“Ibu kenapa?” tanya Rika kepada Mya yang sudah berdiri di ruang tamu.
“Pingsan, Tan,” jawab Mya gugup.
Sekilas dilihatnya anak sulung Diah itu tampak menyembunyikan sesuatu. Tetapi diabaikan rasa ingin tahunya biar secepatnya tahu keadaan sahabatnya.
Rika langsung masuk ke dalam rumah bersama Heri, sang suami.
“Di mana Ibu?” tanya Rika tanpa menghentikan jalannya.
“Di dapur,” jawab Mya, sedikit berlari mengikuti langkah para tamu dewasanya yang lebih cepat darinya.
Rika menghentikan langkahnya.
“Di dapur?” dia bertanya, mengulangi lagi perkataan Mya.
Mya ikut berhenti, balas menatap Rika yang bingung dengan ucapannya.
“Bunda pingsan di dapur, Tan,” Mya kemudian memberikan penjelasan.
Begitu mendengar penjelasan Mya lebih lanjut, Rika langsung menarik suaminya ke arah dapur. Langkahnya lebih cepat dan gadis remaja di belakangnya makin sulit mengikuti.
“Di!” seru Rika begitu masuk ke dapur. Dilihatnya sang sahabat yang berbaring di atas kursi bambu. Dia trenyuh melihat posisi tubuh sahabatnya yang sepertinya tidak nyaman.
“Mas, tolong!” seru Rika. Dengan sigap Heri mengangkat tubuh lunglai Diah ala bridal style ke dalam kamarnya.
Di kamar, tubuh Diah dibaringkan di atas ranjangnya.
“Minta Dokter Edy ke sini, Ma,” Heri meminta Rika menghubungi dokter langganan mereka yang juga bisa diminta datang ke rumah.
Rika menganggukkan kepalanya, kemudian menghubungi dokter Edy. Sedangkan Heri segera keluar kamar setelah meminta Mya dan Qilka menjaga ibu mereka.
Diah siuman bersamaan dengan kedatangan dokter Edy.
“Aku kenapa?” bisik Diah setelah menyadari dirinya terbaring di ranjang kamarnya.
“Tadi Ibu pingsan di dapur," beritahu Qilla yang setia duduk di sebelahnya.
“Saya periksa dulu ya, Bu Diah,” Dokter Edy berkata sambil melakukan pemeriksaan.
Dilihatnya kelopak mata bagian dalam, tensi, dan beberapa bagian tubuhnya yang perlu diperiksa. Dokter Edy juga menanyakan kapan terakhir haid, apa yang dirasakan saat ini dan juga nafsu makannya.
“Ibu KB?”
Diah menggelengkan kepalanya. Dion melarangnya KB karena ingin punya anak laki-laki.
“Terakhir berhubungan sama suami kapan, Bu?” Dokter Edy bertanya lagi.
Diah mencoba mengingat-ingat. Mereka sudah jarang melakukan hubungan suami istri, tidak berselera setiap suaminya meminta haknya. Entah mengapa, Diah merasa badannya mudah remuk redam.
“Sepertinya dua minggu yang lalu,” jawab Diah setelah menghitung. Wajahnya memerah. Malu rasanya, sepertinya kehidupan rumah tangganya sudah begitu membosankan.
Dokter Edy tersenyum, kemudian menulis sebuah nota dan diberikan kepada Diah.
“Sebaiknya periksa dulu ke poli kandungan,” sambil menyerahkan nota tersebut, Dokter Edy bicara.
Diah mengerenyitkan keningnya, bingung dengan instruksi Dokter Edy.
“Ini maksudnya gimana, Dok?”
Dokter Edy tersenyum.
“Saya memperkirakan Ibu hamil. Makanya sarannya, sebaiknya periksa ke poli kandungan,” jawab Dokter Edy panjang lebar.
Diah ternganga, dia jelas merasa kaget dan kebingungan.
Hamil? Diah meringis, mengingat tadi pag suaminya baru saja memberikan talaknya.
