Perempuan itu duduk bersila di emperan toko, tangannya sibuk mendekap bayi kecil di pangkuannya. Matanya tak henti menangis, kesal pada diri sendiri. Kesal pada takdir yang begitu kejam mempermainkannya.
Bukan masalah jika orang-orang membencinya. Menyumpahi dia dengan kalimat buruk dan kotor tiada berjeda. Keyra akan terima. Tapi hari ini, mereka berbuat keji pada seorang bayi.
Seminggu sudah Keyra merawat bayi itu. Bayi cantik yang diberi nama Naina. Sejumlah uang yang harusnya dibayarkan padanya ditahan oleh Yulia. Alasannya tentu saja karena Keyra membawa serta bayi itu saat menghadap.
"Bawa ke panti asuhan aja, Key. Atau juak tuh bayi sama orang. Lu itu udah susah, jangan nambahin beban!" teriak Yulia padanya siang itu.
Keyra terhenyak. Wanita itu biasanya lembut padanya, bertutur kata semanis gula. Namun, saat Keyra menyatakan bahwa dia akan mengurus dan merawat bayi itu, Yulia mendadak murka.
"Tapi aku bisa ngurus dia, Mam. Key nggak bisa lepasin gitu aja."
"Oke, kalau gitu jangan pernah kembali ke Bar sebelum bayi itu kamu singkirkan." Yulia berkacak pinggang.
Keyra menatap tak percaya. Matanya berkaca-kaca demi melihat ekspresi wajah Yulia yang dingin.
"Kenapa?" lirih Keyra di sela gemuruh kecewa di dalam dada.
"Key, gue ngomong ini demi kebaikan Elu. Bayi itu bukan di sini tempatnya. Elu cewek kotor Key, cewek nggak bener. Tangan Lu kotor, kaga pantes pegang bayi yang masih bersih kayak dia. Lu mau jadiin dia pelac*r kayak Elu?" Kali jni suara Yulia melunak. Meski kalimatnya masih terdengar menyesakkan.
Keyra terdiam. Yulia benar tentang tangannya yang kotor, tentang dirinya yang tak layak menyentuh bayi suci di pelukannya. Tapi bagaimana lagi? Keyra seolah sudah terpatri hatinya mencintai bayi ini. Keyra sudah jatuh cinta, merasa harus bertanggung jawab membesarkannya.
Berakhirlah dengan Keyra yang terusir dari rumah kontrakannya. Hal mudah bagi Yulia menyingkirkan orang yang baginya tak lagi bisa digunakan. Keyra pergi meninggalkan tempat tinggal lamanya tanpa uang, hanya beberapa perlengkapan Naina.
Siang itu juga Keyra terusir dari rumah kontrakannya. Orang suruhan Yulia yang memprovokasi pemilik rumah agar mengusir Keyra. Mengatakan jika gadis itu tak bisa lagi bekerja di tempatnya. Dan otomatis ke depannya akan mempengaruhi proses pembayaran uang bulanan. Terlebih lagi suara tangis bayi Naina juga kerap mengganggu tetangga.
Lingkungan tempat tinggal Keyra yang didominasi oleh pekerja penjual jasa pemuas nafsu itu tentu saja mengeluh dengan gangguan berisik yang bayi itu ciptakan.
Keyra berjalan menyusuri jalan. Tak ada tujuan, tak ada tempat yang tepat untuknya dan bayi kecil itu. Sedangkan uang yang tersisa sudah habis dibelikan beberapa keperluan Naina. Belum lagi hutangnya pada satpam di rumah Yulia.
Di bawah terik matahari siang itu Keyra menangis sejadi-jadinya. Melangkah sembari mengumpat pada orang-orang kejam yang tega mengusirnya. Seolah langit turut merundungnya, lihatlah betapa awan hitam itu dengan cepat menyelimuti sang Surya. Langit cerah seketika berubah mendung, tak lama hujan pun turun.
