"Seharusnya aku lebih berhati-hati." Keringat dingin membasahi sekujur tubuh perempuan bergaun lusuh yang duduk bersimpuh di lantai. Pandangannya terus tertuju pada kaca jendela yang memantulkan ekspresi ketakutan di wajahnya. Sayup-sayup, suara langkah kaki terdengar dari lorong di belakangnya, bersama lecutan cambuk yang mengerikan. Bella memejamkan mata rapat-rapat, jantungnya berderu tidak terkendali. Kilasan ketika Daisy—budak yang seumuran dengannya—dihukum, melintas begitu saja. 'Tolong! Saya mohon, Tuan! Jangan bunuh saya! Saya mohon!' 'Diam kau pencuri!' Tuan Hugo langsung membunuh gadis itu tanpa rasa kasihan sedikit pun. Darah yang menggenang ... daging yang berceceran ... teriakan penuh kesakitan ... Bella tidak akan pernah bisa melupakan kejadian malam itu. Sejujurnya, ia tidak ingin mengalami hal yang sama. Tetapi, kesalahannya memecahkan salah satu piring tidak bisa dimaafkan. Tuan Hugo dan istrinya—Nyonya Deborah—sangat benci dengan budak yang ceroboh. Padahal B
"Bella, cepat bersiap, Tuan Hugo akan menyelenggarakan sebuah pesta." Pukul lima pagi dan Melinda membangungkan Bella dengan terburu-buru. Mereka perlu membersihkan keseluruhan rumah lebih cepat dari biasanya, tanpa ada sedikit pun debu. Walaupun rumah ini sebenarnya tidak pernah disinggahi debu. Setiap hari mereka selalu membersihkan semua ruangan. Menyedot debu, mengepel lantai, dan mengelap jendela hingga mengkilap. Nyonya Deborah dengan senang hati akan menyita jatah makan mereka jika salah satu ruangan tidak dibersihkan dengan baik. "Punggungmu masih sakit?" Tanya Melinda khawatir. Ia membantu Bella untuk bangun dari kasur. "Sedikit, tidak apa-apa." Bella mendesis pelan. Ia beranjak turun dari tempat tidur, menahan rasa perih yang masih sangat menyengat di punggung. Kendati begitu, ia harus tetap bekerja. "Aku bisa mengatasinya. Tidak apa-apa," kata Bella, tidak ingin membuat Melinda menunggunya. Dia akan mendapat hukuman jika tidak segera memasak di dapur. "Pergilah." Meli
"Apa kali ini tamu yang diundang sama seperti tahun lalu?" Melinda menoleh mendengar pertanyaan Bella. Ia berpikir sejenak. "Mungkin," jawabnya. "Dan itu berarti pekerjaan kita akan bertambah." Bella meringis. Ia masih ingat benar bagaimana kacaunya pesta tahun lalu. Di penghujung acara, teman-teman bisnis Tuan Hugo menumpahkan banyak tinta dilantai sebagai perayaan untuk kesuksesan perusahaan mereka. Bella tidak mengerti dari mana ide itu dicetuskan. Jadi, Tuan Hugo menjalankan bisnis kertas dan tinta. Itu sebabnya mereka melakukannya. Tetapi walaupun begitu, mereka bisa saja melakukan hal lain pada tinta itu sebagai perayaan. Untung saja mereka tidak ikut merobek-robek kertas dan menjadikannya hiasan di atas tinta. Bella dan budak lainnya harus menyikat lantai selama berjam-jam karena cairan hitam itu begitu lengket, kemudian mengepelnya hingga mengkilap seperti semula. Sebagian dari tamu itu tentu saja tahu kalau Tuan Hugo memiliki beberapa orang budak, meski mereka selalu dise
"Semuanya sangat mewah, tangan dan leher mereka dipenuhi emas yang berkilau." Elena mulai bercerita mengenai pesta yang sedang berlangsung. "Benarkah?" Tanya Melinda penasaran. "Berapa banyak yang datang?" "Banyak sekali, aulanya penuh." "Wah." Bella memperhatikan keduanya dalam diam. Biasanya Bella suka mengintip pesta yang tengah berlangsung, lebih ke rasa penasaran; ingin mengetahui bagaimana kehidupan mereka lewat obrolan yang ia tangkap.Namun malam ini, Bella tidak bisa melakukannya. Sakit kepalanya kambuh dan jika ia bersikeras untuk bangun, ia hanya akan berguling di lantai. Hal terakhir yang ia inginkan adalah mengacaukan pesta dan mendapat hukuman cambuk lagi, atau mungkin hukuman yang lebih parah. Para budaklah yang memberitahunya kegiatan di pesta setelah membersihkan dapur. Untungnya Tuan Hugo dan Nyonya Deborah sedang sibuk menyambut tamu hingga tidak sadar dengan ketidakhadiran Bella. Ia akan dihukum jika tidak bekerja sekalipun sedang sakit. Jadi, pesta diselengg
