"Bella, cepat bersiap, Tuan Hugo akan menyelenggarakan sebuah pesta."
Pukul lima pagi dan Melinda membangungkan Bella dengan terburu-buru. Mereka perlu membersihkan keseluruhan rumah lebih cepat dari biasanya, tanpa ada sedikit pun debu. Walaupun rumah ini sebenarnya tidak pernah disinggahi debu.Setiap hari mereka selalu membersihkan semua ruangan. Menyedot debu, mengepel lantai, dan mengelap jendela hingga mengkilap. Nyonya Deborah dengan senang hati akan menyita jatah makan mereka jika salah satu ruangan tidak dibersihkan dengan baik."Punggungmu masih sakit?" Tanya Melinda khawatir. Ia membantu Bella untuk bangun dari kasur."Sedikit, tidak apa-apa."Bella mendesis pelan. Ia beranjak turun dari tempat tidur, menahan rasa perih yang masih sangat menyengat di punggung. Kendati begitu, ia harus tetap bekerja."Aku bisa mengatasinya. Tidak apa-apa," kata Bella, tidak ingin membuat Melinda menunggunya. Dia akan mendapat hukuman jika tidak segera memasak di dapur. "Pergilah."Melinda mengembuskan napas berat. "Kalau begitu, cepatlah bersiap sebelum Tuan dan Nyonya keluar dari kamar untuk sarapan."Bella mengangguk, membiarkan Melinda pergi ke dapur untuk memasak. Ia terdiam sejenak di tempatnya, mendadak memikirkan kejadian semalam. Tidak ada apa-apa yang terjadi, jadi pria itu mungkin mengabaikan semuanya. Ia harap begitu.Bella bergegas menuju kamar mandi, kemudian mencuci wajahnya dan berkumur. Bella akan mandi setelah membersihkan rumah ini. Mereka dibiarkan mandi sekali saja karena jumlah air yang dibatasi. Pemilik mereka sangat pelit dalam segala hal.Bella mengambil satu gaun bermotif bunga bakung yang tersisa dari dalam lemari. Sebenarnya ia hanya punya tiga gaun, itu pun sudah lusuh dan bolong di beberapa bagian. Semuanya adalah bekas pakaian milik Nyonya Deborah. Wanita itu tidak akan sudi untuk mengeluarkan uang sepeser pun demi membelikan mereka pakaian baru.Setelah menggulung rambut panjangnya yang kusut karena jarang disisir, Bella melangkah menuju dapur. Seringkali Bella meringis karena luka di punggungnya, tetapi ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu.Cambukan kemarin adalah hukuman terberat yang pernah ia terima. Biasanya, ia hanya mendapat tamparan atau pukulan tongkat bisbol di lengannya.Tuan Hugo bukan orang yang suka memberi hukuman, istrinya lebih cenderung melakukannya untuk bersenang-senang. Tetapi jika salah seorang budak melakukan kesalahan besar, dia tidak akan segan-segan membunuhnya. Bella pernah melihat dua budak sebelumnya dihabisi di depan matanya karena mencoba kabur.Tuan Hugo dan Nyonya Deborah kemudian muncul tatkala mereka menata makanan di meja makan. Bella memperhatikan keduanya dengan waspada, tetapi mereka berekspresi biasa-biasa saja. Ya, lupakan saja apa yang terjadi semalam.Nyonya Deborah duduk di kursinya dengan anggun. Seperti biasa, dia memakai gaun berwarna cerah bersama lipstik berwarna merah gelapnya. Penampakannya dengan suaminya begitu kontras. Tuan Hugo berperawakan tinggi dan kurus, berbanding terbalik dengan Nyonya Deborah yang pendek dan gemuk.Bella sering membayangkan bagaimana jadinya jika keduanya memiliki anak. Sayangnya, Tuan Hugo dan Nyonya Deborah tidak berniat memiliki anak. Mereka memang tidak cocok untuk menjadi orang tua. Anaknya mungkin akan menderita."Hei! Cepat bersihkan rumah ini karena tamu-tamuku akan datang sore nanti!" Sahut Nyonya Deborah dengan sinis, air liurnya terbang ke mana-mana. Ia mengisyaratkan Melinda untuk