"Di mana?" Nagita bergumam lirih. Perempuan itu melirik jam di pergelangan tangan. Perasaan khawatir merayap dalam dirinya, menunggu kehadiran Jordan.
Grand opening sudah dipersiapkan dengan matang. Pintu masuk Pastel Dreams Cafe telah dihias indah dengan balon-balon berwarna. Karpet merah dibiarkan terbentang untuk menyambut para tamu yang datang. Meja tertata rapi dengan bunga segar di atasnya. Namun, persiapan ini rasanya belum lengkap bila Jordan belum berada di sisi Nagita. "Nona, apa kita mulai sekarang?" Seorang pelayan menghampiri Nagita. "Tunggu sebentar lagi," sanggah Nagita penuh harapan. "Aku masih menunggu Jordan." Nagita mencoba bersikap tenang. Tentu saja Jordan akan datang seperti yang pria itu katakan. Namun, untuk acara sepenting ini ... tidak bisakah calon suaminya datang lebih awal? "Nona, para tamu sudah menunggu. Sebaiknya ini segera dimulai." Nagita menghela napas panjang, mulai meragukan keajaiban bila Jordan akan segera tiba. Tak ingin menunda waktu yang terus berjalan, Nagita degan berat hati terpaksa membuka suara, "Baiklah, aku akan bersiap-siap." Acara yang dinanti pun dimulai. Sorotan langsung tertuju pada sosok Nagita Vaheera. Nagita mengenakan gaun berwarna peach dengan rambut hitam lurus yang tergerai panjang. Ia memamerkan senyum yang dipaksakan. Acara penting yang ia persiapkan dan nantikan sejak lama, justru terasa kosong dan hampa. Seharusnya ... di situasi seperti sekarang ... Jordan ada di sampingnya. Namun, tidak apa. Nagita bisa memaklumi itu. Barangkali ada sesuatu yang menghambat Jordan untuk segera datang. Di hadapan para tamu, Nagita bersiap melakukan pemotongan pita. "Dengan ini, saya nyatakan bahwa Pastel Dreams Cafe resmi dibuka," ujar Nagita dengan penuh haru menggunting pita. Para tamu bertepuk tangan meriah. Nagita mulai menyampaikan pesan, menceritakan bagaimana lika-liku perjuangannya untuk bisa mendirikan kafe yang ia impikan. "Saya ucapkan terima kasih untuk para tamu yang telah hadir. Saya harap, kafe ini bisa menjadi tempat yang nyaman dan mengesankan," tutup Nagita. Keluarga hingga rekan bisnis mulai mengucapkan selamat. "Sayang," sela seorang pria yang gesit menerobos kerumunan orang. "Jordan?" Nagita menatap Jordan dengan perasaan lega. "Syukurlah, kamu sudah datang," ucap Nagita seadanya. Kehadiran Jordan sekarang sudahlah cukup untuk Nagita. "Maaf, aku terlambat. Ada masalah di kantor, jadi aku perlu menyelesaikan itu." Jordan meraih tangan Nagita dan menggenggamnya erat. "Aku janji ini yang terakhir. Aku akan datang lebih cepat bila kau butuh aku." "Tidak perlu janji jika seringkali tidak ditepati," balas Nagita lemah. Ini bukan pertama kalinya Jordan mengatakan hal yang serupa. Sudah terlalu sering kata janji itu terucap dari mulut Jordan. "Tidak apa, sungguh. Aku semakin terbiasa bila kau sibuk." "Nagita, selamat ya!" Lylia datang menghampiri, ikut bergabung di antara Nagita dan Jordan. "Kafenya indah banget. Aku yakin ini bisa menjadi tempat favorit banyak orang," terang Lylia penuh bangga. Melihat kehadiran sahabatnya, Nagita langsung memeluk Lylia erat. "Makasih ya, Ly. Aku seneng kalo kamu suka. Makasih karena selalu dukung aku selama ini." Lylia mengangguk, lalu ia menoleh melirik Jordan. "Dan Jordan, selamat juga ya! Kalian sebentar lagi bakal menikah. Jadi gimana, nih? Sudah sejauh mana persiapan kalian?" Jordan terbatuk, canggung. "Ah, itu ...." "Sejauh ini lancar, Ly," jawab Nagita akhirnya karena Jordan tampak bingung dan tidak nyaman. "Minggu depan Jordan akan menemaniku fitting baju pengantin. Iya, kan, Sayang?" tambah Nagita mencairkan suasana. Jordan terdiam cukup lama sampai akhirnya dengan ragu menganggukan kepala. "Kemarilah, akan aku tunjukkan salah satu menu yang bisa