"Kiara, bilang kepada Ayah dan Ibumu, aku beserta dengan keluargaku akan berkunjung ke rumahmu ba'da Isya."
Kubaca lagi pesan yang dikirimkan Pak Bima beberapa jam yang lalu. Aku melirik jam yang terletak di atas nakas. Semakin malam, perasaanku justru semakin kalut. Aku tidak bisa membayangkan reaksi ayah, jika nanti orang tua Pak Bima menceritakan kejadian di kantor siang tadi. Meskipun itu hanyalah kesalahpahaman semata, namun aku yakin, Ayah dan Ibu pasti marah padaku. Aku tidak memiliki bukti yang kuat untuk menyangkal semuanya, sebab satu-satunya bukti yang bisa kuperlihatkan juga bisa bersuara. Tidak bisa membantuku menjelaskan kejadian sebenarnya kepada orang-orang.
Ruang tamu sudah tertata rapi, jamuan untuk para tamu juga sudah tersaji. Ibu sepertinya sangat senang, mengetahui anak gadisnya akan dilamar oleh orang. Segala hal yang berkaitan dengan penyambutan tamu sudah ibu siapkan dengan baik, meskipun acara lamaran ini sangat mendadak sekali.
Sejauh ini, ayah dan ibu tidak menyimpan tanda tanya terkait dengan acara yang akan berlangsung beberapa jam lagi. Mimik muka sumringah terpancar dari wajah kedua orang tuaku. Ya, setidaknya ayah dan ibu sudah tidak mengkhawatirkan jodohku yang tidak kunjung datang.
Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Aku terkesiap ketika derum suara mobil berhenti di depan rumah. Kusibakkan tirai jendela di kamar, berharap bahwa mobil yang ada di depanku bukan milik keluarga Pak Bima. Mulut jahatku merapal doa-doa buruk untuk mereka, 'semoga ban mobil mereka bocor, dan pada akhirnya mereka batal untuk berkunjung ke rumah ini.'
"Kak Kiara, tamunya sudah datang."
Seruan adikku membuat jantungku berhenti berdetak sepersekian detik, sesak. Aku memegang dadaku yang debarannya terasa sampai ke ubun-ubun. Tanganku dingin, perutku juga terasa melilit, bukan karena aku sedang sakit, tapi karena aku gugup.
Aku sehat tapi jalanku seperti agak limbung. Aku menegakkan badan agar tidak semakin pusing. Riuh teras rumah membuat pikiran kalutku menjadi semakin berisik. Aku memberanikan diri untuk keluar dari persembunyianku. Dengan langkah patah-patah aku menampakan diriku di depan semua tamu. Aku mencari-cari keberadaan calon suamiku di tengah hiruk pikuk tamu yang sedang berjubel menyalami tangan Ayah. Eh tunggu, Calon suami? Pak Bima maksudnya hehe.
Jantungku berdesir ketika menemukan bayang Pak Bima di antara para tamu, seperti ada yang mengiris lambung dengan pisau yang sangat berkarat, ngilu. Aku mengalihkan pandangan sejenak dan ketika mata kami saling bertemu, tulang-tulangku serasa rontok semua. Malam ini , Pak Bima mengenakan batik slimfit berwarna coklat muda. Wajahnya terlihat lebih cerah daripada biasanya. Rambutnya tersisir rapi, dan senyumnya membuat dadaku bertalu-talu seperti genderang perang. Bibirku refleks melengkung secara sempurna. Malam ini, Pak Bima tampan sekali dan aku terpesona.
Setelah acara salam-salaman selesai, semua orang yang ada di teras menempatkan diri untuk berpindah tempat ke ruang tamu. Meski sedikit sesak, namun ruangan ini mampu untuk menampung semuanya. Aku masih berlindung di balik tubuh ibu. Kepalaku menunduk, takut untuk melihat suasana sekitar.
