Share

Bab 2 : Siapa Pengkhianat?

Tepat seminggu selepas dari acara grand opening Pastel Dreams Cafe. Suasana gelap mulai menyelimuti kafe yang nyaman. Malam telah datang.

Nagita mendesah pelan, ketegangan terus menyertai seiring waktu berjalan. Bayangan makan malam bersama Daniel membuat Nagita merenung lama.

Bagaimana jika Jordan mengetahui ini? Nagita tidak ingin menciptakan kesalahpahaman.

Laura jadi semakin merasa bersalah saat melihat ekspresi Nagita. "Maafkan saya, Nona. Saya tidak bermaksud menyulitkan, sungguh. Saya benar-benar tidak sengaja," ucap Laura tidak enak hati.

Laura berharap Nagita masih mau memaafkan dirinya, meskipun ia merasa ada yang mengganjal. Pria bernama Daniel itu sengaja menyodorkan kakinya hingga Laura tersandung dan kehilangan keseimbangan. Namun, Laura tidak punya keberanian untuk meluruskan. Orang kaya seperti Daniel punya kuasa untuk membalikkan fakta.

Nagita menjawab dingin, "Tidak perlu meminta maaf. Kamu tidak salah, Laura. Kita hanya kurang beruntung bertemu pria seperti itu."

"Tapi, Nona ...."

Nagita dengan cepat menepuk pundak Laura, menyemangati. "Tidak ada kewajiban yang membuatmu harus memikirkan nasib seseorang," potongnya seakan sudah tahu apa yang Laura pikirkan.

Nagita lalu mengambil secangkir kopi hangat di meja, menyesapnya dengan khidmat. "Pria itu bagian dari masa laluku," Nagita mulai bercerita. "Saat aku sengaja meninggalkannya, ia pernah berkata akan kembali setelah menyelesaikan segala urusannya."

"Dan dia benar-benar kembali ...," sahut Laura merinding. "Apa ia akan balas dendam pada Nona?"

Nagita berpikir sejenak. "Entahlah," jawab Nagita yang tak ingin berpikir terlalu keras. "Ah, kenapa aku jadi memikirkan pria itu? Jordan jauh lebih baik, tentu saja."

"Tapi Nona, kenapa Tuan Jordan sore tadi tidak bisa menemani fitting baju pengantin? Di acara penting seperti grand opening saja, Tuan Jordan bahkan terlambat. Setelah itu, ia pergi begitu saja tanpa memberitahu Nona."

Nagita mendengus. Fakta yang diungkapkan Laura seakan menikam jantung Nagita.

"Maaf, Nona. Saya tidak bermaksud ...." Laura merutuk dalam hati karena berbicara ceplas-ceplos seperti itu di depan Nagita.

"Aku mengerti kesibukannya dan itu tidak masalah," sahut Nagita menghibur diri. Ia mencoba mengingat kembali kenangan indah bersama Jordan untuk menenangkannya.

Bel kemudian berdenting, menandakan seorang pengunjung tiba. Daniel memasuki kafe dan segera mencari keberadaan Nagita di antara kerumunan orang.

Saat mata keduanya bersatu, dunia seakan berhenti. Suara musik klasik seolah meredup, yang ada hanyalah suara detak jantung yang berdebar kuat, berdentum. Daniel dan Nagita terperangkap dalam momen.

Tatapan itu ....

Nagita merasa ada kerinduan di balik mata Daniel yang tajam.

Nagita berdeham, lantas dengan cepat menguasai diri dan menyerahkan kunci kepada Laura. "Kunci kafe kalau sudah waktunya tutup."

"Baik. Hati-hati, Nona," sahut Laura sembari tipis-tipis melirik Daniel penuh waspada. Sebenarnya apa yang direncanakan pria matang seperti Daniel? Ia tidak mengerti jalan pikiran orang kaya. Mereka selalu bersikap semena-mena.

"Apa kau pikir aku akan melakukan sesuatu yang buruk pada bosmu?" tanya Daniel risih melihat tatapan ragu Laura seolah ia adalah penjahat. "Tidak usah ikut campur dan jaga batasanmu."

Laura menunduk sembari menelan ludah.