menjadi andalan di kafe ini," ajak Nagita pada sahabatnya. Lylia menerima tawaran Nagita dengan senang hati. Ia lalu menatap Jordan. "Ayo, Jordan! Bergabunglah bersama kami." Jordan menggeleng, membiarkan kedua sahabat itu meninggalkannya. Acara terus berlanjut. Para tamu pun dipersilahkan menyantap hidangan. Nagita dan Lylia ikut menikmati makanan, menyantap lavender honey cake yang punya potensi menjadi menu andalan. Mata Nagita sesekali melirik sekitar, mencari-cari keberadaan Jordan yang begitu sulit Nagita temukan. Hati Nagita berdesir. Di mana calon suaminya? Apa Jordan pergi begitu saja? Jika benar Jordan telah pergi ... kenapa pria itu tidak memberitahunya? Tanda tanya itu membuat Nagita sulit menikmati acaranya sendiri. Ia sampai tidak menyadari bila kafe semakin sepi. Para tamu satu-persatu meninggalkan kafe, termasuk Lylia yang telah berpamitan pulang. Ketika suasana kafe sudah tampak sunyi, para pelayan dengan gesit bekerja, membereskan acara. Tepat saat itulah suara gebrakan meja memekakkan telinga. Seorang pria dengan wajah merah padam mencaci seorang pelayan tanpa ampun. "Apa kau tahu berapa harga jas di tubuhku ini?!" hardik pria itu. "Gajimu tidak akan pernah cukup untuk menggantinya!" "Ma-maafkan aku, Tuan," ujar pelayan yang tidak sengaja menumpahkan segelas kopi sisa ke tubuh pria itu, menunduk ketakutan. Tangannya gemetar mencoba membersihkan noda yang ada di jas. "Panggil bosmu!" Pelayan bernama Laura itu seketika memucat. Ia takut keadaan akan semakin berantakan. Nagita memicingkan mata, cukup kesulitan untuk mengenali siapa pria itu, mengingat posisinya cukup jauh dan membelakangi dirinya. Penasaran, Nagita tanpa pikir panjang mendekat. "Maafkan atas kelalaian yang telah terjadi, Tuan," sahut Nagita sopan, mencoba untuk bersikap profesional. "Aku minta kompensasi darimu!" Pria itu mulai membalikkan badan, menunjukkan siapa dirinya. "Daniel?" kaget Nagita tersadar. Perempuan itu sampai terbatuk, terlalu terkejut dengan pertemuan tidak terduga ini. "Aku minta ganti rugi, Nagita." "Oh, ya .... aku paham." Tidak bisa dipungkiri bila Nagita gugup bertemu dengan pria dari masa lalunya itu. Hubungan mereka tidak berakhir baik setelah Nagita meninggalkan Daniel demi Jordan. Nagita pernah menipu cinta laki-laki itu. "Jika kau berkenan, kami akan berikan kompensasi berupa—" "Kembalilah denganku sebagai ganti rugi." "Hah?” Nagita melongo kaget. Ternyata, baik dulu maupun sekarang, laki-laki itu tidak pernah berubah. Selalu mengejar Nagita. "Sayangnya, aku sudah bertunangan." Nagita dengan cepat menguasai diri. Ia menunjukkan cincin tunangan di jari manisnya. "Sebentar lagi aku akan menikah, Daniel." Daniel sama sekali tidak terkejut mengetahui fakta itu. Seolah dia sudah tahu tanpa Nagita memberitahunya. "Apa aku terlihat peduli?" tantang Daniel. "Minggu depan, makan malamlah denganku." "Apa kau gila?!" Nagita yang sudah mulai kehilangan kesabaran lantas melotot lebar. "Enyahlah, Tuan Daniel!" Daniel terkekeh. "Apa kau lupa siapa aku?" Pria itu seketika melirik ke arah Laura yang kini berlindung di balik tubuh Nagita. "Kupastikan pelayanmu tak akan bisa tidur nyenyak karena kesalahannya ini." "Beraninya kau ...." "Maka, bertanggung jawablah, Nagita."Tepat seminggu selepas dari acara grand opening Pastel Dreams Cafe. Suasana gelap mulai menyelimuti kafe yang nyaman. Malam telah datang. Nagita mendesah pelan, ketegangan terus menyertai seiring waktu berjalan. Bayangan makan malam bersama Daniel membuat Nagita merenung lama. Bagaimana jika Jordan mengetahui ini? Nagita tidak ingin menciptakan kesalahpahaman. Laura jadi semakin merasa bersalah saat melihat ekspresi Nagita. "Maafkan saya, Nona. Saya tidak bermaksud menyulitkan, sungguh. Saya benar-benar tidak sengaja," ucap Laura tidak enak hati. Laura berharap Nagita masih mau memaafkan dirinya, meskipun ia merasa ada yang mengganjal. Pria bernama Daniel itu sengaja menyodorkan kakinya hingga Laura tersandung dan kehilangan keseimbangan. Namun, Laura tidak punya keberanian untuk meluruskan. Orang kaya seperti Daniel punya kuasa untuk membalikkan fakta. Nagita menjawab dingin, "Tidak perlu meminta maaf. Kamu tidak salah, Laura. Kita hanya kurang beruntung bertemu pria seperti