Acara dimulai dengan perkenalan keluarga. Ayah Pak Bima memperkenalkan dirinya beserta dengan sebagian kecil pasukan yang dibawa, sedangkan ayah juga memperkenalkan aku beserta dengan keluargaku. Aku menghela napas lega, setidaknya belum ada kekacauan yang terjadi di ruangan ini.
"Jadi maksud kedatangan kami kemari, untuk menanyakan ketersedian putri Bapak dipersunting oleh putra kami, Abimanyu Akif Nawasena ..." Kalimat yang diucapkan oleh Pak Hans terdengar janggal, seperti sengaja dibuat menggantung.
Aku memberanikan diri untuk mengangkat wajahku yang sedari tadi menunduk. Tepat ketika aku bermaksud untuk melihat Pak Hans, pandangan Pak Bima sedang fokus ke arahku. Di tengah desiran ngilu yang menyusup ke dalam hati, aku mencoba mengangkat alisku untuk memberi kode kepada Pak Bima. Ruangan seketika hening, menunggu Pak Hans melanjutkan perkataannya. Sedangkan Pak Bima hanya menggeleng lemah, seolah pasrah dengan apa yang saat ini sedang terjadi.
"Namun, sebelum kami melamar putri Bapak, kami ingin menanyakan satu hal kepada Bapak dan juga ibu ..." Pak Hans diam lagi.
Perasaanku tiba-tiba tidak enak. Buliran keringat yang tadi tidak nampak, kini mulai berjatuhan membasahi dahiku. Aku meremas tangan ibu secara refleks. Tanganku dingin. Ingin kabur rasanya dari sini.
"Silakan, Pak. Akan kami jawab semampu kami," jawab ayah sambil tersenyum.
"Apakah Bapak mengetahui kejadian tadi siang di kantor?" tanya Pak Hans dengan senyum yang tersungging di bibirnya.
'deg'
Wajahku pasti pucat sekali. Dadaku kian menyempit, sesak! Akhirnya apa yang kutakutkan pun terjadi, Pak Hans membongkar kejadian si kantor siang tadi. Aku melirik Pak Bima, dia pun juga sama pucatnya denganku.'Tuhan, beri aku napas agar kewarasanku tetap ada,' harapku saat ini.
"Kejadian apa? Saya tidak tau, Pak." Ayah menggelengkan kepala, sedangkan ibu menoleh kepadaku.
"Kiara tidak cerita, ya?" tanya Pak Hans lagi.
"Sepulang saya bekerja, Kiara hanya bilang bahwa akan ada teman kantornya yang datang untuk melamarnya malam ini. Selebihnya, tidak ada omongan apa-apa," jelas ayah, "atau Ibu tau sesuatu?" Ibu hanya menggeleng.
"Tadi siang saya kebetulan berkunjung ke kantor Bima. Namun, ketika saya sampai di depan ruangannya, saya mendengar ada erangan gadis dari arah dalam. Hati saya rasanya tidak tenang, maka saya memutuskan untuk membuka paksa ruangan milik anak saya ..." Pak Hans menghela napas, berbeda dengan aku yang saat ini sedang kesulitan untuk bernapas. Badanku rasanya dingin, gemetaran."Saya sebenarnya tidak mau mengatakan hal ini kepada Bapak. Tapi, saya merasa resah ... Anak Bapak sedang melakukan adegan tidak senonoh dengan Bima. Untuk itu, malam ini saya kemari untuk bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh anak saya, terhadap putri Bapak." Pak Hans mengakhiri omongannya dengan desah napas panjang, seolah beban yang ada di pundaknya luruh. Ayah menoleh ke arahku, kemudian menatapku dengan tatapan mengintimidasi. Getaran di tubuhku semakin kuat, bahkan mampu mendesak buliran air yang sudah berkumpul di ujung mata."Ayah, semua yang terjadi di kantor tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan orang-orang. Aku tidak melakukan apapun dengan Pak Bima." Aku menjelaskan dengan suara parau.
