"Apa kali ini tamu yang diundang sama seperti tahun lalu?"
Melinda menoleh mendengar pertanyaan Bella. Ia berpikir sejenak. "Mungkin," jawabnya. "Dan itu berarti pekerjaan kita akan bertambah."Bella meringis. Ia masih ingat benar bagaimana kacaunya pesta tahun lalu. Di penghujung acara, teman-teman bisnis Tuan Hugo menumpahkan banyak tinta dilantai sebagai perayaan untuk kesuksesan perusahaan mereka. Bella tidak mengerti dari mana ide itu dicetuskan.Jadi, Tuan Hugo menjalankan bisnis kertas dan tinta. Itu sebabnya mereka melakukannya. Tetapi walaupun begitu, mereka bisa saja melakukan hal lain pada tinta itu sebagai perayaan. Untung saja mereka tidak ikut merobek-robek kertas dan menjadikannya hiasan di atas tinta.Bella dan budak lainnya harus menyikat lantai selama berjam-jam karena cairan hitam itu begitu lengket, kemudian mengepelnya hingga mengkilap seperti semula.Sebagian dari tamu itu tentu saja tahu kalau Tuan Hugo memiliki beberapa orang budak, meski mereka selalu disembunyikan. Mereka tidak bisa memperlihatkan diri dengan bebas di depan para tamu asing yang datang.Di tahun 2006 ini, orang-orang mungkin menganggap kalau perbudakan itu sudah sepenuhnya dihapuskan. Tetapi sekali lagi, itu tidak berlaku di pasar-pasar gelap.Tuan Hugo pasti punya bisnis gelap yang membuatnya bisa memiliki budak tanpa ketahuan oleh pemerintah. Hanya saja, Bella tidak tahu bisnis apa itu. Dan ia tidak mau mendapat masalah karena rasa penasarannya."Bella, tolong pasang ini." Melinda menyodorkan rangkaian bunga dan daun yang telah selesai. Ia menunjuk sudut ruangan yang masih kosong. "Taruh di sana."Bella menerimanya, kemudian menggantungnya di salah satu paku. Mereka hampir selesai menghias aula tengah seperti yang diminta oleh Nyonya Deborah. Tinggal memasang beberapa rangkaian di sudut ruangan.Bella bergabung dengan Melinda di lantai, sejenak beristirahat. Keduanya punya kesempatan untuk bersantai setiap kali Tuan Hugo dan istrinya sedang keluar.Diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul 05.25 sore. Sudah sejam berlalu sejak Talia dan Elena pergi. Mereka keluar untuk kedua kalinya demi mengambil beberapa perlengkapan.Hanya mereka yang sering dibiarkan keluar oleh Nyonya Deborah. Bella bertanya-tanya kenapa ia tidak pernah disuruh satu kali pun. Melinda bahkan pernah beberapa kali keluar.Bella melirik Melinda yang tengah menyelesaikan rangkaian bunga terakhir, kemudian ragu-ragu memanggil, "Melinda?""Ya?" Wanita itu mendongak dari pekerjaannya sekilas."Mm ... aku ingin bertanya sesuatu." Bella menggigit-gigiti bibir bawahnya, masih ragu-ragu."Menurutmu ... mm ... kenapa aku tidak pernah dibiarkan keluar?""Ah ..." Melinda terdiam, tampaknya cukup terkejut dengan pertanyaan itu. Dari dulu Bella tidak pernah mengungkit-ngungkit hal itu, namun sekarang ia begitu penasaran."Mungkin karena kau masih muda?" Tebaknya, tidak sepenuhnya yakin."Kenapa?""Mereka mungkin takut kau akan kabur.""Tapi kita dipasangi pelacak," ucap Bella. Melinda mengangguk. "Dan ada pengawal yang menemani.""Aku tahu." Melinda menarik napas. Ia menggantung rangkaian bunganya sebelum melanjutkan, "Tapi kau punya kesempatan besar untuk kabur. Aku pernah dengar kalau pelacak itu bisa dikeluarkan atau dimatikan, walaupun aku tidak tahu bagaimana caranya.""Aku tidak berniat untuk kabur," gumam Bella."Aku tahu kemungkinannya sangat kecil, tapi kau punya kesempatan untuk hidup di luar sana. Kau masih muda, Sayang."Bella mengembuskan napas berat, tidak yakin dengan hal itu. Melinda terdengar seperti ibunya yang selalu menyimpan harapan