Aiden melihat Dea yang membawa dua botol susu dan bungkus snack, dan tiga kucing yang mengikutinya dari belakang.
"Susu?" batin Aiden, "trus ngapain kucing-kucing itu ikutan."
Dea menaruh salah satu botol susu di depan Aiden, lalu menaruh satu botol susu disampingnya. Dea membuka bungkusan snack, ternyata itu snack untuk kucingnya, Aiden mengira untuk mereka berdua.
Dea membagi rata snack menjadi tiga bagian, kucingnya mulai memakan snack pemberian Dea. Dea mencuci tangannya diwashtafel samping gazebo. lalu kembali duduk disamping Aiden, dia mencari sandaran untuk punggungnya sembari membuka sedotan dan memasukkan kebotol susu lalu dia mulai meminum susunya. Tiba-tiba Dea melirik Aiden, dan memberi isyarat pada Aiden untuk segera meminum susunya. Aiden pun buru-buru meminum susunya. Keheningan pun menyelimuti mereka berdua.
"Yaelah dah gede masih minum susu aja," batin Aiden. Sudah lama Aiden tidak meminum susu apalagi rasa coklat.
Tiba-tiba Dea bertanya,“Kesini terpaksa ya?” Aiden kaget mendengar pertanyaan Dea.
“Ekhem..nggak juga” jawab Aiden. Mencoba keep clam.
“Nama ?” tanya Dea.
“Aiden William Abhivandya,” jawab Aiden.
“Umur?” tanya Dea.
“Dua puluh tujuh,” jawab Aiden.
“Sudah kerja?” lanjut Dea.
“Sudah,” jawab Aiden.
“Berapa saudara, anak keberapa?” Tanya Dea lagi.
“Dua, anak kedua,” ucap Aiden.
“Tinggal sama ortu atau-”
“Udah punya rumah sendiri,” potong Aiden. "kalau lu?" tanya ganti Aiden kepada Dea.
"apanya?" tanya Dea balik.
"Nama, umur, pekerjaan, berapa saudara?" cerca Aiden.
"Dea Antika Purbasari, Dua puluh lima, nganggur, tiga bersaudara, anak pertama," jelas Dea.
"Oh."
“Punya pacar?” ceplosDea, menunggu jawaban Aiden, tetapi tidak kunjung dijawab juga. Dea melirik Aiden yang kebingungan mau menjawab apa.
“Punya ya,” tebak Dea.
“Belum sih,” jawab Aiden, tapi Dea merasakan keraguan dari jawaban Aiden.
“Oma kayaknya mau jodohin kita. Kamu udah siap?” tanya Dea. Aiden menggelengkan kepalanya.
“Siap gak siap harus siap. Gak bisa nolak keputusan Oma sama Mama Papa,” jawab Aiden. Sorot matanya yang terlihat sangat sedih. Dea memincingkan matanya memandang ekspresi Aiden.
“Hem,” respon Dea dengan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau kamu gimana De?” tanya balik Aiden.
“Biasa aja. Kalau jadi nikah ya gapapa, kalau enggak ya bodoamat,” jawab Dea tanpa melihat Aiden.
“Kenapa gitu?” tanya Aiden.
“Karena kamu ganteng,” jawab Dea asal, tanpa diduga Aiden tersedak oleh air liurnya sendiri. Benar-benar langsung to the point anak ini.
‘Eh wait!! Emang aku ganteng ya? Tapi kebanyakan orang memujiku seperti itu sih,’ pikir Aiden, rasa percaya dirinya tiba-tiba meningkat seratus derajat celcius.
Dea tersenyum melihat respon Aiden, nih anak memang jago banget bikin cowok salting, saking seringnya ketemu cowok dengan berbagai macam tipe membuat Dea mudah membuat cowok langsung klepek-klepek atau salah tingkah sendiri.
“Aku udah punya calon istri,” jawab tenang Aiden mencoba mengendalikan dirinya. Mencoba tetap selow setelah mendapat jawaban yang sedikit mengesankan.
“Trus?” tanya Dea dengan salah satu alis yang terangkat.