"Lalu?" Baru kali ini, aku mendengar suara ayah dengan nada yang agak tinggi.
"Semua hanya salah paham. Pak Bima sedang membantu mengobati luka yang ada di kakiku."
"Tapi, erangan itu? Desahan itu? Posisi Bima yang ada di kedua pahamu? Apakah itu hanyalah kebetulan?" Pak Hans memotong ucapanku.
"Kinar, Ayah kecewa denganmu!" Ayah membentakku, "Ayah tidak pernah mengajarkan kepadamu untuk melakukan hal di luar norma dan batas kewajaran!"
Nyaliku yang awalnya sebesar gunung, kini menciut menjadi butiran pasir. Aku takut menyangkal ucapan ayah. Ibuku beringsut mundur, lalu terisak di balik tirai ruang tamu.
"Ayah ..." Wajahku sudah basah tergenang air, bibirku gemetar.
"Kamu!" Ayah menunjukkan telunjuknya padaku, "sama seperti jalang! Ayah menyesal telah percaya padamu!" Ayah semakin marah. Aku pun mulai terisak menahan sendu.
"Jangan hakimi Kinar lagi. Dia adalah wanita yang sangat baik. Jika kalian mencari siapa yang salah dalam kasus ini, maka aku yang berhak kalian salahkan." Pak Bima akhirnya angkat bicara.
Aku berharap Pak Bima mau membelaku, menceritakan keberanaran yang sebenar-benarnya.
"Kamu!" Ayah menghantamkan tangannya ke lantai sambil menatap Pak Bima dengan kegeraman. "Kenapa harus Kinar, hah? Apa karena dia orang miskin makanya kamu seenaknya saja memperlakukannya?" Suara Ayah serak.
"Kinar, apa yang kamu lakukan ini sangat memalukan! Bapak ingin kamu segera menikah, tapi tidak begini caranya!" bentak Ayah. Aku beringsut mundur, memainkan jemari untuk mengurangi ketakutanku.
"Saya ingin membahagiakan anak, Bapak," ucap Pak Bima.
"Persetan dengan kebahagiaan. Kalian berdua sudah melukai hati banyak orang!" Baru kali ini aku melihat Ayah mengucapkan kata-kata kasar
"Sudah, Pak, besok pagi kita nikahkan saja mereka." tawar Pak Hans.
"Ini bukan soal menikah atau tidak! Sekali lagi bukan karena itu. Tapi, cara mereka keliru, Pak!"
"Saya tahu, Pak. Saya juga kecewa dengan mereka. Kalau bisa memilih, tentu saya tidak akan suka dia menikahi putri Anda. Tapi kejadian siang tadi membuat hati nurani saya terketuk untuk menurunkan ego saya."
Ayah membuang muka, "Kalau begitu, nikahkan saja mereka saat ini juga!" tegas ayah.
Aku menggelengkan kepalaku sebagai isyarat bahwa aku menolak pernikahan ini. Air mataku deras menetes, sampai-sampai aku kuwalahan untuk menghapusnya. Aku mengiba pada Pak Bima, meminta dia untuk menceritakan hal yang sebenarnya. Namun, tak ada satu patah katapun yang keluar dari mulutnya
Semua orang yang ada di ruangan ini setuju agar pernikahan antara aku dan Pak Bima dilangsungkan malam ini juga. Sekuat apapun aku tidak menyetujui, pada akhirnya aku hanya bisa menerima keputusan terbanyak dari orang-orang yang ada di sini. Mungkin aku masih beruntung tinggal di daerah perkotaan, jika aku hidup di desa, pasti aku dan Pak Bima sudah diarak keliling kampung tanpa busana.