tinggi."Bella." Melinda menyentuh pundak si gadis dengan lembut, iris hitamnya bersirobok dengan iris hazel milik Bella, menyorot penuh keyakinan. "Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya, Sayang. Takdirmu bisa saja berubah jika kau menginginkannya dan berusaha untuk mewujudkannya."Takdir?Bella mengerjap, kalimat itu terngiang di kepalanya. Sudut bibir Melinda tertarik membentuk senyum hangat, lantas ia menarik diri menjauh."Baiklah, kita harus bereskan ini sebelum Tuan dan Nyonya datang," ucapnya.Bella berdiri, mengikuti Melinda ke ruang penyimpanan untuk mengambil penyedot debu. Kalimat Melinda masih melayang-layang dalam kepalanya, bergabung dengan segala nasehat yang pernah ibunya beritahukan.Apakah benar ia bisa hidup di luar sana?Pengetahuan luar yang Bella ketahui sebagian besar berasal dari cerita ibunya, beberapa cerita dari budak lainnya, dan televisi yang sering ditonton majikannya.Remaja seusianya pergi ke sekolah dan mendapat pendidikan. Bergaul dengan teman sebayanya, memiliki kekasih, pergi berbelanja dan berlibur ke tempat eksotis bersama keluarga. Mereka punya pakaian bagus dan makanan yang lebih dari cukup, tidak pernah takut akan kelaparan. Mereka terlihat bahagia dan hidup dalam kebebasan.Itu adalah hidup orang-orang dengan uang yang melimpah. Sebuah kehidupan yang hanya bisa terjadi dalam mimpinya.Budak sepertinya tidak akan pernah bisa merasakan kemewahan seperti itu. Sekalipun ia bisa kabur dan bebas, mungkin hidupnya akan merana. Ia tidak memiliki harta apa pun.Bella membuang napas dan menggeleng pelan. Tidak seharusnya ia memikirkan hal itu. Ia mungkin memang punya kesempatan, tetapi itu tidak sebanding dengan resikonya.Bella tidak sepenuhnya buta huruf seperti budak lainnya. Ia bisa membaca dan berhitung walaupun tidak terlalu lancar. Ibunya yang mengajarinya, dan menyuruhnya untuk menyembunyikannya di bawah topeng kebodohan.Diam-diam, ia sering mengeja tulisan di koran yang tergeletak di meja ruang tamu saat membersihkan tanpa sepengetahuan siapa pun. Ia juga sering melihat beberapa tulisan di komputer milik Tuan Hugo yang menyala, televisi, ataupun pembungkus makanan yang ada di dapur.Tetapi bagaimanapun juga, Bella hanya akan tinggal di sini. Melinda bilang, Tuan Hugo terbilang lebih baik dibanding majikannya sebelumnya. Melinda sering dipukuli tanpa alasan yang jelas karena pemiliknya adalah seorang pemabuk berat.Suara gerbang yang dibuka terdengar di halaman depan, disusul dengan deru mobil milik Tuan Hugo dan istrinya. Tidak lama kemudian, keduanya muncul di pintu utama.Nyonya Deborah melangkah ke dalam dengan wajah berseri-seri, kedua tangannya menenteng banyak tas belanjaan. Di belakangnya, Tuan Hugo juga menenteng beberapa tas kertas.Tangan pria itu terangkat, mengusir mereka untuk pergi dari ruangan itu. Segera saja Melinda menarik tangan Bella dan mereka pergi ke gudang belakang.Setelah menutup pintu, Melinda mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong bajunya—sebungkus kue coklat. Mata Bella seketika melebar melihatnya."Melinda, bagaimana bisa—""Ssshh, mereka belum menghitungnya." Melinda berbisik, kemudian membuka bungkus kuenya. Ia menyembunyikan pembungkus plastiknya di bawah kasur. Senyum lebar menghiasi wajahnya dan ia memberikan setengah kuenya pada Bella. "Makanlah."Diliputi oleh rasa lapar, Bella tentu saja langsung menerimanya. Ia menggumamkan 'terima kasih' dan mengunyah kuenya dengan cepat."Bagaimana luka di punggungmu?" Tanya Melinda setelah kue mereka habis."Tidak sakit lagi.""Coba kulihat."Bella berbalik ke belakang dan Melinda