“Mas, tumben pulang awal?” Keyra menghampiri Damar yang duduk di sofa panjang ruang tamu. Naina sudah terlelap setelah Keyra membuatkan susu dan menimangnya beberapa saat yang lalu.
“Iya, Key. Naina udah tidur?”
Keyra mengangguk. Duduk di sebelah Damar yang menatap layar ponselnya.
Hening.
Ruang tamu rumah Damar terasa kian sunyi. Bahkan keduanya seolah bisa mendengar detak jantung masing-masing. Bagi Keyra yang biasa menjajakan raganya, berhadapan dengan pria seperti saat ini harusnya bukan hal baru. Namun, sungguh, lihatlah wajah pucat perempuan itu, terpancar jelas gugup dan risau datang menyergap bersamaan, tergambar jelas bagaimana jiwa mudanya meronta mendamba cinta.
"Mas …." Keyra mendekat, jarak mereka kini tak bersekat.
Damar bukannya tak ingin, Damar bukannya tak suka. Pria itu susah-payah menahan gejolak kelelakiannya yang pun meronta melihat paras ayu Keyra.
Dan begitulah cinta memulai perjalanannya. Dua insan itu bukan lagi remaja yang aru kemarin sore menyelam rasa, memaknai merah jambu di hati mereka secara amatiran. Bukan. Mereka adalah orang-orang dewasa yang telah paham betapa hati dan cinta bukan perkara sederhana.Namun, bagi Damar yang baru saja berselang jam dipertemukan dengan masa lalu menyakitkannnya, kehadiran Keyra mau tidak mau memberi efek padanya.“Maaf, Key. Aku … aku nggak bermaksud buat nyium kamu tadi. Cuma … Cuma kamu kenapa bisa ngomong ngawur kayak gitu, sih?” Damar memegangi kepalanya. Tampak raut bersalah dan bingung tergambar jelas di wajahnya.Berbeda dengan Keyra yang justru tersenyum malu-malu. Tersenyum penuh bahagia di sudut sofa yang satunya. Sengaja pindah tempat duduk agar puas melihat wajah Damar yang tiba-tiba saja menjadi pria paling tampan sedunia.Damar menatap prihatin sekaligus kesal ke arah Keyra yang masih tersenyum sen
Joya kemudian menghambur ke dalam kesibukan pagi. Menyiapkan dua porsi bubur ayam untuk Damar dan dirinya. Sementara Keyra melanjutkan acara memasak yang sempat tertunda. Namun, sayangnya ada satu pasang mata yang masih menyala gelisah, menatap bergantian dua wanita yang sedang sibuk menyiapkan makanan.Damar kemudian menatap Joya dengan sorot tajam, seolah ingin menyampaikan sesuatu dengan berjuta keseriusan. “Joy, sebenernya Keyra ….”“Mas, Mbak, sarapannya mau ditambahin sama ayam goreng, nggak? Kebetulan ini ada ungkepan ayam di kulkas. Aku bikin kemarin.” Keyra sengaja memotong kalimat Damar.Damar menatap Keyra tak mengerti. Bukankah ada kesalahpahaman yang harus diluruskan? Damar hendak memberontak, bersiap meneruskan kebenaran tentang keberadaan Keyra yang bukan pembantu di rumah itu. Namun, Keyra menccegahnya. Memberi tatapan penuh permohonan dan iba. Membuat Damar luluh, batal mengatakan kebenaran demi melihat sorot mengi
Di sisi lain, Bimo yang merasa kehilangan sosok Keyra semakin tersakiti. Hatinya penuh akan penyesalan, mengutuk diri sendiri karena tak pernah menyampaikan perasaannya pada Keyra. Siang itu, Bimo meminta izin pada Damar untuk bolos kerja, sesuatu yang sangat jarang Bimo lakukan.“Ngapain? Tumben?” tanya Damar penasaran. Sebenarnya hanya pertanyaan basa-basi karena dirinya pun sedang disibukkan dengan pikiran berkecamuk atas perubahan sikap Keyra pagi tadi.Bimo tahu itu hanya pertanyaan basa-basi, dia hanya melambaikan tangan ringan sebelum meninggalkan ruangan Damar. Bergegas menuju mobil yang terparkir di halaman kafe, meluncur sesegera mungkin menuju tempat yang dulu sering dia habiskan bersama Keyra.Turun dari mobilnya, Bimo segera menuju bar tempat dia biasa memesan minuman sebelum menikmati hari bersama Keyra.“ Jo, ada kabar dari Keyra?”tanya Bimo kepada Johan yang mengantar minuman.Johan menatap sedih kemudian men
