Aiden melihat Dea yang membawa dua botol susu dan bungkus snack, dan tiga kucing yang mengikutinya dari belakang.
"Susu?" batin Aiden, "trus ngapain kucing-kucing itu ikutan."
Dea menaruh salah satu botol susu di depan Aiden, lalu menaruh satu botol susu disampingnya. Dea membuka bungkusan snack, ternyata itu snack untuk kucingnya, Aiden mengira untuk mereka berdua.
Dea membagi rata snack menjadi tiga bagian, kucingnya mulai memakan snack pemberian Dea. Dea mencuci tangannya diwashtafel samping gazebo. lalu kembali duduk disamping Aiden, dia mencari sandaran untuk punggungnya sembari membuka sedotan dan memasukkan kebotol susu lalu dia mulai meminum susunya. Tiba-tiba Dea melirik Aiden, dan memberi isyarat pada Aiden untuk segera meminum susunya. Aiden pun buru-buru meminum susunya. Keheningan pun menyelimuti mereka berdua.
"Yaelah dah gede masih minum susu aja," batin Aiden. Sudah lama Aiden tidak meminum susu apalagi rasa coklat.
Tiba-tiba Dea bertanya,“Kesini terpaksa ya?” Aiden kaget mendengar pertanyaan Dea.
“Ekhem..nggak juga” jawab Aiden. Mencoba keep clam.
“Nama ?” tanya Dea.
“Aiden William Abhivandya,” jawab Aiden.
“Umur?” tanya Dea.
“Dua puluh tujuh,” jawab Aiden.
“Sudah kerja?” lanjut Dea.
“Sudah,” jawab Aiden.
“Berapa saudara, anak keberapa?” Tanya Dea lagi.
“Dua, anak kedua,” ucap Aiden.
“Tinggal sama ortu atau-”
“Udah punya rumah sendiri,” potong Aiden. "kalau lu?" tanya ganti Aiden kepada Dea.
"apanya?" tanya Dea balik.
"Nama, umur, pekerjaan, berapa saudara?" cerca Aiden.
"Dea Antika Purbasari, Dua puluh lima, nganggur, tiga bersaudara, anak pertama," jelas Dea.
"Oh."
“Punya pacar?” ceplosDea, menunggu jawaban Aiden, tetapi tidak kunjung dijawab juga. Dea melirik Aiden yang kebingungan mau menjawab apa.
“Punya ya,” tebak Dea.
“Belum sih,” jawab Aiden, tapi Dea merasakan keraguan dari jawaban Aiden.
“Oma kayaknya mau jodohin kita. Kamu udah siap?” tanya Dea. Aiden menggelengkan kepalanya.
“Siap gak siap harus siap. Gak bisa nolak keputusan Oma sama Mama Papa,” jawab Aiden. Sorot matanya yang terlihat sangat sedih. Dea memincingkan matanya memandang ekspresi Aiden.
“Hem,” respon Dea dengan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau kamu gimana De?” tanya balik Aiden.
“Biasa aja. Kalau jadi nikah ya gapapa, kalau enggak ya bodoamat,” jawab Dea tanpa melihat Aiden.
“Kenapa gitu?” tanya Aiden.
“Karena kamu ganteng,” jawab Dea asal, tanpa diduga Aiden tersedak oleh air liurnya sendiri. Benar-benar langsung to the point anak ini.
‘Eh wait!! Emang aku ganteng ya? Tapi kebanyakan orang memujiku seperti itu sih,’ pikir Aiden, rasa percaya dirinya tiba-tiba meningkat seratus derajat celcius.
Dea tersenyum melihat respon Aiden, nih anak memang jago banget bikin cowok salting, saking seringnya ketemu cowok dengan berbagai macam tipe membuat Dea mudah membuat cowok langsung klepek-klepek atau salah tingkah sendiri.
“Aku udah punya calon istri,” jawab tenang Aiden mencoba mengendalikan dirinya. Mencoba tetap selow setelah mendapat jawaban yang sedikit mengesankan.
“Trus?” tanya Dea dengan salah satu alis yang terangkat.