membuka ritsleting gaunnya dengan lembut. "Lukanya sudah kering," katanya. Bella tersenyum, merasa lega. "Tapi saat mandi sebaiknya jangan biarkan terkena air dulu."Bella mengangguk, tetapi sebelum sempat menjawab, suara gerbang yang dibuka kembali terdengar. Melinda dengan cepat menutup ritsleting gaunnya dan menatap panik."Itu mungkin Talia dan Elena. Kita harus segera keluar untuk membantunya sebelum Tuan Hugo memanggil. Ayo," panggil Melinda.Ketika Bella ingin mengikutinya, rasa pusing mendadak melanda kepalanya, membuat tubuhnya limbung ke samping. Tangannya dengan spontan berpegangan pada tembok. "Melinda—tunggu—"Pandangan Bella kabur, ruangan di sekelilingnya terasa berputar. Sisi kepalanya berdenyut hebat dan samar-samar ia melihat Melinda mendekatinya."Bella? Bella? Kau dengar aku?""Sepertinya sakit—kepalaku—" Bella tidak bisa melanjutkan kalimatnya saat tubuhnya jatuh menghantam lantai dan kesadarannya menghilang."Semuanya sangat mewah, tangan dan leher mereka dipenuhi emas yang berkilau." Elena mulai bercerita mengenai pesta yang sedang berlangsung. "Benarkah?" Tanya Melinda penasaran. "Berapa banyak yang datang?" "Banyak sekali, aulanya penuh." "Wah." Bella memperhatikan keduanya dalam diam. Biasanya Bella suka mengintip pesta yang tengah berlangsung, lebih ke rasa penasaran; ingin mengetahui bagaimana kehidupan mereka lewat obrolan yang ia tangkap.Namun malam ini, Bella tidak bisa melakukannya. Sakit kepalanya kambuh dan jika ia bersikeras untuk bangun, ia hanya akan berguling di lantai. Hal terakhir yang ia inginkan adalah mengacaukan pesta dan mendapat hukuman cambuk lagi, atau mungkin hukuman yang lebih parah. Para budaklah yang memberitahunya kegiatan di pesta setelah membersihkan dapur. Untungnya Tuan Hugo dan Nyonya Deborah sedang sibuk menyambut tamu hingga tidak sadar dengan ketidakhadiran Bella. Ia akan dihukum jika tidak bekerja sekalipun sedang sakit. Jadi, pesta diselengg
"Hei budak! Berhenti!" "Berhenti di sana!" Tubuh Bella gemetar hebat. Keringat dingin menjalari tubuhnya dengan cepat seolah ia baru saja dicelupkan ke dalam tangki air es. Bella merasa sangat ketakutan hingga ia pikir ia akan pingsan di tempat. Kepalanya yang sakit dipaksa untuk berpikir keras, mencari jalan keluar.Mobil yang melaju dengan kecepatan sedang itu terlihat semakin dekat dan lampu depan yang menyilaukan tidak sengaja menyoroti tubuhnya. Mata Bella melebar panik, ia berputar secepat kilat dan memaksa kakinya untuk berlari kencang. Suara teriakan marah pengawal terdengar di belakangnya. "Aku bilang berhenti! Kau akan mendapat masalah!" "Budak sialan!" Bella menggigil. Ia tidak boleh tertangkap. Tuan Hugo akan langsung membunuhnya. Bella terus berlari, memaksakan diri, tidak peduli kepalanya seperti akan copot dari tubuhnya karena rasa pusing yang mendera.Ketika tiba di persimpangan jalan, ia menerobos semak mawar yang tinggi dan melompat ke dalam kegelapan. Ia meri
'Ugh, kepalaku sakit sekali.' Bella meringis, kedua matanya perlahan terbuka. Ia mengerjap-ngerjap, menyesuaikan pandangannya pada ruangan yang hanya diterangi oleh cahaya redup dari bohlam tua. Di mana ini? Berusaha untuk bergerak, Bella baru sadar kalau kedua tangan dan kakinya terikat pada kursi yang tengah didudukinya. Mulutnya juga disumpal dengan kain dan diikat ke belakang kepalanya. Apa yang terjadi? Kenapa ... Bella terkesiap saat kilasan kejadian sebelumnya menghantam kepalanya. Kebakaran di rumah Tuan Hugo, para budak yang mengajaknya untuk kabur, ia yang tertinggal jauh di belakang, pengawal yang mencari para budak, seorang pria yang membuang mayat di tepi hutan dan kesadarannya yang menghilang karena obat bius. Tidak salah lagi, pria itu yang melakukan ini padanya. Pria kejam pembuang mayat itu. Tubuh Bella langsung gemetar karena ketakutan. Irisnya mengedar dengan panik ke sekeliling ruangan yang merupakan sebuah gubuk tua. Kenapa ia dibawa ke sini? Apa pria itu ak