Part 12.Hening malam kian memamerkan romansa pada dua insan yang tengah dirundung gulana. Ruang tamu rumah besar itu seolah meneriakkan bujukan hasrat dalam sepi dan dingin yang tiada berjeda. Keyra masih menangis di dada bidang Damar. Sementara itu, perlahan tangan kokoh Damar membalas pelukan Keyra, mengusap lembut bahu Keyra yang terguncang pelan.Keyra berhenti menangis meski masih menyisakan isakan lirih, perempuan itu mengangkat wajahnya, membuat dua pasang pata itu beradu, terbuai dalam rayuan hati yang bergejolak menuntut hangat. Perlahan Damar mendekatkan wajahnya, membuat keduanya bertukar embusan napas, hingga dua bibir manusia itu tiada lagi bersekat, terbuai dalam gerak nafsu yang semakin bergejolak.Entah bagaimana adegan itu bermula, kedua insan itu sudah berakhir di sofa empuk ruang tamu besar itu tanpa busana, tanpa sehelai benang pun yang menempel pada raga. Desah lelah itu berlagu, menambah nafsu bagi dua manusia yang lalai pada nurani, kalah
Part 13 . sekeping hati yang terlukaPerlahan memudar, keraguan Keyra terhadap keputusannya semakin menghilang. Senja itu, berteman rinai hujan dan dingin udara, Damar mengajaknya ke kafe dan mengenalkan Keyra sebagai calon istrinya. Tak mempedulikan tatapan heran para karyawan saat menatap bocah dalam gendongan Keyra, Damar justru dengan bangga memuji kecantikan hati sang calon istri.Hampir semua karyawan sudah bertemu dengan Keyra kecuali Bimo. Pemuda itu meminta izin untuk istirahat di rumah sejak seminggu lalu keluar dari rumah sakit. dia beralasan masih butuh waktu untuk memulihkan tubuhnya. Meski alasan sebenarnya adalah karena hatinya patah, remuk, terluka oleh fakta yang teramat menyayat sekeping hatinya.Damar tahu jika Bimo sedang berusaha berdamai dengan keputusannya menikahi Keyra. Meski tak bisa mendengar isi hatinya, Damar bisa membaca sorot mata Bimo saat dia membahas pernikahannya dengan Keyra.“Mas, aku pulang duluan, ya? Nai
Bimo berbaring di ranjang kamarnya. Menatap gawai yang tak lelah menyala, satu per satu menampakkan gambar Keyra dengan berbagai gaya. Ada sebait sesal yang menjalar menjumpa sesak, memukul relung hatinya dengan telak. “Key, harusnya aku yang mendapatkanmu, kan? Harusnya aku yang memilikimu, kan?” bisik Bimo di sela memandangi gambar Keyra penuh kekaguman. Matanya menyala penuh luka. Duhai, wajah sayu itu kian menggambarkan nelangsa tak berkesudahan. Bimo lelah. Matanya hendak terpejam saat dering panggilan di ponselnya berbunyi. Pria itu mengernyitkan dahi saat melihat sebuah nama yang berpendar di layar. Joya. Ragu namun Bimo tetap menekan ikon telepon berwarna hijau. “Halo ….” Terdengar suara isakan di seberang. “Mbak … Mbak Joya, kenapa?” Bimo bertanya khawatir. Tentu saja, meski sangat jarang bertukar kabar, tapi Joya masih sosok yang Bimo segani. Di masa lalu, juga kini. “Bim … kamu tahu, kan, kalau Damar mau nikah?” Joya m