Keyra berteduh.
Naina menangis kencang. Bayi itu mungkin saja kedinginan, atau lapar? Keyra meraih botol susu dari dalam tas yang dia bawa. Menuangkan susu bubuk ke dalam botol sembari sebelah tangannya masih menggendong.
Lalu tiba-tiba Keyra menyadari, bahwa tidak ada air hangat di sekitarnya. Tak mungkin membiarkan Naina kelaparan, tak mungkin juga memberikan bayi itu susu tanpa seduhan.
Maka gemetar dan perlahan Keyra mendekati talang, menadahkan botol berisi susu bubuk itu dan mengisinya dengan air hujan. Tubuh gadis itu gemetar, menatap nanar botol air yang perlahan terisi butiran-butiran hujan.
Menangis Keyra menyuapkan susu itu ke Naina. Hatinya teramat luka, sesak mendera dada. Namun lihatlah, berapa bayi Naina lahap menyusu. Pipi gembulnya bergerak lucu seiring isapan penuh semangat bayi itu. Bayi malang dalam dekapan si wanita malam.
Hujan rupanya masih gemar menyelimuti seluruh kota, dengan Keyra yang masih pula mendekap bayi kecil di pangkuannya. Lalu sebuah mobil berhenti tepat di depan toko tempat Naina berteduh. Seorang pria muda turun dari sana dan menghampiri Naina.
"Buk? Rumahnya mana? Nangis kenapa?" Pria membungkuk menghampiri Keyra, bertanya cemas. Jelas sekali wanita dan bayi di hadapannya bukan gelandangan seperti biasa. Keyra terlalu cantik meski berpakaian seadanya. Bajunya pun masih layak.
Keyra menangis sejadinya. Menatap pria tampan yang baru saja datang bertanya. Di sela tangisnya, dengan suara serak dan kalimat terbata-bata Keyra bertanya, "Mas, mau jadi bapak nggak?"
Pria tampan itu menggaruk kepalanya, bingung dengan pertanyaan wanita dengan bayi tenang di pangkuan.
"Hah? Ibuk diusir sama suami?"
Keyra menyeka air matanya. Juga ingusnya.
"Hah? Nggak denger! Kuping aku bindeng kebanyakan nangis."
Pria itu mendekatkan mulutnya ke telinga Keyra. "Ibuk diusir sama suaminya? Kenapa di sini sama anaknya? Bapaknya mana?"
Keyra menggeleng. Masih menangis. "Mas mau nggak jadi bapaknya Naina? Kasihan dia abis minum susu, pakai air hujan." Keyra menangis semakin kencang. Lagi-lagi terluka mengingat betapa dirinya tega menyeduh susu dengan air kotor, mengguncangkan dengan keras agar susu larut, dan menyuapkan pada mulut kecilnya.
"Ibuk abis cerai? Diusir? Ibuk gila? Ibu ikut saya, ya? Ke rumah saya."
Keyra menggeleng. "Mas nggak mau nyulik saya, kan? Saya jangan diculik, Mas."
Pria itu melongo sempurna. Hey, bukankah wanita itu tadi sembrono melamarnya? Memintanya menjadi ayah untuk anaknya? Dan apa katanya? Menculik? Kalau saja tak ingat rasa iba di dalam hatinya yang terus meronta, Pria itu pasti sudah meninggalkan Keyra di sana.
"Maaf, Buk, saya cuma kasihan sama anaknya, kedinginan. Kalau ibuk nggak punya tempat tinggal, Ibuk ikut saya ke rumah." Pria itu sabar menanggapi tingkah menyebalkan Keyra.
"Beneran?" Keyra menyeka air matanya. Menyeka ingusnya.
Pria itu mengangguk. Tersenyum serakah mungkin demi menyembuhkan rasa kesal.
"Beneran?"
Pria itu mengangguk lagi.