"Diam saja dan turuti mereka. Apa kau mengerti? Jika tidak, tubuhmu akan dijual ke pasar gelap dan itu akan jauh lebih mengerikan." Bella tidak tahu sudah berapa kali ia menangis dalam tiga hari terakhir. Sejak pria pembuang mayat itu menjualnya pada seorang wanita bernama Nyonya Poppy, kesadarannya seperti kabut di pagi yang membekukan. Ia tidak tahu apa yang terjadi padanya. Ia diberi semacam obat setiap hari dan kesadarannya terasa melayang-layang. Tubuhnya lemah, bahkan jarinya sulit untuk digerakkan. Ia hanya terbaring di atas kasur yang tipis dan selimut yang sama tipisnya. Tubuhnya menggigil setiap malam. Musim gugur membawa udara dingin yang menusuk hingga ke tulang. Ruangan yang ia tempati kosong, nyaris tidak terdengar suara apa pun, bahkan detik jam. Bella hanya terus berbaring sambil menatap jendela kecil di ujung ruangan. Pikirannya terbelenggu dalam kesunyian, ia kesulitan memikirkan apa pun. Terkadang kenangan masa kecilnya yang bahagia melintas, membuatnya bertanya
Dua gadis lainnya telah dibawa pergi setelah harga berhasil disepakati oleh kedua belah pihak. Bella tidak bisa berhenti gemetar. Bibirnya sudah nyaris berdarah karena ia tidak bisa berhenti menggigitnya sebagai pelampiasan. Belum lagi perasaan mual yang mengaduk-aduk perutnya. Napasnya agak sesak. Rasa takutnya seolah telah berubah menjadi simpul besar yang mengikat kuat dadanya. Bella rasanya ingin menangis, tetapi bahkan air matanya sudah tidak bisa keluar. Kedua maniknya terus terpaku pada kakinya yang terlihat licin dan halus, entah diolesi apa. Ia tidak ingin menatap para pria berjas yang sejak tadi memandangnya dengan tatapan melecehkan. Terutama barisan depan yang melemparkan kata-kata kotor. "Aku ingin kau menaikkan harga gadis itu. Penawarannya ternyata jauh lebih tinggi dari yang aku bayangkan." Suara Nyonya Poppy terdengar dari sisi jeruji. Ia tengah berbicara dengan pria bertato yang ternyata bernama Tuan Terron. Terron mengangguk dan menyuruh asistennya untuk mencata
'Tidak peduli seberapa gelap malam membawamu pergi, pasti akan ada cahaya yang muncul. Tidak peduli seberapa berat masalah yang menimpamu, pasti akan ada jalan keluar'. Kalimat itu terngiang-ngiang dalam kepala Bella. Salah satu dari sekian banyak nasehat ibunya. Malam ini, apa yang dikatakan ibunya benar-benar nyata adanya. Seseorang menyelamatkannya. Seseorang telah mengeluarkannya dari pelelangan mengerikan itu. Damian Linford. Ketika Bella diserahkan pada pria itu setelah penawaran disepakati, tubuhnya tidak bisa berhenti gemetar. Wajahnya pucat seperti kertas karena ketakutan memikirkan apa yang akan terjadi. Tetapi pria itu seolah bisa menebak pikiran Bella dan dengan tegas mengatakan bahwa ia tidak akan menyentuh Bella dengan cara yang salah. Ia membeli Bella bukan untuk dijadikan pemuas nafsu, melainkan sebagai pelayan di rumahnya. Ia bilang, ia hanya sedang berbaik hati dengan mengeluarkan uang puluhan ribu dolar demi seorang budak. Padahal, harga budak tidak setinggi it
