Ditinggalkan suami demi perempuan lain, bukanlah impian Didi. Tetapi karena talak sudah terucap, dia harus menerima. Ditinggalkan saat hamil, tanpa dukungan finansial, dengan dua anak yang sudah besar. Didi harus berjuang. Ketika semua sudah baik-baik saja, dengan bantuan Arga, sahabat masa kecilnya, Dion datang ingin kembali. Tentu saja keinginan Dion didukung oleh anak mereka. Keputusan apa yang harus diambil oleh Diah?
Lihat lebih banyak"Mengapa Om ingin membeli rumah kami?" tanya Mya."Karena Om pernah tinggal di sana, jadi ingin kembali," jawab Arga.Mya mengerutkan keningnya."Maksudnya gimana? Tinggal di rumah kami?" Mya pun bertanya kembali.Arga susah payah menahan tawa dengan kepolosan gadis yang duduk di sebelahnya."Bukan, Om dulu tetangga ibumu saat kami masih seusia kalian. Lalu pindah karena pekerjaan orang tua," Arga memberikan penjelasan, setelah berhasil menahan tawanya.Mya pun menganggukkan kepalanya."Jadi ketika Om kembali ke Jogja, rumah itu sudah jadi milik orang lain. Tapi hanya bisa tinggal di kaliurang," Arga melanjutkan ceritanya."Dan tau Ibu jual rumah, makanya Om ingin beli?" Mya bertanya dijawab dengan anggukan kepala Arga."Selain tempat Om yang dulu ada di depan kalian, rumah kalian memiliki banyak kenangan," beritahu Arga.Laki-laki itu tersenyum, mengingat segala hal yang pernah dilewatinya bersama Diah."Apa tujuan Om membeli rumah kami?" Mya masih terus mengejar jawaban Arga."Yang p
Arga menatap layar teleponnya, menimbang apakah perlu menerima atau diabaikan saja."Siapa tahu orang yang mau jual rumah itu, Pa," ujar Tania."Ah betul juga, Nia. Papa belum punya nomer teleponnya," sahut Arga. Dia pun akhirnya menjawab panggilan tersebut.Tetapi dugaan Arga keliru, bukan sahabat masa kecilnya yang menghubungi.["Saya Mya, putrinya Bu Diah, Om."]Sejenak, Arga terpaku. Bertanya di dalam hatinya, darimana remaja putri itu mendapatkan nomer kontaknya.["Maaf, saya menemukan kartu nama Om di meja ruang tamu."] Mya memberikan penjelasan."Oh iya, Mya. Ada keperluan apa sampai telpon Om?" Arga bertanya dengan suara lembut.["Bisakah kita bertemu? Om yang akan beli rumah kami kan?"] Permintaan Mya cukup membuatnya kaget."Boleh Om tahu, kenapa Mya minta ketemu sama Om?" Arga balik bertanya.["Hanya ... ingin ngobrol saja, sebelum ikhlas dengan keputusan yang diambil Ibu."] Mya terdengar ragu-ragu dengan perkataannya.Arga menghela nafas panjang, merasakan kegamangan gadis
Arga menerbitkan senyum, membuat hati Diah mendadak tegang."Asal syaratnya masih masuk akal, aku nggak masalah," Diah melanjutkan perkataannya."Sebuah kesepakatan yang insyaallah saling menguntungkan," Arga menyahut dengan suara tegas."Iya, apa syaratnya?" Diah balik bertanya, wajahnya terlihat penasaran."Assalamu'alaikum, Ibu!" sapaan dari Mya dan Qilla membuat percakapan kedua orang dewasa itu terhenti.Diah pun menyambut kedua anaknya yang baru pulang sekolah."Tadi dijemput Om Heri sama Tante Rika, Bu," beritahu Qilla, tetapi pandangannya terang-terangan mengarah kepada Arga."Tante sama Om langsung pergi, katanya ada urusan," timpal Mya, mencuri pandang ke arah Arga.Diah dan Arga menyadari rasa ingin tahu kedua gadis itu terhadap kehadiran laki-laki dewasa tersebut."Ganti baju dulu ya, nanti kembali ke sini. Ada yang ingin Ibu jelaskan," titah Diah.Kedua anaknya pun menuruti perkataan sang ibu."Apa syaratnya?" Diah mengulangi pertanyaannya kepada Arga. "Kita kerja sama,"