“Aku mau nikah sama Dia,” jawab Aiden dengan menatap kedua bola mata Dea dengan penuh keyakinan. Berusaha meyakinkan Dea, tapi Dea malah malah menunjukkan ekspresi jeleknya dengan mengangkat bibir kanan atasnya dan alis kiri yang terangkat.
“Emang direstui sama keluargamu?” ceplos Dea.
‘Deg!’ terpental secara tiba-tiba jantung Aiden, potek sudah kepercayaan diri Aiden mendapat pertanyaan yang membagongkan dari Dea.
“Enggak,” jawab Aiden. Lagi-lagi sorot mata sedihnya diperlihatkan. "Gampang sekali dibaca, gaseru banget," batin Dea.
“Yaudah nikah sama aku aja,” ucap Dea.
“T-tapi.. Aku gak cinta kamu,” jawab Aiden shock mendengar perkataan Dea.
“Aku juga ga cinta kamu kali,” sewot Dea dengan kedua alis yang menyatu, merasa harga dirinya tiba-tiba tersungkur kedalam laut karena pernyataan Aiden.
Tanpa Dea dan Aiden sadari ada sepasang teliga dan mata yang dari tadi menguping pembicaraan mereka dengan senyum-senyum. Perlahan kaki orang itu melangkah menjauh dan kembali keruang tamu, dengan senyum merekah terhias diwajahnya.
“Gimana Oma?” tanya Mama Aiden kepada oma yang sedari tadi lengkungan bibir itu terhias diwajah oma. Oma menunjukkan dua jempol kepada semua orang yang berada diruang tamu. Oma menyalakan rekaman audio yang dia dapat saat menguping pembicaraan Aiden dan Dea, meski agak samar-samar karena terdengar suara air kolam yang gemericik dan suara beberapa burung. Tetapi ketika speaker handphone suaranya diperbesar mereka semua masih bisa mendengar pembicaraan mereka berdua.
“Ya ampun Anak Ayah,” ucap malu ayah. Ketika mendengar Dea mengajak Aiden nikah. Semua orang tertawa mendengar percakapan Aiden dan Dea.
“Alhamdulillah.. akhirnya ada yang cocok juga,” ucap syukur mama karena Dea akhirnya menerima laki-laki lain selain Airon.
“Aahaha.. apa kita bahas tanggal pernikahannya sekarang juga Pak?” tanya Papa Aiden pada ayah yang penuh semangat karena tidak sabar menggelar acara pernikahan untuk anak keduanya. Mama dan Oma Aiden manggut-manggutkan kepalanya tanda setuju atas ide papa Aiden.
“Apa tidak terlalu cepat ya pa?” tanya Ayah ragu.
“Semakin cepat semakin baik pak,” jawab papa Aiden.
“Iya bener pak. Gimana kalau dua minggu lagi,” usul oma.
“Waduhh.. apa tidak terlalu cepat? Kami belom menyiapkan apa-apa,” ujar Ayah.
“Gimana mas? ” tanya ayah pada kakaknya yang selaku sebagai orang paling tua dirumah ini.
“Semakin cepat memang semakin baik, tapi kita perlu bertanya sama yang akan dinikahkan. Soalnya yang menjalani bahtera rumah tangga itu bukan kita, tetapi Dea dan Aiden,” jawab paman Dea dengan bijak.
“Kalau gitu kita tunggu mereka berdua kesini aja,” jawab Oma lagi.
Disaat semua orang sedang sibuk membicarakan, acara pernikahan diruang tamu. Aiden dan Dea masih berbincang-bincang ditaman.
“Terus kenapa mau nikah sama aku?” tanya Aiden. Yang tidak puas dengan jawaban Dea.
“Soalnya kamu ganteng Aiden,” jawab Dea.
“Jangan bercanda De,” ucap Aiden.
“Terus aku harus jawab apa?” tanya Dea balik.
“Yang serius jawabnya,” ucap Aiden yang mulai kesal.