Bella terpaku di tempatnya cukup lama, menatap kagum mansion megah bergaya Eropa klasik tahun 80-an. Rumahnya jauh lebih besar dari milik Tuan Hugo dan Nyonya Deborah. Bunga-bunga mawar memenuhi halaman depan mansion. Aroma semerbak yang tercium terasa begitu menenangkan. "Mari," panggil Dhruv, membuyarkan lamunan Bella. Gadis itu tersentak dan buru-buru mengikuti si pria berambut pirang. Di bawah sinar matahari yang cerah, Bella baru sadar kalau pria itu memiliki simbol organisasi yang sama dengan Damian, hanya saja tatonya sudah agak memudar. Pria itu mungkin hanya lebih tua setahun atau dua tahun darinya, tetapi pembawaannya tampak dewasa. Keduanya melangkah melewati gerbang besar dengan emblem burung elang yang berada di puncaknya. Dhruv menuntun Bella memutari sisi labirin tanaman yang sangat luas dan besar, menuju halaman belakang mansion. Bella bisa melihat dua pintu kayu mahoni yang sekelilingnya ditumbuhi oleh tanaman mawar yang merambat. Dhruv mengetuk pintu di bagian kir
"Coba berbalik." Bella tidak mengerti apa yang Nyonya Mochelle ingin lakukan, tetapi ia tetap menurut. Ia berjengit ketika mendadak, Nyonya Mochelle mengangkat bajunya ke atas. Tubuhnya bergidik merasakan angin dingin yang menelusup dari celah jendela, membelai kulit telanjangnya. "Sudah tidak terlihat," gumam Nyonya Mochelle. Tangannya meraba pundak hingga punggung Bella. "Sudah tidak terasa juga. Kemungkinan besar telah menyatu dengan tubuhmu. Apalagi jika sudah tertanam cukup lama." Apa Nyonya Mochelle berbicara mengenai pelacaknya? "Kapan kau dipasangi pelacak, Nak?" Ternyata memang benar. "Umur 13 tahun, Nyonya," jawab Bella. Terdengar helaan napas berat, kemudian Nyonya Mochelle menurunkan pakaiannya kembali. Ia lalu memutar tubuh Bella agar menghadap ke arahnya. "Enam tahun ya, itu sudah lama sekali. Kami tidak bisa mengeluarkan pelacaknya dari tubuhmu, jadi kami akan mencari tahu dan melihat apa pelacaknya masih aktif," jelas Nyonya Mochelle. "Tapi tenang saja, Dhruv me
“Hei Putri Tidur, sampai kapan kau akan terus menutup matamu?”Sebuah guncangan terasa di pundak Bella, disusul suara yang tidak asing. Aroma alkohol menerpa penciumannya dan membuat hidung Bella berkerut.“Putri Tidur? Apa aku perlu menciummu agar kau mau bangun? Atau kau ingin berhibernasi seperti seekor beruang bodoh?”Suara kasar itu kembali menyerbu pendengarannya. Bella berusaha membuka kelopak matanya yang terasa berat, rasanya seolah ada lem yang menempel di sana.“Akhirnya Putri Tidur kita bangun juga,” kata Lester dengan seringai tipis. Ia duduk di tepi ranjang dan menatap Bella dengan saksama.Bella terperanjat dari tempatnya dan hendak bangun, tetapi seluruh tubuhnya terasa lemas. Ia membuka mulut untuk bicara, tetapi hanya suara serak yang keluar.Ke mana suaranya pergi?Bella kira kondisinya telah membaik, tetapi mendadak saja ia merasa begitu lemas. Setelah pertemuan mengejutkannya dengan Van, ia sepertinya mengalami serangan panik dan pingsan.Ketika ia bangun, Lester
“Kau yakin ini hasilnya?”Van menatap hasil tes DNA dengan mata melebar tidak percaya. Ditatapnya Joseph yang mengangguk dengan ekspresi meyakinkan, sama sekali tidak ada keraguan di sana.Van tidak akan pernah meragukan Joseph, tetapi hasil di kertas ini...Bagaimana mungkin ini nyata?Van terduduk lemas di kursi dan menyentuh kepalanya yang terasa sakit. Dari semua hal yang telah ia usahakan setengah mati selama bertahun-tahum, bagaimana mungkin ia bisa melewatkan informasi sepenting ini?Bella adalah anaknya.Arabella Charlotte.Kekasih Damian, musuhnya. Bella yang telah ia siksa. Bella yang ia kira hanyalah bagian dari musuhnya. Bella yang ia jadikan sandera...Bagaimana mungkin dia adalah Bella yang selama ini ia cari? Malaikat kecilnya. Anaknya dengan Helena. Putrinya yang ia tinggalkan bertahun-tahun yang lalu...Bagaimana mungkin mereka adalah satu orang yang sama?Van memijat kepalanya dan terdiam untuk waktu yang lama. Fakta itu hanya membuatnya terguncang dengan perasaan ka
