Diah segera mengambil telepon selularnya. Nomor tidak dikenal yang memanggilnya. Dia pun mengangkatnya sambil mengerutkan dahinya.
“Halo,” sapa Diah lirih."Halo Ibu direktur, atau mantan ibu direktur?" sambut suara di seberang sana seraya tertawa. Dia bingung dengan sapaan itu. Apalagi suara itu terdengar familiar di telinganya.“Ini siapa ya?” tanya Diah kebingungan."Saya Sari, pegawai Pak Dion...oh! Atau calon istri Pak Dion?" Suara itu semakin kurang ajar menghina Diah.Calon istri? Mantan Ibu direktur? Diah tidak mengerti arah pembicaraan lawan bicaranya di telepon.“Ada apa menelpon saya?” tanya Diah. Dadanya bergemuruh, perasaannya tidak nyaman hinggap di hatinya.Dia mempunyai firasat jelek pada panggilan telepon ini."Oh nggak, hanya ingin serah terima jabatan saja," semakin menjadi-jadi perempuan yang bernama Sari itu bicara.Serah terima jabatan? Diah semakin dibuat bingung dengan pernyataan-pernyataan yang dilontarkan perempuan itu.“Serah terima jabatan apa?” Diah mencoba tenang."Dari mantan Nyonya Dion Rahardja kepada calon Nyonya Dion Rahardja," jawab yang di seberang sana.Tangan Diah yang sedang memegang telepon langsung gemetar. Dia mulai memahami maksud dari pembicaraan ini. Tangisnya kembali mengalir, dadanya yang belum sepenuhnya pulih, menjadi sesak kembali.“Jangan mengada-ada kamu,” desis Diah."Hari ini kamu ditalak, kan? Ya karena Mas Dion akan menikah denganku," Diah semakin gemetar mendengar penjelasan penuh hinaan untuknya. Tangisnya makin deras mengalir di pipinya.Prang!Mya yang akan masuk dapur, kaget mendengar ada suara benda jatuh dari sana, segera berlari.Didapatinya Diah yang terkulai jatuh pingsan di lantai dapur.“Ibu!” seru Mya, langsung berlari menghampiri Diah.***Perempuan berkuning Langsat itu bernama Sari Permata. Cantik, jelas sekali dia menyadari kelebihan fisiknya. Awalnya dia bekerja sebagai frontliner di Biro Wisata MyaQi, milik Dion. Tetapi keluwesannya berinteraksi dan penguasaan beberapa bahasa asing, membuatnya dipercaya oleh Dion untuk jadi tour guide.Dia berdiri di depan jendela ruang kerja Dion yang terletak di lantai 3.Tadi pagi dirinya menelpon Dion, menanyakan rencana laki-laki itu untuk meninggalkan anak dan istrinya. Tetapi perempuan itu merasa belum puas dengan jawaban calon suaminya tersebut. Itu sebabnya dia menelpon Diah dan menerornya.Sari tersenyum sinis ketika tadi didengarnya suara Mya berteriak memanggil ibunya. Sepertinya rencananya berhasil.Tetapi tampaknya perempuan itu masih kurang puas. Dia mengirimkan foto-foto mesranya dengan Dion kepada calon mantan istri laki-laki yang digilainya itu.“Biar mantap,” bisiknya kejam.Pintu ruangan terbuka. Dion masuk dengan tatapan matanya yang dingin.“Aku sudah bilang, besok ke rumahmu,” ujar Dion. Ada nada kesal yang tersirat dari perkataannya.Sari tersenyum manis, kemudian memeluk laki-laki itu dengan erat."Cobalah bersabar, aku sudah menuruti keinginanmu," Dion terus mengomel.“Tapi aku kangen,” Rajuk Sari manja.Dion tersenyum, luluh dengan sikap kekasihnya. Kemanjaan dan rajukan Sari yang membuatnya selalu merasa dicintai, itu lah yang membuat laki-laki tampan itu berani melangkah lebih dari sekedar rekan kerja, sehingga akhirnya perempuan itu hamil dan menuntut pertanggungjawaban darinya.“Aku juga kangen, tetapi bisa sabar sebentar kan?" Dion masih mencoba membujuk kekasihnya. "Aku nggak bisa jauh dari Mas," rajuk Sari dengan suara lirih, semakin erat memeluknya. "Aku sudah memilihmu, jangan khawatir," Dion terus membujuk kekasihnya. Sari tersenyum menggoda. Melangkah ke pintu, mengunci nya, kemudian kembali kepada Dion.