Aku masih menunduk dengan bibir yang bergetar karena menahan isak. Debaran di dadaku semakin lama justru semakin kencang. Mataku masih saja meneteskan bulir bening dengan derasnya."Yah ... Kiara mohon, percaya sama Kiara," pintaku sambil terisak, "Kiara berani bersumpah, bahwa kami tidak melakukan apapun di dalam ruang kerja Pak Bima," imbuhku."Diam Kiara! Jangan bersumpah jika kamu tidak punya bukti apapun!" bentak ayah.Hatiku rasanya perih, bukan karena bentakan dari ayah. Namun, baru kali ini, ayah tidak mempercayai ucapanku meskipun aku sudah bersumpah di depan kitab suci. Sepertinya rasa percaya ayah terhadapku sudah patah akibat kesalahpahaman ini.Aku sebenarnya bisa saja memberikan rekaman CCTV kepada mereka semua. Namun, semua itu kurasa percuma. Hati dan pikiran mereka sudah tertutup rapat, dan lagi rekaman CCTV itu tidak bersuara, jadi untuk apa kutunjukkan. Tidak bisa membantuku untuk
Aku langsung masuk ke kamar setelah semua keluarga Pak Bima pulang. Riuh yang tadi diciptakan oleh puluhan orang, kini hanya menyisakan suara dari detak jarum jam, berjalan dari detik satu ke detik berikutnya.Setelah 2 jam sibuk menyambut tamu dari keluarga Pak Bima, badanku rasanya capai sekali. Kaki yang biasa kugunakan untuk berjalan, sekarang terasa pegal-pegal, mungkin karena terlalu lama berdiri diatas sepatu highhells yang tingginya tujuh cm. Seluruh tulang dan juga persendianku juga ikut sakit. Aku duduk di atas kasur, kemudian menyejajarkan kaki agar rasa pegalnya sedikit berkurang. Sedih rasanya jika harus meninggalkan ruangan yang sudah kutempati selama hampir 30 tahun ini. Namun, tidak mungkin jika seorang bos seperti Pak Bima bersedia untuk tidur di ruangan sempit seperti ini. Aku mengamati dengan saksama setiap sudut ruangan yang kusebut dengan kamar, terlalu banyak kenangan dan juga cerita yang tersimpan disini.Pintu kamar terbuka perlahan. Pak
Aku yakin, mukaku sekarang pasti sudah memerah seperti kepiting rebus. Rasa malu yang aku rasakan, menjalar begitu cepat ke sekujur tubuh. Mukaku panas, dan kakiku mendadak terasa lemas, lumpuh seketika.Aku menyeka ujung mataku dengan ibu jari. Ya ampun, aku nangis saking malunya. Kalau Tuhan kasih aku satu permintaan, tentu saja aku ingin Tuhan menghapus ingatan Pak Bima saat ini juga, biarin deh Pak Bima hilang ingatan sampe dia kakek-kakek nanti. Aduh, tapi kalau Pak Bima amnesia, nasibku nanti gimana dong?Kepalaku sebelah kiri tiba-tiba berdenyut kencang. Ternyata semakin dipikirkan, justru membuat kedua kakiku menjadi semakin lemas. Badanku ambruk seketika."Kiara, kenapa? Kamu jatuh?" suara Pak Bima terdengar sangat jelas di telingaku."Eng-enggak, Pak. Saya baik-baik saja," jawabku dengan suara yang agak bergetar. Udara di dalam kamar mandi ini sebenarnya panas, tapi tubuhku merinding
Setiap kali teringat kejadian semalam, pipiku pasti langsung memerah dan terasa sedikit panas. Rasa malu itu masih ada, meski aku sudah berusaha melupakan kejadian semalam.Setelah Pak Bima memergoki rambutku yang masih lengket akibat bilasan sabun yang kurang bersih, aku langsung berlari menuju ke kamar mandi. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengguyurkan air ke sekujur badan. Bibirku mencebik ketika sadar bahwa baju yang kukenakan masih lengkap dan melekat di tubuhku."Kamu ngapain basah-basahan begitu? Emang gak dingin?" Pak Bima mungkin merasa aneh melihatku mandi dengan pakaian yang masih lengkap."BAPAK, NGAPAIN ADA DI SITU?" teriakku kepadanya.Dia menopang dagu, kemudian menjawab pertanyaanku dengan santai, "saya dari tadi duduk di sini sambil kerja, dan kamu tau itu. Kok tiba-tiba sekarang nanya ngapain saya di sini? Aneh." Dia menggelengkan kepalanya pelan."BAPAK, SAYA BARU MANDI!" bentakku.