Damian menegakkan tubuhnya dan menoleh ke luar jendela. Matanya dengan awas meneliti sekitar.Ada sesuatu yang tidak beres.Intuisinya mengatakan bahwa ada seseorang yang tengah mengawasinya. Ia hanya berhenti untuk menerima telepon dari Andrius, tetapi rasanya seolah ada yang sedang mengintainya sekarang.Angin dingin berembus dari arah timur, menerbangkan rambutnya hingga jatuh ke dahi. Damian hanya terus menatap kaca spion mobil selama beberapa detik, kemudian kembali mengawasi sekitar dengan saksama.Pohon dan bangunan tua terbengkalai. Rainelle terlihat sepi tanpa penghuni, tetapi Damian yakin ada sesuatu yang tengah menunggunya jika ia melajukan mobilnya sekarang.Ia baru saja mengambil senjata di markas, dan berniat kembali ke mansion. Ia harus memberitahu ayahnya terlebih dahulu sebelum menyerang ke tempat Van. Waktunya semakin menipis, tetapi pergi tanpa persiapan apa pun sama saja dengan membunuh dirinya sendiri dan Bella.Damian tidak ingin membiarkan semuanya berakhir sia-
“Anda tahu saya tidak akan memberikan informasi apa pun, bukan?” Valeriy bersandar di mobil rongsokannya dan menatap Damian. “Informasi yang kuberikan waktu itu sudah cukup. Sekalipun Anda memberikan senjata rakitan lagi, saya tetap tidak bisa.”Damian tahu bahwa Valeriy memegang teguh peraturan dalam organisasinya, tetapi ini tentang hidup dan matinya. Damian akan melakukan apa pun, meskipun itu berarti ia harus melanggar kode etik yang sepatutnya ia taati. Ia tidak peduli apa pun lagi selain menyelamatkan gadisnya.“Baiklah, saya harus pergi.” Valeriy sudah hendak berbalik ketika Damian melontarkan seutas kalimat yang membuatnya membeku di tempat.“Adikmu berada di penjara Alcatraz, bukan?”Valeriy berbalik dengan mata menyipit. Mulutnya terbuka, uap berembus keluar, tetapi dia seolah kehilangan kata-kata.“Aku bisa mengeluarkannya dari sana,” lanjut Damian.Valeriy terlihat goyah dan matanya menatap Damian dengan saksama. Ekspresi Damian keras dan tatapannya yang tajam menunjukkan
Damian terus mondar-mandir dengan gusar. Ia merasa akan meledak saat ini juga. Khawatir, tegang, takut, cemas, ngeri, marah, kesal, sedih, semuanya bercampur menjadi satu. Ia tidak bisa duduk diam, sementara gadisnya entah berada di mana dan dalam keadaan apa.Damian menggeram. “Apa komputer sialan itu sudah terhubung dengan pelacaknya?!”“Diam brengsek! Aku sedang berusaha!” Bogdan balas berteriak. Wajah memerah murka dan Martinez akhirnya bangkit berdiri.“Duduk, Damian.”Damian berdecak dan melemparkan tubuhnya ke kursi. Ia memijat sisi kepalanya yang berdenyut sakit dan menghela napas keras.Stres berat. Itulah yang ia rasakan. Ia tegang dan cemas sepanjang waktu. Ia tidak bisa berhenti memikirkan hilangnya Bella dan bagaimana ia bisa menemukan gadisnya. Sudah tiga hari berlalu, tetapi mereka belum mendapatkan lokasi pasti tempat di mana Bella berada.Tiap detik yang berlalu terasa membunuhnya. Tiap detik yang terbuang dan Damian merasa akan menggila. Bella masih berada di sana, d