“Apa yang kamu lakukan?” tanya Dion, saat kekasihnya memegang kemejanya, melepaskan satu per satu kancingnya."Ini rasa kangen yang sebenarnya," sahut Sari, suaranya seksual.Maka setelahnya, kedua orang yang belum halal itu pun asyik dengan dunia mereka. Bahkan Dion melupakan kedua anaknya yang baru saja ditangisinya.Tiba-tiba telepon selular milik Dion berbunyi. Awalnya dia mengabaikan panggilan itu. Kenikmatan yang diberikan oleh Sari terlalu indah buat ditinggalkan. Tetapi bunyi telepon masuk terus bergema. Jelas dia terganggu.Dion menghentikan kegiatan panasnya, bermaksud menjawab panggilan telepon tersebut.Tetapi Sari lebih gesit, diraihnya telepon selular itu, menolak panggilan dan mematikannya."Siapa tahu penting," protes Dion yang tidak digubris oleh Sari.Perempuan seksi itu kembali menggodanya. "Kangen ku lebih penting," jawab Sari.Dirinya pun kembali terbuai dengan permainan kekasih gelapnya itu. Lupa dengan panggilan telepon yang tadi sempat mengusiknya. "Kamu memang yang paling penting untukku," sahut Dion.Sepertinya, laki-laki yang berusia matang itu melupakan keluarga yang baru beberapa jam ditinggalkannya.Sementara Diah yang pingsan dengan susah payah dibawa anak-anaknya ke kursi panjang dari bambu yang memang ada di dapur. Qilla berusaha menyadarkan ibunya dengan minyak kayu putih, sedangkan Mya langsung menghubungi ayahnya. Mereka jelas butuh Dion untuk menangani pingsannya Diah. Bagaimanapun keduanya masih muda untuk menghadapi sendiri masalah seperti ini.Berkali-kali Mya menghubungi ayahnya, tetapi tidak ada respon. Bahkan setelah itu telepon Dion tidak bisa dihubungi. Gadis remaja itu menggeram marah.“Telepon saja Tante Rika. Rumahnya yang paling deket,” usul Qilla.Mya pun mengikuti usul adiknya itu.“Halo Tante, Ibu pingsan! Ayah nggak ada!” seru Mya begitu panggilannya diterima."Tante sama Om ke sana. Tunggu!" Jawab Rika, kemudian sambungan telepon pun ditutup.Setelah meletakkan ponselnya, Mya membantu adiknya, berusaha membuat ibunya sadar.“Kenapa Ibu pingsan?” tanya Qilla seraya menggosok-gosokkan minyak kayu putih ke dada, perut dan di bawah hidung Diah.“Nggak tahu, tadi kayaknya Ibu habis terima telepon. Terus...,” Mya diam sejenak. Dia baru ingat tentang hal itu."Ibu pingsan habis terima telepon?" tanya Mya dalam hatinya. Tangannya segera menggapai telepon selular milik Diah. Diutak-atiknya telepon itu untuk memeriksa riwayat panggilan masuk di sana.Tetapi ada notifikasi chat masuk yang tampaknya belum sempat dibuka ibunya. Mungkin keburu pingsan, kalau dilihat dari perkiraan waktunya.Karena penasaran, dibukanya chat tersebut. Tampak ada beberapa foto mesra ayahnya dengan perempuan yang Mya tahu adalah pegawai di biro wisata milik Dion."Ini pegawainya Ayah? Mereka pacaran?" hatinya pun bertanya-tanya. Hati Mya seketika sakit, rasanya semakin kecewa dengan Dion."Jadi ini yang bikin Ayah minta pisah dari Ibu? Bukan karena Ibu boros?" tanya hatinya."Aku harus mencari Ayah di kantornya!" tekad Mya , kemudian membalikkan badannya."Titip Ibu, aku mau mau cari Ayah," Mya berkata sambil keluar dari dapur."Kak! Enggak perlu! Kita urus Ibu saja!" Qilla memanggil dan mencoba menghalangi niatnya, tetapi tidak digubris.Mya terus berjalan, tekad nya kuat untuk mencari ayahnya di kantor. Memintanya kembali ke rumah."Ayah pasti mau," gadis remaja itu mempunyai keyakinan yang besar. Tidak pernah sekalipun Dion menolak permintaan darinya. Tetapi sesampainya di luar, sudah ada Rika dan Heri."Kamu mau kemana?" Rika bertanya sambil mengerutkan keningnya. Mya tergagap, memandang ke arah sahabat ibunya dengan ekspresi panik.