Evelyn sangat paham bahwa akibat dari berhubungan badan tanpa memakai pengaman adalah sebuah kehamilan. Namun, ia terlena ketika Damian yang melakukan hal itu padanya. Cinta itu pembodohan, dan Evelyn membenarkannya ketika dirinya harus melahirkan seorang diri di usia yang masih sangat muda. Damian, pria itu menghilang saat Evelyn mengetahui fakta bahwa dirinya tengah berbadan dua. Siapa sangka bahwa bertahun-tahun kemudian mereka kembali berjumpa? Keadaan kini sudah berbeda, Damian telah memiliki tambatan hati lain, telah bertunangan dan akan segera menikah. Sedangkan buah cinta Evelyn dengan pria itu pun sudah mulai tumbuh sebagai seorang balita. Akankah Evelyn meminta pertanggungjawabannya? Ataukah wanita itu justru memilih untuk tetap menjaga rahasia dengan terus menganggap balita cantik itu sebagai adiknya? "Namanya Luna. Dia ... adikku." - Evelyn.
View MoreTangis tidak selamanya berarti bahwa kesedihan tengah melingkupi seseorang. Namun, sebuah emosi ketika air mata luruh itu juga bisa hadir saat kebahagiaan datang. Tetes demi tetes itu jatuh bercucuran menuruni pipi, tetapi sebuah senyum justru terlukis indah menghiasi paras jelitanya. Ya, Evelyn menyebutnya tangis haru, menangis ketika melihat sosok Arjuna yang pada akhirnya tertangkap oleh pandangan matanya. Kakak tersayangnya itu pada akhirnya datang, padahal sebelumnya ia mengira bahwa pria itu masih belum memaafkan dirinya. Maka, ia segera bergegas memutus jarak, berjalan cepat menuju posisi sang kakak, tentu diikuti suaminya dari belakang."Kak Juna, ku kira kau tidak akan datang." Tanpa izin, Evelyn memeluk tubuh pria berambut gondrong terkuncir rendah itu, sedangkan Damian hanya berdiri di sisinya seraya menyelipkan tangan di saku celana.Arjuna balas memeluk. Ia memejamkan mata dan tersenyum tulus seakan pertengkaran yang lalu tidak pernah terjadi. "Adik tersayangku sedang me
Senyum itu tak pernah sirna menghiasi wajah jelita si mempelai wanita. Sedangkan si pria ber-tuxedo tampak setia berdiri di sisinya sembari terus menggenggam tangannya. Ah, mereka tampak begitu serasi dengan pakaian serba putih. Warna yang melambangkan awal baru, seperti kanvas kosong yang siap mereka lukiskan berbagai warna dalam mengarungi rumah tangga. Hari bahagia itu pada akhirnya telah tiba, tentu kebahagiaan membuncah di hati kedua mempelai. Tangga pelaminan itu telah berhasil mereka jejaki bersama setelah melewati berbagai rintangan yang tidak mudah untuk dilalui. Dan kini mereka telah mencapai puncak, buah dari kesabaran dan perjuangan yang telah mereka usahakan untuk menyatukan hati."Selamat atas pernikahanmu ya, Eve. Aku benar-benar tidak menyangka jika pada akhirnya kau berakhir dengan pria yang kau katakan berkali-kali sebagai sahabatmu ini." Ina, satu-satunya teman dekat si mempelai wanita berdiri di depannya, menyalaminya sembari menempelkan pipi kanan dan kiri. "Ter
"Jadi, pernikahannya benar-benar akan dilaksanakan bulan depan?" pertanyaan itu terlepas dari mulut Arini Adhitama di tengah perbincangannya dengan Sasmitha Alexander. Ya, calon besannya itu memang sedang datang berkunjung ke rumahnya, tentu saja untuk membahas persiapan acara pernikahan kedua anak mereka."Iya, sesuai kesepakatan di awal. Bertepatan dengan hari ulang tahun Luna juga, bukan?" Sasmitha menjawab seraya meletakkan kembali cangkir teh berbahan keramik putih dengan motif bunga-bunga ke atas meja, tentu saja setelah ia menyesap isinya. Gerakannya tampak begitu anggun nan santai, seakan mereka sudah cukup akrab sebelumnya. "Damian ingin jika bukan hanya dirinya dan Evelyn saja yang berbahagia di hari pernikahan mereka, tapi putri mereka juga. Bukankah dia terlihat sangat mencintai putrinya?" lanjutnya.Namun, raut gundah justru terlukis makin jelas di wajah Arini. "Tapi ... apakah waktunya akan cukup untuk persiapannya? Sedangkan saat ini, baik keluarga saya maupun keluarga