“Aku mau nikah sama Dia,” jawab Aiden dengan menatap kedua bola mata Dea dengan penuh keyakinan. Berusaha meyakinkan Dea, tapi Dea malah malah menunjukkan ekspresi jeleknya dengan mengangkat bibir kanan atasnya dan alis kiri yang terangkat.
“Emang direstui sama keluargamu?” ceplos Dea.
‘Deg!’ terpental secara tiba-tiba jantung Aiden, potek sudah kepercayaan diri Aiden mendapat pertanyaan yang membagongkan dari Dea.
“Enggak,” jawab Aiden. Lagi-lagi sorot mata sedihnya diperlihatkan. "Gampang sekali dibaca, gaseru banget," batin Dea.
“Yaudah nikah sama aku aja,” ucap Dea.
“T-tapi.. Aku gak cinta kamu,” jawab Aiden shock mendengar perkataan Dea.
“Aku juga ga cinta kamu kali,” sewot Dea dengan kedua alis yang menyatu, merasa harga dirinya tiba-tiba tersungkur kedalam laut karena pernyataan Aiden.
Tanpa Dea dan Aiden sadari ada sepasang teliga dan mata yang dari tadi menguping pembicaraan mereka dengan senyum-senyum. Perlahan kaki orang itu melangkah menjauh dan kembali keruang tamu, dengan senyum merekah terhias diwajahnya.
“Gimana Oma?” tanya Mama Aiden kepada oma yang sedari tadi lengkungan bibir itu terhias diwajah oma. Oma menunjukkan dua jempol kepada semua orang yang berada diruang tamu. Oma menyalakan rekaman audio yang dia dapat saat menguping pembicaraan Aiden dan Dea, meski agak samar-samar karena terdengar suara air kolam yang gemericik dan suara beberapa burung. Tetapi ketika speaker handphone suaranya diperbesar mereka semua masih bisa mendengar pembicaraan mereka berdua.
“Ya ampun Anak Ayah,” ucap malu ayah. Ketika mendengar Dea mengajak Aiden nikah. Semua orang tertawa mendengar percakapan Aiden dan Dea.
“Alhamdulillah.. akhirnya ada yang cocok juga,” ucap syukur mama karena Dea akhirnya menerima laki-laki lain selain Airon.
“Aahaha.. apa kita bahas tanggal pernikahannya sekarang juga Pak?” tanya Papa Aiden pada ayah yang penuh semangat karena tidak sabar menggelar acara pernikahan untuk anak keduanya. Mama dan Oma Aiden manggut-manggutkan kepalanya tanda setuju atas ide papa Aiden.
“Apa tidak terlalu cepat ya pa?” tanya Ayah ragu.
“Semakin cepat semakin baik pak,” jawab papa Aiden.
“Iya bener pak. Gimana kalau dua minggu lagi,” usul oma.
“Waduhh.. apa tidak terlalu cepat? Kami belom menyiapkan apa-apa,” ujar Ayah.
“Gimana mas? ” tanya ayah pada kakaknya yang selaku sebagai orang paling tua dirumah ini.
“Semakin cepat memang semakin baik, tapi kita perlu bertanya sama yang akan dinikahkan. Soalnya yang menjalani bahtera rumah tangga itu bukan kita, tetapi Dea dan Aiden,” jawab paman Dea dengan bijak.
“Kalau gitu kita tunggu mereka berdua kesini aja,” jawab Oma lagi.
Disaat semua orang sedang sibuk membicarakan, acara pernikahan diruang tamu. Aiden dan Dea masih berbincang-bincang ditaman.
“Terus kenapa mau nikah sama aku?” tanya Aiden. Yang tidak puas dengan jawaban Dea.
“Soalnya kamu ganteng Aiden,” jawab Dea.
“Jangan bercanda De,” ucap Aiden.
“Terus aku harus jawab apa?” tanya Dea balik.
“Yang serius jawabnya,” ucap Aiden yang mulai kesal.
“Kamu.. kaya, ganteng, mapan. Dari style kamu sepertinya orang kaya. Dan sepertinya itu bakal memuaskan buatku,” jawab Dea sambil melihat titik tengah dari badan Aiden. Tentu saja dengan tatapan hot dan seringaian senyum mematikan. Aiden melihat dimana tatapan mata itu tertuju. Damn!!