“Ibu kenapa?” tanya Rika kepada Mya yang sudah berdiri di ruang tamu.“Pingsan, Tan,” jawab Mya gugup.Sekilas dilihatnya anak sulung Diah itu tampak menyembunyikan sesuatu. Tetapi diabaikan rasa ingin tahunya biar secepatnya tahu keadaan sahabatnya.Rika langsung masuk ke dalam rumah bersama Heri, sang suami.“Di mana Ibu?” tanya Rika tanpa menghentikan jalannya.“Di dapur,” jawab Mya, sedikit berlari mengikuti langkah para tamu dewasanya yang lebih cepat darinya.Rika menghentikan langkahnya.“Di dapur?” dia bertanya, mengulangi lagi perkataan Mya.Mya ikut berhenti, balas menatap Rika yang bingung dengan ucapannya.“Bunda pingsan di dapur, Tan,” Mya kemudian memberikan penjelasan.Begitu mendengar penjelasan Mya lebih lanjut, Rika langsung menarik suaminya ke arah dapur. Langkahnya lebih cepat dan gadis remaja di belakangnya makin sulit mengikuti.“Di!” seru Rika begitu masuk ke dapur. Dilihatnya sang sahabat yang berbaring di atas kursi bambu. Dia trenyuh melihat posisi tubuh saha
Setelah dibujuk bahkan sampai diancam oleh Rika, Diah pun mau diantar oleh sahabatnya itu pergi ke dokter kandungan yang dirujuk oleh Dokter Edy.Anak-anak masih betah bermain dengan Heri, sehingga Diah bisa meninggalkan mereka dengan tenang. Keduanya memang dekat dengan suami sahabatnya tersebut selain dengan sang ayah.Di ruang tunggu dokter kandungan, Diah gelisah. Sungguh, dia berharap jika dugaan Dokter Edy itu salah. Dirinya tidak tahu harus bagaimana bersikap jika benar-benar hamil.Suaminya berselingkuh, bahkan sudah menalaknya. Hamil dan melahirkan sendiri mungkin masih mampu dilaluinya. Tetapi bagaimana dengan membesarnya? Selama menikah saja dia sudah pontang-panting mengurusi kedua anaknya. Bagaimana kalau mereka sudah sah bercerai?Perempuan itu tidak mampu lagi untuk berfikir secara benar. Dia merasa buntu. Harapannya hanyalah, perkiraan dari Dokter Edy itu salah.“Ibu Diah Prameswari!” seorang perawat memanggil namanya untuk masuk ke dalam ruang periksa.“Di,” panggil R
Diah langsung melengos setelah melihat Dion dan perempuan itu berdiri di hadapannya. Talak karena nusyuz? Siapa yang selingkuh? Geram Diah dalam hatinya. Rika yang justru maju ke hadapan kedua pengkhianat itu. “Oh, istri lagi hamil diceraikan, jalan sama pelakor? Suami macam sih kamu?” teriak Rika memancing rasa ingin tahu orang sekitar mereka. Dion tersentak, memandang nanar ke arah Diah yang sibuk menarik Rika dari area itu. “Ayo Ka, ambil obat terus pulang,” bisik Diah jengah, orang-orang sudah memperhatikan mereka. Bahkan ada yang merekam lewat telepon seluler. “Nanti dulu, aku belum puas, Di,” tolak Rika. “Nggak usah cari ribut, Ka. Ayo pergi,” bisik Diah, tangannya sibuk menarik-narik sahabatnya. Sejujurnya, dia sudah malas berurusan dengan Dion. “Diah, benar kamu hamil?” Dion bertanya, dia pun berusaha melepaskan lengannya yang dibelit oleh Sari. “Ya! istrimu yang baru kamu talak demi pelakormu itu tadi pagi, sedang hamil empat minggu!” Rika yang menjawab, sedangkan Di