Aku mengucek mata secara perlahan, memastikan orang yang ada di sebelahku sudah tertidur lelap. Namun, setelah berkali-kali aku mengusap mata, aku tidak menemukan orang itu. Aku reflek duduk kemudian menyalakan lampu tidur yang ada di atas nakas. Kuedarkan pandangan ke setiap sudut kamar untuk mencari keberadaan Pak Bima dan ketika mata ini tidak sengaja menatap ke bawah, aku menemukan dia sedang meringkuk di bawah ranjang.Aku turun dari kasur kemudian membalikkan badan Pak Bima yang saat itu sedang tidur dengan posisi telungkup. Meski badan Pak Bima tergolong kecil, namun ternyata butuh beratus-ratus kalori untuk menelentangkan badannya. Aku menggoyang-goyangkan lengannya agar dia segera bangun. Namun, usaha yang aku lakukan sepertinya percuma. Jangankan bangun, bergerak saja tidak. Karena aku capek menggoyangkan badan, akhirnya aku menggunakan jurus pamungkas, yaitu memencet hidung mancun
Aku terperanjat setelah melihat tonjolan yang ada di dalam celana Pak Bima. Baru kali ini aku melihat tonjolan sebesar itu. Dengan kaki yang gemetar, aku mengendap-endap melewati Pak Bima, merangkak sepelan mungkin agar dia tidak terbangun."Uhmm ...." Pak Bima mengigau sambil menggaruk pipi tirusnya.Aku menahan napasku ketika tubuh mungilku berada di atas Pak Bima, jangan sampai embusan napas ini membangunkan dia yang masih sibuk merangkai mimpi. Namun, ketika mataku tidak sengaja menatap wajah polosnya yang masih terlelap, tanganku enggan beranjak dari tempat itu. Muka tampan Pak Bima sepertinya menyimpan ribuan magnet yang membuat kedua bola mataku tak mampu berpaling ke arah lain. Ku perhatikan setiap lekuk wajah yang dimiliki oleh Pak Bima. Alis yang tebal, kedua mata yang agak sipit, hidung mancung, bibir sintal, pipi tirus, dagu yang ah dia memiliki ketampanan yang tanpa cela."Ki ...." gumamnya pelan. Dia melingk
Suasana di ruang makan mendadak menjadi kacau. Pak Bima mendekat ke arahku dengan muka yang masih merah padam karena menahan amarah. Aku menunduk, takut melihat ekspresi tidak menyenangkan dari orang-orang yang ada di ruangan ini."Kak Bima duduk dulu, semua bisa kita bicarakan dengan baik. Asal Kak Bima mau meredam emosi dan juga menurunkan ego milik Kakak," bisik Binar pada Pak Bima."Apa yang perlu dibahas? Dalam kasus ini memang mereka yang salah. Bima susah diarahkan sedangkan istrinya tidak bisa menjaga diri." Brian menyuapkan nasi ke dalam mulutnya,"Wanita itu seharusnya bisa menjaga dirinya, bukan malah mengobral diri kesana kemari. Secantik apapun orangnya, kalau sudah begitu ya enggak menarik lagi, buatku wanita seperti itu, kesannya justru sangat murahan sekali."Pak Bima menggebrak meja yang ada di depannya. Rahangnya menegang dengan gigi yang terdengar saling bergesekan."Apa maksudmu, hah?" Pak Bima me
Aku mendekat ke ruang kerja Pak Bima untuk menajamkan pendengaranku. Aku kira kegaduhan tadi pagi, yang berujung pada keluarnya Pak Bima dari rumah, sudah cukup untuk meredam kemarahan dari Pak Hans. Tapi, nyatanya aku keliru. Pertengkaran di dalam ruangan ini justru lebih gaduh jika dibandingkan dengan cek cok mulut tadi pagi.Aku menempelkan telingaku di daun pintu setelah beberapa saat tidak mendengar suara apapun dari dalam ruangan. Aku takut jika satu diantara mereka melakukan hal-hal yang tidak baik, sebab aku tau orang dari keluarga Pak Hans memiliki watak yang keras dan tidak mau mengalah. Ditambah lagi aku sering mendengar dari karyawan kantor ini, bahwa mereka tidak segan menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginan mereka.'klek'Pintu terbuka secara tiba-tiba bersamaan dengan terhuyungnya badanku ke dalam ruangan. Aku jatuh tersungkur di depan Pak Hans dan Pak Bima yang mukanya masih sama-sama menegang. Tatapan
"Baik,Ki. Aku akan pergi dari sini."Aku membenamkan kepala ke dalam dekapan Pak Bima. Rasa muak yang sudah kutahan beberapa waktu terakhir ini, akhirnya tumpah setelah melihat batang hidung milik Putri. Aku tidak menyangka bahwa dia memiliki nyali yang besar untk datang ke rumah ini."Duduk dulu, ya. Kamu butuh minum untuk meredakan emosimu."Jika biasanya aku selalu membantah perkataan Pak Bima, kali ini aku turuti semua saran darinya. Hal ini aku lakukan bukan karena aku ingin membuat Putri cemburu, tapi lebih kepada rasa lelah yang mengungkung hati dan juga pikiranku. Jujur, aku sudah capek dengan segalanya. Jika Pak Bima ingin menuntaskan semuanya saat ini juga, maka aku sudah menyiapkan hatiku."Minum dulu, Ki." Dia menyodorkan segelas air bening kepadaku. "Tarik napas dalam-dalam, kemudian keluarkan pelan-pelan."Pak Bima berjalan memutariku, kemudian memposisikan diri tepat di samp
Aku menangis setelah berada di dalam kamar. Setiap kali membahas tentang Putri, rasa sakit akibat cemburu ini tidak bisa dikendalikan. Aku selalu terbayang bagaimana dulu Pak Suami menjamah tubuh Putri dan kini aku pun pernah melakukannya bersama dengan Pak Bima. Rasa-rasanya aku seperti sedang berbagi raga dengan sahabat baikku sendiri dan saat ingatan itu muncul, dadaku terasa begitu sesak."Ki, Kiara, jangan marah. Kita bicarakan baik-baik masalah ini, Ki." Pak Bima mengetuk pintu kamar dengan keras.Aku menutup kedua telingaku menggunakan telapak tangan. Suara dari Pak Bima mengetuk hati. Membuat rasa sakit yang bersemayam di dalam sana, menjalar dengan cepat ke seluruh tubuhku."Kiara, saya minta maaf jika saya selalu mengecewakanku. Saya salah, tapi untuk kali ini biarkan saya menjelaskan semuanya kepadamu." Dia menaikkan ritme ketukan pada pintu kamar ini."Kiara." Dia memanggil namaku dengan suara
Sudah tiga hari ini aku berdiam diri kamar. Rasa sakit dan kecewa akibat kebohongan Pak Bima, masih terpahat rapi di sudut hatiku. Aku sudah berkali-kali menafikkan semua pikiran negatif tentang dia dan juga Putri. Namun, semakin kutolak, pikiran jelek tersebut semakin terpatri di dalam pikiranku.Aku beranjak dari kasur menuju meja rias. Setelah beberapa kali mengamati, ternyata wajahku lebih cocok dikatakan mirip Alien dari pada seorang wanita yang sedang patah hati. Mukaku terlihat sangat kuyu dengan tatapan mata sendu dan manik yang berkantung karena kurang tidur.Aku tidak tahu bagaimana keadaan Pak Bima setelah dia terjatuh dari tangga 3 hari yang lalu. Setelah aku masuk ke dalam kamar, aku tidak lagi mendengar panggilan darinya. Bisa jadi saat ini dia sedang meringis kesakitan, atau justru sedang tertawa karena dirawat oleh Putri. Ah, sial! Pikiranku selalu saja lari ke sana. Sadar atau tidak, ada rasa iri dan kesal ketika teringat akan sosok Putri. Kepolosan ya