“Dasar perempuan mesum!!!” teriak Aiden.
“Ssttt… jangan keras-keras,” peringat Dea dengan pelototan matanya yang sangat luar biasa.
“ Jangan bercanda De,” ucap Aiden yang berusaha menahan emosinya.
“ Aku tidak bercanda Aiden,” jawab santai Dea.
“Jawab dengan benar De,” ketus Aiden
“Okey.. Kamu,adalah cowok terakhir yang dikenalkan Ayah buat Aku. Ayah dan Mertuaku yang dulu sudah kehabisan stok kenalan cowok buat aku. Kali ini aku berusaha nerima kamu, Aku capek denger kata-kata khawatir dari orangtuaku dan mertuaku. Mereka takut kalau Aku tidak mau menikah lagi. Sebelum Kamu datang kesini dengan keluargamu, setidaknya orangtuamu pasti sudah memberitahu seluk belukku. Jadi Aku harap Kamu juga mau menerimaku," jelas Dea panjang lebar kali tinggi yang berusaha menjawab pertanyaan Aiden secara serius.
“Itu aja?” tanya Aiden.
“Ya.. memangnya harus apalagi?” tanya Dea balik.
“Bukan karena aku ganteng dan kaya raya?” tanya Aiden.
“Enggak. Bullshit doang tadi, Khehe,” kekeh Dea.
“Dasar wanita pembohong,” celetuk Aiden sesal karena sudah percaya dengan kata-kata wanita ini.
“Cowok baperan,” ejek Dea dengan seringai bak vampire.
“Hem,” Aiden menghela nafasnya. “Sebelum menikah kita bikin perjanjian aja gimana?”
“Yaiyalah… perjanjian pra nikah kan?” tanya Dea.
“Iya.. Kamu bisa nikmatin semua fasilitas dirumahku, termasuk uang. Tapi biarin aku bebas berhubungan dengan wanita lain. pernikahan hanya berlangsung selama dua tahun,” jelas Aiden yang berusaha tetap tenang.
“Rumah dan kekayaan dalam rumah sekaligus gajimu selama kita menikah. Itu semua milikku, dan Kamu bisa berhubungan dengan wanita itu. But, selama kita menikah Kamu dilarang berhubungan badan dan membuat wanita itu hamil diluar pernikahan. Aku juga minta keamanan diriku selama kita menikah, bisa saja nanti pacarmu itu tiba-tiba ngancam aku,” jelas Dea.
“Gaadil itu De, Wendy juga bukan perempuan seperti yang kamu pikirkan,” sanggah Aiden.
“Adil Aiden, Aku menjaga kehormatanku dan kehormatanmu. Memangnya kamu tidak malu kalau punya anak dari hasil perselingkuhan. Aku juga anti dipoligami sebelum kita cerai,” jawab Dea.
“Hahh.. terus kebutuhan seksualitas gua gimana?” tanya Aiden spontan tanpa pikir panjang.
“Lahh.. memang sebelumnya gimana?” tanya Dea balik pada Aiden. Aiden hanya berdeham, mengingat bahwa selama ini dia memuaskan dirinya sendiri, secara mandiri tanpa ada bantuan dari orang lain.
“Tahan selama dua tahun, setelah itu Kamu bisa lakuin itu bareng cewekmu,” lanjut Dea. Dia juga ikutan malu mendengar pertanyaan Aiden.
“Okey. Kapan bisa bikin perjanjiannya?” tanya Aiden pada Dea.
“Malam ini, aku bakal minta bantuan temenku,” jawab Dea.