Keyra pun akhirnya ikut bersama Pria muda itu. Tak ada pilihan lain, bukan? Dirinya bahkan putus asa seharian, baginya bulan kelangsungan hidupnya yang paling penting. Melainkan nasib Naina, bayi malang yang dia cinta.
Tiba di sebuah rumah besar dengan design Eropa. Keyra diajak memasuki rumah itu oleh Pria muda yang membawanya.
"Nama saya Damar, Ibuk bisa tidur di kamar belakang untuk sementara. Dulunya itu kamar pembantu, tapi udah dua bulan ini pembantu saya mudik dan belum balik," jelas Damar lancar.
Matanya menatap wajah cantik itu kini. Duhai, Damar baru menangkap betapa wajah di hadapannya begitu penuh pesona. Cantiknya tak lekang oleh lelah yang mendera. Sementara tubuhnya hampir saja membuat ego lelakinya bangkit andai saja tak mengingat nasib wanita itu dan bayinya.
Damar terbangun seperti biasanya. Melakukan olahraga ringan seperti pagi-pagi yang sudah-sudah. Hanya saja pagi itu, ada aroma lain di rumahnya yang megah. Wewangian khas bayi dari dalam kamar sebelah, Damar menyeret langkahnya, perlahan menengok asal harum yang begitu menenangkan jiwa.Keyra sedang mendandani bayi kecil itu. Bayi Naina tertawa riang, renyah menanggapi gelitikan di perut gembulnya.Damar mendekat, ikut terkekeh melihat tawa riang Naina. "Namanya siapa?"Keyra terhenyak, segera menarik kesadaran dan menjawab terbata, "Na-Naina, Mas."Damar mengangguk. "Nanti kalau mau makan ambil aja apa yang ada di kulkas, aku jarang masak, jadi kebanyakan buah dan makanan langsung jadi."Keyra mengangguk mengerti.Damar hendak pergi saat tangannya ditahan oleh Keyra. Perempuan itu mencekal lengan kokoh Damar. Membuat pria itu kembali menoleh ke belakang. Menatap kedua mata Keyra yang berkaca-kaca."Astaga, Ibuk kenapa?" Damar beralih
Damar menata hati. Sekuat tenaga mengontrol emosi yang tak terkendali. Sementara Keyra sibuk menyeka wajahnya, membersihkan air yang disemburkan Damar ke muka cantiknya.“Mas Damar apa-apaan, sih? Basah, kan, jadinya,” sungut Keyra dengan nada manja, yang jika didengar oleh lelaki normla pada umumnya akan menimbulkan gejolak liar pembangkit harap biologisnya. Namun, ini Damar. Pria dengan masa lalu menyakitkan dan membenci perasaan itu datang.“Ma-maaf, Key. Abisnya kamu ngomong ngawur gitu.” Damar tak kalah kesal sebenarnya, hanya saja dia bisa mengontrol intonasi bicaranya.Keyra menghela napas. “Mas, aku nggak mungkin, kan, nyusahin kamu terus-terusan? Aku juga pengin bales kebaikan kamu.” Entah sejak kapan pembicaraan mereka senyaman itu.Damar meremas rambutnya cemas. “Tapi nggak harus gini juga, Key. Kamu nggak mikirin Naina?”
