"Seharusnya aku lebih berhati-hati."
Keringat dingin membasahi sekujur tubuh perempuan bergaun lusuh yang duduk bersimpuh di lantai. Pandangannya terus tertuju pada kaca jendela yang memantulkan ekspresi ketakutan di wajahnya.Sayup-sayup, suara langkah kaki terdengar dari lorong di belakangnya, bersama lecutan cambuk yang mengerikan. Bella memejamkan mata rapat-rapat, jantungnya berderu tidak terkendali. Kilasan ketika Daisy—budak yang seumuran dengannya—dihukum, melintas begitu saja.'Tolong! Saya mohon, Tuan! Jangan bunuh saya! Saya mohon!''Diam kau pencuri!'Tuan Hugo langsung membunuh gadis itu tanpa rasa kasihan sedikit pun.Darah yang menggenang ... daging yang berceceran ... teriakan penuh kesakitan ...Bella tidak akan pernah bisa melupakan kejadian malam itu.Sejujurnya, ia tidak ingin mengalami hal yang sama. Tetapi, kesalahannya memecahkan salah satu piring tidak bisa dimaafkan. Tuan Hugo dan istrinya—Nyonya Deborah—sangat benci dengan budak yang ceroboh. Padahal Bella tidak sengaja menjatuhkannya.Suara langkah sebelumnya tidak lagi terdengar, Bella bisa merasakan presensi Tuan Hugo yang berdiri di belakangnya. Sekujur tubuhnya gemetar hebat. Ia baru menarik napas saat satu cambukan dilayangkan ke punggungnya dengan keras.Bella memekik. Kedua matanya terbuka lebar. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menjerit. Namun, lecutan demi lecutan yang dilayangkan dengan kasar, berhasil menghantarkan rasa sakit yang terasa merobek punggungnya.Pada cambukan kedelapan, kendali diri Bella menghilang, dan ia menjerit keras. Isakan kecil lolos dari bibirnya, tetapi Tuan Hugo menatap tanpa rasa simpati sedikit pun."Kali ini kau aku ampuni. Tapi jika kau melakukannya lagi, hidupmu akan berakhir seperti budak pencuri itu.""Sa-saya mengerti, Tuan."Pria berusia 50 tahun itu berbalik pergi, meninggalkan sang budak yang jatuh tersungkur ke lantai. Rasa perih dan panas menjalar di punggung Bella, membuatnya terus-menerus meringis saat mencoba bergerak.Dengan tertatih-tatih, Bella berjalan keluar dari ruangan tersebut menuju tempat para budak yang berada di bagian paling belakang rumah. Pandangannya agak berkunang-kunang, bukan hanya karena hukuman tadi, tetapi juga karena perutnya yang belum diisi sejak kemarin.Kakinya melangkah pelan menuruni tangga, lalu berbelok menyusuri lorong panjang. Bella mengunci pintu dan berjalan susah payah menuju tempat tidurnya. Mendaratkan diri di tepi kasurnya yang lapuk, ia kembali mendesis karena rasa sakit yang begitu menusuk. Tiga pasang mata seketika menatap Bella prihatin.Bella mencoba tersenyum, tetapi bibirnya hanya tertarik sedikit. "Aku tidak apa-apa, kalian istirahatlah," gumamnya. Tetapi, tentu saja mereka semua tidak percaya. Ketiga budak berusia 30-an ke atas itu sudah lama bekerja di sini dan pernah mengalami hukuman yang serupa.Talia, si budak paling tua dengan cepat berdiri menghampiri, diikuti oleh Elena dan Melinda. Talia mengambil sepotong kain dari dalam lemari, lalu Elena mengambil air dari kamar mandi, sedangkan Melinda membantu mengangkat gaun Bella yang dipenuhi darah dari punggungnya.Kalau sudah seperti ini, Bella tidak bisa menolak lagi dan menerima perlakuan mereka. Mereka bertiga sudah dianggapnya sebagai keluarga sejak ia dan