Lalu sekarang bagaimana? Bahkan ada yang mengaku sebagai selingkuhannya.
Diah tercenung, pikirannya terasa penuh dan hampir meledak. Sampai-sampai ketika Dokter Edy pamit tidak digubrisnya.
Rika masuk kamar dan melihat jika sang sahabat masih duduk melamun.
Dimintanya Heri mengajak anak-anak Diah keluar, agar mereka berdua leluasa berbicara.
“Kenapa?” tanya Rika seraya mengusap lengan Diah.
Sahabatnya itu masih belum mampu bicara. Tetapi diserahkan nota rujukan untuk periksa ke Bagian kandungan.
Rika melihat nota tersebut secara bergantian dengan wajah sahabatnya.
“Kamu hamil?” senyum Rika semakin merekah. Dia sendiri sudah delapan tahun menikah dengan Heri. Tetapi belum dikaruniai seorang anak.
Jelas dirinya turut berbahagia mendengar berita kemungkinan sahabatnya hamil.
Diah menghela nafasnya. Hatinya bimbang untuk meneruskan kehamilannya ini.
“Aku-,” Diah bingung untuk meneruskan perkataannya.
“Kenapa?” tanya Rika yang bingung dengan tatapan kosong dari Diah.
“Mas Dion baru saja menalakku,” perlahan Diah menceritakan keadaannya kepada sahabatnya itu.
Rika melotot, menatapnya seolah sedang memandang hantu yang sedang bicara.
“Dia sudah membawa semua barangnya, pergi dari rumah ini,” lanjutnya bercerita, ditahannya air mata yang sudah ingin keluar. Rika langsung pindah duduk di sebelah Diah. Dipeluknya sang sahabat. Mencoba memberikan kekuatan kepada perempuan yang semakin hari semakin hilang sinarnya.
“Dan tadi-,” Diah menghembuskan nafasnya berkali-kali sebelum melanjutkan perkataannya, “tadi salah satu pegawainya menelpon, mereka ber-berse-ling-kuh,” tersendat-sendat dirinya menyelesaikan ceritanya.
Rika makin mengeratkan pelukannya.
“Hoax mungkin,” Rika mencoba menghibur sahabatnya.
Diah menggelengkan kepalanya. Dirinya pun ingin menolak fakta tersebut. Tetapi ada bukti yang dia terima.
“Perempuan itu mengirimkan bukti foto dan video perselingkuhan mereka,” sangkal Diah. Dadanya sudah sesak mengingat itu semua.
“Ya Tuhan! Diah, yang sabar ya,” hanya kata-kata itu yang keluar dari bibirnya untuk menghibur sang sahabat.
Diah sendiri tidak tahu harus bagaimana menanggapinya. Kali ini isakannya semakin terdengar ke penjuru rumah.
“Ak-aku tidak siap kalau hamil lagi,” lirih Diah menyatakan kegundahannya.
Rika terus memeluknya, mencoba memberi kekuatan.
“Kita periksa saja dulu, baru setelah itu dipikirkan langkah selanjutnya,” kata Rika memberikan saran.
Diah hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Untuk saat ini hanya Rika dan Heri yang bisa diharapkan dapat membantu.
Sementara di kantornya, Dion baru saja selesai dengan kegiatan yang seharusnya dilakukannya bersama istri sahnya, tetapi ini dilakukan bersama perempuan lain.
Pakaian Dion dan Sari masih berantakan. Keduanya masih dalam posisi saling berpelukan.
Laki-laki itu teringat tadi ada panggilan telepon yang ditolak oleh kekasihnya itu. Dirinya pun melepaskan pelukan mereka.
Sari terpaksa menggeser tubuhnya terpisah dari Dion. Sedangkan laki-laki itu meraih teleponnya untuk memeriksa panggilan masuk tadi.
Dengan wajah cemberut diperhatikannya Dion yang sibuk dengan telepon selularnya.