Awalnya Keyra ragu untuk mempersilakan Bimo masuk. Selain karena Damar sedang tidak ada di rumah, masa lalu keduanya membuat suasana tak nyaman. Namun, pada akhirnya pria yang dulunya sering menggunakan jasanya untuk melepas hasrat itu sudah duduk d sofa ruang tamu mewah itu. Sofa empuk yang beberapa waktu yang lalu digunakan Keyra untuk bergumul mesra dengan Damar. “Silakan, Mas.” keyra meletakkan camgkir berisi teh di meja. Keyra kemudian duduk menunduk, menatap takut-takut kaki-kakinya yang bergoyang karena gugup. “Key, setakut itu kamu sama aku?” tanya Bimo tak nyaman, matanya terfokus pada sosok Keyra yang masih enggan menatapnya. Tampak jelas sendu dan terluka di kilatan netra miliknya. “Mas Bimo kemari ada apa? Kenapa nyari Keyra?” keyra memberanikan diri mengangkat wajahnya. Bimo terdiam cukup lama, meraih cangkir teh di atas meja kemudian menikmati manis pahit yang tersaji di dalamnya. Pria itu tersenyum, meski dalam suasana tak nyama
Joya menanti dengan tak sabar. Dia tersenyum sepanjang penantian. Gadis itu duduk di sofa ruang tamunya, berkali-kali melirik jam di ponsel, kemudian kembali tersenyum bahagia bak remaja yang kasmaran. Setengah jam berlalu dan Damar tak kunjung datang. Senyum bahagia yang semula menghiasi wajahnya perlahan sirna. Berganti tatapan gelisah yang terpancar nyata. Wajahnya sendu, joya kembali menampakan gelagat seperti orang gila. Tangannya menyambar vas di atas meja, melemparkannya ke sembarang arah, membuat benda itu pecah berantakan. Belum puas melampiaskan emosinya, Joya berlarian mengelilingi ruang tamunya, melempar, menendang apa saja yang dia jumpai. “Mas Damar! Aku nggak bisa hidup tanpa kamu,” teriak Joya, tangannya menjambak rambutnya sendiri, membua rontok beberapa helai. Namun, dia masih tak merasakan sakit. Luka di hatinya jauh lebih hebat terasa. Joya melirik pecahan kaca dan vas yang berserakan di lantai. Seperti tatapan serigala yang menggi
Dalam cengkeraman malam dan tangan-tangan lapar itu, Keyra merapalkan doa dalam hatinya. Doa ang sungguh-sungguh terlontar ke langit, menggetarkan angkasa beserta penghuninya.“Tuhan, aku mohon selamatkan aku dan anakku. Aku tahu aku tidak pantas meminta, bahkan namaMu tak seharusnya terukir di dalam benak perempuan hina ini, tapi, Tuhan, Aku mohon … sekali ini saja selamatkan aku.”Kala itu, Keyra melantunkan doanya penuh pengharapan, kesungguhan dan kepercayaan. Untuk pertama kalinya dalam kehidupan, sepanjang perjalanan kelamya, sepanjang kilas balik seluruh cerita, itu adalah kali pertama Keyra memutuskan percaya pada Tuhan.Dan seperti terjawab, detik-detik sebelum tubuh itu terjaman oleh tangan-tangan penuh noda jalanan, pertolongan datang tanpa peingatan.“HENTIKAAAN!” teriakan itu disertai serangan barbar oleh kemarahan. Tinjunya melayang, lengannya menangkis pukulan para preman, sesekali terjungkal, namun, dia bangkit dengan berkali lipat kekuatan.Keyra beringsut, berlari ke
Joya meneteskan air mata bahagia. Seperti baru saja menenggak jernih air pelepas dahaga seelah lama mengembara. Perempuan itu menikmati setiap sentuhan Damar, merasakan panas yang menjalar di aliran darah. Indah, namun terasa salah. “Mas …,” bisik Joya. Damar tak mempedulikan bisikan Joya, meneruskan aksinya menjelajahi leher jenjang istri keduanya tanpa jeda. Terus menghadiahi ciuman bertubi-tubi, tanpa henti. Perlahan ritual itu terjadi, erangan tanpa irama itu mengiringi peluh yang menetes dari kedua raga, dibuai nafsu membara. Lelah, Joya terbaring dengan napas terengah, sementara Dama terlelap setelah birahinya usai tersalurkan tadi. Joya tahu bahwa apa yang dilakukan Damar tetap tanpa rasa, hanya sebatas upaya membuang gerah di dada. Joya menangis lirih, untuk pertama kalinya dia besedih tanpa dalih. Perlahan tangisnya menjelma menjadi suara-suara pilu, tangisan penuh kesedihan yang mengganggu tidur Damar. Damar mengucek matanya, melirik Joya yang terguncang tubuhnya dalam