mendekat. "Pastikan kali ini kuenya dibuat dengan benar. Aku tidak akan mentoleransi kesalahanmu untuk kedua kalinya. Apa kau mengerti, budak?"Melinda mengangguk kilat dengan ketakutan. "Baik, Nyonya.""Ya sudah, pergi sana. Bau kalian menjijikkan," usir Nyonya Deborah.Bella dan Melinda cepat-cepat melipir pergi, tidak ingin mendapat amukan. Diam-diam Bella melirik Melinda yang masih tampak ketakutan, ia tahu benar apa alasannya.Lima bulan yang lalu, hanya karena satu kesalahan kecil pada kue pesanan Nyonya Deborah, Melinda dipukuli habis-habisan. Akibatnya, dua gigi depannya rontok dan lengannya mengalami patah tulang.Keduanya mulai membersihkan tanpa banyak bicara, selama berjam-jam, dengan perut kelaparan. Mereka diberi makan dua kali sehari: siang dan malam. Tetapi karena kemarin Bella melakukan kesalahan, mereka tidak diberi makan sama sekali.Bella merasa bersalah karena hal itu, namun tidak ada yang bisa ia lakukan. Dalam diam, ia melanjutkan pekerjaannya dengan mencuci baju dan piring. Setelah itu, ia lanjut ke halaman depan untuk membantu mengelap dinding dan jendela yang belum selesai.Hampir seluruh bagian depan rumah Tuan Hugo dilapisi kaca, alih-alih dinding dari beton. Rumput-rumput yang baru dipangkas terasa menggelitik kakinya yang telanjang saat berjalan di halaman. Ia tidak memakai alas kaki, kakinya kering dan kulitnya mengelupas, terdapat banyak luka goresan yang lebih sering ia abaikan.Menjelang tengah hari, semua pekerjaan rumah telah selesai dilakukan. Peluh membanjiri dahi Bella meski udara di pertengahan musim gugur berulang kali meniupkan angin dingin.Mereka berkumpul kembali di ruang tengah saat Nyonya Deborah memanggil. Talia dan Elena disuruh ikut bersama salah seorang pengawal untuk mengambil bahan makanan.Tuan Hugo punya beberapa orang pengawal yang bertugas untuk menjaga rumah ini. Mereka juga menemani para budak yang disuruh keluar untuk mengambil beberapa keperluan.Terkadang Bella penasaran dengan kehidupan di luar gerbang hitam yang menjulang mengelilingi rumah ini. Ia tidak pernah keluar, paling jauh hanya sampai gerbang masuk saat membersihkan halaman depan. Sejauh mata memandang, ia hanya melihat pepohonan yang berjejer di sepanjang jalan. Tidak ada satu pun rumah lain yang terlihat.Satu hal yang Bella tahu dari ibunya dan budak lain, mereka tinggal di Qirginia Barat, tepatnya di kota kecil Delkins, dekat dengan pegunungan. Elena pernah bercerita kalau rumah ini dibangun agak jauh dari pemukiman penduduk."Kalian berdua bisa segera membuat kue dan selesaikan sebelum jam empat sore," kata Nyonya Deborah dengan tajam, ia menghentakkan sepatu hak tingginya yang runcing ke lantai kayu. "Tidak ada makan siang hari ini, kalian hanya akan makan malam nanti. Itu pun jika kerja kalian bagus," sambungnya dengan senyum mengejek.Nyonya Deborah lalu mengibaskan rambutnya yang diberi banyak minyak pewangi hingga menampar wajah Melinda dan Bella. Keduanya kontan menahan napas, tidak tahan dengan baunya yang menyengat."Jangan lupa untuk menghias aula tengah dengan daun dan bunga musim gugur yang ada di halaman," ujar Nyonya Deborah, matanya menyipit tajam. "Aku akan pergi ke pusat kota untuk berbelanja dan kalian harus menyelesaikannya sebelum aku pulang. Mengerti?""Mengerti, Nyonya," jawab Bella dan Melinda bersamaan.Nyonya Deborah tersenyum puas, kemudian melangkah pergi sambil bersenandung dengan suaranya yang seperti bebek terjepit. Dia mengamit lengan Tuan Hugo dan berjalan keluar melewati pintu utama.Bella masih menatap punggung keduanya yang kian menjauh, dalam hati berharap ada kemacetan panjang yang membuat wanita itu terjebak di sana bersama suaminya. Ia dan ketiga budak lain hanya ingin beristirahat sebentar sebelum kembali bekerja."Aku harap jalanan macet sampai malam."Bella menoleh pada Melinda dan tertawa kecil.Melinda menyengir dan menarik tangan Bella menuju dapur. "Ayo buat kuenya sebelum mereka pulang.""Apa kali ini tamu yang diundang sama seperti tahun lalu?" Melinda menoleh mendengar pertanyaan Bella. Ia berpikir sejenak. "Mungkin," jawabnya. "Dan itu berarti pekerjaan kita akan bertambah." Bella meringis. Ia masih ingat benar bagaimana kacaunya pesta tahun lalu. Di penghujung acara, teman-teman bisnis Tuan Hugo menumpahkan banyak tinta dilantai sebagai perayaan untuk kesuksesan perusahaan mereka. Bella tidak mengerti dari mana ide itu dicetuskan. Jadi, Tuan Hugo menjalankan bisnis kertas dan tinta. Itu sebabnya mereka melakukannya. Tetapi walaupun begitu, mereka bisa saja melakukan hal lain pada tinta itu sebagai perayaan. Untung saja mereka tidak ikut merobek-robek kertas dan menjadikannya hiasan di atas tinta. Bella dan budak lainnya harus menyikat lantai selama berjam-jam karena cairan hitam itu begitu lengket, kemudian mengepelnya hingga mengkilap seperti semula. Sebagian dari tamu itu tentu saja tahu kalau Tuan Hugo memiliki beberapa orang budak, meski mereka selalu dise
"Semuanya sangat mewah, tangan dan leher mereka dipenuhi emas yang berkilau." Elena mulai bercerita mengenai pesta yang sedang berlangsung. "Benarkah?" Tanya Melinda penasaran. "Berapa banyak yang datang?" "Banyak sekali, aulanya penuh." "Wah." Bella memperhatikan keduanya dalam diam. Biasanya Bella suka mengintip pesta yang tengah berlangsung, lebih ke rasa penasaran; ingin mengetahui bagaimana kehidupan mereka lewat obrolan yang ia tangkap.Namun malam ini, Bella tidak bisa melakukannya. Sakit kepalanya kambuh dan jika ia bersikeras untuk bangun, ia hanya akan berguling di lantai. Hal terakhir yang ia inginkan adalah mengacaukan pesta dan mendapat hukuman cambuk lagi, atau mungkin hukuman yang lebih parah. Para budaklah yang memberitahunya kegiatan di pesta setelah membersihkan dapur. Untungnya Tuan Hugo dan Nyonya Deborah sedang sibuk menyambut tamu hingga tidak sadar dengan ketidakhadiran Bella. Ia akan dihukum jika tidak bekerja sekalipun sedang sakit. Jadi, pesta diselengg
"Hei budak! Berhenti!" "Berhenti di sana!" Tubuh Bella gemetar hebat. Keringat dingin menjalari tubuhnya dengan cepat seolah ia baru saja dicelupkan ke dalam tangki air es. Bella merasa sangat ketakutan hingga ia pikir ia akan pingsan di tempat. Kepalanya yang sakit dipaksa untuk berpikir keras, mencari jalan keluar.Mobil yang melaju dengan kecepatan sedang itu terlihat semakin dekat dan lampu depan yang menyilaukan tidak sengaja menyoroti tubuhnya. Mata Bella melebar panik, ia berputar secepat kilat dan memaksa kakinya untuk berlari kencang. Suara teriakan marah pengawal terdengar di belakangnya. "Aku bilang berhenti! Kau akan mendapat masalah!" "Budak sialan!" Bella menggigil. Ia tidak boleh tertangkap. Tuan Hugo akan langsung membunuhnya. Bella terus berlari, memaksakan diri, tidak peduli kepalanya seperti akan copot dari tubuhnya karena rasa pusing yang mendera.Ketika tiba di persimpangan jalan, ia menerobos semak mawar yang tinggi dan melompat ke dalam kegelapan. Ia meri
'Ugh, kepalaku sakit sekali.' Bella meringis, kedua matanya perlahan terbuka. Ia mengerjap-ngerjap, menyesuaikan pandangannya pada ruangan yang hanya diterangi oleh cahaya redup dari bohlam tua. Di mana ini? Berusaha untuk bergerak, Bella baru sadar kalau kedua tangan dan kakinya terikat pada kursi yang tengah didudukinya. Mulutnya juga disumpal dengan kain dan diikat ke belakang kepalanya. Apa yang terjadi? Kenapa ... Bella terkesiap saat kilasan kejadian sebelumnya menghantam kepalanya. Kebakaran di rumah Tuan Hugo, para budak yang mengajaknya untuk kabur, ia yang tertinggal jauh di belakang, pengawal yang mencari para budak, seorang pria yang membuang mayat di tepi hutan dan kesadarannya yang menghilang karena obat bius. Tidak salah lagi, pria itu yang melakukan ini padanya. Pria kejam pembuang mayat itu. Tubuh Bella langsung gemetar karena ketakutan. Irisnya mengedar dengan panik ke sekeliling ruangan yang merupakan sebuah gubuk tua. Kenapa ia dibawa ke sini? Apa pria itu ak
"Diam saja dan turuti mereka. Apa kau mengerti? Jika tidak, tubuhmu akan dijual ke pasar gelap dan itu akan jauh lebih mengerikan." Bella tidak tahu sudah berapa kali ia menangis dalam tiga hari terakhir. Sejak pria pembuang mayat itu menjualnya pada seorang wanita bernama Nyonya Poppy, kesadarannya seperti kabut di pagi yang membekukan. Ia tidak tahu apa yang terjadi padanya. Ia diberi semacam obat setiap hari dan kesadarannya terasa melayang-layang. Tubuhnya lemah, bahkan jarinya sulit untuk digerakkan. Ia hanya terbaring di atas kasur yang tipis dan selimut yang sama tipisnya. Tubuhnya menggigil setiap malam. Musim gugur membawa udara dingin yang menusuk hingga ke tulang. Ruangan yang ia tempati kosong, nyaris tidak terdengar suara apa pun, bahkan detik jam. Bella hanya terus berbaring sambil menatap jendela kecil di ujung ruangan. Pikirannya terbelenggu dalam kesunyian, ia kesulitan memikirkan apa pun. Terkadang kenangan masa kecilnya yang bahagia melintas, membuatnya bertanya
Dua gadis lainnya telah dibawa pergi setelah harga berhasil disepakati oleh kedua belah pihak. Bella tidak bisa berhenti gemetar. Bibirnya sudah nyaris berdarah karena ia tidak bisa berhenti menggigitnya sebagai pelampiasan. Belum lagi perasaan mual yang mengaduk-aduk perutnya. Napasnya agak sesak. Rasa takutnya seolah telah berubah menjadi simpul besar yang mengikat kuat dadanya. Bella rasanya ingin menangis, tetapi bahkan air matanya sudah tidak bisa keluar. Kedua maniknya terus terpaku pada kakinya yang terlihat licin dan halus, entah diolesi apa. Ia tidak ingin menatap para pria berjas yang sejak tadi memandangnya dengan tatapan melecehkan. Terutama barisan depan yang melemparkan kata-kata kotor. "Aku ingin kau menaikkan harga gadis itu. Penawarannya ternyata jauh lebih tinggi dari yang aku bayangkan." Suara Nyonya Poppy terdengar dari sisi jeruji. Ia tengah berbicara dengan pria bertato yang ternyata bernama Tuan Terron. Terron mengangguk dan menyuruh asistennya untuk mencata
'Tidak peduli seberapa gelap malam membawamu pergi, pasti akan ada cahaya yang muncul. Tidak peduli seberapa berat masalah yang menimpamu, pasti akan ada jalan keluar'. Kalimat itu terngiang-ngiang dalam kepala Bella. Salah satu dari sekian banyak nasehat ibunya. Malam ini, apa yang dikatakan ibunya benar-benar nyata adanya. Seseorang menyelamatkannya. Seseorang telah mengeluarkannya dari pelelangan mengerikan itu. Damian Linford. Ketika Bella diserahkan pada pria itu setelah penawaran disepakati, tubuhnya tidak bisa berhenti gemetar. Wajahnya pucat seperti kertas karena ketakutan memikirkan apa yang akan terjadi. Tetapi pria itu seolah bisa menebak pikiran Bella dan dengan tegas mengatakan bahwa ia tidak akan menyentuh Bella dengan cara yang salah. Ia membeli Bella bukan untuk dijadikan pemuas nafsu, melainkan sebagai pelayan di rumahnya. Ia bilang, ia hanya sedang berbaik hati dengan mengeluarkan uang puluhan ribu dolar demi seorang budak. Padahal, harga budak tidak setinggi it
Bella terpaku di tempatnya cukup lama, menatap kagum mansion megah bergaya Eropa klasik tahun 80-an. Rumahnya jauh lebih besar dari milik Tuan Hugo dan Nyonya Deborah. Bunga-bunga mawar memenuhi halaman depan mansion. Aroma semerbak yang tercium terasa begitu menenangkan. "Mari," panggil Dhruv, membuyarkan lamunan Bella. Gadis itu tersentak dan buru-buru mengikuti si pria berambut pirang. Di bawah sinar matahari yang cerah, Bella baru sadar kalau pria itu memiliki simbol organisasi yang sama dengan Damian, hanya saja tatonya sudah agak memudar. Pria itu mungkin hanya lebih tua setahun atau dua tahun darinya, tetapi pembawaannya tampak dewasa. Keduanya melangkah melewati gerbang besar dengan emblem burung elang yang berada di puncaknya. Dhruv menuntun Bella memutari sisi labirin tanaman yang sangat luas dan besar, menuju halaman belakang mansion. Bella bisa melihat dua pintu kayu mahoni yang sekelilingnya ditumbuhi oleh tanaman mawar yang merambat. Dhruv mengetuk pintu di bagian kir
“Hei Putri Tidur, sampai kapan kau akan terus menutup matamu?”Sebuah guncangan terasa di pundak Bella, disusul suara yang tidak asing. Aroma alkohol menerpa penciumannya dan membuat hidung Bella berkerut.“Putri Tidur? Apa aku perlu menciummu agar kau mau bangun? Atau kau ingin berhibernasi seperti seekor beruang bodoh?”Suara kasar itu kembali menyerbu pendengarannya. Bella berusaha membuka kelopak matanya yang terasa berat, rasanya seolah ada lem yang menempel di sana.“Akhirnya Putri Tidur kita bangun juga,” kata Lester dengan seringai tipis. Ia duduk di tepi ranjang dan menatap Bella dengan saksama.Bella terperanjat dari tempatnya dan hendak bangun, tetapi seluruh tubuhnya terasa lemas. Ia membuka mulut untuk bicara, tetapi hanya suara serak yang keluar.Ke mana suaranya pergi?Bella kira kondisinya telah membaik, tetapi mendadak saja ia merasa begitu lemas. Setelah pertemuan mengejutkannya dengan Van, ia sepertinya mengalami serangan panik dan pingsan.Ketika ia bangun, Lester
“Kau yakin ini hasilnya?”Van menatap hasil tes DNA dengan mata melebar tidak percaya. Ditatapnya Joseph yang mengangguk dengan ekspresi meyakinkan, sama sekali tidak ada keraguan di sana.Van tidak akan pernah meragukan Joseph, tetapi hasil di kertas ini...Bagaimana mungkin ini nyata?Van terduduk lemas di kursi dan menyentuh kepalanya yang terasa sakit. Dari semua hal yang telah ia usahakan setengah mati selama bertahun-tahum, bagaimana mungkin ia bisa melewatkan informasi sepenting ini?Bella adalah anaknya.Arabella Charlotte.Kekasih Damian, musuhnya. Bella yang telah ia siksa. Bella yang ia kira hanyalah bagian dari musuhnya. Bella yang ia jadikan sandera...Bagaimana mungkin dia adalah Bella yang selama ini ia cari? Malaikat kecilnya. Anaknya dengan Helena. Putrinya yang ia tinggalkan bertahun-tahun yang lalu...Bagaimana mungkin mereka adalah satu orang yang sama?Van memijat kepalanya dan terdiam untuk waktu yang lama. Fakta itu hanya membuatnya terguncang dengan perasaan ka