Diah tidak mengindahkan pertanyaan Dion. Dia langsung menarik tangan Rika, meneruskan langkah mereka untuk segera pulang. “Didi, jelaskan apa maksud perkataanmu,” Dion terus mengejar, tidak peduli banyak mata yang memperhatikan mereka. Begitu sampai ke depan lift, Dion meraih kembali lengan Diah. “Jelaskan apa maksudmu,” kejar Dion. “Apanya?” Diah balik bertanya, tidak acuh. “Kamu tadi bilang siapa yang mau hamil,” Dion mengingatkan kembali. Diah nyegir begitu mengingatnya. “Aku nggak mau hamil, puas?” Diah berkata, dan itu membuat Dion menatapnya waspada. “Kamu sekarang lagi hamil,” sergah Dion. Diah mengangkat bahunya. Acuh tak acuh menjawabnya. “Ya, tinggal digugurin. Repot amat,” dengan santai Diah menjawabnya. Rika memilih diam, walau hatinya teriris mendengarnya. Sedangkan Dion terkejut dengan jawaban yang keluar dari lisan istrinya itu. “Kamu tidak bisa menggugurkannya, aku tidak mengijinkanmu!” seru Dion marah. Diah berdecak mendengar kemarahan laki-laki berkulit
“Kamu yakin?” tanya Rika memastikan ucapan sahabatnya itu.Diah menganggukkan kepalanya. Kali ini dia sudah yakin memutuskan. Setidaknya, anak dalam kandungannya akan punya masa depan yang baik.“Aku yakin anak ini akan baik-baik saja jika bersama kalian,” Diah berkata, mengelus perutnya lembut.“Oke, nanti aku rundingkan dulu dengan suamiku,” Putus Rika.Meski dia sangat yakin bahwa suaminya akan setuju, tetapi tidak boleh asal bicara sebelum ada perundingan antara dirinya dan suaminya.“Pulang yuk, sudah malam,” ajak Rika seraya menutup pintu mobilnya. Diah mengikuti yang dikerjakan oleh sahabatnya.Makanan mereka sudah dibayar saat memesan. Di beberapa warung gudeg, cara itu sudah biasa dilakukan.Jadi Rika tinggal menjalankan mobilnya, membelah jalanan kota yang dikenal sebagai pusat budaya Jawa.“Ka, sementara ini jangan bilang ke anak-anak tentang kehamilanku ya,” pinta Diah.Rika hanya menganggukkan kepalanya, mengikuti apa pun keinginan sang sahabat.Sementara malam semakin lar
Sementara di ruang tamu, Mya heboh menyambut ayahnya. Berbeda dengan Qilla yang bersikap biasa saja.Gadis remaja itu langsung memeluk ayahnya. Raut wajahnya tampak bahagia.“Ayah pulang? Nggak pergi lagi, kan?” tanyanya beruntun. Dion terkekeh mendengar antusiasnya anak sulungnya tersebut.“Nggak, Ayah pulang dan nggak pergi lagi,” jawab Dion dengan keyakinan yang kuat.Bagaimana kalau Sari marah? Dion tidak peduli, perempuan itu harus menerima pengaturan darinya atau mereka tidak jadi menikah.“Ibu mana, Kak?” tanya Dion pada Mya. Diliriknya Qilla yang masih sibuk membersihkan sofa ruang tamu. Anak bungsunya itu terus bekerja tanpa memperdulikan kehadiran sang ayah.Dion menghela nafasnya. Dia tahu seperti apa hati anaknya yang bungsu itu. Kalau kecewa, susah untuk menerima kembali.Untuk sementara dia memilih untuk mengabaikan dulu. Yang terpenting adalah bertemu istrinya terlebih dahulu."Di kamar, Yah. Masih sakit," jawab Mya, menginga
Dion menghela nafas panjang. Jelas dia dalam posisi sulit.“Aku tidak mungkin menceraikan kamu, Didi,” kata Dion, mencoba memberi pengertian kepada istrinya.“Karena aku hamil, kan?” Diah memberikan penegasan.“Aku harus bertanggung jawab kepada kalian,” Dion terus berkilah. Diah sampai kesal melihatnya.“Memang kalau aku nggak hamil, kamu tidak akan bertanggung jawab dengan Mya dan Qilla?” skakmat! Dion terdiam mendengar pertanyaan Diah.Diah ternganga melihat respon yang diberikan Dion atas pertanyaannya.“Kamu? Setega itu sama anak-anakmu sendiri?” tanya perempuan berusia 35 tahun tersebut.“Bukan seperti itu, Di!” Dion gelagapan mencoba menjelaskan.“Lalu seperti apa?” tanya Diah dengan suara yang keras.Dion ingin menjawab, tetapi telepon seluler miliknya berbunyi.Ada nama Sari di layar telepon seluler miliknya.“Angkat saja,” kata Diah sinis, saat dilihatnya Dion kebingungan.Ragu-ragu, Dion akhirnya menjawab panggilan telepon itu.“Halo,” sapa Dion.Nak Dion, maaf mengganggu! I