Diah masih terpaku, menatap laki-laki yang masih tampak tampan meski tidak lagi muda.“Siapa ya? Seperti pernah lihat,” gumam Diah, terus memandangi laki-laki tersebut.“Aduh, aku dilupain,” lirih suara laki-laki tersebut, memandang kecewa ke arah perempuan berparas manis tersebut.Sebenarnya, Diah bisa saja bersikap masa bodoh dengan sikap misterius tamunya. Tetapi entah kenapa, dia penasaran. Wajah laki-laki itu terasa familiar.Laki-laki itu tersenyum kecil. “Didi lupa sama Mas Gaga?” tanyanya“ya ampun! Mas Gaga? Yang dulu tinggal di sebelah?” Diah langsung heboh. Memory tentang masa kecilnya pun kembali hadir.Laki-laki tampan itu, namanya Arga Cahyo. Tetangga Diah di masa lalu. Seingatnya, laki-laki itu pindah ke luar kota saat remaja.“Alhamdulillah, sudah ingat sama Mas,” ada nada bersemangat pada suara laki-laki tersebut.Diah tertawa lirih. Dirinya pun senang bisa bertemu dengan tetangga masa kecilnya. Rasanya kenangan indah muncul kembali di kepalanya.“Apa kabar
“Aku mau jual rumah ini.”. Jawaban Diah jelas membuat Rika terperangah.“Serius kamu?” tanya Rika, setelah rasa syoknya mereda.Diah menganggukkan kepalanya. Sepertinya, perempuan berparas manis itu mantap dengan keputusannya.“Di, ini rumah lho. Jangan gegabah,” sergah Rika.Diah masih diam, mencari kata untuk menjelaskan.“Dari kecil kamu tinggal di sini. Anak-anak pun lahir dan besar di sini,” Rika mencoba mengingatkan besarnya keterikatan sahabatnya itu terhadap rumah ini.Diah menghela nafas. Tahu kekhawatiran sahabatnya. Tetapi mau bagaimana lagi? Dirinya dan anak-anak lebih perlu jika rumah ini dijual.“Mas Dion sudah lepas tangan, yang terakhir diberikan ya yang saat di Pengadilan Agama itu,” Diah memulai penjelasannya kepada sahabatnya.Rika diam, menyimak penjelasan Diah.“Dan uang itu sudah kudepositkan untuk biaya pendidikan anak-anak,” Diah meneruskan perkataannya.Diah diam, masih memikirkan rencana yang sebenarnya baru saja dipikirkan olehnya. Rika menatap ke ara
Sari mendatangi Dion yang sedang duduk bersama kedua putrinya.Wajahnya merah padam dengan tangan mengepal di sisi kiri kanan tubuhnya.Seruannya tentu menarik perhatian orang sekitar. Dion dan kedua anaknya pun mengarahkan pandangan mereka kepadanya.Mya yang sudah menduga apa sumber masalahnya, mendorong sebuah amplop tebal yang dipegang oleh Dion, kembali pada ayahnya.“Sepertinya, istri Ayah nggak suka. Ambil saja kembali,” kata Mya seraya tetap mendorong amplop tersebut kepada Dion.Begitu sampai di depan mereka, Sari menyambar amplop tersebut.“Apa-apaan kamu, Mas!” seru Sari, tatapannya berapi-api.Dion yang gerah dengan sikap istrinya, berusaha meraih kembali amplop tersebut. Tentu saja Sari tidak mau dengan sukarela menyerah kepada suaminya.“Kembalikan Sari, mereka bahkan berhak lebih dari itu!” pekik Dion, marah dan sakit hati bercampur menjadi satu di hatinya.“Ingat, Mas! Aku mau melahirkan dan kita belum punya rumah! Jangan sembarangan kasih uang!” Sari masih ngotot, engg
“Kita tinggal di rumahmu!” seru Dion, setelah berfikir cukup lama.Sari mendelik ke arah Dion, keberatan dengan keputusan yang diambil suaminya itu.“Kenapa harus ke sana? Kenapa bukan ke rumahmu yang dipakai Diah dan anak-anak?” protes Sari.Dion menghela nafas, merasa kesal dengan rongrongan istri sirinya itu.“Rumah itu warisan orang tuanya Diah, bukan hakku mengambilnya,” tegas Dion.Sari mendengus, kesal melihat suaminya masih membela sang mantan.“Tapi kan, Kamu yang membiayai perawatan rumah itu!”Rumah yang ditempati Diah memang besar. Terdiri dari lima kamar tidur dan dua kamar mandi. Halamannya cukup luas, ditata sebagai taman yang asri dan arena bermain. Sari pasti ingin sekali menempatinya.“Itu kewajibanku sebagai suaminya saat itu. Bukan hakku untuk menggugatnya sekarang,” sergah Dion jengkel.“Ya sekarang, sebagai suamiku punya kewajiban untuk memberi tempat tinggal,” Sari masih tidak terima.“Paling lambat, kita besok pagi harus pergi dari sini. Mau cari rumah kontrakan