Hari itu, saat mendung menggantung di antara redup senja dan keheningan yang melanda jiwa, Keyra dan Damar duduk berhadap-hadapan. Lebih dari satu jam lamanya kedua insan itu memeluk kesunyian, saling memasung diri dalam bungkam."Key, katakan sesuatu." Damar hampir menangis, setengah berbisik.Keyra mengangkat wajahnya, menatap garis wajah Damar yang semakin dia lupakan. "Maaf, Mas. Aku … aku tidak tahu harus memulai darimana.""Katakan apa saja, Key. Asal jangan menghukum dengan mendiamkanku seperti ini, rasanya tidak nyaman." Damar hendak berdiri dan menghampiri Keyra ke tempat duduknya, namun gerakan Keyra yang serta merta hendak menarik jarak itu membuat Damar mengurungkan niatnya."Mas, gimana kalau kit
Damar baru saja hendak membuka pintu toilet saat handphonenya berdering. Dengan wajah kesal dia menghela napas. Joya."Halo, Joy. Ada apa?" Damar berkata dengan nada yang dibuat ramah. Meskipun sungguh, hatinya teramat penuh dengan kesal."Mas, istirahat pulang, kan? Aku masak loh. Spesial buat kamu. Pulang, ya?" Joya girang bertutur.Damar tak jadi ke kamar mandi. Dia memilih menjauh dari ruangan itu, melangkah kembali menuju ruang kerjanya. Danar yang melihat kedatangan Damar mengernyitkan dahi. Seolah bertanya tentang apa yang terjadi.Damar melambaikan tangan pada adik lelakinya. Memberi isyarat untuk menunda banyak tanya. "Joy, aku banyak kerjaan di sini."
Semua tak akan sama lagi bagi Keyra. Kini, saat lelakinya pulang dan berharap pelukan hangat, Keyra akan berpikir tentang banyak hal yang amat dia sesali. Bahwa tubuh itu semalam habis memeluk perempuan lain. Bahwa aroma tubuh itu telah dihidu oleh perempuan lain. Bahwa kehangatan itu tak lagi mutlak miliknya seorang.Keyra sadar dia telah berbagi. Sepenuh hati mengakui bawa dia turut andil dalam hal ini. Namun, terluka kini merupakan hal yang tak direncanakan olehnya. Dia berikir akan mampu mendamaikakn diri, akan mampu berbagi tanpa tersakiti. Nyatanya, Keyra hanya wanita biasa. Hatinya rapuh.Pagi itu, tepat setelah semalaman menahan kram tangan karena Joya hanya bisa tidur di atas lengannya, Damar pulang. Pulang pada Keyra, sang cinta sejatinya.“Key … Mas pulang, Loh. Kamu nggak mau meluk Masmu ini?” Damar merentangkan tangan. Menatap Keyra yang melamun sendirian di muka pintu. Seperti sedang menunggunya, akan tetapi tak menyadari kehadir
Pernikahan kedua itu akhirnya datang. Sepi saja karena memang demikian harusnya. Tak banyak tamu yang datang.Wangsa sendirian selaku wali dari Joya. Darmawan dan dan Rahayu hanya mengundang beberapa kerabat saja. Sungguh tak banyak.Damar duduk di sisi ranjang, menatap layar handphone yang sedari tadi diam. Jemarinya ragu mengetik Kalimat panjang kemudian mengahpusnya lagi. Hampir saja ponselnya terlempar andai saja Rahayu tak masuk ke dalam kamar."Le, sudah siap. Ayo, semua sudah menunggu di mobil." Rahayu mengelus lembut kepala anaknya.Damar menatap sang ibu. Kemudian mengangguk setuju. Meski ragu akhirnya jalan itu pula yang Damar pijaki. Jalan menuju akad keduanya.