Diah membawa motor maticnya ke sekolah anak-anak dengan kecepatan penuh.Di dalam hatinya, perempuan manis itu mengomel panjang pendek kepada Dion. Janji yang meleset lagi, membuatnya kesal. Bukan untuk dirinya yang memang sudah tidak berharap, tetapi dilihatnya Mya yang begitu mencintai ayahnya.“Ibu!” teriak Qilla, begitu melihat ibunya masuk ke halaman sekolah. Dia berlari menghampirinya.Mya terlihat lesu di atas bangku taman. Pasti kecewa sekali dengan sikap ayahnya yang belum hadir di sekolahnya.Diah memeluk Qilla seraya menghampiri putri sulungnya.“Pulang, yuk,” ajak Diah kepada si sulung. Mya mengangguk dengan wajah murung. Kemudian berjalan gontai ke arah motor ibunya.Diah menghela nafas, benar-benar kesal dengan kelakuan Dion. Laki-laki itu kembali mematahkan hati sulungnya.“Yuk, kita pulang,” Diah pun membawa putri bungsunya ke motornya.Baru saja melangkah, mobil milik mantan suaminya itu masuk ke halaman sekolah. Dion asal memarkirnya, kemudian keluar.Wajah Mya langsu
"Mengapa Om ingin membeli rumah kami?" tanya Mya."Karena Om pernah tinggal di sana, jadi ingin kembali," jawab Arga.Mya mengerutkan keningnya."Maksudnya gimana? Tinggal di rumah kami?" Mya pun bertanya kembali.Arga susah payah menahan tawa dengan kepolosan gadis yang duduk di sebelahnya."Bukan, Om dulu tetangga ibumu saat kami masih seusia kalian. Lalu pindah karena pekerjaan orang tua," Arga memberikan penjelasan, setelah berhasil menahan tawanya.Mya pun menganggukkan kepalanya."Jadi ketika Om kembali ke Jogja, rumah itu sudah jadi milik orang lain. Tapi hanya bisa tinggal di kaliurang," Arga melanjutkan ceritanya."Dan tau Ibu jual rumah, makanya Om ingin beli?" Mya bertanya dijawab dengan anggukan kepala Arga."Selain tempat Om yang dulu ada di depan kalian, rumah kalian memiliki banyak kenangan," beritahu Arga.Laki-laki itu tersenyum, mengingat segala hal yang pernah dilewatinya bersama Diah."Apa tujuan Om membeli rumah kami?" Mya masih terus mengejar jawaban Arga."Yang p
Arga menatap layar teleponnya, menimbang apakah perlu menerima atau diabaikan saja."Siapa tahu orang yang mau jual rumah itu, Pa," ujar Tania."Ah betul juga, Nia. Papa belum punya nomer teleponnya," sahut Arga. Dia pun akhirnya menjawab panggilan tersebut.Tetapi dugaan Arga keliru, bukan sahabat masa kecilnya yang menghubungi.["Saya Mya, putrinya Bu Diah, Om."]Sejenak, Arga terpaku. Bertanya di dalam hatinya, darimana remaja putri itu mendapatkan nomer kontaknya.["Maaf, saya menemukan kartu nama Om di meja ruang tamu."] Mya memberikan penjelasan."Oh iya, Mya. Ada keperluan apa sampai telpon Om?" Arga bertanya dengan suara lembut.["Bisakah kita bertemu? Om yang akan beli rumah kami kan?"] Permintaan Mya cukup membuatnya kaget."Boleh Om tahu, kenapa Mya minta ketemu sama Om?" Arga balik bertanya.["Hanya ... ingin ngobrol saja, sebelum ikhlas dengan keputusan yang diambil Ibu."] Mya terdengar ragu-ragu dengan perkataannya.Arga menghela nafas panjang, merasakan kegamangan gadis