Bima PoV'BRAK'Aku mengusap dadaku perlahan, gebrakan pintu di balik sana membuat jantungku melompat dari tempatnya."Telan semua alasan dan juga rahasiamu! Saya tidak butuh dan bahkan tidak peduli dengan segala hal yang berkaitan dengan kehidupanmu!" Kiara kembali berteriak dari dalam kamar tidur. Suara melengkingnya membuat hatiku hancur. Aku tidak menyangka bahwa kesalahpahaman ini ternyata membuat dia semarah ini kepadaku.Dengan dada yang masih berdegub kencang, aku mulai beringsut mundur. Rasanya percuma aku berdiri terpaku di depan kamar seperti ini, sebab sekeras apapun aku berusaha untuk meyakinkan, Kiara tetap tidak akan mempercayaiku.Aku duduk termenung dengan kedua tangan menyangga kepala. Rasa sakit yang tadi bersemayam di dalam hati, kiri merembet naik ke kepalaku. Denyutan demi denyutan menjalar dari pelipis naik ke ubun-ubun. Jika seluruh bagian yang ada di kepalaku ini bisa berteriak, pasti ruangan ini sudah gaduh den
Sejujurnya aku masih tidak menyangka, bahwa ternyata dua orang yang paling aku percaya tega membiarkanku larut dalam ketidaktahuan. Aku kecewa dan tentunya marah kepada mereka. Dulu ketika Putri datang ke rumah dalam keadaan hamil dan meminta perlindungan, aku beserta dengan orang rumah membuka lebar pintu rumah kami, sebagai tempatnya untuk bersandar dan berpulang. Aku tidak tahu siapa orang yang tega memperlakukan Putri dengan cara yang tidak baik, merenggut kesuciannya, lalu meninggalkannya begitu saja tanpa sebuah kejelasan. Putri pun selalu bungkam ketika kami menanyakan siapa orang brengsek yang berani menghamilinya dan tidak mau bertanggung jawab, atas bayi yang ada di dalam kandungannya. Tiga tahun sudah dia memendam semuanya sendirian, dan hari ini semuanya terbongkar. Aku akhirnya tahu bahwa si bejat tidak bertanggung jawab itu adalah Pak Bima, suamiku sendiri. Dengan hati yang sudah terkoyak dan jantung yang detakannya patah-patah, aku mencoba
Aku mengumpulkan seluruh tenagaku yang masih tersisa kemudian mendorong kuat-kuat tubuhnya yang masih mendekapku. Sebelum rasa nyaman menguasaiku, sebelum hatiku mulai melemah lagi, aku harus bisa menjauhkan diriku darinya."SAYA MAU PULANG!" Aku kembali membentaknya."Iya, Ki, iya. Kita pulang sekarang." Pak Bima menjawab bentakanku dengan begitu sabar. Suaranya lembut, seperti seorang Ayah yang sedang menghadapi anaknya yang sedang tantrum.Aku berjalan beberapa langkah di depan Pak Bima. Ku percepat langkahku agar dia tidak bisa menyejajarkan posisi kami. Pak Bima berulang kali menggaungkan namaku di koridor hotel, tapi tidak satupun panggilan darinya yang aku respon. Hatiku sudah terlalu sakit dan juga kecewa, tubuhku juga kembali menggigil. Hal ini bukan karena hawa dingin yang mulai menyusup kulit, tapi lebih kepada amarah yang sudah terlalu susah untuk dikendalikan.Pandangan mataku mengarah lurus ke depan tapi tatapan mataku kosong. Jaket yang tad