Gazebo tengah taman, tiga kucing yang menatap mereka berdua secara bergantian, kolam ikan didepan gazebo, langit hitam yang ditaburi bintang, menjadi saksi bisu keawarkadan Dea dan Aiden. Salah satu kucing menghampiri Dea, Dea mangangkat kedua alisnya karena tiba-tiba sikucing duduk dipangkuannya. Dengkuran lembut dari si kucing membuat Dea gemas, itu signal kucingnya merasa nyaman berada dipangkuannya. “Suka kucing De?” tanya Aiden yang ikutan gemas melihat kucing, tanpa sadar Aiden menggigit bibir bagian dalam karena saking gemasnya. “Suka, tapi aku lebih suka Kamu,” goda Dea dengan sudut bibir yang terangkat. “Jangan bercanda De,” ucap Aiden yang mulai kesal karena dari tadi mendapat candaan yang tidak ada habisnya dari Dea. “Santai aja kali,” jawab Dea. “Dah santai loh,” ketus Aiden. Tanpa sadar dia sendiri yang tidak bisa santai. “lahh.. kok sewot,” ujar Dea. “Siapa yang sewot?” tanya Aiden. “Kamu,” jawab
Setelah beberapa jam berlalu akhirnya mobilnya sudah terparkir didepan rumahnya. Pak Gino selaku satpam, pak Lastro sebagai supir, bik Asih yang mengurus rumah atau lebih tepatnya kepala pelayan dirumahnya dan beberapa pelayan dibelakang mereka sudah menyambut Aiden dan Dea dengan senyuman. Aiden melepaskan sabuk pengamannya. Dilihat Dea masih tidur dengan pulas. “De, bangun De. Udah nyampek nih,” ujar aiden dengan menepuk-nepuk pipi Dea. Tidak ada respon dari Dea, bahkan dia tidak bergeming sedikitpun dari posisinya. Aiden memutuskan untuk menggendongnya, dia keluar dari pintu kemudi dan membuka pintu samping Dea, lalu melepas sabuk pengaman Dea dan mengeluarkannya dari mobil. “Bik tolong ambil semua barang-barang yang dimobilku ya, semuanya. Pak Lastro tolong cuci mobil saya ya,” ucap Aiden lalu masuk kedalam rumah. “Tidur?” tanya oma dengan kedua alis yang terngkat tinggi didahinya. Orangtua Aiden hari ini akan menginap dirumah Aiden, karena ingin menghabi
Dea berbincang-bincang dengan oma dan mertuanya hingga malam hari, canda dan tawa memenuhi setiap sudut rumah pada malam hari, dan sekarang waktunya tidur. Mama, papa, dan oma memasuki kamarnya masing-masing. Tinggal Aiden dan Dea diruang tengah, "Balik kekamar yuk," ajak Aiden beranjak dari sofa. Dea mengangguk dan mengikuti Aiden kembali kekamar. Ketika mereka berada didalam kamar, Dea masuk kekamar mandi mencuci mukanya. Aiden tidak langsung tidur. Dia mengecek pekerjaannya lewat laptop miliknya. Ketika Dea kembali kekamar dia memanggil Aiden. "Emm.. Aiden," panggil Dea tiba-tiba. "Hm," saut Aiden yang masih sibuk dengan laptopnya. "Kita tidur bareng?" tanya Dea. "Iya, kenapa?" tanya Aiden kali ini menoleh kearah Dea dengan mengangkat kedua alisnya. "Emm.. gapapa si. Bukannya lebih baik pisah aja ya," ucap Dea hati-hati. "Mau tidur pisah?" tanya Aiden. "Kalau gak keberatan si," jawab Dea. "Hmm
Pagi hari Dea sarapan bersama Aiden. Meraka memakan makanannya dalam diam, karena Aiden sibuk membalas chat dihandphone miliknya, sedangkan Dea sibuk mengunyah makanannya. Aiden buru-buru menyelesaikan sarapannya. "De aku berangkat ya, kalau ada apa-apa hubungi aku, atau suruh aja Bik Asih. Berangkat ya Bik, bye De," pamit Aiden dan berlalu pergi. "Iya Tuan," jawab bik Asih. Dea hanya diam. Bik Asih nampak khawatir melihat Dea yang semakin murung, padahal Dea tidak terjadi apa-apa dengan Dea. Bik Asih terlalu mengkhawatirkan Dea. Bik Asih mengkode anak buahnya untuk mengambilkan vitamin dan beberapa kue. Dea masih sibuk dengan makanannya, salah satu pelayan mendorong troli berisi banyak macam kue. Bik Asih menghidangkan semua kue itu didepan Dea. "Ngapain Bik?" tanya Dea. "Semua kue ini untuk Non, biar moodnya membaik," ujar bik Asih. "Ya ampun Bik, aku gasuka yang manis-manis," ujar Dea. "Non mau snack?"