“Ah, kenapa panggilan telepon dari Mya kamu tolak,” suara Dion terdengar geram saat tahu tadi siapa yang memanggilnya.
Sari semakin cemberut mendengar Dion menegurnya. Tanpa melihat reaksi perempuan simpanannya itu, Dion segera melakukan panggilan kepada sang putri.
Begitu panggilannya terjawab, segera disapanya sang putri.
“Kakak kenapa telepon Ayah, Nak? Ada yang penting?” tanya Dion kepada putrinya dengan suara melembut.
Terdengar desahan kesal dari Mya.
"Tadi Ibu pingsan, Yah."
Dion mengerutkan keningnya. Ketika dia pergi keadaan Diah terlihat baik-baik saja.
“Sekarang keadaan Ibu gimana? Ini kamu di mana? Kog berisik sekali?” Dion memberondong putri sulungnya dengan banyak pertanyaan. Sedangkan Sari semakin sebal karena kekasihnya menyebutkan Diah di pertengahan panggilan telepon dengan sang putri.
"Ibu sudah siuman dan diperiksa dokter. Aku sama adik lagi di Game Center bareng Om Heri."
Mendengar nama Heri, Dion seperti tersentil hatinya. Harusnya dia yang menemani kedua putrinya bermain, bukan orang lain.
"Sudah ya Yah! Sudah dipanggil Om Heri!"
Lalu tanpa menunggu jawaban ayahnya, gadis remaja itu pun mematikan panggilan. Dion hanya mendengus, tapi tidak mungkin bisa marah dengan anak sulungnya.
“Kenapa, Mas? Bu Diah baik-baik saja, kan?” tanya Sari ingin tahu.
Dion menghela nafasnya panjang sebelum menjawab pertanyaan sang selingkuhan.
“Aku pulang dulu, mau lihat keadaannya,” kata Dion. Bagaimana pun Diah masih tercatat sebagai istrinya. Dia harus memastikan keadaan ibu anak-anaknya.
“Eh, nggak bisa! Nanti sore kita mau periksa kandungan!” tolak Sari dengan suara melengking.
Dion mendesah kesal. Mau tidak mau, saat ini ada yang harus lebih diprioritaskan olehnya dibandingkan yang lain.
Sari, kekasihnya, sedang hamil anaknya.
Setelah dibujuk bahkan sampai diancam oleh Rika, Diah pun mau diantar oleh sahabatnya itu pergi ke dokter kandungan yang dirujuk oleh Dokter Edy.Anak-anak masih betah bermain dengan Heri, sehingga Diah bisa meninggalkan mereka dengan tenang. Keduanya memang dekat dengan suami sahabatnya tersebut selain dengan sang ayah.Di ruang tunggu dokter kandungan, Diah gelisah. Sungguh, dia berharap jika dugaan Dokter Edy itu salah. Dirinya tidak tahu harus bagaimana bersikap jika benar-benar hamil.Suaminya berselingkuh, bahkan sudah menalaknya. Hamil dan melahirkan sendiri mungkin masih mampu dilaluinya. Tetapi bagaimana dengan membesarnya? Selama menikah saja dia sudah pontang-panting mengurusi kedua anaknya. Bagaimana kalau mereka sudah sah bercerai?Perempuan itu tidak mampu lagi untuk berfikir secara benar. Dia merasa buntu. Harapannya hanyalah, perkiraan dari Dokter Edy itu salah.“Ibu Diah Prameswari!” seorang perawat memanggil namanya untuk masuk ke dalam ruang periksa.“Di,” panggil R