Arga menerbitkan senyum, membuat hati Diah mendadak tegang."Asal syaratnya masih masuk akal, aku nggak masalah," Diah melanjutkan perkataannya."Sebuah kesepakatan yang insyaallah saling menguntungkan," Arga menyahut dengan suara tegas."Iya, apa syaratnya?" Diah balik bertanya, wajahnya terlihat penasaran."Assalamu'alaikum, Ibu!" sapaan dari Mya dan Qilla membuat percakapan kedua orang dewasa itu terhenti.Diah pun menyambut kedua anaknya yang baru pulang sekolah."Tadi dijemput Om Heri sama Tante Rika, Bu," beritahu Qilla, tetapi pandangannya terang-terangan mengarah kepada Arga."Tante sama Om langsung pergi, katanya ada urusan," timpal Mya, mencuri pandang ke arah Arga.Diah dan Arga menyadari rasa ingin tahu kedua gadis itu terhadap kehadiran laki-laki dewasa tersebut."Ganti baju dulu ya, nanti kembali ke sini. Ada yang ingin Ibu jelaskan," titah Diah.Kedua anaknya pun menuruti perkataan sang ibu."Apa syaratnya?" Diah mengulangi pertanyaannya kepada Arga. "Kita kerja sama,"
Diah masih terpaku, menatap laki-laki yang masih tampak tampan meski tidak lagi muda.“Siapa ya? Seperti pernah lihat,” gumam Diah, terus memandangi laki-laki tersebut.“Aduh, aku dilupain,” lirih suara laki-laki tersebut, memandang kecewa ke arah perempuan berparas manis tersebut.Sebenarnya, Diah bisa saja bersikap masa bodoh dengan sikap misterius tamunya. Tetapi entah kenapa, dia penasaran. Wajah laki-laki itu terasa familiar.Laki-laki itu tersenyum kecil. “Didi lupa sama Mas Gaga?” tanyanya“ya ampun! Mas Gaga? Yang dulu tinggal di sebelah?” Diah langsung heboh. Memory tentang masa kecilnya pun kembali hadir.Laki-laki tampan itu, namanya Arga Cahyo. Tetangga Diah di masa lalu. Seingatnya, laki-laki itu pindah ke luar kota saat remaja.“Alhamdulillah, sudah ingat sama Mas,” ada nada bersemangat pada suara laki-laki tersebut.Diah tertawa lirih. Dirinya pun senang bisa bertemu dengan tetangga masa kecilnya. Rasanya kenangan indah muncul kembali di kepalanya.“Apa kabar
“Aku mau jual rumah ini.”. Jawaban Diah jelas membuat Rika terperangah.“Serius kamu?” tanya Rika, setelah rasa syoknya mereda.Diah menganggukkan kepalanya. Sepertinya, perempuan berparas manis itu mantap dengan keputusannya.“Di, ini rumah lho. Jangan gegabah,” sergah Rika.Diah masih diam, mencari kata untuk menjelaskan.“Dari kecil kamu tinggal di sini. Anak-anak pun lahir dan besar di sini,” Rika mencoba mengingatkan besarnya keterikatan sahabatnya itu terhadap rumah ini.Diah menghela nafas. Tahu kekhawatiran sahabatnya. Tetapi mau bagaimana lagi? Dirinya dan anak-anak lebih perlu jika rumah ini dijual.“Mas Dion sudah lepas tangan, yang terakhir diberikan ya yang saat di Pengadilan Agama itu,” Diah memulai penjelasannya kepada sahabatnya.Rika diam, menyimak penjelasan Diah.“Dan uang itu sudah kudepositkan untuk biaya pendidikan anak-anak,” Diah meneruskan perkataannya.Diah diam, masih memikirkan rencana yang sebenarnya baru saja dipikirkan olehnya. Rika menatap ke ara
Sari mendatangi Dion yang sedang duduk bersama kedua putrinya.Wajahnya merah padam dengan tangan mengepal di sisi kiri kanan tubuhnya.Seruannya tentu menarik perhatian orang sekitar. Dion dan kedua anaknya pun mengarahkan pandangan mereka kepadanya.Mya yang sudah menduga apa sumber masalahnya, mendorong sebuah amplop tebal yang dipegang oleh Dion, kembali pada ayahnya.“Sepertinya, istri Ayah nggak suka. Ambil saja kembali,” kata Mya seraya tetap mendorong amplop tersebut kepada Dion.Begitu sampai di depan mereka, Sari menyambar amplop tersebut.“Apa-apaan kamu, Mas!” seru Sari, tatapannya berapi-api.Dion yang gerah dengan sikap istrinya, berusaha meraih kembali amplop tersebut. Tentu saja Sari tidak mau dengan sukarela menyerah kepada suaminya.“Kembalikan Sari, mereka bahkan berhak lebih dari itu!” pekik Dion, marah dan sakit hati bercampur menjadi satu di hatinya.“Ingat, Mas! Aku mau melahirkan dan kita belum punya rumah! Jangan sembarangan kasih uang!” Sari masih ngotot, engg