Devano kembali dengan pakaian yang diberi oleh Dea. "Dev, gua mau ngomong," ujar Aiden. "Yaudah ngomong aja," ucap Devano. "Gua sama Dea cuma nikah kontrak, jadi aku minta tolong Kamu jaga rahasia ini. Termasuk status pernikahanku sama Dea," jelas Aiden. Devano bengong mendengar ucapan Aiden. "Jadi aku harus sembunyiin kalau kamu udah punya istri?" tanya Devano. "Ya, kesemua orang," jawab Aiden. "Ogah! gila ya !," tolak Devano "Please Dev. Aku gak mau kalau Wendy sampai tau," ujar Aiden. "Gila, trus ngapain nikah sama Dea?" tanya Aiden. "Biar gua bisa nikah sama Wendy, aku gak dapat restu orang tua buat nikah sama Wendy," jawab Aiden. "Bener-bener gak waras otakmu Den, gak habis pikir aku sama Kamu. Trus kamu gimana De? kok mau sama Aiden," tanya Devano. "Sama-sama ambil keuntungan si," ujar Dea. "Wahh gila-gila," ucap Devano. "Gua minta tolong sama kamu ya Dev,"
Selama diperjalanan Dea dan Aiden diam. Ketika mobil terparkir didepan rumah, Dea langsung turun dari mobil dan masuk kekamarnya, bik Asih nampak bingung ketika melihat Dea dengan raut muka yang kesal. "Bik siapin makan malam ya," ucap Aiden pada bik Asih. "Iya Tuan," jawab bik Asih. Aiden pun menuju kamarnya, sekilas dia melihat pintu kamar Dea dan berniat untuk mengetok pintu itu, tapi diurungkan niatnya karena mengingat perkataan ayah Dea. "Kalau Dea lagi kesal, marah, atau sedih. Tolong kamu kasih waktu dulu ya, turutin apa yang dia mau, biarkan dia meluapkan emosinya. Maafin ayah kalau putri ayah akan merepotkan kamu, tolong juga kontrol obat-obatan yang dia minum, ayah tau terkadang Dea masih meminum obat-obatan dari psikiater meskipun sudah dikurangin dosisnya, tapi Dea terkadang over ketika meminumnya," ucap ayah Dea sehari sebelum akad nikahnya dimulai. Aiden menghela nafas dan langsung menuju kamarnya. Aiden mengganti bajunya, da
"Ahh itu tadi bik Asih," jawab Aiden dengan degupan jantung yang kencang. "Beneran?" selidik Wendy dengan raut muka yang mengernyit. "Iya baby, udah yuk berangkat," jawab Aiden seraya menggandeng tangan Wendy dan berjalan menuju parkiran. Aiden membukakan pintu mobil untuk Wendy, "Makasih Baby," ucap Wendy dengan tersenyum dan langsung masuk kedalam mobil. "Sama-sama Baby," saut Aiden dengan senyum manisnya lalu menutup pintu mobil dengan pelan. Aiden bergegas masuk mobil dan menuju ke mall tempat dia akan membelikan tas dan sepatu untuk Wendy. Sesampainya diparkiran mall, Aiden dengan buru-buru keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Wendy tak lupa juga sambutan senyum manisnya. Wendy keluar dari dalam mobil, lalu menggandeng tangan Aiden. Mereka pun masuk kedalam mall, langsung menuju store tempat Tas yang diinginkan Wendy. Wendy mengambil satu tas dan beberapa pasang sepatu. Aiden senantiasa menemani Wendy dengan membawakan tas.
Keesokan paginya para pelayan sedang heboh karena mendengar kabar bahwa pak Gino melihat hantu yang mengikuti majikan mereka dimalam hari. "Beneran Pak?" tanya Sinta yang tidak percaya. "Bener, Kamu ini dibilangin kok gak percaya. Ya gak Tro?" ucap pak Gino. "Mana aku tau lah No, aku kemarin cuma liat kamu mlongo kayak patung," jawab pak Lastro yang sedang mengelap kaca mobil. "Haduh. Pokoknya gitu Sin," jawab pak Gino. "Hihhhh, kok serem gitu Pak," ucap Sinta bergidik ngeri. "Sinta mau balik kedapur dulu Pak," ujar Sinta. "Oke-oke Sin, makasih kopinya ya," ucap pak Gino. "Oke Pak," jawab Sinta. Ketika sampai didapur semuanya masih bergosip tentang penampakan hantu semalam. "Tapi ngomong-ngomong kenapa nona ada didepan pintu kamar kita ya?" tanya Rara yang sedang menata makanan diatas meja makan. "Iya, kata pak Gino non Dea hanya berdiri didepan kamar kita, kek creepy banget gak sih?" saut Lina.
"Argghhh!!!!" erangnya frustrasi. Dea yang hanya perempuan biasanya kini dihadapkan kenyataan yang tak terduga. Ia sudah didapuk sebagai ketua organisasi mematikan di negara ini, sangat di luar nalar. Bahkan ayahnya tak mengatakan apapun soal ini, bekal pengetahuan menjadi seorang ketua pun terasa sangat memusingkan."Sial! Kenapa sangat rumit!" kesalnya sembari menyamakan kode yang ada di layar ponsel dan laptop. Mr. Bad dari kemarin mengirimkan rentetan kode untuk mengakses sistem organisasi, tapi hingga sekarang Dea hanya berhasil memecahkan empat kode. Masih tersisa enam kode.'Krruuukkkk...' suara perutnya menggelegar di telinganya."Hahh... aku lupa tidak makan dari kemarin, kita akhiri kerjaan konyol ini dengan makan sepuasnya."Ketika membuka pintu kamar, Bik Asih, Rara, dan Nina sedang berjalan ke arah kamarnya. Dea tertegun melihat troli dengan berbagai hidangan di atasnya."Non," sapa Bik Asih dengan senyum semringah. Wanita paruh baya itu nampak lega melihat kemunculan Dea
Dua orang tersebut merasa curiga ketika melihat mobil yang terparkir di halaman rumah. Mereka yakin jika Pak Hando tidak memiliki keluarga satupun. Itu pasti seorang tamu. Dea dan Toni mengamati gerak gerik keadaan rumah Pak Hando dari dalam mobil.Namun, semakin ditelisik mata Dea melebar ketika melihat salah satu lelaki sedang membawa senjata di depan pintu masuk. Pria berbadan tegap dengan warna kulit gelap berjalan mengitari rumah dengan was-was."Ton, kamu di sini dulu.""Saya akan ikut Nyonya.""Jangan!" tolak Dea. "Tunggu di sini selama 15 menit, jika selama itu aku belum keluar dari dalam rumah. Segera ke Mr.Bad.""T-tapi.""Ikuti perintahku, jangan banyak tanya."Dea langsung turun dari mobil, tak lupa membawa kotak makanan yang ia siapkan untuk Pak Hando. Dadanya berdetak cukup kenjang ketika kakinya menjangkah ke dalam pekaran rumah. "Siapa itu?" tanya seseorang yang tiba-tiba keluar dari dalam rumah."Dea, keponakannya Pak Hando.""Pak Hando tidak memiliki keponakan. Jang
Mendapat sergapan dari majikan laki-lakinya, membuat Toni kebingungan harus menjawab apa. Nyonya muda memintanya untuk menyembunyikan peristiwa hari ini.Sedangkan Aiden kini dalam mode geram."Maaf Tuan, saya tidak bisa menjawab. Anda bisa menanyakan langsung pada Non Dea. Namun, keadaan Non Dea menjadi drop lagi kemungkinan besar karena tidak sarapan dan meminum obat," jelas Toni."Trus tadi kemana saja?""Ke rumah teman Non Dea.""Laki-laki atau perempuan?" selidik Aiden."Perempuan dan laki-laki.""Kamu merahasiakan sesuatu pada saya?"Toni diam, enggan membuka suaranya."Great!" Aiden mengangguk-anggukan kepalanya. "Ternyata kamu sudah berkomplotan dengan Dea."Toni hanya mampu menelan salivanya."Sekarang kamu bisa istirahat, keluar.""Saya dipecat Pak?" Toni shock dengan kata keluar."Tidak, beristirahatlah. Kamu sudah menemani Dea seharian," jelas Aiden. Ia tidak bermaksud memecat Toni."Baik Tuan, terima kasih." Toni undur diri dari hadapan Aiden. Aiden hanya bisa menghela na