Diah langsung melengos setelah melihat Dion dan perempuan itu berdiri di hadapannya. Talak karena nusyuz? Siapa yang selingkuh? Geram Diah dalam hatinya. Rika yang justru maju ke hadapan kedua pengkhianat itu. “Oh, istri lagi hamil diceraikan, jalan sama pelakor? Suami macam sih kamu?” teriak Rika memancing rasa ingin tahu orang sekitar mereka. Dion tersentak, memandang nanar ke arah Diah yang sibuk menarik Rika dari area itu. “Ayo Ka, ambil obat terus pulang,” bisik Diah jengah, orang-orang sudah memperhatikan mereka. Bahkan ada yang merekam lewat telepon seluler. “Nanti dulu, aku belum puas, Di,” tolak Rika. “Nggak usah cari ribut, Ka. Ayo pergi,” bisik Diah, tangannya sibuk menarik-narik sahabatnya. Sejujurnya, dia sudah malas berurusan dengan Dion. “Diah, benar kamu hamil?” Dion bertanya, dia pun berusaha melepaskan lengannya yang dibelit oleh Sari. “Ya! istrimu yang baru kamu talak demi pelakormu itu tadi pagi, sedang hamil empat minggu!” Rika yang menjawab, sedangkan Di
Diah tidak mengindahkan pertanyaan Dion. Dia langsung menarik tangan Rika, meneruskan langkah mereka untuk segera pulang. “Didi, jelaskan apa maksud perkataanmu,” Dion terus mengejar, tidak peduli banyak mata yang memperhatikan mereka. Begitu sampai ke depan lift, Dion meraih kembali lengan Diah. “Jelaskan apa maksudmu,” kejar Dion. “Apanya?” Diah balik bertanya, tidak acuh. “Kamu tadi bilang siapa yang mau hamil,” Dion mengingatkan kembali. Diah nyegir begitu mengingatnya. “Aku nggak mau hamil, puas?” Diah berkata, dan itu membuat Dion menatapnya waspada. “Kamu sekarang lagi hamil,” sergah Dion. Diah mengangkat bahunya. Acuh tak acuh menjawabnya. “Ya, tinggal digugurin. Repot amat,” dengan santai Diah menjawabnya. Rika memilih diam, walau hatinya teriris mendengarnya. Sedangkan Dion terkejut dengan jawaban yang keluar dari lisan istrinya itu. “Kamu tidak bisa menggugurkannya, aku tidak mengijinkanmu!” seru Dion marah. Diah berdecak mendengar kemarahan laki-laki berkulit
“Kamu yakin?” tanya Rika memastikan ucapan sahabatnya itu.Diah menganggukkan kepalanya. Kali ini dia sudah yakin memutuskan. Setidaknya, anak dalam kandungannya akan punya masa depan yang baik.“Aku yakin anak ini akan baik-baik saja jika bersama kalian,” Diah berkata, mengelus perutnya lembut.“Oke, nanti aku rundingkan dulu dengan suamiku,” Putus Rika.Meski dia sangat yakin bahwa suaminya akan setuju, tetapi tidak boleh asal bicara sebelum ada perundingan antara dirinya dan suaminya.“Pulang yuk, sudah malam,” ajak Rika seraya menutup pintu mobilnya. Diah mengikuti yang dikerjakan oleh sahabatnya.Makanan mereka sudah dibayar saat memesan. Di beberapa warung gudeg, cara itu sudah biasa dilakukan.Jadi Rika tinggal menjalankan mobilnya, membelah jalanan kota yang dikenal sebagai pusat budaya Jawa.“Ka, sementara ini jangan bilang ke anak-anak tentang kehamilanku ya,” pinta Diah.Rika hanya menganggukkan kepalanya, mengikuti apa pun keinginan sang sahabat.Sementara malam semakin lar