"Hei budak! Berhenti!" "Berhenti di sana!" Tubuh Bella gemetar hebat. Keringat dingin menjalari tubuhnya dengan cepat seolah ia baru saja dicelupkan ke dalam tangki air es. Bella merasa sangat ketakutan hingga ia pikir ia akan pingsan di tempat. Kepalanya yang sakit dipaksa untuk berpikir keras, mencari jalan keluar.Mobil yang melaju dengan kecepatan sedang itu terlihat semakin dekat dan lampu depan yang menyilaukan tidak sengaja menyoroti tubuhnya. Mata Bella melebar panik, ia berputar secepat kilat dan memaksa kakinya untuk berlari kencang. Suara teriakan marah pengawal terdengar di belakangnya. "Aku bilang berhenti! Kau akan mendapat masalah!" "Budak sialan!" Bella menggigil. Ia tidak boleh tertangkap. Tuan Hugo akan langsung membunuhnya. Bella terus berlari, memaksakan diri, tidak peduli kepalanya seperti akan copot dari tubuhnya karena rasa pusing yang mendera.Ketika tiba di persimpangan jalan, ia menerobos semak mawar yang tinggi dan melompat ke dalam kegelapan. Ia meri
'Ugh, kepalaku sakit sekali.' Bella meringis, kedua matanya perlahan terbuka. Ia mengerjap-ngerjap, menyesuaikan pandangannya pada ruangan yang hanya diterangi oleh cahaya redup dari bohlam tua. Di mana ini? Berusaha untuk bergerak, Bella baru sadar kalau kedua tangan dan kakinya terikat pada kursi yang tengah didudukinya. Mulutnya juga disumpal dengan kain dan diikat ke belakang kepalanya. Apa yang terjadi? Kenapa ... Bella terkesiap saat kilasan kejadian sebelumnya menghantam kepalanya. Kebakaran di rumah Tuan Hugo, para budak yang mengajaknya untuk kabur, ia yang tertinggal jauh di belakang, pengawal yang mencari para budak, seorang pria yang membuang mayat di tepi hutan dan kesadarannya yang menghilang karena obat bius. Tidak salah lagi, pria itu yang melakukan ini padanya. Pria kejam pembuang mayat itu. Tubuh Bella langsung gemetar karena ketakutan. Irisnya mengedar dengan panik ke sekeliling ruangan yang merupakan sebuah gubuk tua. Kenapa ia dibawa ke sini? Apa pria itu ak
"Diam saja dan turuti mereka. Apa kau mengerti? Jika tidak, tubuhmu akan dijual ke pasar gelap dan itu akan jauh lebih mengerikan." Bella tidak tahu sudah berapa kali ia menangis dalam tiga hari terakhir. Sejak pria pembuang mayat itu menjualnya pada seorang wanita bernama Nyonya Poppy, kesadarannya seperti kabut di pagi yang membekukan. Ia tidak tahu apa yang terjadi padanya. Ia diberi semacam obat setiap hari dan kesadarannya terasa melayang-layang. Tubuhnya lemah, bahkan jarinya sulit untuk digerakkan. Ia hanya terbaring di atas kasur yang tipis dan selimut yang sama tipisnya. Tubuhnya menggigil setiap malam. Musim gugur membawa udara dingin yang menusuk hingga ke tulang. Ruangan yang ia tempati kosong, nyaris tidak terdengar suara apa pun, bahkan detik jam. Bella hanya terus berbaring sambil menatap jendela kecil di ujung ruangan. Pikirannya terbelenggu dalam kesunyian, ia kesulitan memikirkan apa pun. Terkadang kenangan masa kecilnya yang bahagia melintas, membuatnya bertanya
Dua gadis lainnya telah dibawa pergi setelah harga berhasil disepakati oleh kedua belah pihak. Bella tidak bisa berhenti gemetar. Bibirnya sudah nyaris berdarah karena ia tidak bisa berhenti menggigitnya sebagai pelampiasan. Belum lagi perasaan mual yang mengaduk-aduk perutnya. Napasnya agak sesak. Rasa takutnya seolah telah berubah menjadi simpul besar yang mengikat kuat dadanya. Bella rasanya ingin menangis, tetapi bahkan air matanya sudah tidak bisa keluar. Kedua maniknya terus terpaku pada kakinya yang terlihat licin dan halus, entah diolesi apa. Ia tidak ingin menatap para pria berjas yang sejak tadi memandangnya dengan tatapan melecehkan. Terutama barisan depan yang melemparkan kata-kata kotor. "Aku ingin kau menaikkan harga gadis itu. Penawarannya ternyata jauh lebih tinggi dari yang aku bayangkan." Suara Nyonya Poppy terdengar dari sisi jeruji. Ia tengah berbicara dengan pria bertato yang ternyata bernama Tuan Terron. Terron mengangguk dan menyuruh asistennya untuk mencata