“Ibu, Ayah di mana? Kenapa Ayah tidak pernah pulang lagi? Apakah Ayah mencari uang di tempat yang sangat jauh?”Bella menatap ibunya dengan heran. Sudah hampir sebulan berlalu, tetapi ayahnya tidak kunjung menampakkan diri.Bella sudah bosan makan roti dari tepung biji ek, jamur tumis liar, dan jus apel. Ia ingin makan daging atau setidaknya roti gandum. Tetapi gandum cukup mahal akhir-akhir ini, jadi ibunya tidak bisa membelinya. Apalagi daging yang harganya berkali-kali lipat.Ayam mereka telah habis dimakan oleh musang dan rakun liar yang berkeliaran di sekitar hutan. Mereka tidak memiliki ternak domba atau sapi seperti warga lainnya. Bella pikir mereka juga tidak menyukai ibunya dan tidak pernah berbagi apa pun saat perayaan. Hanya keluarga Damian yang baik padanya, tetapi mereka juga bukan orang kaya.“Ayah akan pulang, Sayang. Tapi kita harus bersabar.” Helena berjongkok dan membelai wajah putrinya dengan sayang. “Kau harus bersabar sedikit lagi, ya? Ibu akan buatkan kue enak da
“Apa kau sudah menyuntiknya dengan obat itu?”“Ya, Tuan. Dia sudah tidak sadarkan diri di ruangan itu.”“Bagus.” Van mengangguk dan melirik Fabrizio yang sedang sibuk bicara dengan seseorang di telepon. Van lantas mengisyaratkan Lester untuk pergi, sementara ia menghubungi asistennya agar terus mengawasi Helena.Van akan kembali menemuinya malam ini.Helena masih enggan bicara padanya, tetapi ia tidak peduli. Selama wanita itu berada dalam genggamannya, maka ia pasti bisa membalikkan keadaan suatu saat nanti. Jika ia berhasil menemukan putrinya kembali, ia yakin Helena mau berkompromi dan memaafkannya.Ini hanya masalah waktu.Van memasukkan ponselnya ke saku saat Fabrizio mendekat. Dia menyelipkan pistolnya ke saku dan mengangguk pada Van.“Ayo.”Van berjalan lebih dulu, sementaraFabrizio mengikutinya dari belakang. Mereka menyusuri lorong gedung tua terbengkalai itu dengan tenang, sampai akhirnya tiba di ruangan yang dituju.Van mendorong pintu terbuka secara perlahan. Ia melangkah
Ada sesuatu yang terasa berdenyut di bagian belakang kepala Bella. Denyut itu terus membesar setiap detiknya hingga rasanya tengkoraknya akan pecah. Bella berusaha membuka matanya yang berat, tetapi pandangannya sangat buram, lebih buruk dari sekadar melihat dari kaca berembun.Ia berkedip-kedip beberapa kali sampai pandangannya sedikit lebih baik, tetapi rasa sakit lain di tubuhnya mulai muncul. Rasanya seolah ia telah dipukul habis-habisan. Yang paling nyeri adalah kedua pergelangannya. Bella tidak bisa mengangkatnya, sepertinya tangannya benar-benar telah patah.Ia meraba papan kayu di bawahnya—kotor dan berdebu. Sekelilingnya gelap, hanya sedikit cahaya yang berhasil masuk dari celah kecil di atas jendela yang ditutupi gorden. Ia tidak tahu apa sekarang sudah malam atau cuaca sedang mendung di luar. Ia bahkan tidak tahu apa ia masih berada di Norfolk atau kota lain.Damian...Wajah pria itu melintas di benaknya. Suasana pesta yang kacau terbayang-bayang. Hati Bella mencelos mengin
Ibunya selalu bilang bahwa takdir itu sulit ditebak, kau tidak tahu hal mengejutkan apa yang akan terjadi satu jam kedepan, satu menit ke depan, atau bahkan satu detik ke depan.Itu sebabnya Ibunya selalu memiliki harapan untuknya, bahwa Bella bisa terbebas dari perbudakan dan menjalani kehidupan yang lebih baik di masa depan.Setelah bertemu Damian kembali, hidupnya terasa dijungkir-balikkan. Ada lebih banyak kebahagiaan yang datang padanya dibanding kesedihan yang selama ini mengungkungnya. Tetapi, ia tahu bahwa tidak selamanya kehidupan seseorang akan penuh dengan bunga yang mekar. Ada kalanya bahaya dan kesedihan itu datang mengintai, menghempas apa pun layaknya badai.Dan Bella tahu itulah yang terjadi malam ini.Tembakan mendesing ke segala penjuru. Suasana pesta yang tadinya tenang seketika menjadi kacau. Semua orang berlarian dengan panik, jeritan ketakutan mereka memenuhi ruangan.Bella terhuyung di tempat, bahunya sakit setelah ditubruk berulang kali. Ia berusaha untuk berla