Dion dan Sari duduk bersisian di ruang tamu. Di hadapan mereka, ada Pak RT dan istrinya yang bernama Aminah.“Pak Dion bilang, sedang menunggu buku nikah,” Pak RT langsung membicarakan poinnya, tanpa basa-basi.“Iya, Pak RT. Kami sudah nikah siri, untuk menghindari fitnah. Belum bisa menikah resmi, karena masih menunggu sidang cerai,” panjang lebar Dion menjelaskan.Pak RT mengangguk-angguk, mencoba memaklumi penjelasan tersebut.Nikah siri karena belum sah bercerai? Demi menghindari fitnah? Tetapi perut yang perempuan sudah tampak hamil? Pak RT merasa gagal paham.“Maaf nih Pak, kapan nikah sirinya?” tanya Aminah dengan raut wajah penasaran.“Sekitar dua bulan yang lalu, Bu,” jawab Dion, tidak menyadari Aminah sedang mengintrogasi dirinya.Aminah menganggukkan kepala. Seperti sedang memikirkan sesuatu. Lalu menatap perut Sari.“Oh, Mbak Sari sedang hamil ya?” tanyanya seraya tetap melihat perut istri sirinya Dion. Seakan-akan dia baru tahu keadaan tersebut.Sari tersenyum jumawa, tang
Diah yang akan masuk ke dalam mobil,langsung balik kanan. Merengkuh Mya ke dalam pelukannya.Wajah putri sulungnya sudah memerah. Amarah tampak melingkupi remaja cantik tersebut.“Nak, istighfar,” bisik Diah tepat di depan telinga Mya.Di hadapan mereka, Sari sedang memegang pipinya yang memerah, bekas tamparan Mya.“Sudah merah kupingku, dari tadi dia menghina Ibu!” seru Mya, mengadu kepada Diah. Sepertinya sudah tidak mampu mengontrol emosinya lagi.Hari ini memang terlalu berat untuk ditanggung Mya seorang diri. Usianya baru belasan tahun, duduk di bangku SMP. Tetapi harus menghadapi Sari yang lisannya seperti tidak lulus sekolah.Satu hari ini, dua kali dia harus menghadapi drama perempuan, istri baru ayahnya tersebut. Tentu saja yang ketiga kalinya, merasa perlu untuk bereaksi keras.Diah harus menahan putri sulungnya, supaya tidak lagi menyerang ibu tirinya tersebut. Tetapi Sari sepertinya lahir untuk menguji kesabaran manusia waras. Dia main drama lagi.“Dasar anak tidak
“Kamu boros banget, sih!” teriak si lelaki.“Uang sekolah anak-anak naik, Mas. Sembako juga,” Diah mencoba menjelaskan.“Berapa sih naiknya? Kamu minta kenaikannya banyak banget!” Dion masih tidak terima.“Lalu terus gimana? Apa aku kerja aja?” suara Diah agak kencang. Dia frustasi atas sikap si suami.Baru kali ini mereka berselisih masalah keuangan. Diah tidak pernah meributkan seberapa pun suaminya itu memberikan uang kepadanya. Dan Dion juga bukan tipe orang yang pelit untuk kebutuhan rumah tangga mereka.Dan kali ini, baru kali ini, Dion meributkan hal yang tidak pernah jadi masalah besar buat rumah tangganya.“Kita cerai!”Deg-Dada Diah langsung terasa nyeri mendengar perkataan Dion, laki-laki yang sudah menjadi suaminya selama 13 tahun terakhir.Cerai? Semudah itu kah suaminya bicara? Ribut masalah keuangan lalu mengucapkan talak?“Mas, kamu serius dengan perkataanmu?” lirih suara perempuan berusia 35 tahun itu bertanya. Ditahannya air mata yang tiba-tiba ingin tumpah.“Ya, ak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen