Arabella Charlotte telah lama membunuh harapan dalam dirinya setelah berpisah dengan ibunya. Ia pikir, budak seperti dirinya hanya akan terus terikat dan terkungkung dengan pemiliknya. Namun sebuah kebakaran yang terjadi menghantarkan Bella pada jalan hidup yang lain. Benang takdir menuntunnya pada keluarga Linford dan mempertemukannya dengan anak mereka—Damian Linford. Sebuah pertemuan yang membuat hidup Bella terasa dijungkir balikkan. Beberapa fakta yang tidak ia ketahui sebelumnya, datang layaknya badai yang menghantam. Dan Damian Linford mengambil banyak andil di dalamnya.
Lihat lebih banyak"Seharusnya aku lebih berhati-hati."
Keringat dingin membasahi sekujur tubuh perempuan bergaun lusuh yang duduk bersimpuh di lantai. Pandangannya terus tertuju pada kaca jendela yang memantulkan ekspresi ketakutan di wajahnya.Sayup-sayup, suara langkah kaki terdengar dari lorong di belakangnya, bersama lecutan cambuk yang mengerikan. Bella memejamkan mata rapat-rapat, jantungnya berderu tidak terkendali. Kilasan ketika Daisy—budak yang seumuran dengannya—dihukum, melintas begitu saja.'Tolong! Saya mohon, Tuan! Jangan bunuh saya! Saya mohon!''Diam kau pencuri!'Tuan Hugo langsung membunuh gadis itu tanpa rasa kasihan sedikit pun.Darah yang menggenang ... daging yang berceceran ... teriakan penuh kesakitan ...Bella tidak akan pernah bisa melupakan kejadian malam itu.Sejujurnya, ia tidak ingin mengalami hal yang sama. Tetapi, kesalahannya memecahkan salah satu piring tidak bisa dimaafkan. Tuan Hugo dan istrinya—Nyonya Deborah—sangat benci dengan budak yang ceroboh. Padahal Bella tidak sengaja menjatuhkannya.Suara langkah sebelumnya tidak lagi terdengar, Bella bisa merasakan presensi Tuan Hugo yang berdiri di belakangnya. Sekujur tubuhnya gemetar hebat. Ia baru menarik napas saat satu cambukan dilayangkan ke punggungnya dengan keras.Bella memekik. Kedua matanya terbuka lebar. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menjerit. Namun, lecutan demi lecutan yang dilayangkan dengan kasar, berhasil menghantarkan rasa sakit yang terasa merobek punggungnya.Pada cambukan kedelapan, kendali diri Bella menghilang, dan ia menjerit keras. Isakan kecil lolos dari bibirnya, tetapi Tuan Hugo menatap tanpa rasa simpati sedikit pun."Kali ini kau aku ampuni. Tapi jika kau melakukannya lagi, hidupmu akan berakhir seperti budak pencuri itu.""Sa-saya mengerti, Tuan."Pria berusia 50 tahun itu berbalik pergi, meninggalkan sang budak yang jatuh tersungkur ke lantai. Rasa perih dan panas menjalar di punggung Bella, membuatnya terus-menerus meringis saat mencoba bergerak.Dengan tertatih-tatih, Bella berjalan keluar dari ruangan tersebut menuju tempat para budak yang berada di bagian paling belakang rumah. Pandangannya agak berkunang-kunang, bukan hanya karena hukuman tadi, tetapi juga karena perutnya yang belum diisi sejak kemarin.Kakinya melangkah pelan menuruni tangga, lalu berbelok menyusuri lorong panjang. Bella mengunci pintu dan berjalan susah payah menuju tempat tidurnya. Mendaratkan diri di tepi kasurnya yang lapuk, ia kembali mendesis karena rasa sakit yang begitu menusuk. Tiga pasang mata seketika menatap Bella prihatin.Bella mencoba tersenyum, tetapi bibirnya hanya tertarik sedikit. "Aku tidak apa-apa, kalian istirahatlah," gumamnya. Tetapi, tentu saja mereka semua tidak percaya. Ketiga budak berusia 30-an ke atas itu sudah lama bekerja di sini dan pernah mengalami hukuman yang serupa.Talia, si budak paling tua dengan cepat berdiri menghampiri, diikuti oleh Elena dan Melinda. Talia mengambil sepotong kain dari dalam lemari, lalu Elena mengambil air dari kamar mandi, sedangkan Melinda membantu mengangkat gaun Bella yang dipenuhi darah dari punggungnya.Kalau sudah seperti ini, Bella tidak bisa menolak lagi dan menerima perlakuan mereka. Mereka bertiga sudah dianggapnya sebagai keluarga sejak ia dan ibunya dibawa ke sini.Ibu ...Hati Bella mencelos, dipenuhi kerinduan akan ibunya. Jika ibunya di sini, maka beliau-lah yang akan mengobatinya.Sayangnya, ia tidak akan pernah bisa melihat ibunya lagi. Tuan Hugo telah menjualnya pada orang lain. Ia hanya berharap ibunya ditempatkan di keluarga yang tidak akan menyiksanya. Umurnya sudah tua—"Bella?"Suara Elena membuyarkan lamunan Bella. Ia tidak sadar kalau lukanya sudah dibebat dengan kain. Mereka bertiga kembali menatapnya dengan cemas."Ada apa, Sayang?" Talia bertanya dengan lembut, tangannya mengelus puncak kepala Bella. "Kau bisa menceritakannya pada kami, hm?"Bella menggeleng, cepat-cepat menghapus segala kesedihan yang melintas di wajahnya. Ia tidak ingin membuat mereka kembali mengkhawatirkannya. "Aku hanya ... sedikit melamun," ujarnya, tersenyum tipis. "Terima kasih sudah mengobati punggungku."Talia mengangguk, mengerti benar kalau Bella lagi-lagi menutup diri. "Tidak masalah. Kalau begitu istirahatlah, Nak."Mereka kembali ke kasur masing-masing dalam diam untuk beristirahat. Bekerja seharian membuat mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk jatuh terlelap sebab lelah.Bella sendiri berbaring miring sembari menarik selimut tua yang dipenuhi lubang dan tambalan di mana-mana. Pikirannya kembali terlempar ke pusaran kenangan antara dirinya dan ibunya.Seharusnya ia langsung tidur supaya bisa bangun tepat waktu. Tetapi, ia sama sekali tidak mengantuk. Dipandanginya bulan sabit yang mengintip dari celah di atas kusen, menggantung sendirian—kesepian seperti dirinya.Bella merindukan ibunya. Ia ingin melihat wajahnya sekali saja.Mereka dipisahkan saat ia masih berumur 13 tahun. Enam tahun telah berlalu. Meski ketiga budak lainnya memberinya banyak kehangatan, tetap saja Bella merindukan kasih sayang ibunya.Bella masih ingat benar apa yang ibunya katakan sebelum dibawa pergi:"Ibu percaya kalau suatu saat nanti, kau bisa memiliki kehidupan yang lebih baik."Sesuai namanya yang berarti 'manusia bebas', ibunya berharap ia bisa memiliki kehidupan yang indah di luar sana.Bella tidak pernah mempercayainya. Harapannya sudah lama dikubur bersama asa yang telah mati. Di dunia yang keras ini, harapan yang tinggi akan menjatuhkan kamu ke hantaman yang paling sakit.Nyatanya, ia hanyalah budak yang terkungkung dan terikat dengan pemiliknya untuk selamanya.Undang-undang yang melarang perbudakan telah disahkan sejak tahun 1865, tetapi bahkan berabad-abad setelahnya perdagangan itu masih berlangsung di pasar gelap. Orang-orang dengan uang melimpah lebih suka membeli budak yang bisa menyimpan rapat rahasia mereka, dibanding asisten rumah tangga biasa.Seandainya ia bebas, ia juga tidak tahu akan kemana. Ia mungkin hanya akan terlantar di jalanan dan mati dengan mengenaskan.Dulu sekali, ibunya pernah bilang kalau ayahnya adalah orang bebas dan mempunyai kedudukan yang tinggi di kota ini. Tetapi, kenapa ia tidak datang untuk menyelamatkan Bella dan ibunya?Bella merasa kalau apa yang ibunya katakan hanyalah penghibur semata. Pria itu tidak mungkin mau mengakui mereka yang statusnya sangat rendah dan hina. Sampai kapan pun, Bella juga tidak akan pernah mau mengakuinya sebagai ayah. Dalam pandangan Bella, pria itu sudah lama mati.Bella menarik napas panjang ketika rasa sesak itu kembali menghampiri. Ia menarik selimut hingga lehernya dan memejamkan mata, tetapi mendadak saja terdengar suara umpatan keras dari luar gudang."Ck, ke mana pria itu pergi?"Siapa itu? Suara beratnya yang terdengar bukan milik Tuan Hugo. Apakah pelayan pria yang disewa? Kenapa mereka bisa sampai ke gudang?Bella melirik budak lain yang tertidur pulas, kemudian beranjak dari tempatnya. Sambil menahan ringisan, ia berjalan ke pintu dan menempelkan telinganya di sana."Aku harus menemukannya sebelum pesta ini berakhir. Hugo benar-benar keterlaluan." Pria itu kembali berbicara dengan kesal.Tuan Hugo? Apa yang dia bicarakan?Bella menunggu, tetapi kemudian hening.Tiga menit berlalu tanpa suara dan Bella bertanya-tanya apa pria itu sudah pergi. Entah apa yang ada dipikirannya, tangannya malah memutar kunci gudang hingga terbuka. Kepalanya mengintip ke luar dan ia membelalak melihat presensi si pria.Dia belum pergi.Pria itu menoleh dengan cepat dan pandangan keduanya bersirobok. Iris pria itu begitu gelap layaknya langit malam tanpa bintang. Ia terlihat memperhatikan penampilan Bella dari atas sampai ke bawah.Bella sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan besar dengan menampakkan diri pada orang asing. Matanya memperhatikan tato yang ada di leher si pria. Sebuah simbol organisasi gelap yang tidak asing."Damian!"Panggilan itu seketika membuat Bella berjengit. Ia bergegas menutup pintu ketika suara langkah terdengar mendekat.Ya ampun, apa yang baru saja ia lakukan?Bella menggigit bibir bawahnya dengan ketakutan dan berharap pria itu mengabaikan kejadian barusan. Jika majikannya tahu, ia akan berada dalam masalah besar. Bella hendak kembali ke tempat tidurnya ketika mendengar pria itu berbicara lagi."Jadi benar Hugo memiliki budak."Langit kelabu menaungi kota Rainelle. Angin kencang tak henti-hentinya berembus, menampar-nampar wajah Damian dengan keras. Sore itu, hujan sepertinya akan turun menyapa.Damian berdiri diam dibalik batang pohon pinus. Matanya tertuju pada bangunan tua yang berdiri di seberang jalan. Bau karat besi dan sampah busuk menyengat hidungnya, tetapi ia tetap berdiri di sana.Damian menggenggam erat pistolnya dan menajamkan pandangan. Urat sarafnya terasa tegang. Sudah setengah jam ia menunggu, tetapi Lester tak kunjung menampakkan batang hidungnya.Dari informasi yang ia dapatkan, Lester kembali ke rumah lamanya hari ini untuk melakukan transaksi. Damian tidak akan membiarkan pria itu lolos begitu saja. Dia mengambil andil sangat besar dalam rencana penculikan Bella.“Ya, para keparat itu sudah mati.”Sebuah suara terdengar dari seberang jalan. Damian menatap waspada dan menempelkan tubuhnya ke pinus di belakangnya.Sedetik kemudian, Lester muncul dengan ponsel yang menempel di telinga. Dia
Untuk sesaat, Bella kira ia sedang bermimpi. Tetapi sentuhan tangan ibunya begitu nyata, mengelus lembut wajahnya. Air mata mendesak keluar, dan pada akhirnya Bella terisak kencang. Tanpa bisa ditahan, tangis Helena ikut tumpah. “Sayang...” gumam Helena dan tangis Bella mengencang. Betapa Bella merindukan suara ibunya. Setelah sekian tahun tidak bertemu, ini semua terasa seperti kemustahilan. “Ibu... ibu sungguh di sini?” Bella tersedak tangisnya sendiri. Ia ingin merangkul ibunya ke dalam dekapan, tetapi tangannya terlalu lemah untuk diangkat. “Ya, Ibu di sini, Nak. Ibu di sini...” Helena tidak sanggup untuk melanjutkan kata-katanya dan membungkuk untuk memeluk Bella. “Anakku... Ibu merindukanmu. Ibu sangat merindukanmu.” “Aku juga sangat merindukan... ibu! Kupikir... kita tidak akan bertemu... lagi. Ibu sungguh di sini... Ini...” Bella terisak-isak, tubuhnya bergetar hebat. Pelukan Helena menguat dan Bella merasa tenggelam dalam kerinduan yang menyakitkan. Untuk waktu yang l
“Massimo sedang mengejarnya. Segera setelah kita temukan lokasinya, maka dia akan berakhir sama seperti anggota Uncamord lainnya.”Damian mengangguk mendengar penjelasan ayahnya. Setelah Bella dirawat bersama ibunya di mansion, mereka bergerak lebih lanjut untuk menemukan kelompok Evren yang ikut berkhianat dalam pesta. Mereka menolak untuk bekerja sama, jadi Serpenquila membantai mereka semua.Setidaknya, hama di dunia para mafioso telah menghilang.“Yang lainnya sedang beristirahat setelah mendapat beberapa jahitan. Kau juga, Damian. Istirahatlah,” lanjut Martinez, menatap rahang, kepala, bahu, dan punggung Damian yang diperban.“Ya, Ayah juga.” Damian berdiri dari kursinya dan berhenti sejenak. Ia menatap Martinez, lalu tersenyum tipis. “Terima kasih, Ayah. Selamat malam.”Martinez mengangguk dengan senyum kecil. “Sudah seharusnya aku melakukan ini, Nak. Selamat malam untukmu.”Damian melangkah pergi dan bergegas menuju kamarnya. Bella dirawat di sana dan masih tidak sadarkan diri.
Ya Tuhan.Apa yang selama ini telah terjadi pada Bella sampai dia tidak yakin eksistensi Damian sebagai sesuatu yang nyata?Air mata Damian tumpah, tangisnya mengencang dan wajah Bella berubah menjadi sendu.“Damian... jangan... menangis,” ucap Bella susah payah. Ia mencoba mengangkat tangannya, tetapi nihil. Ia tidak memiliki secuil pun tenaga untuk mengelap air mata di wajah Damian. Hatinya hancur melihat Damian yang selalu terlihat kuat, kini rapuh layaknya kaca.“Aku nyata, Sayang. Aku di sini, aku di sini untuk menyelamatkanmu. Aku minta maaf karena tidak bisa datang lebih cepat.” Damian terisak lebih keras dan menciumi wajah Bella. Bibirnya bergetar. “Bertahanlah Sayangku, kita akan ke rumah sakit. Semuanya sudah berakhir. Tidak ada lagi yang akan menyakitimu.”Rasanya seperti mimpi.Bella menatap wajah Damian, tetapi sulit. Pandangannya terkadang jelas, terkadang buram. Setiap kali ia mencoba membuka matanya lebih lebar, rasanya ada paku yang menusuk-nusuk matanya. Ia ingin men
“Wajahmu tertembak?”Martinez buru-buru mendekat melihat Damian yang muncul di lorong. Dia terus memegangi rahang kanannya yang telah dibalut kain secara asal-asalan. Tangannya berlumuran darah.“Ya, peluru Van. Kukira... kukira lidahku terpotong.” Damian meringis. Rasa sakitnya membuat wajahnya seolah akan terbelah. Ia tidak bisa berbicara tanpa denyutan nyeri yang mengikuti di belakang. “Tapi ternyata masih utuh. Tidak apa-apa, bukan organ vital. Bagaimana dengan yang lain? Apa masih ada yang tersisa?”Martinez menghela napas. “Semuanya sudah dibereskan. Tinggal Ymar dan Lester. Ymar pasti masih berada di rumah ini, dan Andrius sedang mencarinya. Soal Lester, kita akan menemukannya nanti,” jelasnya dengan suara serak. Ia kelelahan, pakaiannya compang-camping terkena tembakan, dan lorong itu tidak memiliki penghangat yang memadai. “Aku akan meminta para anggota untuk membersihkan rumah ini. Yang lain sudah berpencar untuk memeriksa semua ruangan. Bagaimana dengan Van?”“Sudah tewas.
“Sial, sensornya bagus juga. Di mana dia mendapatkannya?”“Bukan saatnya untuk menanyakan itu, brengsek,” dengus Tyson pada Bogdan yang masih sempat-sempatnya bertanya tentang sensor yang Van gunakan di rumahnya.Setelah melumpuhkan dua penjaga yang berjaga di gerbang depan, Damian, Tyson, dan Bogdan menunggu aba-aba dari Martinez dan Andrius. Beberapa menit telah berlalu, tetapi tidak ada tanda apa pun yang terlihat. Damian berdiri dengan cemas, sudah tidak sanggup menahan diri lebih lama untuk menemukan gadisnya.Ia bersumpah akan membunuh mereka semua, jika ia sampai menemukan Bella dalam keadaan yang tidak ia inginkan.“Ck, kenapa lama sekali?” Bogdan menatap bingung. “Apa sebaiknya aku menyusul?”Damian hendak membantah ketika suara tembakan menggelegar mendadak terdengar. Mereka tersentak dan menatap ke dalam rumah Van.“Sepertinya mereka telah ketahuan. Ayo.” Damian membuka pengaman pistolnya dan bergegas berlari menuju pintu depan. Tyson segera mengikuti di belakang, sementar
Bella termangu menatap tembok pucat di hadapannya. Beberapa hari telah berlalu sejak Lester datang menemuinya waktu itu. Tetapi, ia tidak bisa berhenti memikirkan ucapannya. Ibunya ada di sini. Di rumah ini. Di tempat yang sama dengannya. Apakah itu mungkin? Entah Lester bicara jujur atau hanya mengatakan kebohongan semata, pikiran itu terus menghantuinya. Ia merindukan ibunya. Setiap malam, ia memimpikan sebuah tangan ringkih yang membelai kepalanya dengan lembut. Senandung yang terlontar dari bibir wanita itu terasa sangat nyata, sampai-sampai Bella kira ia tidak sedang bermimpi. Apakah ini semua hanya pengaruh obat-obatan? Mereka menyuntiknya setiap hari, nyaris tidak membiarkannnya untuk bergerak seinci pun dari tempat tidurnya. Bella terus bertanya-tanya apakah ia akan mati di sini? Tubuhnya lemas, nyeri, dan pucat seperti mayat. Matanya bahkan terasa sulit untuk dibuka lebar-lebar. Ia tidak bisa mengangkat tangannya, apalagi menggerakan kakinya. Mungkin, berat bada
“Hei Putri Tidur, sampai kapan kau akan terus menutup matamu?”Sebuah guncangan terasa di pundak Bella, disusul suara yang tidak asing. Aroma alkohol menerpa penciumannya dan membuat hidung Bella berkerut.“Putri Tidur? Apa aku perlu menciummu agar kau mau bangun? Atau kau ingin berhibernasi seperti seekor beruang bodoh?”Suara kasar itu kembali menyerbu pendengarannya. Bella berusaha membuka kelopak matanya yang terasa berat, rasanya seolah ada lem yang menempel di sana.“Akhirnya Putri Tidur kita bangun juga,” kata Lester dengan seringai tipis. Ia duduk di tepi ranjang dan menatap Bella dengan saksama.Bella terperanjat dari tempatnya dan hendak bangun, tetapi seluruh tubuhnya terasa lemas. Ia membuka mulut untuk bicara, tetapi hanya suara serak yang keluar.Ke mana suaranya pergi?Bella kira kondisinya telah membaik, tetapi mendadak saja ia merasa begitu lemas. Setelah pertemuan mengejutkannya dengan Van, ia sepertinya mengalami serangan panik dan pingsan.Ketika ia bangun, Lester
“Kau yakin ini hasilnya?”Van menatap hasil tes DNA dengan mata melebar tidak percaya. Ditatapnya Joseph yang mengangguk dengan ekspresi meyakinkan, sama sekali tidak ada keraguan di sana.Van tidak akan pernah meragukan Joseph, tetapi hasil di kertas ini...Bagaimana mungkin ini nyata?Van terduduk lemas di kursi dan menyentuh kepalanya yang terasa sakit. Dari semua hal yang telah ia usahakan setengah mati selama bertahun-tahum, bagaimana mungkin ia bisa melewatkan informasi sepenting ini?Bella adalah anaknya.Arabella Charlotte.Kekasih Damian, musuhnya. Bella yang telah ia siksa. Bella yang ia kira hanyalah bagian dari musuhnya. Bella yang ia jadikan sandera...Bagaimana mungkin dia adalah Bella yang selama ini ia cari? Malaikat kecilnya. Anaknya dengan Helena. Putrinya yang ia tinggalkan bertahun-tahun yang lalu...Bagaimana mungkin mereka adalah satu orang yang sama?Van memijat kepalanya dan terdiam untuk waktu yang lama. Fakta itu hanya membuatnya terguncang dengan perasaan ka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen