Share

Bab 5 : Mansion Penuh Nostalgia

Nagita tengah mengenakan handuk kimono, baru saja selesai dari ritual mandinya. Mata Nagita segera tertuju pada lemari besar yang berada di sudut ruangan. Ia membuka lemari itu dengan perlahan. Perlengkapan pakaian perempuan tersusun rapi di sana.

"Wah, masih disimpan dengan baik," gumam Nagita tidak menyangka.

Perasaan Nagita kontan menghangat. Gaun-gaun yang dulu pernah ia kenakan di rumah ini masih ada, tersimpan rapi dan terawat seolah Daniel tahu bahwa Nagita akan kembali suatu hari nanti.

Dan nyatanya, Nagita memang berada di sini. Di kamarnya sendiri. Kamar yang Daniel siapkan khusus untuk Nagita tempati.

Nagita tanpa sadar tersipu malu. "Kau bahkan memberikanku gaun baru, ya?"

Beberapa potongan gaun yang belum Nagita sentuh membuat perempuan itu antusias. Ia mencoba beberapa gaun dengan senyuman lebar. Semua ukurannya pas di tubuh Nagita.

Hingga akhirnya, Nagita menjatuhkan pilihan pada gaun ungu polos selutut dengan lengan panjang yang sedikit longgar. Terlihat sederhana, tapi aura Nagita mampu memancarkan pesona yang indah.

Saat Nagita sibuk memeriksa penampilannya di cermin, suara ketukan pintu diketuk lembut. Nagita dengan cekatan membuka pintu kamarnya dan melihat perempuan berusia lima puluh tahun dengan pakaian khas kepala pelayan berdiri di ambang pintu.

"Bibi Jena? Kaukah itu?" Nagita langsung memeluk Bibi Jena erat, mengobati rasa rindu. Ia terharu melihat Bibi Jena setelah sekian lama tidak bertemu.

"Bagaimana kabarmu, Non?" Bibi Jena bertanya penuh perhatian. "Tuan Daniel begitu merindukan sosok Nona."

"Aku baik, Bi." Nagita melepaskan pelukan, menatap Bibi Jena penuh penyesalan. "Maaf karena aku sempat pergi tanpa memberitahu Bibi."

"Tidak apa-apa, Nona. Bibi senang karena Nona sudah kembali."

Setelah melepas rindu, Bibi Jena mengajak Nagita keluar dari kamar, menuntunnya menemui Daniel. "Tuan Daniel sudah menunggu di ruang makan."

"Pakai tangga saja, Bi," sahut Nagita saat Bibi Jena mengarahkannya menuju lift.

Entah bisikan dari mana, Nagita berkeinginan untuk menikmati pemandangan ruangan dari atas tangga. Kegiatan itu bisa mengobatinya pada kenangan lama.

Dulu, Daniel dan Nagita selalu memilih menggunakan tangga agar bisa mengulur waktu untuk terus bersama, menuruni tangga perlahan, bercengkerama dengan hangat.

Dengan penuh antusias, Nagita menuruni tangga marmer seraya bernostalgia, diikuti Bibi Jena yang senantiasa menemaninya.

Dari atas tangga spiral yang mereka pijaki, terlihat ruang tamu yang begitu luas di pandang mata. Nagita menatap sofa berlapis kain sutra yang terletak di sana.

"Dulu aku suka duduk di situ sambil membaca buku, Bibi ingat? Aku terkadang ketiduran di sana menunggu Daniel pulang."

Bibi Jena mengangguk, tersenyum lebar. Tentu saja ia masih mengingatnya dengan baik. Tiap kali Daniel pulang dan menemukan Nagita terlelap lelah demi menunggunya, membuat Daniel merasa bersalah.

Daniel lantas meminta Bibi Jena untuk lebih mengawasi Nagita dan tidak membiarkan Nagita ketiduran di sofa.

"Tuan Daniel begitu mencintai Nona," terang Bibi Jena. "Saya harap, Nona Nagita bisa selalu bersama Tuan Daniel."

Sebab, ketika Nagita pergi dalam hidup Daniel, pria itu seperti kehilangan arah. Ia bahkan menjadi sosok yang tak tersentuh dan semakin dingin seumpama es di kawasan kutub utara.

Ungkapan Bibi Jena membuat Nagita teramat canggung untuk segera merespon. Ada keraguan dalam diri Nagita.

"Aku tidak bisa jamin, Bi," cicit Nagita pelan.

Tidak semudah itu untuk bisa mengabulkan harapan Bibi Jena, mengingat betapa buruknya Nagita pernah memperlakukan Daniel di masa lalu. Ia merasa tidak pantas mendapatkan cinta yang tulus dari laki-laki seperti Daniel. Terlebih, Nagita pernah membuang Daniel demi bisa bersama Jordan.

Bibi Jena hanya merespon dengan senyuman lembut. Apapun keputusan Nagita, pun bagaimana akhir kisah mereka, Bibi Jena harap keduanya mendapatkan kehidupan yang bahagia.

Mereka terus melanjutkan langkah, melewati beberapa ruangan yang membuat Nagita menahan napas. Tiap sudut ruangan, menyimpan begitu banyak cerita. Terlalu banyak kenangan indah yang tak bisa Nagita lupakan.

Hingga tak terasa, langkah mereka telah sampai di tempat tujuan. Di sanalah Daniel sedari tadi menunggu Nagita. Bibi Jena mempersilakan Nagita duduk di kursi berlapis beludru, tepat di seberang Daniel. Bibi Jena kemudian memberi isyarat pada anak buahnya untuk menyiapkan sarapan.

Para pelayan penuh cekatan membawa piring berisi hidangan sarapan. Meja itu dengan cepat dipenuhi hidangan yang memanjakan mata. Nagita menatap makanan di hadapannya dengan canggung. Tentu saja selera makannya meningkat melihat hidangan sebanyak ini, tapi tatapan Daniel yang menatapnya intens membuat Nagita terpaksa malu-malu kucing menyantap avocado toast.

"Habiskan sarapanmu," titah Daniel membuat Nagita hampir tersedak makanannya sendiri. Nagita begitu gerogi saat pria itu memerhatikan ia sarapan sedalam ini.

"Apa kau tidak ada kegiatan lain selain menatapku?" Nagita buka suara. Jantungnya berpacu liar kala Daniel menatapnya terus-terusan. "Apa kau sepengangguran itu?"

Daniel kontan melotot kaget. Pengangguran katanya? Baru kali ini ada yang mengklaimnya sebagai pengangguran.

Daniel lantas melirik jam tangan. "Baiklah, aku akan pergi bekerja sekarang."

Ia berdiri dan bergegas mengenakan jas yang telah disiapkan pelayan.

Tanpa mengatakan sepatah katapun lagi, Daniel melenggang pergi, menyisakan Nagita yang duduk sendirian planga-plongo seperti orang bodoh.

Apa ucapan Nagita membuat Daniel tersinggung? Entahlah, Nagita tidak mau memusingkan itu.

"Bosmu kaku sekali, padahal aku tadi hanya gugup dan asal bicara," komentar Nagita seraya memutar mata, mengajak bicara salah satu pelayan yang berdiri tidak jauh darinya. "Gayanya seperti tidak pernah bermanja denganku saja."

Sambil menggerutu, Nagita mencoba menghabiskan sarapannya. Sikap Daniel yang dingin membuat Nagita kesal sendiri.

Ia melahap roti itu dengan rakus. Mana kecupan di kening Nagita saat Daniel hendak pergi bekerja? Daniel biasanya melakukan itu padanya.

Sadar akan sesuatu hal, Nagita buru-buru menggeleng, menepis rasa kesal yang seharusnya tidak terjadi pada dirinya kini.

Mereka bukan lagi sepasang kekasih, jadi wajar bila Daniel tidak memperlakukannya semanis dulu. Namun, tetap saja perlakuan Daniel membuat Nagita sedikit kecewa.

Bingung akan perasaannya sendiri, tangan Nagita gatal untuk mengetik pesan pada Lylia, mengajaknya bertemu.

Nagita butuh mencurahkan perasaannya pada apa yang terjadi pada dirinya. Nagita tidak sabar bagaimana reaksi Lylia ketika sahabatnya berada di kediaman mantan, dan bagaimana sang mantan kini memperlakukannya.

Namun, tunggu ....

"Di mana ponselku?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status