Pembicaraan semalam membuat Aiden termenung pagi ini. Makanan di depannya sedari tadi teranggurkan karena Aiden sibuk dengan pikirannya."Memang ada yang melarang?" Pertanyaan ini sukses membuat Aiden tidak fokus.Ia ingin menyakan hal ini lebih mendalam pada Dea. Namun, setelah melontarkan pertanyaan itu Dea tertidur pulas di samping Aiden. Aiden tidak bisa menanyakan lebih jelas lagi. Ditambah ketika bangun tidur Dea sudah menghilang dari kamarnya.Bik Asih menghampiri Aiden."Tuan, apa sarapannya perlu diganti?" "Tidak," tolak Aiden. "Dimana Dea?""Non Dea pergi dengan Toni.""Ini masih pagi dan dia sudah pergi?""Maafkan saya Tuan, tadi sudah saya larang. Namun, Non Dea tidak mendengarkan saya.""Pergi kemana Dea?"Bik Asih menggelangkan kepalanya. Aiden menghela nafasnya dan segera menghubungi Dea.Namun, telepon itu tidak tersambung. Ia beralih menghubungi Toni. Hasilnya sama saja, di antara mereka tidak ada yang bisa dihubungi.Aiden emosi karena Dea pergi tanpa pamit padanya
Mendengar tawaran Papa membuat Aiden pusing. Ia tidak tahu jika Orangtuanya secara diam-diam mendirikan perusahaan baru.Namun, persyaratan yang diberikan Papanya terasa sangat gila. Bagaimana bisa dia memberikan cucu pada orangtuanya? Sedangkan dalam perjanjian yang tertera dalam kontrak pernikahannya hal itu tidak akan terjadi."Jadi bagaimana Aiden? Kamu menerima tawaran ini?" tanya Kusuma."Uhh... Aiden belum terpikirkan Pa. Beri aku sedikit waktu untuk memutuskannya.""It's okay boy, tidak masalah. Kamu harus merayu Dea agar Papa segera menimang cucu." "Emm... Aku tidak yakin," ucap Aiden ragu."Papa sudah tidak sabar mendapatkan cucu dari kamu. Hanya kamu harapan Papa. Kami tidak bisa mengharapkan cucu pada Kakakmu."Yaa... Kakak Aiden hingga sekarang enggan untuk menikah. Dan dia memilih kabur ke Amerika mendirikan perusahaannya sendiri disana.Meskipun setiap tahun kakaknya pulang ke Indonesia, namun dia hanya menciptakan berbagai keributan di keluarganya.Kusuma menepuk dada
Aiden terbangun, diliriknya Dea kini masih tertidur di sampingnya. Ketika ia mengalihkan pandangannya ke langit-langit kamar."Sudah bangun?" tanya Dea dengan mata yang tertutup. Aiden terkaget mendengar pertanyaan itu."Ya, sudah. Kamu tidak tidur?""Tidak, aku sudah tidur cukup lama.""Emm okay." Aiden merasa sangat canggung berada satu ranjang dengan Dea setelah mengetahui perasaan Devano."Intropeksi dirilah Aiden, jangan membuat orangtuamu khawatir."Aiden termenung mendengar perkataan Dea. "Cinta memang tidak bisa dipaksa, tapi perhatikan juga orangtuamu. Kebahagiaan tidak hanya soal wanita," lanjut Dea dengan mata yang masih tertutup.Aiden menatap langit-langit kamarnya dengan mulut terbungkam. "Dari awal kamu memiliki pilihan, kamu bisa menolak pernikahan ini untuk mengejar cintamu. Tapi kamu lebih memilih menikah denganku. Jadi, seberapa besar cintamu pada Wendy?"'Seberapa besar cintaku pada Wendy?' tanya Aiden pada dirinya sendiri. Aiden tidak bisa menemukan jawabannya.