"Tidak perlu khawatir, Laura," jawab Nagita cepat. "Aku bisa mengatasi ini." Suara Nagita begitu tegas saat mengatakan itu. Ia tidak mengenal takut. "Aku pulang lebih cepat. Pria ini mengambil waktuku. Bukankah begitu, Tuan?"

"Panggil aku Daniel."

Nagita memutar mata. "Terserah."

Perempuan itu segera berlalu, melangkah lebih dulu menuju pintu keluar. "Ayo, aku tidak sabar menghabiskan isi dompetmu," ujar Nagita sembari terus melangkah. "Bawa aku ke restoran paling mahal di kota ini."

***

Namun, tujuan pertama yang mereka kunjungi bukanlah restoran, melainkan apartemen Jordan. Nagita memohon pada Daniel agar membiarkannya menemui Jordan terlebih dahulu. Nagita cukup terkejut karena Daniel berbaik hati mengabulkan permintaannya.

Mau bagaimanapun juga, Nagita perlu menemui Jordan secara langsung untuk membicarakan ini. Nagita tidak ingin Jordan salah paham dan menganggap dirinya seorang pengkhianat.

"Aku ikut masuk," sahut Daniel saat mereka baru saja tiba di apartemen.

"Tidak perlu," tolak Nagita, menggeleng tegas. Membiarkan Daniel ikut menemui Jordan bukanlah pilihan yang bijak. Terlebih keduanya sempat berseteru dua tahun lalu.

"Aku sendiri bisa mengatasi ini," tambah Nagita bergegas melepas seatbelt. Ia membuka pintu mobil, keluar dengan tergesa untuk menghindari perdebatan.

Nagita melangkah cepat. Tak ingin Daniel nanti menunggunya lama di dalam mobil.

Apartemen Jordan berada di lantai delapan belas. Segera Nagita menuju lift yang membawanya bergerak ke lantai atas.

Maka di sinilah Nagita sekarang. Ia memencet deretan angka pada panel tombol pintu apartemen, menekan password yang sudah lama Jordan beritahu dan Nagita hapalkan.

Gadis itu mengernyit saat pintu terbuka dan ruangan dengan cahaya remang-remang langsung menyambutnya. Hanya ada sinar lampu yang sepertinya berasal dari kamar Jordan.

"Jordan?" panggil Nagita. "Kamu udah tidur?"

Nagita masuk sambil meraba, mencari-cari saklar lampu di ruangan tempat ia berpijak. Cahaya lampu seketika menerangi penglihatan Nagita ketika ia berhasil menemukannya, mengungkap dengan pasti keadaan apartemen itu.

Entah kenapa, rasanya ada sesuatu yang tidak beres.

Terlihat ruangan dibiarkan berantakan begitu saja, seolah penghuninya tak punya waktu untuk membereskan, atau barangkali sang penghuni tengah sibuk pada sesuatu hal yang lebih diprioritaskan.

Mata Nagita lantas tertuju pada sofa di sudut ruangan.

"Tas siapa?" gumam Nagita ketika melihat sebuah tas perempuan tergeletak di sana.

Langkah kaki Nagita terus menyusuri lorong, melanjutkan pencariannya, menciptakan ketegangan yang semakin terasa di udara.

Detak jantung Nagita berdegup cepat seiring langkahnya menuju kamar Jordan. Sebuah sensasi tidak nyaman merambat di sepanjang tubuhnya, mencari jawaban dengan perasaan gelisah.

Tiba di depan kamar pria itu, Nagita berujar dengan gemetar. "Jordan, kamu di dalam?"

Namun, tak ada jawaban. Yang ada hanyalah desahan samar yang terdengar dari balik pintu.

“Ah … Jordan ….”

Nagita mematung. Selama beberapa detik, ia terdiam dengan tubuh yang terasa kebas.

Susah payah ia menelan ludah. Dadanya terasa sesak. Sejak melihat tas di ruang tamu tadi, perasaannya sudah tidak karuan. Nagita sudah berusaha mengusir kemungkinan buruk itu dari kepalanya.

Akan tetapi, suara desahan demi desahan yang saling bersahutan di dalam sana meluluhlantakkan pertahanannya.

Tangan Nagita gemetar saat terulur untuk membuka pintu kamar tersebut.

… Tidak terkunci.

Pemandangan menjijikan yang menyambutnya membuat Nagita merasa sesak sekaligus mual.

“Jordan!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status