Damar mematung menatap lukisan di dinding ruangannya. Jera. Luka lama itu masih saja menyakitkan bahkan hanya dengan meatap lukisan tanpa nyawa yang tergantung di dinding ruangannya. Lukisan yang menjadi hadiah perpisahan dengan wanita tercintanya.Siang itu, Damar hendak menemui kekasihnya, mengejutkannya dengan kedatangan yang tiba-tiba. Lelaki itu menyempatkan membeli seikat mawar merah untuk kekasihnya. Kemudian berjalan penuh debar cinta menuju apartemen. Damar terlalu bahagia, membuka pintu yang juga dia tahu kombiasi angka pembukanya. Lalu, betapa remuk hatinya saat mendapati sang kekasih sedang ditindih penuh hasrat oleh seorang pria. Mereka sempurna tanpa busana, mengkilap keringat di tubuh mereka, sama-sama menikmati bahasa cinta yang membara.“Joy?” Damar menjatuhkan bunga di tangan. Lama mematung memindai pemandangan penuh luka di depan mata.Aktivitas Joy dan pria lain itu terhenti. Keduanya sibuk memunguti pakaian masing-masing. Kemudia
Part 7Damar mondar-mandir di sebuah toko pakaian. Setelah yakin membeli beberapa pakaian dia memutuskan untuk segera pulang. Beberapa potong pakaian harian sengaja dia belikan untuk Keyra, karena seingat Damar Keyra hanya mengenakan dua pakaian bergantian. Senyum semringah seketika terpancar di wajah Damar saat membayangkan tanggapan Keyra atas hadiahnya. Lelaki itu pun tak sabar berjalan ke kasir dan membayar belanjaannya.Namun, baru saja Damar hendak berbalik, dia dikejutkan dengan sosok yang mengante tepat setelahnya. Kedua mata mereka beradu, seolah saling membahasakan rindu. Damar terpaku, pun dengan sosok itu. Mereka terdiam beberapa saat sebelum akhirnya kasir meminta mereka untuk menepi karena mengganggu pelanggan lain yang mengantre.Duduk di bangku Kafe bernuansa modern, Damar memesan latte tanpa gula, seperti hendak menyamakan dengan nasibnya yang terasa pahit begitu berjumpa dengan sosok di hadapannya. Joya.“Apa kabar, M
“Mas, tumben pulang awal?” Keyra menghampiri Damar yang duduk di sofa panjang ruang tamu. Naina sudah terlelap setelah Keyra membuatkan susu dan menimangnya beberapa saat yang lalu.“Iya, Key. Naina udah tidur?”Keyra mengangguk. Duduk di sebelah Damar yang menatap layar ponselnya.Hening.Ruang tamu rumah Damar terasa kian sunyi. Bahkan keduanya seolah bisa mendengar detak jantung masing-masing. Bagi Keyra yang biasa menjajakan raganya, berhadapan dengan pria seperti saat ini harusnya bukan hal baru. Namun, sungguh, lihatlah wajah pucat perempuan itu, terpancar jelas gugup dan risau datang menyergap bersamaan, tergambar jelas bagaimana jiwa mudanya meronta mendamba cinta."Mas …." Keyra mendekat, jarak mereka kini tak bersekat.Damar bukannya tak ingin, Damar bukannya tak suka. Pria itu susah-payah menahan gejolak kelelakiannya yang pun meronta melihat paras ayu Keyra.
Dan begitulah cinta memulai perjalanannya. Dua insan itu bukan lagi remaja yang aru kemarin sore menyelam rasa, memaknai merah jambu di hati mereka secara amatiran. Bukan. Mereka adalah orang-orang dewasa yang telah paham betapa hati dan cinta bukan perkara sederhana.Namun, bagi Damar yang baru saja berselang jam dipertemukan dengan masa lalu menyakitkannnya, kehadiran Keyra mau tidak mau memberi efek padanya.“Maaf, Key. Aku … aku nggak bermaksud buat nyium kamu tadi. Cuma … Cuma kamu kenapa bisa ngomong ngawur kayak gitu, sih?” Damar memegangi kepalanya. Tampak raut bersalah dan bingung tergambar jelas di wajahnya.Berbeda dengan Keyra yang justru tersenyum malu-malu. Tersenyum penuh bahagia di sudut sofa yang satunya. Sengaja pindah tempat duduk agar puas melihat wajah Damar yang tiba-tiba saja menjadi pria paling tampan sedunia.Damar menatap prihatin sekaligus kesal ke arah Keyra yang masih tersenyum sen