“Kita tinggal di rumahmu!” seru Dion, setelah berfikir cukup lama.Sari mendelik ke arah Dion, keberatan dengan keputusan yang diambil suaminya itu.“Kenapa harus ke sana? Kenapa bukan ke rumahmu yang dipakai Diah dan anak-anak?” protes Sari.Dion menghela nafas, merasa kesal dengan rongrongan istri sirinya itu.“Rumah itu warisan orang tuanya Diah, bukan hakku mengambilnya,” tegas Dion.Sari mendengus, kesal melihat suaminya masih membela sang mantan.“Tapi kan, Kamu yang membiayai perawatan rumah itu!”Rumah yang ditempati Diah memang besar. Terdiri dari lima kamar tidur dan dua kamar mandi. Halamannya cukup luas, ditata sebagai taman yang asri dan arena bermain. Sari pasti ingin sekali menempatinya.“Itu kewajibanku sebagai suaminya saat itu. Bukan hakku untuk menggugatnya sekarang,” sergah Dion jengkel.“Ya sekarang, sebagai suamiku punya kewajiban untuk memberi tempat tinggal,” Sari masih tidak terima.“Paling lambat, kita besok pagi harus pergi dari sini. Mau cari rumah kontrakan
Dion dan Sari duduk bersisian di ruang tamu. Di hadapan mereka, ada Pak RT dan istrinya yang bernama Aminah.“Pak Dion bilang, sedang menunggu buku nikah,” Pak RT langsung membicarakan poinnya, tanpa basa-basi.“Iya, Pak RT. Kami sudah nikah siri, untuk menghindari fitnah. Belum bisa menikah resmi, karena masih menunggu sidang cerai,” panjang lebar Dion menjelaskan.Pak RT mengangguk-angguk, mencoba memaklumi penjelasan tersebut.Nikah siri karena belum sah bercerai? Demi menghindari fitnah? Tetapi perut yang perempuan sudah tampak hamil? Pak RT merasa gagal paham.“Maaf nih Pak, kapan nikah sirinya?” tanya Aminah dengan raut wajah penasaran.“Sekitar dua bulan yang lalu, Bu,” jawab Dion, tidak menyadari Aminah sedang mengintrogasi dirinya.Aminah menganggukkan kepala. Seperti sedang memikirkan sesuatu. Lalu menatap perut Sari.“Oh, Mbak Sari sedang hamil ya?” tanyanya seraya tetap melihat perut istri sirinya Dion. Seakan-akan dia baru tahu keadaan tersebut.Sari tersenyum jumawa, tang
Diah yang akan masuk ke dalam mobil,langsung balik kanan. Merengkuh Mya ke dalam pelukannya.Wajah putri sulungnya sudah memerah. Amarah tampak melingkupi remaja cantik tersebut.“Nak, istighfar,” bisik Diah tepat di depan telinga Mya.Di hadapan mereka, Sari sedang memegang pipinya yang memerah, bekas tamparan Mya.“Sudah merah kupingku, dari tadi dia menghina Ibu!” seru Mya, mengadu kepada Diah. Sepertinya sudah tidak mampu mengontrol emosinya lagi.Hari ini memang terlalu berat untuk ditanggung Mya seorang diri. Usianya baru belasan tahun, duduk di bangku SMP. Tetapi harus menghadapi Sari yang lisannya seperti tidak lulus sekolah.Satu hari ini, dua kali dia harus menghadapi drama perempuan, istri baru ayahnya tersebut. Tentu saja yang ketiga kalinya, merasa perlu untuk bereaksi keras.Diah harus menahan putri sulungnya, supaya tidak lagi menyerang ibu tirinya tersebut. Tetapi Sari sepertinya lahir untuk menguji kesabaran manusia waras. Dia main drama lagi.“Dasar anak tidak