"Ahh itu tadi bik Asih," jawab Aiden dengan degupan jantung yang kencang.
"Beneran?" selidik Wendy dengan raut muka yang mengernyit.
"Iya baby, udah yuk berangkat," jawab Aiden seraya menggandeng tangan Wendy dan berjalan menuju parkiran. Aiden membukakan pintu mobil untuk Wendy,
"Makasih Baby," ucap Wendy dengan tersenyum dan langsung masuk kedalam mobil.
"Sama-sama Baby," saut Aiden dengan senyum manisnya lalu menutup pintu mobil dengan pelan. Aiden bergegas masuk mobil dan menuju ke mall tempat dia akan membelikan tas dan sepatu untuk Wendy. Sesampainya diparkiran mall, Aiden dengan buru-buru keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Wendy tak lupa juga sambutan senyum manisnya. Wendy keluar dari dalam mobil, lalu menggandeng tangan Aiden. Mereka pun masuk kedalam mall, langsung menuju store tempat Tas yang diinginkan Wendy. Wendy mengambil satu tas dan beberapa pasang sepatu. Aiden senantiasa menemani Wendy dengan membawakan tas.
Keesokan paginya para pelayan sedang heboh karena mendengar kabar bahwa pak Gino melihat hantu yang mengikuti majikan mereka dimalam hari. "Beneran Pak?" tanya Sinta yang tidak percaya. "Bener, Kamu ini dibilangin kok gak percaya. Ya gak Tro?" ucap pak Gino. "Mana aku tau lah No, aku kemarin cuma liat kamu mlongo kayak patung," jawab pak Lastro yang sedang mengelap kaca mobil. "Haduh. Pokoknya gitu Sin," jawab pak Gino. "Hihhhh, kok serem gitu Pak," ucap Sinta bergidik ngeri. "Sinta mau balik kedapur dulu Pak," ujar Sinta. "Oke-oke Sin, makasih kopinya ya," ucap pak Gino. "Oke Pak," jawab Sinta. Ketika sampai didapur semuanya masih bergosip tentang penampakan hantu semalam. "Tapi ngomong-ngomong kenapa nona ada didepan pintu kamar kita ya?" tanya Rara yang sedang menata makanan diatas meja makan. "Iya, kata pak Gino non Dea hanya berdiri didepan kamar kita, kek creepy banget gak sih?" saut Lina.
"Selamat siang," sapa seseorang. Ternyata itu Devano dan beberapa teman Aiden. Aiden kaget mendapati teman-temannya yang sedang berada didepan pintu. "Mampus," batin Aiden."Selamat siang, eh anak-anak udah lama nggak ketemu," ujar mama kepada mereka."Hehe, iya Tante. Tante sih, sering banget honeymoon bareng Om keluar kota, jadi jarang banget ketemu Tante," ucap Devano yang menggoda mama. Devano mencium tangan mama."Hihh.. kamu ini ya Devano bisa aja kalau ngomong," ujar mama."Makin ganteng aja kamu ini Devano," ucap papa."Ahaha.. bisa aja Om," jawab Devano cengengesan."Halo Elvaro makin gagah aja nih," sapa mama pada Elvaro."Ahaha.. aduh tante ini bikin malu aja,""Hai Kenzo anak ganteng," sapa mama."Hallo Tante," sapa Kenzo balik."Aduh ini si Raefal kecil," ujar mama pada Raefal."Yaampun Tante, Rae udah besar gini masih aja dibilang kecil," ucap Raefal."Aduh Raefal, tapi kamu yang paling
"Kalian tau aku sedang berpacaran dengan Wendy," ujar Aiden."Ya, kami tau," ujar Elvaro."Kenapa?" saut Kenzo."Tapi kamu udah nikah, berarti udah putus kan,"ucap Raefal.Aiden menggelengkan kepalanya, "Belum," jawab Aiden."Jadi?" tanya Zac."Ahh Kamu mau minta bantuan kita biar putus sama Wendy?" tanya Kenzo."Tidak, aku minta kalian bantu aku sembunyikan status pernikahanku dengan Dea. Aku tidak bisa putus dengan Wendy," ujar Aiden."Wah," ucap Raefal dengan tepuk tangan dan langsung berdiri berjalan kesana kemari tidak menyangka dengan kalimat yang dikeluarkan Aiden dari mulutnya."Kamu gila ya Den?" tanya Raefal dengan ekspresi yang tidak bisa menerima kalimat yang baru saja dilontarkan Aiden."Wahhh gak habis pikir sama jalan pikiranmu," ucap Elvaro dengan menggeleng-gelengkan kepalanya."Aku mohon sama kalian," ujar Aiden memohon kepada teman-temannya."Ck! Kamu ini gimana sih, mana bis
Aiden membawa Dea kekamarnya. dan mendudukkannya diatas tempat tidur."Kamu mau es krim apa De?" tanya Aiden pada Dea."Ice cream ? Ice scream? I scream! Kamu kenapa berteriak?" tanya Dea."Ice cream bukan I scream," jelas Aiden. "Makanan beku yang terbuat dari susu, itu ice cream," lanjut Aiden."Ohh itu, susunya punya siapa?" tanya Dea."Susunya sapi De," jawab Aiden gemas."Sapi? Mooo," ucap Dea menirukan suara sapi."Iya, coklat aja ya?" tanya Aiden."He em, coklat aja," ucap Dea yang masih linglung.Aiden keluar dari kamar dan menuju dapur untuk mengambil ice cream."Bik, bilangin orang-orang jangan boleh ada yang ke atas ya," ucap Aiden pada bik Asih. Aiden tidak mau ada yang mengetahui kondisi Dea yang sedang sakau sekarang."Baik Tuan," jawab bik Asih. Aiden langsung balik kekamar Dea. Ternyata Dea sudah tertidur.Aiden membenarkan posisi tidur Dea, ketika dia hendak pergi tiba-tiba tan
Dea mencari obatnya dan berniat untuk meminumnya, tetapi diurungkan niatnya karena tadi siang dia sudah meminum cukup banyak obat samapi dia menjadi sakau dan mendapat cacian cewek gila dari mulut Aiden. Dimasukkan kembali obat itu kedalam lemari, Air yang dibawanya tadi diminumnya sampai habis lalu dia memutuskan untuk mandi menggukanan air hangat. Badannya menjadi relaks ketika air dari shower membasahi sekujur tubuhnya, dia beridam diri dibawah shower cukup lama, mencoba mengendalikan emosinya yang masih meluap-luap meskipun tidak separah ketika dia berdebat dengan Aiden."Dasar cowok brengsek!" teriak Dea dibawah derasnya air shower."Aiden bego! Nafsu doang digedein! otak sama attitude gaada sama sekaliiiii!" maki Dea."Aku denger De! berhenti mencaci aku!!" teriak Aiden dibalik pintu kamar mandi."Ngapain kamu ke kamarku!?" teriak Dea."Ngerampas obatmu! kamu taruh mana!?" teriak Aiden, yang sedang mengobrak-abir kamar Dea. Dea diam saja, unt
Setelah mendengar bahwa ada yang mencari Aiden. Aiden langsung menemui siapa gerangan seseorang yang sedang berkunjung tanpa mengabari dia terlebih dahulu, juka itu teman-temannya bik Asih pasti bilang siapa namanya, tetapi ini tidak ada nama yang disebutkan oleh bik Asih. Aiden mendapati dua laki-laki paruh baya yang sedang duduk disofa. "Selamat malam Pak Aiden," sapa salah satu pria paruh baya dengan senyum ramahnya. Dan langsung menjabat tangan Aiden. "Selamat malam," jawab Aiden. Menerima jabatan tangan pria itu. "Maaf atas kurang sopannya kami berdua karena sudah bertamu tanpa pemberitahuan," ucap lagi pria paruh baya. "Ah tidak masalah, silakan duduk," ucap Aiden dan mempersilahkan mereka duduk kembali. "Sebelumnya perkenalkan saya Jumono, dan ini teman saya Triyo," ujar pria itu memperkenalka diri. "Salam kenal Pak Jumono dan Pak Triyo, ngomong-ngomong ada apa ya bertamu kerumah saya?" tanya Aiden. Mereka saling bertatapan sebelum salah satu dari mereka menjawab pertanya
"Kalau menurutmu apa De? " Tanya Aiden kepada Dea."Ummm.... Kalau menurutku.... Terserah kamu sih, " jawab Dea."Hm.... " Aiden menghela nafasnya dengan mata tertutup."Tapi kalau kamu mau ambil resiko kamu bisa terima tawaran itu, " lanjut Dea."Gitu ya," ujar Aiden."Ya," jawab Dea."Hemmm.. " Aiden menghela nafasnya kembali."Udah? " tanya Dea pada Aiden."Udah sih, " jawab Aiden."Aku balik kekamar ya? " tanya Dea."Jangan dulu lah, udah aku siapin coklat tuh, " ucap Aiden dengan menunjuk gelas yang berisi coklat panas."Mau ngapain? "tanya Dea." Ya temenin lah, emang kamu gak bosen dikamar terus-terus an, " ujar Aiden."Nggak tuh, " jawab Dea."Kamu sering ngobat ya De? " tanya Aiden."Nggak," jawab Dea."Kalau enggak kenapa kemarin bisa sampek kayak gitu, " ucap Aiden penasara
"Buka aja De, tidak masalah," ujar Aiden dengan seringai dibibirnya tanpa melihat Dea."Oke." Dea membuka kimononya, hanya dengan menggunakan underwear Dea memilih baju dilemarinya, lalu mengambil kaos dan celana selututnya.Aiden mash sibuk dengan ponselnya."Habis ini teman-temanku mau kesini De," ujar Aiden memberitahu Dea."Ngapain?" tanya Dea."Mau main sama Kamu," jawab Aiden."Ada-ada aja sih temenmu," ucap Dea yang sedang menyisir rambutnya."Mana aku tau, kalau gak nyaman nanti langsung pergi aja gapapa. Tapi sapa mereka dulu ya," tutur Aiden. Aiden turun dari ranjang Dea."Ayo sarapan dulu De," ajak Aiden yang langsung berjalan keluar dari kamar Dea. Dea membuntuti Aiden dari belakang, ketika pintu lift terbuka ada sesosok bik Asih."Tuan.... teman-teman Tuan sedang berada diruang tamu," ujar bik Asih. Dea dan Aiden masuk kedalam lift."Baru datang Bik?" tanya Aiden."Iya Tuan," jawab bik Asih.
"Tentu," Dea menjawab, menatapnya dengan sorot ingin tahu. Devano menghela napas sebelum melanjutkan, suaranya sedikit lebih serius dibanding sebelumnya. "Kamu benar-benar tidak ingin kembali pada Aiden?" Langkah Dea kembali terhenti sejenak. Ada keheningan di antara mereka, hanya terdengar langkah-langkah para pengawal yang berjaga di sekitar. Mata Dea menatap Devano lurus, ekspresinya tenang, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang sulit diterjemahkan."Aiden benar-benar hancur, Dea," lanjut Devano, suaranya lebih pelan kali ini. "Dia mencarimu ke mana-mana. Dia bahkan tidak lagi peduli pada pekerjaannya. Kau mungkin berpikir dia akan baik-baik saja tanpamu, tapi kenyataannya tidak begitu. Dia benar-benar hancur."Dea mengepalkan tangannya tanpa sadar. Dia tahu bahwa meninggalkan Aiden bukanlah hal mudah bagi keduanya, tapi mendengar kondisi Aiden dari mulut Devano tetap saja menimbulkan sesuatu yang menghimpit dadanya. "Aku pergi bukan karena aku ingin, Dev," kata Dea akhirnya,
Sekian bulan berlalu, namun keberadaan Dea masih menjadi misteri yang tak kunjung terpecahkan. Aiden sudah mengerahkan segala cara memanfaatkan koneksinya, menyewa detektif terbaik, bahkan mencoba melacak sendiri pergerakan orang-orang Wijaya, tetapi hasilnya nihil. Seolah-olah Dea benar-benar menghilang dari dunia ini.Pikiran Aiden dipenuhi oleh kegelisahan. Rasa frustrasi terus menghantui setiap langkahnya, membuatnya semakin tenggelam dalam keputusasaan. Ia bahkan melupakan tugas-tugasnya sebagai pemimpin perusahaan, membiarkan semuanya terbengkalai.Di rumah, Rita dan Kusuma hanya bisa memandang putra mereka dengan rasa bersalah yang semakin menumpuk. Mereka tahu bahwa ini semua adalah akibat dari keputusan yang mereka paksa Aiden untuk melepaskan kasus Andre dan menutup mata atas segala kerugian yang ditimbulkan kakaknya demi menjaga nama baik keluarga."Dia tidak bisa terus seperti ini, Pa," Rita berkata pelan saat melihat Aiden yang hanya duduk diam di ruang kerjanya, tatapann
"Ini di mana, Yah?" tanya Dea selepas ia sadarkan diri. Orang pertama yang ia lihat adalah Wijaya, kemudian Lusi. Keduanya hanya diam saat ia bertanya. Wanita itu pun dibuat kebingungan dengan situasi saat ini. Ketika keduanya memilih keluar, berganti Bad masuk dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. "Kita berada di markas baru, Madam," ucap pria itu penuh hormat.Dea mengerutkan kening, matanya menyapu ruangan asing yang kini menjadi tempatnya terbaring. Aroma antiseptik masih tercium, tapi ini bukan rumah sakit. Ruangan ini lebih luas, tenang, dan tidak ada perawat yang berlalu-lalang. "Markas baru?" ulangnya dengan suara serak, mencoba mencerna kata-kata Bad. Pria itu mengangguk pelan. Sorot matanya penuh kehati-hatian, seolah sedang mengamati reaksi Dea. "Ya, Madam. Ketua membawa Anda ke sini untuk keselamatan Anda." Keselamatan? Dari apa? Dea mencoba duduk, tapi tubuhnya masih terasa lemah. Kepalanya berdenyut ringan, membuatnya memejamkan mata sejenak. Ia mengingat se
Hakim menghela napas berat sebelum menatap Sony dengan penuh ketegasan. "Setelah mempertimbangkan seluruh bukti dan kesaksian yang telah diberikan dalam persidangan, pengadilan menjatuhkan vonis kepada terdakwa Sony dengan hukuman 20 tahun penjara tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat, serta denda sebesar 5 miliar rupiah."Suasana ruang sidang kembali gemuruh. Hukuman yang lebih berat dari Wendy menunjukkan betapa serius kejahatan yang telah dilakukan Sony.Sony hanya mendengus kecil, tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. Dia menatap ke arah Aiden dan menyeringai. "Kau mungkin menang kali ini, Aiden. Tapi dunia ini tidak akan membiarkanmu hidup tenang."Aiden tidak menanggapi. Ia hanya menatap Sony dalam-dalam, menyadari bahwa musuhnya tidak akan pernah benar-benar berubah.Setelah keputusan hakim, petugas segera memborgol Sony dan membawanya keluar dari ruang sidang. Aiden menarik napas panjang, merasa lega meskipun sebagian dari dirinya masih dihantui oleh luka yang ditinggalka
Ruang sidang dipenuhi dengan suara bisik-bisik dan tatapan tajam yang tertuju pada satu sosok di tengah ruangan, Wendy. Wanita itu duduk di kursi terdakwa dengan tangan yang terborgol, tetapi ekspresinya tetap penuh keangkuhan.Hakim mengetukkan palunya, menandakan persidangan dimulai."Saudari Wendy, Anda didakwa atas berbagai tuduhan, termasuk percobaan pembunuhan terhadap Nyonya Dea, persekongkolan untuk menghancurkan perusahaan Tuan Aiden, serta keterlibatan dalam berbagai tindakan ilegal lainnya. Apakah Anda mengakui dakwaan ini?" tanya Hakim dengan suara tegas.Wendy tersenyum miring. "Saya mengakui semuanya," jawabnya santai, membuat riuh kecil di dalam ruang sidang.Aiden, yang duduk di kursi saksi bersama pengacaranya, menatap Wendy dengan rahang mengatup rapat. Dea, yang masih dalam pemulihan, hadir dalam persidangan dengan wajah pucat tetapi sorot mata tajam.Jaksa kemudian berdiri dan mulai berbicara. "Bisa Anda jelaskan motif Anda melakukan semua ini? Apa alasan Anda ingi
Insiden penyekapan berjalan dengan cepat hingga semua pelaku dikumpulkan dalam persidangan Sayangnya ada satu orang yang disinyalir menreh luka mendalam untuk keluarga Aiden, yakni Andre. Pria itu mendapat panggilan dari pihak kepolisian, tetapi dia sudah terbang ke luar negeri.Rita dan Kusuma tidak bisa menghubungi anak sulung mereka. Wajah keduanya tampak pias ketika melihat Aiden. "Sampai sekarang Mama dan Papa tidak bisa menghubungi Andre," ujar Rita pada putranya. "Tidak bisakah kamu melepaskan, Andre? Bagaimanapun dia adalah Kakakmu." Wanita itu tampak tak berdaya merasakan dilema di dalam hatinya. Pada akhirnya, Kusuma yang sedari tadi membisu mulai angkat bicara. "Biar Papa yang menghukum Kakakmu, Nak. Sebagai gantinya, sebagian warisan yang akan kami turunkan pada Andre kini kualihkan ke kamu, Aiden." Aiden hanya diam mendengarkan ucapan orangtuanya. Tak berselang lama, ia memilih pergi tanpa memberikan jawaban. Helaan napas terdengar dari mulutnya. Entah bagaimana, ia me