Joya kemudian menghambur ke dalam kesibukan pagi. Menyiapkan dua porsi bubur ayam untuk Damar dan dirinya. Sementara Keyra melanjutkan acara memasak yang sempat tertunda. Namun, sayangnya ada satu pasang mata yang masih menyala gelisah, menatap bergantian dua wanita yang sedang sibuk menyiapkan makanan.Damar kemudian menatap Joya dengan sorot tajam, seolah ingin menyampaikan sesuatu dengan berjuta keseriusan. “Joy, sebenernya Keyra ….”“Mas, Mbak, sarapannya mau ditambahin sama ayam goreng, nggak? Kebetulan ini ada ungkepan ayam di kulkas. Aku bikin kemarin.” Keyra sengaja memotong kalimat Damar.Damar menatap Keyra tak mengerti. Bukankah ada kesalahpahaman yang harus diluruskan? Damar hendak memberontak, bersiap meneruskan kebenaran tentang keberadaan Keyra yang bukan pembantu di rumah itu. Namun, Keyra menccegahnya. Memberi tatapan penuh permohonan dan iba. Membuat Damar luluh, batal mengatakan kebenaran demi melihat sorot mengi
Di sisi lain, Bimo yang merasa kehilangan sosok Keyra semakin tersakiti. Hatinya penuh akan penyesalan, mengutuk diri sendiri karena tak pernah menyampaikan perasaannya pada Keyra. Siang itu, Bimo meminta izin pada Damar untuk bolos kerja, sesuatu yang sangat jarang Bimo lakukan.“Ngapain? Tumben?” tanya Damar penasaran. Sebenarnya hanya pertanyaan basa-basi karena dirinya pun sedang disibukkan dengan pikiran berkecamuk atas perubahan sikap Keyra pagi tadi.Bimo tahu itu hanya pertanyaan basa-basi, dia hanya melambaikan tangan ringan sebelum meninggalkan ruangan Damar. Bergegas menuju mobil yang terparkir di halaman kafe, meluncur sesegera mungkin menuju tempat yang dulu sering dia habiskan bersama Keyra.Turun dari mobilnya, Bimo segera menuju bar tempat dia biasa memesan minuman sebelum menikmati hari bersama Keyra.“ Jo, ada kabar dari Keyra?”tanya Bimo kepada Johan yang mengantar minuman.Johan menatap sedih kemudian men
Dalam cengkeraman malam dan tangan-tangan lapar itu, Keyra merapalkan doa dalam hatinya. Doa ang sungguh-sungguh terlontar ke langit, menggetarkan angkasa beserta penghuninya.“Tuhan, aku mohon selamatkan aku dan anakku. Aku tahu aku tidak pantas meminta, bahkan namaMu tak seharusnya terukir di dalam benak perempuan hina ini, tapi, Tuhan, Aku mohon … sekali ini saja selamatkan aku.”Kala itu, Keyra melantunkan doanya penuh pengharapan, kesungguhan dan kepercayaan. Untuk pertama kalinya dalam kehidupan, sepanjang perjalanan kelamya, sepanjang kilas balik seluruh cerita, itu adalah kali pertama Keyra memutuskan percaya pada Tuhan.Dan seperti terjawab, detik-detik sebelum tubuh itu terjaman oleh tangan-tangan penuh noda jalanan, pertolongan datang tanpa peingatan.“HENTIKAAAN!” teriakan itu disertai serangan barbar oleh kemarahan. Tinjunya melayang, lengannya menangkis pukulan para preman, sesekali terjungkal, namun, dia bangkit dengan berkali lipat kekuatan.Keyra beringsut, berlari ke
Joya meneteskan air mata bahagia. Seperti baru saja menenggak jernih air pelepas dahaga seelah lama mengembara. Perempuan itu menikmati setiap sentuhan Damar, merasakan panas yang menjalar di aliran darah. Indah, namun terasa salah. “Mas …,” bisik Joya. Damar tak mempedulikan bisikan Joya, meneruskan aksinya menjelajahi leher jenjang istri keduanya tanpa jeda. Terus menghadiahi ciuman bertubi-tubi, tanpa henti. Perlahan ritual itu terjadi, erangan tanpa irama itu mengiringi peluh yang menetes dari kedua raga, dibuai nafsu membara. Lelah, Joya terbaring dengan napas terengah, sementara Dama terlelap setelah birahinya usai tersalurkan tadi. Joya tahu bahwa apa yang dilakukan Damar tetap tanpa rasa, hanya sebatas upaya membuang gerah di dada. Joya menangis lirih, untuk pertama kalinya dia besedih tanpa dalih. Perlahan tangisnya menjelma menjadi suara-suara pilu, tangisan penuh kesedihan yang mengganggu tidur Damar. Damar mengucek matanya, melirik Joya yang terguncang tubuhnya dalam
Hari itu, saat mendung menggantung di antara redup senja dan keheningan yang melanda jiwa, Keyra dan Damar duduk berhadap-hadapan. Lebih dari satu jam lamanya kedua insan itu memeluk kesunyian, saling memasung diri dalam bungkam."Key, katakan sesuatu." Damar hampir menangis, setengah berbisik.Keyra mengangkat wajahnya, menatap garis wajah Damar yang semakin dia lupakan. "Maaf, Mas. Aku … aku tidak tahu harus memulai darimana.""Katakan apa saja, Key. Asal jangan menghukum dengan mendiamkanku seperti ini, rasanya tidak nyaman." Damar hendak berdiri dan menghampiri Keyra ke tempat duduknya, namun gerakan Keyra yang serta merta hendak menarik jarak itu membuat Damar mengurungkan niatnya."Mas, gimana kalau kit
Damar baru saja hendak membuka pintu toilet saat handphonenya berdering. Dengan wajah kesal dia menghela napas. Joya."Halo, Joy. Ada apa?" Damar berkata dengan nada yang dibuat ramah. Meskipun sungguh, hatinya teramat penuh dengan kesal."Mas, istirahat pulang, kan? Aku masak loh. Spesial buat kamu. Pulang, ya?" Joya girang bertutur.Damar tak jadi ke kamar mandi. Dia memilih menjauh dari ruangan itu, melangkah kembali menuju ruang kerjanya. Danar yang melihat kedatangan Damar mengernyitkan dahi. Seolah bertanya tentang apa yang terjadi.Damar melambaikan tangan pada adik lelakinya. Memberi isyarat untuk menunda banyak tanya. "Joy, aku banyak kerjaan di sini."
Semua tak akan sama lagi bagi Keyra. Kini, saat lelakinya pulang dan berharap pelukan hangat, Keyra akan berpikir tentang banyak hal yang amat dia sesali. Bahwa tubuh itu semalam habis memeluk perempuan lain. Bahwa aroma tubuh itu telah dihidu oleh perempuan lain. Bahwa kehangatan itu tak lagi mutlak miliknya seorang.Keyra sadar dia telah berbagi. Sepenuh hati mengakui bawa dia turut andil dalam hal ini. Namun, terluka kini merupakan hal yang tak direncanakan olehnya. Dia berikir akan mampu mendamaikakn diri, akan mampu berbagi tanpa tersakiti. Nyatanya, Keyra hanya wanita biasa. Hatinya rapuh.Pagi itu, tepat setelah semalaman menahan kram tangan karena Joya hanya bisa tidur di atas lengannya, Damar pulang. Pulang pada Keyra, sang cinta sejatinya.“Key … Mas pulang, Loh. Kamu nggak mau meluk Masmu ini?” Damar merentangkan tangan. Menatap Keyra yang melamun sendirian di muka pintu. Seperti sedang menunggunya, akan tetapi tak menyadari kehadir
Pernikahan kedua itu akhirnya datang. Sepi saja karena memang demikian harusnya. Tak banyak tamu yang datang.Wangsa sendirian selaku wali dari Joya. Darmawan dan dan Rahayu hanya mengundang beberapa kerabat saja. Sungguh tak banyak.Damar duduk di sisi ranjang, menatap layar handphone yang sedari tadi diam. Jemarinya ragu mengetik Kalimat panjang kemudian mengahpusnya lagi. Hampir saja ponselnya terlempar andai saja Rahayu tak masuk ke dalam kamar."Le, sudah siap. Ayo, semua sudah menunggu di mobil." Rahayu mengelus lembut kepala anaknya.Damar menatap sang ibu. Kemudian mengangguk setuju. Meski ragu akhirnya jalan itu pula yang Damar pijaki. Jalan menuju akad keduanya.
Malam menjelang bak untaian luka bagi dua insan di rumah itu. Damar hanya berani menatap istrinya yang masih menyibukkan diri dengan segala hal.Keyra sendiri berusaha untuk tak berinteraksi dengan sang suami. Bukan marah, dia hanya belum siap menghadapi kesedihan dan luka yang sama. Membayangkan esok pagi suaminya akan mengucapkan janji suci dengan perempuan lain, tentu saja membuatnya begitu menderita.Sementara Danar yang tak tahu menahu duduk perkaranya hanya bisa terheran. Menatap dua polah suami istri yang biasanya mengumbar kemesraan mendadak seperti diselimuti jarak."Oy, kenapa, Bro?" bisik Danar begitu tiba di kursi yang letaknya tepat di sisi kanan Damar.Damar menoleh sesaat, kemudian menatap kembali Keyra yang tengah menyiapkan makan malam."Berantem?" tanya Danar lagi.Damar menggeleng. Masih menujukan pandangan ke tempat yang sama.
Dua malam tanpa Keyra di sisinya, Damar terpaksa menjalani detik menyiksa di sisi Joya. Bukan mendua. Bukan. Sama sekali bukan."Mas, besok kita mau nikah. Kenapa Mas nggak kelihatan bahagia?" Joya yang sedang duduk di sebelah lelaki tampan itu menarik tangan Damar, menggenggamnya erat.Damar berusaha tersenyum sebisanya. Setelah kemarin bersusah-payah meyakinkan Joya untuk melakukan pernikahan sederhana saja, setelah berkeras upaya membuat Joya menerima rencananya untuk menikah di masjid terdekat, tak mungkin merusak mood gadis itu dengan jawaban yang salah."Nggak, kok, aku cuma gugup aja." Damar mengelus pundak Joya. Masih dengan senyuman terpaksa.Joya tersenyum bahagia. Sungguh teramat banyak bunga-bunga
Andai gelap bisa menyamarkan noda, andai pula pekat mampu mengurai hina, mungkin luka di dalam hati dan jiwa Keyra akan sirna seiring bertambahnya masa. Namun, bahkan setelah fakta baru bahwa Danar adalah saudara kandug Damar, luka dan trauma itu masih terasa nyata.“Kamu kemana saja, Dan? Kami kesulitan nyari kamu. Dan, ya, aku nikah tanpa kehadiran adik badungku ini.” damar mengacak-acak rambut gondrong adiknya.Danar yang biasanya banyak bicara hari itu terlihat sebaliknnya. Melirik Keyra beberapa kali dengan tatapan tak terjabarkan. Namun, sungguh sandiwara itu bahkan tak mampu menyembunyikan rasa bersalahnya.Danar tersenyum, setengah dipaksakan. “Iya, maaf, Mar. tahu sendirilah liarnya adikmu ini.”Damar menyerang kelapa adiknya dengan kepalan tangan, tak sampai memukul, hanya sekadar menyampaikan rasa sayang dengan gesekan tinju.“So, jadi dia istri kamu?” Danar menunjuk Keyra yang sudah tenggelam dalam ke