Malam menjelang bak untaian luka bagi dua insan di rumah itu. Damar hanya berani menatap istrinya yang masih menyibukkan diri dengan segala hal.Keyra sendiri berusaha untuk tak berinteraksi dengan sang suami. Bukan marah, dia hanya belum siap menghadapi kesedihan dan luka yang sama. Membayangkan esok pagi suaminya akan mengucapkan janji suci dengan perempuan lain, tentu saja membuatnya begitu menderita.Sementara Danar yang tak tahu menahu duduk perkaranya hanya bisa terheran. Menatap dua polah suami istri yang biasanya mengumbar kemesraan mendadak seperti diselimuti jarak."Oy, kenapa, Bro?" bisik Danar begitu tiba di kursi yang letaknya tepat di sisi kanan Damar.Damar menoleh sesaat, kemudian menatap kembali Keyra yang tengah menyiapkan makan malam."Berantem?" tanya Danar lagi.Damar menggeleng. Masih menujukan pandangan ke tempat yang sama.
Dua malam tanpa Keyra di sisinya, Damar terpaksa menjalani detik menyiksa di sisi Joya. Bukan mendua. Bukan. Sama sekali bukan."Mas, besok kita mau nikah. Kenapa Mas nggak kelihatan bahagia?" Joya yang sedang duduk di sebelah lelaki tampan itu menarik tangan Damar, menggenggamnya erat.Damar berusaha tersenyum sebisanya. Setelah kemarin bersusah-payah meyakinkan Joya untuk melakukan pernikahan sederhana saja, setelah berkeras upaya membuat Joya menerima rencananya untuk menikah di masjid terdekat, tak mungkin merusak mood gadis itu dengan jawaban yang salah."Nggak, kok, aku cuma gugup aja." Damar mengelus pundak Joya. Masih dengan senyuman terpaksa.Joya tersenyum bahagia. Sungguh teramat banyak bunga-bunga
Andai gelap bisa menyamarkan noda, andai pula pekat mampu mengurai hina, mungkin luka di dalam hati dan jiwa Keyra akan sirna seiring bertambahnya masa. Namun, bahkan setelah fakta baru bahwa Danar adalah saudara kandug Damar, luka dan trauma itu masih terasa nyata.“Kamu kemana saja, Dan? Kami kesulitan nyari kamu. Dan, ya, aku nikah tanpa kehadiran adik badungku ini.” damar mengacak-acak rambut gondrong adiknya.Danar yang biasanya banyak bicara hari itu terlihat sebaliknnya. Melirik Keyra beberapa kali dengan tatapan tak terjabarkan. Namun, sungguh sandiwara itu bahkan tak mampu menyembunyikan rasa bersalahnya.Danar tersenyum, setengah dipaksakan. “Iya, maaf, Mar. tahu sendirilah liarnya adikmu ini.”Damar menyerang kelapa adiknya dengan kepalan tangan, tak sampai memukul, hanya sekadar menyampaikan rasa sayang dengan gesekan tinju.“So, jadi dia istri kamu?” Danar menunjuk Keyra yang sudah tenggelam dalam ke