“Kamu.. kaya, ganteng, mapan. Dari style kamu sepertinya orang kaya. Dan sepertinya itu bakal memuaskan buatku,” jawab Dea sambil melihat titik tengah dari badan Aiden. Tentu saja dengan tatapan hot dan seringaian senyum mematikan. Aiden melihat dimana tatapan mata itu tertuju. Damn!!
“Dasar perempuan mesum!!!” teriak Aiden.
“Ssttt… jangan keras-keras,” peringat Dea dengan pelototan matanya yang sangat luar biasa.
“ Jangan bercanda De,” ucap Aiden yang berusaha menahan emosinya.
“ Aku tidak bercanda Aiden,” jawab santai Dea.
“Jawab dengan benar De,” ketus Aiden
“Okey.. Kamu,adalah cowok terakhir yang dikenalkan Ayah buat Aku. Ayah dan Mertuaku yang dulu sudah kehabisan stok kenalan cowok buat aku. Kali ini aku berusaha nerima kamu, Aku capek denger kata-kata khawatir dari orangtuaku dan mertuaku. Mereka takut kalau Aku tidak mau menikah lagi. Sebelum Kamu datang kesini dengan keluargamu, setidaknya orangtuamu pasti sudah memberitahu seluk belukku. Jadi Aku harap Kamu juga mau menerimaku," jelas Dea panjang lebar kali tinggi yang berusaha menjawab pertanyaan Aiden secara serius.
“Itu aja?” tanya Aiden.
“Ya.. memangnya harus apalagi?” tanya Dea balik.
“Bukan karena aku ganteng dan kaya raya?” tanya Aiden.
“Enggak. Bullshit doang tadi, Khehe,” kekeh Dea.
“Dasar wanita pembohong,” celetuk Aiden sesal karena sudah percaya dengan kata-kata wanita ini.
“Cowok baperan,” ejek Dea dengan seringai bak vampire.
“Hem,” Aiden menghela nafasnya. “Sebelum menikah kita bikin perjanjian aja gimana?”
“Yaiyalah… perjanjian pra nikah kan?” tanya Dea.
“Iya.. Kamu bisa nikmatin semua fasilitas dirumahku, termasuk uang. Tapi biarin aku bebas berhubungan dengan wanita lain. pernikahan hanya berlangsung selama dua tahun,” jelas Aiden yang berusaha tetap tenang.
“Rumah dan kekayaan dalam rumah sekaligus gajimu selama kita menikah. Itu semua milikku, dan Kamu bisa berhubungan dengan wanita itu. But, selama kita menikah Kamu dilarang berhubungan badan dan membuat wanita itu hamil diluar pernikahan. Aku juga minta keamanan diriku selama kita menikah, bisa saja nanti pacarmu itu tiba-tiba ngancam aku,” jelas Dea.
“Gaadil itu De, Wendy juga bukan perempuan seperti yang kamu pikirkan,” sanggah Aiden.
“Adil Aiden, Aku menjaga kehormatanku dan kehormatanmu. Memangnya kamu tidak malu kalau punya anak dari hasil perselingkuhan. Aku juga anti dipoligami sebelum kita cerai,” jawab Dea.
“Hahh.. terus kebutuhan seksualitas gua gimana?” tanya Aiden spontan tanpa pikir panjang.
“Lahh.. memang sebelumnya gimana?” tanya Dea balik pada Aiden. Aiden hanya berdeham, mengingat bahwa selama ini dia memuaskan dirinya sendiri, secara mandiri tanpa ada bantuan dari orang lain.
“Tahan selama dua tahun, setelah itu Kamu bisa lakuin itu bareng cewekmu,” lanjut Dea. Dia juga ikutan malu mendengar pertanyaan Aiden.
“Okey. Kapan bisa bikin perjanjiannya?” tanya Aiden pada Dea.
“Malam ini, aku bakal minta bantuan temenku,” jawab Dea.
Gazebo tengah taman, tiga kucing yang menatap mereka berdua secara bergantian, kolam ikan didepan gazebo, langit hitam yang ditaburi bintang, menjadi saksi bisu keawarkadan Dea dan Aiden. Salah satu kucing menghampiri Dea, Dea mangangkat kedua alisnya karena tiba-tiba sikucing duduk dipangkuannya. Dengkuran lembut dari si kucing membuat Dea gemas, itu signal kucingnya merasa nyaman berada dipangkuannya. “Suka kucing De?” tanya Aiden yang ikutan gemas melihat kucing, tanpa sadar Aiden menggigit bibir bagian dalam karena saking gemasnya. “Suka, tapi aku lebih suka Kamu,” goda Dea dengan sudut bibir yang terangkat. “Jangan bercanda De,” ucap Aiden yang mulai kesal karena dari tadi mendapat candaan yang tidak ada habisnya dari Dea. “Santai aja kali,” jawab Dea. “Dah santai loh,” ketus Aiden. Tanpa sadar dia sendiri yang tidak bisa santai. “lahh.. kok sewot,” ujar Dea. “Siapa yang sewot?” tanya Aiden. “Kamu,” jawab
Setelah beberapa jam berlalu akhirnya mobilnya sudah terparkir didepan rumahnya. Pak Gino selaku satpam, pak Lastro sebagai supir, bik Asih yang mengurus rumah atau lebih tepatnya kepala pelayan dirumahnya dan beberapa pelayan dibelakang mereka sudah menyambut Aiden dan Dea dengan senyuman. Aiden melepaskan sabuk pengamannya. Dilihat Dea masih tidur dengan pulas. “De, bangun De. Udah nyampek nih,” ujar aiden dengan menepuk-nepuk pipi Dea. Tidak ada respon dari Dea, bahkan dia tidak bergeming sedikitpun dari posisinya. Aiden memutuskan untuk menggendongnya, dia keluar dari pintu kemudi dan membuka pintu samping Dea, lalu melepas sabuk pengaman Dea dan mengeluarkannya dari mobil. “Bik tolong ambil semua barang-barang yang dimobilku ya, semuanya. Pak Lastro tolong cuci mobil saya ya,” ucap Aiden lalu masuk kedalam rumah. “Tidur?” tanya oma dengan kedua alis yang terngkat tinggi didahinya. Orangtua Aiden hari ini akan menginap dirumah Aiden, karena ingin menghabi
Dea berbincang-bincang dengan oma dan mertuanya hingga malam hari, canda dan tawa memenuhi setiap sudut rumah pada malam hari, dan sekarang waktunya tidur. Mama, papa, dan oma memasuki kamarnya masing-masing. Tinggal Aiden dan Dea diruang tengah, "Balik kekamar yuk," ajak Aiden beranjak dari sofa. Dea mengangguk dan mengikuti Aiden kembali kekamar. Ketika mereka berada didalam kamar, Dea masuk kekamar mandi mencuci mukanya. Aiden tidak langsung tidur. Dia mengecek pekerjaannya lewat laptop miliknya. Ketika Dea kembali kekamar dia memanggil Aiden. "Emm.. Aiden," panggil Dea tiba-tiba. "Hm," saut Aiden yang masih sibuk dengan laptopnya. "Kita tidur bareng?" tanya Dea. "Iya, kenapa?" tanya Aiden kali ini menoleh kearah Dea dengan mengangkat kedua alisnya. "Emm.. gapapa si. Bukannya lebih baik pisah aja ya," ucap Dea hati-hati. "Mau tidur pisah?" tanya Aiden. "Kalau gak keberatan si," jawab Dea. "Hmm
Pagi hari Dea sarapan bersama Aiden. Meraka memakan makanannya dalam diam, karena Aiden sibuk membalas chat dihandphone miliknya, sedangkan Dea sibuk mengunyah makanannya. Aiden buru-buru menyelesaikan sarapannya. "De aku berangkat ya, kalau ada apa-apa hubungi aku, atau suruh aja Bik Asih. Berangkat ya Bik, bye De," pamit Aiden dan berlalu pergi. "Iya Tuan," jawab bik Asih. Dea hanya diam. Bik Asih nampak khawatir melihat Dea yang semakin murung, padahal Dea tidak terjadi apa-apa dengan Dea. Bik Asih terlalu mengkhawatirkan Dea. Bik Asih mengkode anak buahnya untuk mengambilkan vitamin dan beberapa kue. Dea masih sibuk dengan makanannya, salah satu pelayan mendorong troli berisi banyak macam kue. Bik Asih menghidangkan semua kue itu didepan Dea. "Ngapain Bik?" tanya Dea. "Semua kue ini untuk Non, biar moodnya membaik," ujar bik Asih. "Ya ampun Bik, aku gasuka yang manis-manis," ujar Dea. "Non mau snack?"
Devano kembali dengan pakaian yang diberi oleh Dea. "Dev, gua mau ngomong," ujar Aiden. "Yaudah ngomong aja," ucap Devano. "Gua sama Dea cuma nikah kontrak, jadi aku minta tolong Kamu jaga rahasia ini. Termasuk status pernikahanku sama Dea," jelas Aiden. Devano bengong mendengar ucapan Aiden. "Jadi aku harus sembunyiin kalau kamu udah punya istri?" tanya Devano. "Ya, kesemua orang," jawab Aiden. "Ogah! gila ya !," tolak Devano "Please Dev. Aku gak mau kalau Wendy sampai tau," ujar Aiden. "Gila, trus ngapain nikah sama Dea?" tanya Aiden. "Biar gua bisa nikah sama Wendy, aku gak dapat restu orang tua buat nikah sama Wendy," jawab Aiden. "Bener-bener gak waras otakmu Den, gak habis pikir aku sama Kamu. Trus kamu gimana De? kok mau sama Aiden," tanya Devano. "Sama-sama ambil keuntungan si," ujar Dea. "Wahh gila-gila," ucap Devano. "Gua minta tolong sama kamu ya Dev,"
Selama diperjalanan Dea dan Aiden diam. Ketika mobil terparkir didepan rumah, Dea langsung turun dari mobil dan masuk kekamarnya, bik Asih nampak bingung ketika melihat Dea dengan raut muka yang kesal. "Bik siapin makan malam ya," ucap Aiden pada bik Asih. "Iya Tuan," jawab bik Asih. Aiden pun menuju kamarnya, sekilas dia melihat pintu kamar Dea dan berniat untuk mengetok pintu itu, tapi diurungkan niatnya karena mengingat perkataan ayah Dea. "Kalau Dea lagi kesal, marah, atau sedih. Tolong kamu kasih waktu dulu ya, turutin apa yang dia mau, biarkan dia meluapkan emosinya. Maafin ayah kalau putri ayah akan merepotkan kamu, tolong juga kontrol obat-obatan yang dia minum, ayah tau terkadang Dea masih meminum obat-obatan dari psikiater meskipun sudah dikurangin dosisnya, tapi Dea terkadang over ketika meminumnya," ucap ayah Dea sehari sebelum akad nikahnya dimulai. Aiden menghela nafas dan langsung menuju kamarnya. Aiden mengganti bajunya, da
"Ahh itu tadi bik Asih," jawab Aiden dengan degupan jantung yang kencang. "Beneran?" selidik Wendy dengan raut muka yang mengernyit. "Iya baby, udah yuk berangkat," jawab Aiden seraya menggandeng tangan Wendy dan berjalan menuju parkiran. Aiden membukakan pintu mobil untuk Wendy, "Makasih Baby," ucap Wendy dengan tersenyum dan langsung masuk kedalam mobil. "Sama-sama Baby," saut Aiden dengan senyum manisnya lalu menutup pintu mobil dengan pelan. Aiden bergegas masuk mobil dan menuju ke mall tempat dia akan membelikan tas dan sepatu untuk Wendy. Sesampainya diparkiran mall, Aiden dengan buru-buru keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Wendy tak lupa juga sambutan senyum manisnya. Wendy keluar dari dalam mobil, lalu menggandeng tangan Aiden. Mereka pun masuk kedalam mall, langsung menuju store tempat Tas yang diinginkan Wendy. Wendy mengambil satu tas dan beberapa pasang sepatu. Aiden senantiasa menemani Wendy dengan membawakan tas.