Tanganku gemetar tatkala memutar handle pintu kamar. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa Pak Bima dan Putri bisa setega ini kepadaku. Kemarin aku sudah bertanya baik-baik perihal hubungan mereka. Namun, mereka sama-sama mengatakan bahwa sebelumnya tidak saling mengenal. Aku mencoba untuk berlari, menjauh sebisaku dari kamar hotel yang saat ini sedang aku tempati. Kejadian ini mengingatkanku pada keputusan yang dibuat oleh Ervan beberapa tahun yang lalu, sama-sama menyakitkan dan sama-sama mengandung sebuah kebohongan. Ah... Tapi setelah dipikir ulang, aku rasa kebenaran ini berkali-kali lebih menyakitkan dari pada apa yang pernah Ervan lakukan terhadapku. Aku bukanlah orang yang mudah menjatuhkan hati kepada orang lain, begitu pula terhadap Pak Bima. Namun, setelah aku mempercayainya dan menyerahkan seluruhnya kepada Pak Bima, dia tega berbohong bahkan menyembunyikan sesuatu yang sangat penting dariku, dari istrinya sendiri.Benarkah mereka pernah berhubungan? Jika iya, apa
"Ki, jangan lupa bawa jaket yang tebal, kalau perlu yang banyak deh." Pak Bima melirikku sekilas, kemudian fokus kepada benda kotak yang ada di dalam genggamannya. "Lebay amat! Emang kita mau liburan ke kutub?" Aku menjulurkan lidahku. "Dih, dikasih tau malah ngledek! Besok kalau sampai di sana kamu menggigil kedinginan, saya ceburin ke empang sekalian!" Pak Bima menatapku sengit. "Yakin nih mau nglempar saya ke empang?" Aku beranjak dari posisiku, kemudian berjalan mendekat ke arahnya. "Ya iya lah. Biar tau rasa kamu!" Dia melengos, bibirnya mengerucut ke depan. "Ahh ... Yakin?" Aku naik ke atas kasur, kemudian merangkak mendekatinya. Kebetulan siang ini aku sedang memakai kemeja tanpa motif dengan ukuran oversize, sehingga membuat Pak Bima bisa dengan mudahnya melihat isi kaosku. "Masa sih Bapak tega lemparin saya ke empang?" Dengan posisi seperti orang merangkak,
"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq." Suara lantang milik Pak Bima menggema dengan mantap di langit-langit gedung ini. Aku tersenyum simpul ketika melihat raut wajah leganya setelah mengucapkan kalimat sakral itu. Meskipun ini bukan kali pertamanya dia menerima Ijab dari Ayah, tetapi rasa tegang itu tetap saja melekat padanya, ketika dia melafalkan kalimat kabul."Saahhh?" tanya Pak Penghulu"Saahhhhhh." Riuh sahutan dari saksi dan tepuk tangan mereka membuat debaran yang ada di dalam hati kami mereda.Aku mencium tangannya dengan perasaan bahagia, sedangkan dia mengecup keningku dengan perasaan suka cita. Kali ini kami benar-benar menjadi suami istri yang sah, baik sah secara agama ataupun negara.Setelah proses ijab kabul selesai, aku dan Pak Bima duduk di depan para tamu. Sebenarnya tidak ada acara yang 'wah' untuk pernikahan kami, hanya saja Ayah memintaku untuk mengadakan peng