan, ya, aku nikah tanpa kehadiran adik badungku ini.” damar mengacak-acak rambut gondrong adiknya.Danar yang biasanya banyak bicara hari itu terlihat sebaliknnya. Melirik Keyra beberapa kali dengan tatapan tak terjabarkan. Namun, sungguh sandiwara itu bahkan tak mampu menyembunyikan rasa bersalahnya.Danar tersenyum, setengah dipaksakan. “Iya, maaf, Mar. tahu sendirilah liarnya adikmu ini.”Damar menyerang kelapa adiknya dengan kepalan tangan, tak sampai memukul, hanya sekadar menyampaikan rasa sayang dengan gesekan tinju.“So, jadi dia istri kamu?” Danar menunjuk Keyra yang sudah tenggelam dalam ke