Damian menegakkan tubuhnya dan menoleh ke luar jendela. Matanya dengan awas meneliti sekitar.Ada sesuatu yang tidak beres.Intuisinya mengatakan bahwa ada seseorang yang tengah mengawasinya. Ia hanya berhenti untuk menerima telepon dari Andrius, tetapi rasanya seolah ada yang sedang mengintainya sekarang.Angin dingin berembus dari arah timur, menerbangkan rambutnya hingga jatuh ke dahi. Damian hanya terus menatap kaca spion mobil selama beberapa detik, kemudian kembali mengawasi sekitar dengan saksama.Pohon dan bangunan tua terbengkalai. Rainelle terlihat sepi tanpa penghuni, tetapi Damian yakin ada sesuatu yang tengah menunggunya jika ia melajukan mobilnya sekarang.Ia baru saja mengambil senjata di markas, dan berniat kembali ke mansion. Ia harus memberitahu ayahnya terlebih dahulu sebelum menyerang ke tempat Van. Waktunya semakin menipis, tetapi pergi tanpa persiapan apa pun sama saja dengan membunuh dirinya sendiri dan Bella.Damian tidak ingin membiarkan semuanya berakhir sia-
“Anda tahu saya tidak akan memberikan informasi apa pun, bukan?” Valeriy bersandar di mobil rongsokannya dan menatap Damian. “Informasi yang kuberikan waktu itu sudah cukup. Sekalipun Anda memberikan senjata rakitan lagi, saya tetap tidak bisa.”Damian tahu bahwa Valeriy memegang teguh peraturan dalam organisasinya, tetapi ini tentang hidup dan matinya. Damian akan melakukan apa pun, meskipun itu berarti ia harus melanggar kode etik yang sepatutnya ia taati. Ia tidak peduli apa pun lagi selain menyelamatkan gadisnya.“Baiklah, saya harus pergi.” Valeriy sudah hendak berbalik ketika Damian melontarkan seutas kalimat yang membuatnya membeku di tempat.“Adikmu berada di penjara Alcatraz, bukan?”Valeriy berbalik dengan mata menyipit. Mulutnya terbuka, uap berembus keluar, tetapi dia seolah kehilangan kata-kata.“Aku bisa mengeluarkannya dari sana,” lanjut Damian.Valeriy terlihat goyah dan matanya menatap Damian dengan saksama. Ekspresi Damian keras dan tatapannya yang tajam menunjukkan
Damian terus mondar-mandir dengan gusar. Ia merasa akan meledak saat ini juga. Khawatir, tegang, takut, cemas, ngeri, marah, kesal, sedih, semuanya bercampur menjadi satu. Ia tidak bisa duduk diam, sementara gadisnya entah berada di mana dan dalam keadaan apa.Damian menggeram. “Apa komputer sialan itu sudah terhubung dengan pelacaknya?!”“Diam brengsek! Aku sedang berusaha!” Bogdan balas berteriak. Wajah memerah murka dan Martinez akhirnya bangkit berdiri.“Duduk, Damian.”Damian berdecak dan melemparkan tubuhnya ke kursi. Ia memijat sisi kepalanya yang berdenyut sakit dan menghela napas keras.Stres berat. Itulah yang ia rasakan. Ia tegang dan cemas sepanjang waktu. Ia tidak bisa berhenti memikirkan hilangnya Bella dan bagaimana ia bisa menemukan gadisnya. Sudah tiga hari berlalu, tetapi mereka belum mendapatkan lokasi pasti tempat di mana Bella berada.Tiap detik yang berlalu terasa membunuhnya. Tiap detik yang terbuang dan Damian merasa akan menggila. Bella masih berada di sana, d
“Ibu, Ayah di mana? Kenapa Ayah tidak pernah pulang lagi? Apakah Ayah mencari uang di tempat yang sangat jauh?”Bella menatap ibunya dengan heran. Sudah hampir sebulan berlalu, tetapi ayahnya tidak kunjung menampakkan diri.Bella sudah bosan makan roti dari tepung biji ek, jamur tumis liar, dan jus apel. Ia ingin makan daging atau setidaknya roti gandum. Tetapi gandum cukup mahal akhir-akhir ini, jadi ibunya tidak bisa membelinya. Apalagi daging yang harganya berkali-kali lipat.Ayam mereka telah habis dimakan oleh musang dan rakun liar yang berkeliaran di sekitar hutan. Mereka tidak memiliki ternak domba atau sapi seperti warga lainnya. Bella pikir mereka juga tidak menyukai ibunya dan tidak pernah berbagi apa pun saat perayaan. Hanya keluarga Damian yang baik padanya, tetapi mereka juga bukan orang kaya.“Ayah akan pulang, Sayang. Tapi kita harus bersabar.” Helena berjongkok dan membelai wajah putrinya dengan sayang. “Kau harus bersabar sedikit lagi, ya? Ibu akan buatkan kue enak da