Keesokan paginya para pelayan sedang heboh karena mendengar kabar bahwa pak Gino melihat hantu yang mengikuti majikan mereka dimalam hari. "Beneran Pak?" tanya Sinta yang tidak percaya. "Bener, Kamu ini dibilangin kok gak percaya. Ya gak Tro?" ucap pak Gino. "Mana aku tau lah No, aku kemarin cuma liat kamu mlongo kayak patung," jawab pak Lastro yang sedang mengelap kaca mobil. "Haduh. Pokoknya gitu Sin," jawab pak Gino. "Hihhhh, kok serem gitu Pak," ucap Sinta bergidik ngeri. "Sinta mau balik kedapur dulu Pak," ujar Sinta. "Oke-oke Sin, makasih kopinya ya," ucap pak Gino. "Oke Pak," jawab Sinta. Ketika sampai didapur semuanya masih bergosip tentang penampakan hantu semalam. "Tapi ngomong-ngomong kenapa nona ada didepan pintu kamar kita ya?" tanya Rara yang sedang menata makanan diatas meja makan. "Iya, kata pak Gino non Dea hanya berdiri didepan kamar kita, kek creepy banget gak sih?" saut Lina.
"Tentu," Dea menjawab, menatapnya dengan sorot ingin tahu. Devano menghela napas sebelum melanjutkan, suaranya sedikit lebih serius dibanding sebelumnya. "Kamu benar-benar tidak ingin kembali pada Aiden?" Langkah Dea kembali terhenti sejenak. Ada keheningan di antara mereka, hanya terdengar langkah-langkah para pengawal yang berjaga di sekitar. Mata Dea menatap Devano lurus, ekspresinya tenang, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang sulit diterjemahkan."Aiden benar-benar hancur, Dea," lanjut Devano, suaranya lebih pelan kali ini. "Dia mencarimu ke mana-mana. Dia bahkan tidak lagi peduli pada pekerjaannya. Kau mungkin berpikir dia akan baik-baik saja tanpamu, tapi kenyataannya tidak begitu. Dia benar-benar hancur."Dea mengepalkan tangannya tanpa sadar. Dia tahu bahwa meninggalkan Aiden bukanlah hal mudah bagi keduanya, tapi mendengar kondisi Aiden dari mulut Devano tetap saja menimbulkan sesuatu yang menghimpit dadanya. "Aku pergi bukan karena aku ingin, Dev," kata Dea akhirnya,
Sekian bulan berlalu, namun keberadaan Dea masih menjadi misteri yang tak kunjung terpecahkan. Aiden sudah mengerahkan segala cara memanfaatkan koneksinya, menyewa detektif terbaik, bahkan mencoba melacak sendiri pergerakan orang-orang Wijaya, tetapi hasilnya nihil. Seolah-olah Dea benar-benar menghilang dari dunia ini.Pikiran Aiden dipenuhi oleh kegelisahan. Rasa frustrasi terus menghantui setiap langkahnya, membuatnya semakin tenggelam dalam keputusasaan. Ia bahkan melupakan tugas-tugasnya sebagai pemimpin perusahaan, membiarkan semuanya terbengkalai.Di rumah, Rita dan Kusuma hanya bisa memandang putra mereka dengan rasa bersalah yang semakin menumpuk. Mereka tahu bahwa ini semua adalah akibat dari keputusan yang mereka paksa Aiden untuk melepaskan kasus Andre dan menutup mata atas segala kerugian yang ditimbulkan kakaknya demi menjaga nama baik keluarga."Dia tidak bisa terus seperti ini, Pa," Rita berkata pelan saat melihat Aiden yang hanya duduk diam di ruang kerjanya, tatapann