ibunya dibawa ke sini.Ibu ...Hati Bella mencelos, dipenuhi kerinduan akan ibunya. Jika ibunya di sini, maka beliau-lah yang akan mengobatinya.Sayangnya, ia tidak akan pernah bisa melihat ibunya lagi. Tuan Hugo telah menjualnya pada orang lain. Ia hanya berharap ibunya ditempatkan di keluarga yang tidak akan menyiksanya. Umurnya sudah tua—"Bella?"Suara Elena membuyarkan lamunan Bella. Ia tidak sadar kalau lukanya sudah dibebat dengan kain. Mereka bertiga kembali menatapnya dengan cemas."Ada apa, Sayang?" Talia bertanya dengan lembut, tangannya mengelus puncak kepala Bella. "Kau bisa menceritakannya pada kami, hm?"Bella menggeleng, cepat-cepat menghapus segala kesedihan yang melintas di wajahnya. Ia tidak ingin membuat mereka kembali mengkhawatirkannya. "Aku hanya ... sedikit melamun," ujarnya, tersenyum tipis. "Terima kasih sudah mengobati punggungku."Talia mengangguk, mengerti benar kalau Bella lagi-lagi menutup diri. "Tidak masalah. Kalau begitu istirahatlah, Nak."Mereka kembali ke kasur masing-masing dalam diam untuk beristirahat. Bekerja seharian membuat mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk jatuh terlelap sebab lelah.Bella sendiri berbaring miring sembari menarik selimut tua yang dipenuhi lubang dan tambalan di mana-mana. Pikirannya kembali terlempar ke pusaran kenangan antara dirinya dan ibunya.Seharusnya ia langsung tidur supaya bisa bangun tepat waktu. Tetapi, ia sama sekali tidak mengantuk. Dipandanginya bulan sabit yang mengintip dari celah di atas kusen, menggantung sendirian—kesepian seperti dirinya.Bella merindukan ibunya. Ia ingin melihat wajahnya sekali saja.Mereka dipisahkan saat ia masih berumur 13 tahun. Enam tahun telah berlalu. Meski ketiga budak lainnya memberinya banyak kehangatan, tetap saja Bella merindukan kasih sayang ibunya.Bella masih ingat benar apa yang ibunya katakan sebelum dibawa pergi:"Ibu percaya kalau suatu saat nanti, kau bisa memiliki kehidupan yang lebih baik."Sesuai namanya yang berarti 'manusia bebas', ibunya berharap ia bisa memiliki kehidupan yang indah di luar sana.Bella tidak pernah mempercayainya. Harapannya sudah lama dikubur bersama asa yang telah mati. Di dunia yang keras ini, harapan yang tinggi akan menjatuhkan kamu ke hantaman yang paling sakit.Nyatanya, ia hanyalah budak yang terkungkung dan terikat dengan pemiliknya untuk selamanya.Undang-undang yang melarang perbudakan telah disahkan sejak tahun 1865, tetapi bahkan berabad-abad setelahnya perdagangan itu masih berlangsung di pasar gelap. Orang-orang dengan uang melimpah lebih suka membeli budak yang bisa menyimpan rapat rahasia mereka, dibanding asisten rumah tangga biasa.Seandainya ia bebas, ia juga tidak tahu akan kemana. Ia mungkin hanya akan terlantar di jalanan dan mati dengan mengenaskan.Dulu sekali, ibunya pernah bilang kalau ayahnya adalah orang bebas dan mempunyai kedudukan yang tinggi di kota ini. Tetapi, kenapa ia tidak datang untuk menyelamatkan Bella dan ibunya?Bella merasa kalau apa yang ibunya katakan hanyalah penghibur semata. Pria itu tidak mungkin mau mengakui mereka yang statusnya sangat rendah dan hina. Sampai kapan pun, Bella juga tidak akan pernah mau mengakuinya sebagai ayah. Dalam pandangan Bella, pria itu sudah lama mati.Bella menarik napas panjang ketika rasa sesak itu kembali menghampiri. Ia menarik selimut hingga lehernya dan memejamkan mata, tetapi mendadak saja terdengar suara umpatan keras dari luar gudang."Ck, ke mana pria itu pergi?"Siapa itu? Suara beratnya yang terdengar bukan milik Tuan Hugo. Apakah pelayan pria yang disewa? Kenapa mereka bisa sampai ke gudang?Bella melirik budak lain yang tertidur pulas, kemudian beranjak dari tempatnya. Sambil menahan ringisan, ia berjalan ke pintu dan menempelkan telinganya di sana."Aku harus menemukannya sebelum pesta ini berakhir. Hugo benar-benar keterlaluan." Pria itu kembali berbicara dengan kesal.Tuan Hugo? Apa yang dia bicarakan?Bella menunggu, tetapi kemudian hening.Tiga menit berlalu tanpa suara dan Bella bertanya-tanya apa pria itu sudah pergi. Entah apa yang ada dipikirannya, tangannya malah memutar kunci gudang hingga terbuka. Kepalanya mengintip ke luar dan ia membelalak melihat presensi si pria.Dia belum pergi.Pria itu menoleh dengan cepat dan pandangan keduanya bersirobok. Iris pria itu begitu gelap layaknya langit malam tanpa bintang. Ia terlihat memperhatikan penampilan Bella dari atas sampai ke bawah.Bella sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan besar dengan menampakkan diri pada orang asing. Matanya memperhatikan tato yang ada di leher si pria. Sebuah simbol organisasi gelap yang tidak asing."Damian!"Panggilan itu seketika membuat Bella berjengit. Ia bergegas menutup pintu ketika suara langkah terdengar mendekat.Ya ampun, apa yang baru saja ia lakukan?Bella menggigit bibir bawahnya dengan ketakutan dan berharap pria itu mengabaikan kejadian barusan. Jika majikannya tahu, ia akan berada dalam masalah besar. Bella hendak kembali ke tempat tidurnya ketika mendengar pria itu berbicara lagi."Jadi benar Hugo memiliki budak.""Bella, cepat bersiap, Tuan Hugo akan menyelenggarakan sebuah pesta." Pukul lima pagi dan Melinda membangungkan Bella dengan terburu-buru. Mereka perlu membersihkan keseluruhan rumah lebih cepat dari biasanya, tanpa ada sedikit pun debu. Walaupun rumah ini sebenarnya tidak pernah disinggahi debu. Setiap hari mereka selalu membersihkan semua ruangan. Menyedot debu, mengepel lantai, dan mengelap jendela hingga mengkilap. Nyonya Deborah dengan senang hati akan menyita jatah makan mereka jika salah satu ruangan tidak dibersihkan dengan baik. "Punggungmu masih sakit?" Tanya Melinda khawatir. Ia membantu Bella untuk bangun dari kasur. "Sedikit, tidak apa-apa." Bella mendesis pelan. Ia beranjak turun dari tempat tidur, menahan rasa perih yang masih sangat menyengat di punggung. Kendati begitu, ia harus tetap bekerja. "Aku bisa mengatasinya. Tidak apa-apa," kata Bella, tidak ingin membuat Melinda menunggunya. Dia akan mendapat hukuman jika tidak segera memasak di dapur. "Pergilah." Meli
"Apa kali ini tamu yang diundang sama seperti tahun lalu?" Melinda menoleh mendengar pertanyaan Bella. Ia berpikir sejenak. "Mungkin," jawabnya. "Dan itu berarti pekerjaan kita akan bertambah." Bella meringis. Ia masih ingat benar bagaimana kacaunya pesta tahun lalu. Di penghujung acara, teman-teman bisnis Tuan Hugo menumpahkan banyak tinta dilantai sebagai perayaan untuk kesuksesan perusahaan mereka. Bella tidak mengerti dari mana ide itu dicetuskan. Jadi, Tuan Hugo menjalankan bisnis kertas dan tinta. Itu sebabnya mereka melakukannya. Tetapi walaupun begitu, mereka bisa saja melakukan hal lain pada tinta itu sebagai perayaan. Untung saja mereka tidak ikut merobek-robek kertas dan menjadikannya hiasan di atas tinta. Bella dan budak lainnya harus menyikat lantai selama berjam-jam karena cairan hitam itu begitu lengket, kemudian mengepelnya hingga mengkilap seperti semula. Sebagian dari tamu itu tentu saja tahu kalau Tuan Hugo memiliki beberapa orang budak, meski mereka selalu dise
"Semuanya sangat mewah, tangan dan leher mereka dipenuhi emas yang berkilau." Elena mulai bercerita mengenai pesta yang sedang berlangsung. "Benarkah?" Tanya Melinda penasaran. "Berapa banyak yang datang?" "Banyak sekali, aulanya penuh." "Wah." Bella memperhatikan keduanya dalam diam. Biasanya Bella suka mengintip pesta yang tengah berlangsung, lebih ke rasa penasaran; ingin mengetahui bagaimana kehidupan mereka lewat obrolan yang ia tangkap.Namun malam ini, Bella tidak bisa melakukannya. Sakit kepalanya kambuh dan jika ia bersikeras untuk bangun, ia hanya akan berguling di lantai. Hal terakhir yang ia inginkan adalah mengacaukan pesta dan mendapat hukuman cambuk lagi, atau mungkin hukuman yang lebih parah. Para budaklah yang memberitahunya kegiatan di pesta setelah membersihkan dapur. Untungnya Tuan Hugo dan Nyonya Deborah sedang sibuk menyambut tamu hingga tidak sadar dengan ketidakhadiran Bella. Ia akan dihukum jika tidak bekerja sekalipun sedang sakit. Jadi, pesta diselengg
"Hei budak! Berhenti!" "Berhenti di sana!" Tubuh Bella gemetar hebat. Keringat dingin menjalari tubuhnya dengan cepat seolah ia baru saja dicelupkan ke dalam tangki air es. Bella merasa sangat ketakutan hingga ia pikir ia akan pingsan di tempat. Kepalanya yang sakit dipaksa untuk berpikir keras, mencari jalan keluar.Mobil yang melaju dengan kecepatan sedang itu terlihat semakin dekat dan lampu depan yang menyilaukan tidak sengaja menyoroti tubuhnya. Mata Bella melebar panik, ia berputar secepat kilat dan memaksa kakinya untuk berlari kencang. Suara teriakan marah pengawal terdengar di belakangnya. "Aku bilang berhenti! Kau akan mendapat masalah!" "Budak sialan!" Bella menggigil. Ia tidak boleh tertangkap. Tuan Hugo akan langsung membunuhnya. Bella terus berlari, memaksakan diri, tidak peduli kepalanya seperti akan copot dari tubuhnya karena rasa pusing yang mendera.Ketika tiba di persimpangan jalan, ia menerobos semak mawar yang tinggi dan melompat ke dalam kegelapan. Ia meri
'Ugh, kepalaku sakit sekali.' Bella meringis, kedua matanya perlahan terbuka. Ia mengerjap-ngerjap, menyesuaikan pandangannya pada ruangan yang hanya diterangi oleh cahaya redup dari bohlam tua. Di mana ini? Berusaha untuk bergerak, Bella baru sadar kalau kedua tangan dan kakinya terikat pada kursi yang tengah didudukinya. Mulutnya juga disumpal dengan kain dan diikat ke belakang kepalanya. Apa yang terjadi? Kenapa ... Bella terkesiap saat kilasan kejadian sebelumnya menghantam kepalanya. Kebakaran di rumah Tuan Hugo, para budak yang mengajaknya untuk kabur, ia yang tertinggal jauh di belakang, pengawal yang mencari para budak, seorang pria yang membuang mayat di tepi hutan dan kesadarannya yang menghilang karena obat bius. Tidak salah lagi, pria itu yang melakukan ini padanya. Pria kejam pembuang mayat itu. Tubuh Bella langsung gemetar karena ketakutan. Irisnya mengedar dengan panik ke sekeliling ruangan yang merupakan sebuah gubuk tua. Kenapa ia dibawa ke sini? Apa pria itu ak
"Diam saja dan turuti mereka. Apa kau mengerti? Jika tidak, tubuhmu akan dijual ke pasar gelap dan itu akan jauh lebih mengerikan." Bella tidak tahu sudah berapa kali ia menangis dalam tiga hari terakhir. Sejak pria pembuang mayat itu menjualnya pada seorang wanita bernama Nyonya Poppy, kesadarannya seperti kabut di pagi yang membekukan. Ia tidak tahu apa yang terjadi padanya. Ia diberi semacam obat setiap hari dan kesadarannya terasa melayang-layang. Tubuhnya lemah, bahkan jarinya sulit untuk digerakkan. Ia hanya terbaring di atas kasur yang tipis dan selimut yang sama tipisnya. Tubuhnya menggigil setiap malam. Musim gugur membawa udara dingin yang menusuk hingga ke tulang. Ruangan yang ia tempati kosong, nyaris tidak terdengar suara apa pun, bahkan detik jam. Bella hanya terus berbaring sambil menatap jendela kecil di ujung ruangan. Pikirannya terbelenggu dalam kesunyian, ia kesulitan memikirkan apa pun. Terkadang kenangan masa kecilnya yang bahagia melintas, membuatnya bertanya
Dua gadis lainnya telah dibawa pergi setelah harga berhasil disepakati oleh kedua belah pihak. Bella tidak bisa berhenti gemetar. Bibirnya sudah nyaris berdarah karena ia tidak bisa berhenti menggigitnya sebagai pelampiasan. Belum lagi perasaan mual yang mengaduk-aduk perutnya. Napasnya agak sesak. Rasa takutnya seolah telah berubah menjadi simpul besar yang mengikat kuat dadanya. Bella rasanya ingin menangis, tetapi bahkan air matanya sudah tidak bisa keluar. Kedua maniknya terus terpaku pada kakinya yang terlihat licin dan halus, entah diolesi apa. Ia tidak ingin menatap para pria berjas yang sejak tadi memandangnya dengan tatapan melecehkan. Terutama barisan depan yang melemparkan kata-kata kotor. "Aku ingin kau menaikkan harga gadis itu. Penawarannya ternyata jauh lebih tinggi dari yang aku bayangkan." Suara Nyonya Poppy terdengar dari sisi jeruji. Ia tengah berbicara dengan pria bertato yang ternyata bernama Tuan Terron. Terron mengangguk dan menyuruh asistennya untuk mencata
'Tidak peduli seberapa gelap malam membawamu pergi, pasti akan ada cahaya yang muncul. Tidak peduli seberapa berat masalah yang menimpamu, pasti akan ada jalan keluar'. Kalimat itu terngiang-ngiang dalam kepala Bella. Salah satu dari sekian banyak nasehat ibunya. Malam ini, apa yang dikatakan ibunya benar-benar nyata adanya. Seseorang menyelamatkannya. Seseorang telah mengeluarkannya dari pelelangan mengerikan itu. Damian Linford. Ketika Bella diserahkan pada pria itu setelah penawaran disepakati, tubuhnya tidak bisa berhenti gemetar. Wajahnya pucat seperti kertas karena ketakutan memikirkan apa yang akan terjadi. Tetapi pria itu seolah bisa menebak pikiran Bella dan dengan tegas mengatakan bahwa ia tidak akan menyentuh Bella dengan cara yang salah. Ia membeli Bella bukan untuk dijadikan pemuas nafsu, melainkan sebagai pelayan di rumahnya. Ia bilang, ia hanya sedang berbaik hati dengan mengeluarkan uang puluhan ribu dolar demi seorang budak. Padahal, harga budak tidak setinggi it