“Apa kau sudah menyuntiknya dengan obat itu?”“Ya, Tuan. Dia sudah tidak sadarkan diri di ruangan itu.”“Bagus.” Van mengangguk dan melirik Fabrizio yang sedang sibuk bicara dengan seseorang di telepon. Van lantas mengisyaratkan Lester untuk pergi, sementara ia menghubungi asistennya agar terus mengawasi Helena.Van akan kembali menemuinya malam ini.Helena masih enggan bicara padanya, tetapi ia tidak peduli. Selama wanita itu berada dalam genggamannya, maka ia pasti bisa membalikkan keadaan suatu saat nanti. Jika ia berhasil menemukan putrinya kembali, ia yakin Helena mau berkompromi dan memaafkannya.Ini hanya masalah waktu.Van memasukkan ponselnya ke saku saat Fabrizio mendekat. Dia menyelipkan pistolnya ke saku dan mengangguk pada Van.“Ayo.”Van berjalan lebih dulu, sementaraFabrizio mengikutinya dari belakang. Mereka menyusuri lorong gedung tua terbengkalai itu dengan tenang, sampai akhirnya tiba di ruangan yang dituju.Van mendorong pintu terbuka secara perlahan. Ia melangkah
Ada sesuatu yang terasa berdenyut di bagian belakang kepala Bella. Denyut itu terus membesar setiap detiknya hingga rasanya tengkoraknya akan pecah. Bella berusaha membuka matanya yang berat, tetapi pandangannya sangat buram, lebih buruk dari sekadar melihat dari kaca berembun.Ia berkedip-kedip beberapa kali sampai pandangannya sedikit lebih baik, tetapi rasa sakit lain di tubuhnya mulai muncul. Rasanya seolah ia telah dipukul habis-habisan. Yang paling nyeri adalah kedua pergelangannya. Bella tidak bisa mengangkatnya, sepertinya tangannya benar-benar telah patah.Ia meraba papan kayu di bawahnya—kotor dan berdebu. Sekelilingnya gelap, hanya sedikit cahaya yang berhasil masuk dari celah kecil di atas jendela yang ditutupi gorden. Ia tidak tahu apa sekarang sudah malam atau cuaca sedang mendung di luar. Ia bahkan tidak tahu apa ia masih berada di Norfolk atau kota lain.Damian...Wajah pria itu melintas di benaknya. Suasana pesta yang kacau terbayang-bayang. Hati Bella mencelos mengin
Ibunya selalu bilang bahwa takdir itu sulit ditebak, kau tidak tahu hal mengejutkan apa yang akan terjadi satu jam kedepan, satu menit ke depan, atau bahkan satu detik ke depan.Itu sebabnya Ibunya selalu memiliki harapan untuknya, bahwa Bella bisa terbebas dari perbudakan dan menjalani kehidupan yang lebih baik di masa depan.Setelah bertemu Damian kembali, hidupnya terasa dijungkir-balikkan. Ada lebih banyak kebahagiaan yang datang padanya dibanding kesedihan yang selama ini mengungkungnya. Tetapi, ia tahu bahwa tidak selamanya kehidupan seseorang akan penuh dengan bunga yang mekar. Ada kalanya bahaya dan kesedihan itu datang mengintai, menghempas apa pun layaknya badai.Dan Bella tahu itulah yang terjadi malam ini.Tembakan mendesing ke segala penjuru. Suasana pesta yang tadinya tenang seketika menjadi kacau. Semua orang berlarian dengan panik, jeritan ketakutan mereka memenuhi ruangan.Bella terhuyung di tempat, bahunya sakit setelah ditubruk berulang kali. Ia berusaha untuk berla