"Ini di mana, Yah?" tanya Dea selepas ia sadarkan diri. Orang pertama yang ia lihat adalah Wijaya, kemudian Lusi. Keduanya hanya diam saat ia bertanya. Wanita itu pun dibuat kebingungan dengan situasi saat ini. Ketika keduanya memilih keluar, berganti Bad masuk dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. "Kita berada di markas baru, Madam," ucap pria itu penuh hormat.Dea mengerutkan kening, matanya menyapu ruangan asing yang kini menjadi tempatnya terbaring. Aroma antiseptik masih tercium, tapi ini bukan rumah sakit. Ruangan ini lebih luas, tenang, dan tidak ada perawat yang berlalu-lalang. "Markas baru?" ulangnya dengan suara serak, mencoba mencerna kata-kata Bad. Pria itu mengangguk pelan. Sorot matanya penuh kehati-hatian, seolah sedang mengamati reaksi Dea. "Ya, Madam. Ketua membawa Anda ke sini untuk keselamatan Anda." Keselamatan? Dari apa? Dea mencoba duduk, tapi tubuhnya masih terasa lemah. Kepalanya berdenyut ringan, membuatnya memejamkan mata sejenak. Ia mengingat se
Hakim menghela napas berat sebelum menatap Sony dengan penuh ketegasan. "Setelah mempertimbangkan seluruh bukti dan kesaksian yang telah diberikan dalam persidangan, pengadilan menjatuhkan vonis kepada terdakwa Sony dengan hukuman 20 tahun penjara tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat, serta denda sebesar 5 miliar rupiah."Suasana ruang sidang kembali gemuruh. Hukuman yang lebih berat dari Wendy menunjukkan betapa serius kejahatan yang telah dilakukan Sony.Sony hanya mendengus kecil, tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. Dia menatap ke arah Aiden dan menyeringai. "Kau mungkin menang kali ini, Aiden. Tapi dunia ini tidak akan membiarkanmu hidup tenang."Aiden tidak menanggapi. Ia hanya menatap Sony dalam-dalam, menyadari bahwa musuhnya tidak akan pernah benar-benar berubah.Setelah keputusan hakim, petugas segera memborgol Sony dan membawanya keluar dari ruang sidang. Aiden menarik napas panjang, merasa lega meskipun sebagian dari dirinya masih dihantui oleh luka yang ditinggalka
Ruang sidang dipenuhi dengan suara bisik-bisik dan tatapan tajam yang tertuju pada satu sosok di tengah ruangan, Wendy. Wanita itu duduk di kursi terdakwa dengan tangan yang terborgol, tetapi ekspresinya tetap penuh keangkuhan.Hakim mengetukkan palunya, menandakan persidangan dimulai."Saudari Wendy, Anda didakwa atas berbagai tuduhan, termasuk percobaan pembunuhan terhadap Nyonya Dea, persekongkolan untuk menghancurkan perusahaan Tuan Aiden, serta keterlibatan dalam berbagai tindakan ilegal lainnya. Apakah Anda mengakui dakwaan ini?" tanya Hakim dengan suara tegas.Wendy tersenyum miring. "Saya mengakui semuanya," jawabnya santai, membuat riuh kecil di dalam ruang sidang.Aiden, yang duduk di kursi saksi bersama pengacaranya, menatap Wendy dengan rahang mengatup rapat. Dea, yang masih dalam pemulihan, hadir dalam persidangan dengan wajah pucat tetapi sorot mata tajam.Jaksa kemudian berdiri dan mulai berbicara. "Bisa Anda jelaskan motif Anda melakukan semua ini? Apa alasan Anda ingi
Insiden penyekapan berjalan dengan cepat hingga semua pelaku dikumpulkan dalam persidangan Sayangnya ada satu orang yang disinyalir menreh luka mendalam untuk keluarga Aiden, yakni Andre. Pria itu mendapat panggilan dari pihak kepolisian, tetapi dia sudah terbang ke luar negeri.Rita dan Kusuma tidak bisa menghubungi anak sulung mereka. Wajah keduanya tampak pias ketika melihat Aiden. "Sampai sekarang Mama dan Papa tidak bisa menghubungi Andre," ujar Rita pada putranya. "Tidak bisakah kamu melepaskan, Andre? Bagaimanapun dia adalah Kakakmu." Wanita itu tampak tak berdaya merasakan dilema di dalam hatinya. Pada akhirnya, Kusuma yang sedari tadi membisu mulai angkat bicara. "Biar Papa yang menghukum Kakakmu, Nak. Sebagai gantinya, sebagian warisan yang akan kami turunkan pada Andre kini kualihkan ke kamu, Aiden." Aiden hanya diam mendengarkan ucapan orangtuanya. Tak berselang lama, ia memilih pergi tanpa memberikan jawaban. Helaan napas terdengar dari mulutnya. Entah bagaimana, ia me
Sesampainya di rumah sakit, Wijaya dengan panik membawa Dea yang tak sadarkan diri ke ruang gawat darurat. Para dokter dan perawat dengan sigap membawa Dea ke dalam, meninggalkan Wijaya yang berdiri di luar ruang tindakan dengan wajah tegang.“Pak Wijaya, kami akan melakukan yang terbaik. Mohon tenang,” kata salah satu dokter sebelum pintu ruang tindakan tertutup rapat.Wijaya hanya bisa menatap pintu itu dengan perasaan campur aduk. Tangan kirinya mengepal, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Namun, rasa khawatir terus menghantui pikirannya. Dea adalah harapan besar baginya dan melihatnya terluka parah seperti ini menghancurkan hatinya.Tak lama, Kusuma dan Rita tiba di rumah sakit setelah dihubungi oleh asistennya. Wajah keduanya menunjukkan kepanikan yang sama. Kusuma segera menghampiri Wijaya, menggenggam lengannya dengan kuat. “Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Dea?” tanyanya dengan suara bergetar.Wijaya menghela napas panjang, mencoba menenangkan sahabat sekaligus besannya
Tiba-tiba, suara dentuman keras mengguncang udara. Mobil yang mereka tumpangi berguncang hebat sebelum terlempar ke sisi jalan. Dea berteriak kaget, tubuhnya menghantam kursi depan sementara kaca mobil pecah berkeping-keping.Di depan mereka, sebuah truk tronton besar terlihat menghantam bagian depan mobil, membuatnya terguling hingga akhirnya berhenti di bahu jalan. Asap mengepul dari kap mesin, dan suara klakson tronton terdengar terus-menerus, seolah pengemudinya sengaja menekan klakson sebagai bentuk peringatan."Lars! Toni!" Dea memanggil dengan panik, tubuhnya terasa berat karena sabuk pengaman yang menahan pergerakannya. Rasa sakit di lengannya semakin terasa, ditambah serpihan kaca menusuk beberapa area wajahnya, tetapi itu bukan prioritasnya sekarang. "Apa kalian baik-baik saja?"Lars yang berada di kursi pengemudi tampak memegangi kepala, darah mengalir di dahinya. " Saya tidak apa-apa, Nyonya," jawabnya dengan suara parau, meskipun jelas ia sedang menahan rasa sakit.Toni,
Sony menggeram marah, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Apa yang sedang terjadi di luar?!" Ia melirik anak buahnya yang kembali berlari ke dalam dengan wajah panik."Bos! Ada serangan! Mereka bersenjata lengkap dan bergerak cepat. Kami kewalahan!" teriak salah satu anak buahnya. Semua mafia yang langsung berubah mode serius.Dea tak ingin menyia-nyiakan waktu. Wendy tampak panik apalagi saat Dea berusaha kabur. "Dia kabur, Pa!" kejar Wendy. Ia bahkan mengeluarkan pisau tangan dan berusaha menusuk Dea. Sayangnya ujung pisau tersebut hanya merobek lengan targetnya. "Akh!" ringin Dea tetapi kakinya tetap berlari ke luar, tempat ledakan itu berasal. "Toni!" teriak Dea. Namun, matanya terbelalak karena sosok yang dipanggil tidak ada justru yang dia temukan adalah Devano."Cepat keluar, Dea!" sambut Devano dengan senyum merekah. Kemudian di sampingnya ada Pak Hando sosok yang selama ini selalu ia kunjungi. "Syukurlah aku menemukanmu, Nak. Ayahmu pasti senang."Sayangnya di belakang, te