Sementara di ruang tamu, Mya heboh menyambut ayahnya. Berbeda dengan Qilla yang bersikap biasa saja.Gadis remaja itu langsung memeluk ayahnya. Raut wajahnya tampak bahagia.“Ayah pulang? Nggak pergi lagi, kan?” tanyanya beruntun. Dion terkekeh mendengar antusiasnya anak sulungnya tersebut.“Nggak, Ayah pulang dan nggak pergi lagi,” jawab Dion dengan keyakinan yang kuat.Bagaimana kalau Sari marah? Dion tidak peduli, perempuan itu harus menerima pengaturan darinya atau mereka tidak jadi menikah.“Ibu mana, Kak?” tanya Dion pada Mya. Diliriknya Qilla yang masih sibuk membersihkan sofa ruang tamu. Anak bungsunya itu terus bekerja tanpa memperdulikan kehadiran sang ayah.Dion menghela nafasnya. Dia tahu seperti apa hati anaknya yang bungsu itu. Kalau kecewa, susah untuk menerima kembali.Untuk sementara dia memilih untuk mengabaikan dulu. Yang terpenting adalah bertemu istrinya terlebih dahulu."Di kamar, Yah. Masih sakit," jawab Mya, menginga
Dion menghela nafas panjang. Jelas dia dalam posisi sulit.“Aku tidak mungkin menceraikan kamu, Didi,” kata Dion, mencoba memberi pengertian kepada istrinya.“Karena aku hamil, kan?” Diah memberikan penegasan.“Aku harus bertanggung jawab kepada kalian,” Dion terus berkilah. Diah sampai kesal melihatnya.“Memang kalau aku nggak hamil, kamu tidak akan bertanggung jawab dengan Mya dan Qilla?” skakmat! Dion terdiam mendengar pertanyaan Diah.Diah ternganga melihat respon yang diberikan Dion atas pertanyaannya.“Kamu? Setega itu sama anak-anakmu sendiri?” tanya perempuan berusia 35 tahun tersebut.“Bukan seperti itu, Di!” Dion gelagapan mencoba menjelaskan.“Lalu seperti apa?” tanya Diah dengan suara yang keras.Dion ingin menjawab, tetapi telepon seluler miliknya berbunyi.Ada nama Sari di layar telepon seluler miliknya.“Angkat saja,” kata Diah sinis, saat dilihatnya Dion kebingungan.Ragu-ragu, Dion akhirnya menjawab panggilan telepon itu.“Halo,” sapa Dion.Nak Dion, maaf mengganggu! I
Diah membawa motor maticnya ke sekolah anak-anak dengan kecepatan penuh.Di dalam hatinya, perempuan manis itu mengomel panjang pendek kepada Dion. Janji yang meleset lagi, membuatnya kesal. Bukan untuk dirinya yang memang sudah tidak berharap, tetapi dilihatnya Mya yang begitu mencintai ayahnya.“Ibu!” teriak Qilla, begitu melihat ibunya masuk ke halaman sekolah. Dia berlari menghampirinya.Mya terlihat lesu di atas bangku taman. Pasti kecewa sekali dengan sikap ayahnya yang belum hadir di sekolahnya.Diah memeluk Qilla seraya menghampiri putri sulungnya.“Pulang, yuk,” ajak Diah kepada si sulung. Mya mengangguk dengan wajah murung. Kemudian berjalan gontai ke arah motor ibunya.Diah menghela nafas, benar-benar kesal dengan kelakuan Dion. Laki-laki itu kembali mematahkan hati sulungnya.“Yuk, kita pulang,” Diah pun membawa putri bungsunya ke motornya.Baru saja melangkah, mobil milik mantan suaminya itu masuk ke halaman sekolah. Dion asal memarkirnya, kemudian keluar.Wajah Mya langsu
Dion mengambil telepon seluler milik Diah. Dibacanya pesan masuk yang diperlihatkan oleh mantan istrinya tersebut.Dia hafal betul, itu nomer kontak ibunya Sari.Sudah ditalak, jangan mengemis cinta sama Mas Dion! Dasar gatel!Wajah Dion merah padam membacanya. Hatinya tetap tidak bisa menerima Diah dimaki-maki oleh Sari.Diah meminta telepon selularnya. Ragu-ragu, diberikan alat komunikasi itu kepada perempuan manis itu.Mantan istrinya itu seperti memanggil seseorang. Dion langsung bersikap waspada.“Kamu mau menghubungi siapa, Di?” tanyanya gugup.Diah tidak menjawab, sambil tetap menempelkan telepon itu pada telinganya, dia menjauhi mantan suaminya.Dion mengikuti langkah Diah yang menuju ke teras belakang. Telepon seluler masih ditempelkan pada telinga.“Di, Kamu menghubungi siapa? Sari? Jangan, dia lagi hamil. Kasihan!” Dion secara beruntun, memberondong Diah dengan berbagai pertanyaan dan permohonan.Diah berbalik, menghadap pada mantan suaminya. Kesal tergambar dari ekspresi wa
"Mengapa Om ingin membeli rumah kami?" tanya Mya."Karena Om pernah tinggal di sana, jadi ingin kembali," jawab Arga.Mya mengerutkan keningnya."Maksudnya gimana? Tinggal di rumah kami?" Mya pun bertanya kembali.Arga susah payah menahan tawa dengan kepolosan gadis yang duduk di sebelahnya."Bukan, Om dulu tetangga ibumu saat kami masih seusia kalian. Lalu pindah karena pekerjaan orang tua," Arga memberikan penjelasan, setelah berhasil menahan tawanya.Mya pun menganggukkan kepalanya."Jadi ketika Om kembali ke Jogja, rumah itu sudah jadi milik orang lain. Tapi hanya bisa tinggal di kaliurang," Arga melanjutkan ceritanya."Dan tau Ibu jual rumah, makanya Om ingin beli?" Mya bertanya dijawab dengan anggukan kepala Arga."Selain tempat Om yang dulu ada di depan kalian, rumah kalian memiliki banyak kenangan," beritahu Arga.Laki-laki itu tersenyum, mengingat segala hal yang pernah dilewatinya bersama Diah."Apa tujuan Om membeli rumah kami?" Mya masih terus mengejar jawaban Arga."Yang p
Arga menatap layar teleponnya, menimbang apakah perlu menerima atau diabaikan saja."Siapa tahu orang yang mau jual rumah itu, Pa," ujar Tania."Ah betul juga, Nia. Papa belum punya nomer teleponnya," sahut Arga. Dia pun akhirnya menjawab panggilan tersebut.Tetapi dugaan Arga keliru, bukan sahabat masa kecilnya yang menghubungi.["Saya Mya, putrinya Bu Diah, Om."]Sejenak, Arga terpaku. Bertanya di dalam hatinya, darimana remaja putri itu mendapatkan nomer kontaknya.["Maaf, saya menemukan kartu nama Om di meja ruang tamu."] Mya memberikan penjelasan."Oh iya, Mya. Ada keperluan apa sampai telpon Om?" Arga bertanya dengan suara lembut.["Bisakah kita bertemu? Om yang akan beli rumah kami kan?"] Permintaan Mya cukup membuatnya kaget."Boleh Om tahu, kenapa Mya minta ketemu sama Om?" Arga balik bertanya.["Hanya ... ingin ngobrol saja, sebelum ikhlas dengan keputusan yang diambil Ibu."] Mya terdengar ragu-ragu dengan perkataannya.Arga menghela nafas panjang, merasakan kegamangan gadis
Arga menerbitkan senyum, membuat hati Diah mendadak tegang."Asal syaratnya masih masuk akal, aku nggak masalah," Diah melanjutkan perkataannya."Sebuah kesepakatan yang insyaallah saling menguntungkan," Arga menyahut dengan suara tegas."Iya, apa syaratnya?" Diah balik bertanya, wajahnya terlihat penasaran."Assalamu'alaikum, Ibu!" sapaan dari Mya dan Qilla membuat percakapan kedua orang dewasa itu terhenti.Diah pun menyambut kedua anaknya yang baru pulang sekolah."Tadi dijemput Om Heri sama Tante Rika, Bu," beritahu Qilla, tetapi pandangannya terang-terangan mengarah kepada Arga."Tante sama Om langsung pergi, katanya ada urusan," timpal Mya, mencuri pandang ke arah Arga.Diah dan Arga menyadari rasa ingin tahu kedua gadis itu terhadap kehadiran laki-laki dewasa tersebut."Ganti baju dulu ya, nanti kembali ke sini. Ada yang ingin Ibu jelaskan," titah Diah.Kedua anaknya pun menuruti perkataan sang ibu."Apa syaratnya?" Diah mengulangi pertanyaannya kepada Arga. "Kita kerja sama,"
Diah masih terpaku, menatap laki-laki yang masih tampak tampan meski tidak lagi muda.“Siapa ya? Seperti pernah lihat,” gumam Diah, terus memandangi laki-laki tersebut.“Aduh, aku dilupain,” lirih suara laki-laki tersebut, memandang kecewa ke arah perempuan berparas manis tersebut.Sebenarnya, Diah bisa saja bersikap masa bodoh dengan sikap misterius tamunya. Tetapi entah kenapa, dia penasaran. Wajah laki-laki itu terasa familiar.Laki-laki itu tersenyum kecil. “Didi lupa sama Mas Gaga?” tanyanya“ya ampun! Mas Gaga? Yang dulu tinggal di sebelah?” Diah langsung heboh. Memory tentang masa kecilnya pun kembali hadir.Laki-laki tampan itu, namanya Arga Cahyo. Tetangga Diah di masa lalu. Seingatnya, laki-laki itu pindah ke luar kota saat remaja.“Alhamdulillah, sudah ingat sama Mas,” ada nada bersemangat pada suara laki-laki tersebut.Diah tertawa lirih. Dirinya pun senang bisa bertemu dengan tetangga masa kecilnya. Rasanya kenangan indah muncul kembali di kepalanya.“Apa kabar
“Aku mau jual rumah ini.”. Jawaban Diah jelas membuat Rika terperangah.“Serius kamu?” tanya Rika, setelah rasa syoknya mereda.Diah menganggukkan kepalanya. Sepertinya, perempuan berparas manis itu mantap dengan keputusannya.“Di, ini rumah lho. Jangan gegabah,” sergah Rika.Diah masih diam, mencari kata untuk menjelaskan.“Dari kecil kamu tinggal di sini. Anak-anak pun lahir dan besar di sini,” Rika mencoba mengingatkan besarnya keterikatan sahabatnya itu terhadap rumah ini.Diah menghela nafas. Tahu kekhawatiran sahabatnya. Tetapi mau bagaimana lagi? Dirinya dan anak-anak lebih perlu jika rumah ini dijual.“Mas Dion sudah lepas tangan, yang terakhir diberikan ya yang saat di Pengadilan Agama itu,” Diah memulai penjelasannya kepada sahabatnya.Rika diam, menyimak penjelasan Diah.“Dan uang itu sudah kudepositkan untuk biaya pendidikan anak-anak,” Diah meneruskan perkataannya.Diah diam, masih memikirkan rencana yang sebenarnya baru saja dipikirkan olehnya. Rika menatap ke ara
Sari mendatangi Dion yang sedang duduk bersama kedua putrinya.Wajahnya merah padam dengan tangan mengepal di sisi kiri kanan tubuhnya.Seruannya tentu menarik perhatian orang sekitar. Dion dan kedua anaknya pun mengarahkan pandangan mereka kepadanya.Mya yang sudah menduga apa sumber masalahnya, mendorong sebuah amplop tebal yang dipegang oleh Dion, kembali pada ayahnya.“Sepertinya, istri Ayah nggak suka. Ambil saja kembali,” kata Mya seraya tetap mendorong amplop tersebut kepada Dion.Begitu sampai di depan mereka, Sari menyambar amplop tersebut.“Apa-apaan kamu, Mas!” seru Sari, tatapannya berapi-api.Dion yang gerah dengan sikap istrinya, berusaha meraih kembali amplop tersebut. Tentu saja Sari tidak mau dengan sukarela menyerah kepada suaminya.“Kembalikan Sari, mereka bahkan berhak lebih dari itu!” pekik Dion, marah dan sakit hati bercampur menjadi satu di hatinya.“Ingat, Mas! Aku mau melahirkan dan kita belum punya rumah! Jangan sembarangan kasih uang!” Sari masih ngotot, engg