Sesampainya di rumah sakit, Wijaya dengan panik membawa Dea yang tak sadarkan diri ke ruang gawat darurat. Para dokter dan perawat dengan sigap membawa Dea ke dalam, meninggalkan Wijaya yang berdiri di luar ruang tindakan dengan wajah tegang.“Pak Wijaya, kami akan melakukan yang terbaik. Mohon tenang,” kata salah satu dokter sebelum pintu ruang tindakan tertutup rapat.Wijaya hanya bisa menatap pintu itu dengan perasaan campur aduk. Tangan kirinya mengepal, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Namun, rasa khawatir terus menghantui pikirannya. Dea adalah harapan besar baginya dan melihatnya terluka parah seperti ini menghancurkan hatinya.Tak lama, Kusuma dan Rita tiba di rumah sakit setelah dihubungi oleh asistennya. Wajah keduanya menunjukkan kepanikan yang sama. Kusuma segera menghampiri Wijaya, menggenggam lengannya dengan kuat. “Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Dea?” tanyanya dengan suara bergetar.Wijaya menghela napas panjang, mencoba menenangkan sahabat sekaligus besannya
Tiba-tiba, suara dentuman keras mengguncang udara. Mobil yang mereka tumpangi berguncang hebat sebelum terlempar ke sisi jalan. Dea berteriak kaget, tubuhnya menghantam kursi depan sementara kaca mobil pecah berkeping-keping.Di depan mereka, sebuah truk tronton besar terlihat menghantam bagian depan mobil, membuatnya terguling hingga akhirnya berhenti di bahu jalan. Asap mengepul dari kap mesin, dan suara klakson tronton terdengar terus-menerus, seolah pengemudinya sengaja menekan klakson sebagai bentuk peringatan."Lars! Toni!" Dea memanggil dengan panik, tubuhnya terasa berat karena sabuk pengaman yang menahan pergerakannya. Rasa sakit di lengannya semakin terasa, ditambah serpihan kaca menusuk beberapa area wajahnya, tetapi itu bukan prioritasnya sekarang. "Apa kalian baik-baik saja?"Lars yang berada di kursi pengemudi tampak memegangi kepala, darah mengalir di dahinya. " Saya tidak apa-apa, Nyonya," jawabnya dengan suara parau, meskipun jelas ia sedang menahan rasa sakit.Toni,
Sony menggeram marah, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Apa yang sedang terjadi di luar?!" Ia melirik anak buahnya yang kembali berlari ke dalam dengan wajah panik."Bos! Ada serangan! Mereka bersenjata lengkap dan bergerak cepat. Kami kewalahan!" teriak salah satu anak buahnya. Semua mafia yang langsung berubah mode serius.Dea tak ingin menyia-nyiakan waktu. Wendy tampak panik apalagi saat Dea berusaha kabur. "Dia kabur, Pa!" kejar Wendy. Ia bahkan mengeluarkan pisau tangan dan berusaha menusuk Dea. Sayangnya ujung pisau tersebut hanya merobek lengan targetnya. "Akh!" ringin Dea tetapi kakinya tetap berlari ke luar, tempat ledakan itu berasal. "Toni!" teriak Dea. Namun, matanya terbelalak karena sosok yang dipanggil tidak ada justru yang dia temukan adalah Devano."Cepat keluar, Dea!" sambut Devano dengan senyum merekah. Kemudian di sampingnya ada Pak Hando sosok yang selama ini selalu ia kunjungi. "Syukurlah aku menemukanmu, Nak. Ayahmu pasti senang."Sayangnya di belakang, te