Jordan berada di tempat tidur bersama seorang perempuan yang Nagita kenal dengan cukup baik semasa kuliah. Sepasang insan biadab yang tengah bercinta itu menghentikan aksi ketika mendengar teriakan. "Teganya kau ...," Nagita berujar tidak menyangka. Kekecewaan tergambar jelas dari suaranya yang bergetar. Alih-alih terkejut, Jordan hanya tersenyum nakal. Seolah ketahuan selingkuh bukan masalah besar sama sekali. Tidak ada penyesalan dari raut wajahnya yang tampan, yang kini terlihat memuakkan bagi Nagita. "Pergilah sebelum calon istriku mengamuk," ujar pria itu pada Claudia yang semula berada di atas tubuhnya. Perempuan selingkuhannya itu mengangguk patuh. Ia turun dari pangkuan Jordan dan tanpa rasa malu mulai memakai pakaian dengan santai, sedangkan Jordan hanya menutup senjata masa depannya saja, membiarkan dirinya hanya memakai boxer di hadapan Nagita. "Kita belum selesai, Jordan,” ujar Claudia sembari mencium manja pipi Jordan, yang dibalas dengan senyuman tipis oleh pria
Nagita perlahan membuka mata, terbangun dengan kepala yang masih berdentum hebat. Meski tubuhnya masih terasa lemas, ia memaksakan diri untuk beranjak duduk, mengamati sekitar. Kamar bernuansa putih gading, terletak lampu gantung kristal di atasnya, serta jendela besar dengan balutan tirai beludru yang langsung menampakkan keindahan taman membuat Nagita kontan menyipitkan mata. Ia sedang berada di kamar siapa? Namun, kamar ini entah kenapa terasa familiar. "Kau sudah bangun?" Suara khas seorang pria menyadarkan Nagita dari lamunan panjang. Pria itu mengenakan kemeja putih yang ia gulung sampai ke siku. Ia mendekati Nagita dengan penuh kekhawatiran, menempelkan telapak tangannya pada kening Nagita. "Syukurlah, ini lebih mendingan." "Daniel?" Nagita refleks mundur perlahan sampai tubuhnya menempel pada sandaran kasur. Ia panik saat menyadari pakaiannya sudah berganti tanpa sepengetahuannya. Piyama biru dengan ukuran yang pas membalut tubuh ramping Nagita. Ribuan pertanyaan
Nagita tengah mengenakan handuk kimono, baru saja selesai dari ritual mandinya. Mata Nagita segera tertuju pada lemari besar yang berada di sudut ruangan. Ia membuka lemari itu dengan perlahan. Perlengkapan pakaian perempuan tersusun rapi di sana. "Wah, masih disimpan dengan baik," gumam Nagita tidak menyangka. Perasaan Nagita kontan menghangat. Gaun-gaun yang dulu pernah ia kenakan di rumah ini masih ada, tersimpan rapi dan terawat seolah Daniel tahu bahwa Nagita akan kembali suatu hari nanti. Dan nyatanya, Nagita memang berada di sini. Di kamarnya sendiri. Kamar yang Daniel siapkan khusus untuk Nagita tempati. Nagita tanpa sadar tersipu malu. "Kau bahkan memberikanku gaun baru, ya?" Beberapa potongan gaun yang belum Nagita sentuh membuat perempuan itu antusias. Ia mencoba beberapa gaun dengan senyuman lebar. Semua ukurannya pas di tubuh Nagita. Hingga akhirnya, Nagita menjatuhkan pilihan pada gaun ungu polos selutut dengan lengan panjang yang sedikit longgar. Terlihat seder
"Ponselku ... apa ketinggalan di kafe?" Nagita mencoba mengingat apa yang terjadi pelan-pelan. Bayangan semalam saat Daniel menjemputnya di kafe kembali terulang di otak Nagita. Nagita spontan menggeleng cepat. Sebelum pergi bersama Daniel, Nagita ingat betul jika benda pipih itu ia bawa dan dimasukkannya ke dalam tas. "Apa mungkin di sini?" gumam Nagita menebak-nebak. Nagita menopang dagu, sementara tangan yang satunya lagi sedang mengetuk-ngetukkan jari di atas meja. Raut wajahnya begitu serius, tanda bahwa Nagita sedang berpikir keras. "Atau disimpan Daniel?" Tak ingin terlalu banyak menebak lagi, Nagita mulai beranjak dari tempat duduk. Ia sudah selesai sarapan, dan berniat untuk mencari keberadaan ponselnya yang entah di mana. Opsi pertama yang akan Nagita tuju adalah kamar. Namun, pergerakan Nagita sontak terhambat saat kedua pria bertubuh kekar menghalangi jalan Nagita. Nagita mundur perlahan. Diam-diam mengamati penuh was-was siapa yang kini ia hadapi sekarang. Wajah d
'Ah … Jordan ….' Memori menyakitkan itu kembali menyeruak, membuka sesuatu yang kelam. Dada Nagita terasa sesak. Bayangan pengkhianatan Jordan terekam jelas di kepala Nagita. Desahan Claudia dalam kurungan Jordan terus menggema di telinga, begitu nyata sekaligus menyakitkan. Nagita meremas selimut dengan kuat, menguatkan diri pada peristiwa traumatis yang menimpanya. "Jordan ...," Nagita dengan gemetar bersuara, " ... dia selingkuh ...." Kristal bening mulai mengalir melewati pipi. Ia terisak pilu. Percintaan panas Jordan dan Claudia sungguh melukai Nagita, mengoyak hati polosnya yang naif. Kepercayaan yang selalu Nagita beri seolah tidak berarti. Kesetiaan Jordan yang selalu Nagita percayai adalah bentuk kebodohan yang amat merobek hati. Namun, ingatan itu belum sepenuhnya lengkap. Masih ada peristiwa penting yang terjadi setelah Nagita memergoki perselingkuhan Jordan. Sesuatu yang jauh lebih gelap. Nagita memejamkan mata, terus menelusuri dan memaksakan diri untuk mengingat
"Bebaskan aku, Daniel ...," ujar Nagita terdengar putus asa. Ia hanya ingin pulang dan menjalankan kehidupan seperti biasa. Alih-alih mengerti, Daniel terus melangkah mantap, mengabaikan permintaan Nagita yang sesungguhnya begitu Daniel sayangi. Pria itu terus menggendong Nagita, membawanya kembali ke dalam kamar. Terkesan kejam memang, tapi ini adalah satu-satunya cara supaya Nagita selalu berada di sisi Daniel. Setidaknya, ini juga cara agar Nagita tidak bisa bertemu Jordan dan bisa fokus menyembuhkan diri dari rasa trauma. Tak sudi rasanya bila ada kesempatan yang harus mempertemukan Nagita dan Jordan di suatu kesempatan. Setibanya di kamar, Daniel dengan hati-hati meletakkan tubuh Nagita di atas tempat tidur yang empuk tanpa melepas tatapan dingin di wajahnya. "Apa kau sungguh akan menghukumku?" cicit Nagita bertanya, sebab Daniel sempat menyinggung perihal itu, seakan berniat untuk mendisiplinkan Nagita supaya ia jera. "Maaf ...." Melihat Nagita yang begitu ketakutan di
Setelah insiden kabur yang dilakukan Nagita, penjagaan mansion semakin diperketat. Setiap sudut ruangan seolah diawasi, tidak memberi ruang bagi Nagita untuk bisa pergi dari mansion ini. Gerak-gerik Nagita selalu mendapat perhatian dari Gilbert dan Lucas, tidak akan membiarkan perempuan itu hilang dari pandangan. Dua minggu telah berlalu, rutinitas yang Nagita jalani terasa menjemukan dan memuakkan. Hidup Nagita seperti terkurung di dalam sangkar. Ia begitu merindukan kesehariannya yang dulu. Ia juga rindu tentang kafenya yang belum lama ini ia dirikan dengan segenap jiwa dan raga. Nagita merindukan Pastel Dreams Cafe yang bisa menjadi tempat pelariannya dari hidup yang penuh nestapa. "Aku sudah selesai." Nagita bangkit dari duduknya dengan rasa bosan. Wajahnya begitu datar seakan tidak tertarik melanjutkan kehidupan. Pelayan bergegas membereskan piring-piring bekas sarapan Nagita. Gilbert dan Lucas sontak mengikuti Nagita, gesit mengekor di belakang saat Nagita mulai melangkah me