"Tapi kenapa Dea?" tanya Aiden kebingungan.Devano menundukkan kepalanya."Gua gak tau Den. Sekali liat Dea gua langsung berdebar-debar, terutama sorot matanya.""Ada apa dengan sorot matanya?" tanya Aiden penasaran."Ketulusan, kesedihan, ahhh...! Gua gak tau, tapi gua suka sama sorot mata Dea." Devano mengucapkan kalimat itu dengan bibir yang tersenyum.Ini pertama kali Aiden melihat ekspresi Devano yang seperti itu. "Sorry, seharunya gua gak ngomong kayak gini ke elu. Tapi karena lu dan Dea cuma nikah kontrak, gua masih punya kesempatan kan?" tanya Devano menatap mata Aiden.hening, Aiden terpaku dengan pernyataan Devano."Ekhem..." deham Aiden memecah keheningan. "Yaa... ada kesempatan.""YES!" girang Devano dengan mengepalkan tangannya semangat.Aiden tidak bisa berkata apapun. Ada banyak hal yang sangat terduga akhir-akhir ini.Pikirannya blank, tidak tau apa yang harus dilakukannya."Ekheemmm... Gua bakal nunggu urusan kalian sampai selesai Den. Jadi gua nggak bakal ganggu per
"Aku milih Dea Pa," jawab Aiden sedikit tercekat. Hatinya terasa sangat berat, namun dia tidak bisa melawan."Kalau begitu, kamu putusin Wendy sekarang juga," perintah papanya."T-tapi Pa.""Papa beri waktu sampai besok buat kamu putusin Wendy. Atau jabatan kamu saya turunin," ancam papanya. Mendengar ucapan papanya, Aiden ingin marah. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Papanya memang belum resmi memberikan perusahaan itu kepadanya. Dia hanya bertugas mengolah bisnis yang sudah dibangun orang tuanya.Sangat disayangkan jika Aiden harus turun dari jabatannya sekarang. Meskipun ia sudah memiliki beberapa bisnis kecil. Namun, itu tidak sebanding dengan jabatan di perusahaan papanya.Dengan berat hati Aiden pun mengangguk, mengartikan jika dia akan memenuhi perintah Papanya.Kedua orangtuanya langsung berdiri dan kembali ke kamar Dea. Tinggal Aiden yang terduduk di atas sofa dengan frustasi."Sial!" ucapnya dengan tangan yang mengepal erat.Pikirannya menjadi kalut karena diperintah
Keadaan Dea semakin membaik, sudah lima hari dia opname di rumah sakit. Hari ini dia diperbolehkan dokter untuk pulang. Semua orang sibuk mempersiapkan kepulangan Dea, termasuk mertua dan oma.Aiden hari ini ijin tidak masuk kerja untuk menemani istrinya. Hal ini dia lakukan karena kedua orangtuanya juga ikut menjemput Dea. Seandainya jika tidak ada orangtuanya, kemungkinan besar Aiden memilih untuk masuk kerja karena ada meeting yang sangat penting di kantor."Udah?" tanya Aiden pada Dea yang duduk di atas ranjang. Dea sudah bersiap untuk keluar dari kamarnya. Semua orang kini sedang sibuk mengemas barang istrinya."Udah," jawab Dea."Kuat jalan? atau mau aku gendong?" tanya Aiden yang bersiap menggendong Dea."Aku jalan aja. Bik..." panggil Dea pada Bik Asih yang sedari tadi sibuk dengan tas milik Dea."Eh... Iya Non." Bik Asih yang sedari tadi sibuk dengan mengemas barang langsung menghampiri Dea."Biar aku saja Bik," sergah Aiden.Mama dan Ayah mertua memperhatikan sepasang keka