“Kita tinggal di rumahmu!” seru Dion, setelah berfikir cukup lama.Sari mendelik ke arah Dion, keberatan dengan keputusan yang diambil suaminya itu.“Kenapa harus ke sana? Kenapa bukan ke rumahmu yang dipakai Diah dan anak-anak?” protes Sari.Dion menghela nafas, merasa kesal dengan rongrongan istri sirinya itu.“Rumah itu warisan orang tuanya Diah, bukan hakku mengambilnya,” tegas Dion.Sari mendengus, kesal melihat suaminya masih membela sang mantan.“Tapi kan, Kamu yang membiayai perawatan rumah itu!”Rumah yang ditempati Diah memang besar. Terdiri dari lima kamar tidur dan dua kamar mandi. Halamannya cukup luas, ditata sebagai taman yang asri dan arena bermain. Sari pasti ingin sekali menempatinya.“Itu kewajibanku sebagai suaminya saat itu. Bukan hakku untuk menggugatnya sekarang,” sergah Dion jengkel.“Ya sekarang, sebagai suamiku punya kewajiban untuk memberi tempat tinggal,” Sari masih tidak terima.“Paling lambat, kita besok pagi harus pergi dari sini. Mau cari rumah kontrakan
Dion dan Sari duduk bersisian di ruang tamu. Di hadapan mereka, ada Pak RT dan istrinya yang bernama Aminah.“Pak Dion bilang, sedang menunggu buku nikah,” Pak RT langsung membicarakan poinnya, tanpa basa-basi.“Iya, Pak RT. Kami sudah nikah siri, untuk menghindari fitnah. Belum bisa menikah resmi, karena masih menunggu sidang cerai,” panjang lebar Dion menjelaskan.Pak RT mengangguk-angguk, mencoba memaklumi penjelasan tersebut.Nikah siri karena belum sah bercerai? Demi menghindari fitnah? Tetapi perut yang perempuan sudah tampak hamil? Pak RT merasa gagal paham.“Maaf nih Pak, kapan nikah sirinya?” tanya Aminah dengan raut wajah penasaran.“Sekitar dua bulan yang lalu, Bu,” jawab Dion, tidak menyadari Aminah sedang mengintrogasi dirinya.Aminah menganggukkan kepala. Seperti sedang memikirkan sesuatu. Lalu menatap perut Sari.“Oh, Mbak Sari sedang hamil ya?” tanyanya seraya tetap melihat perut istri sirinya Dion. Seakan-akan dia baru tahu keadaan tersebut.Sari tersenyum jumawa, tang
Diah yang akan masuk ke dalam mobil,langsung balik kanan. Merengkuh Mya ke dalam pelukannya.Wajah putri sulungnya sudah memerah. Amarah tampak melingkupi remaja cantik tersebut.“Nak, istighfar,” bisik Diah tepat di depan telinga Mya.Di hadapan mereka, Sari sedang memegang pipinya yang memerah, bekas tamparan Mya.“Sudah merah kupingku, dari tadi dia menghina Ibu!” seru Mya, mengadu kepada Diah. Sepertinya sudah tidak mampu mengontrol emosinya lagi.Hari ini memang terlalu berat untuk ditanggung Mya seorang diri. Usianya baru belasan tahun, duduk di bangku SMP. Tetapi harus menghadapi Sari yang lisannya seperti tidak lulus sekolah.Satu hari ini, dua kali dia harus menghadapi drama perempuan, istri baru ayahnya tersebut. Tentu saja yang ketiga kalinya, merasa perlu untuk bereaksi keras.Diah harus menahan putri sulungnya, supaya tidak lagi menyerang ibu tirinya tersebut. Tetapi Sari sepertinya lahir untuk menguji kesabaran manusia waras. Dia main drama lagi.“Dasar anak tidak