Punggung wanita itu tak pernah luput dari penglihatannya, sedang membelakanginya. Sang ibu sedang menciptakan resep baru, tampak begitu sibuk berkutat di depan kompor. Aroma masakan yang tercium begitu lezat membuat Evelyn betah berlama-lama di sana."Apakah sudah selesai, Ma?" dari posisinya yang sedang duduk di kursi meja makan sambil bertopang dagu, Evelyn bertanya. Ia memang sedang menunggui ibunya memasak."Tunggu beberapa menit lagi." Arini menjawab, tak menoleh sedikit pun ke belakang.Karena sedikit merasa bosan, Evelyn bangkit berdiri kemudian mendekat pada sang ibu, berdiri di sampingnya. Ia menatap ke dalam panci, kemudian mencium dalam-dalam aroma yang menguar dari sana. Ah, ibunya sedang memasak mie dengan kuah gelap nan kental bertabur berbagai jenis seafood, menu baru yang belum diberi nama. "Wah, aku jadi tidak sabar ingin mencicipi resep baru Mama. Pasti enak!" Senyum manis mengurva, terlukis begitu indah menghiasi wajah Evelyn."Sudah pasti. Siapa dulu kokinya?" san
Gerbang sekolah Taman Kanak-kanak menyambut pandangan mata birunya. Damian memang berinisiatif menjemput Luna, maka ia datang lebih cepat dari waktu biasanya Burhan menjemput sang putri.Hari-hari paling menyebalkan telah berlalu dan Damian kini telah kembali pulih seperti sedia kala. Ia sembuh dengan cepat, beruntung hasil pemeriksaan terakhir menunjukkan bahwa dirinya telah benar-benar sehat. Seiring stres yang berkurang, dirinya pun semakin tersenyum lepas.Damian menepikan mobilnya di seberang jalan. Masih ada beberapa menit lagi sebelum bel pulang sekolah putrinya berbunyi dan ia memilih untuk menelepon Evelyn. Ah, mengingat seraut wajah itu membuat senyum si pria semakin cerah saja. Ia segera meraih ponsel di saku celana, segera mencari kontak nomor si wanita tercinta untuk melakukan panggilan. "Halo?" dan dari ujung telepon sana, suara merdu yang sangat Damian hafal menyapa telinganya."Aku sedang berada di depan sekolahan Luna. Jika aku menjemputnya, kau tidak keberatan, buka
Angin malam yang berembus tak mengurangi keyakinan pria dewasa itu. Meski dingin menggigit, tak membuat nyalinya menciut. Ah, bahkan andai angin topan yang bertiup pun akan dirinya terjang sekarang. Semua ia lakukan demi putra satu-satunya. Bennedict Alexander baru saja menuruni mobilnya, kini berdiri tepat di depan gerbang kediaman keluarga dari wanita yang putranya cinta. Ia sudah memikirkan matang-matang tentang keputusannya ini, ia akan bertindak. Ia hanya berharap bahwa keberuntungan akan menyertainya malam ini.Tangan kanannya terangkat demi memencet bel. Dan tak berselang lama, sang Tuan rumah keluar dari pintu utama. Pria baya itu memandang ke arahnya lengkap dengan kening berkerut, pun raut muka terkejut. Bennedict segera mempersiapkan diri jika seandainya Burhan Adhitama kembali naik pitam atas kedatangannya."Untuk apa Anda datang malam-malam begini?" Burhan menggeser gerbang saat bertanya dengan nada ketus.Bennedict menatap tepat di mata sebelum mengutarakan tujuan kedat
Selembar tisu yang pada awalnya putih bersih kini dihiasi bercak merah terang. Darah yang mengalir dari luka di jari Evelyn adalah sesuatu yang mewarnainya. Ternyata ia menggores jarinya terlalu dalam.Seraya mencoba menghentikan perdarahan dengan membalut lukanya menggunakan tisu, wanita itu datang menemui ayahnya di ruang keluarga. Pria baya itu sudah menunggu dirinya sedari tadi seraya melihat acara di televisi. "Duduklah, Papa ingin berbicara." Burhan Adhitama segera membuka kalimat ketika Evelyn sudah mendekat. Ia menepuk permukaan sofa lembut di sisinya."Di mana Luna?" Wanita beranak satu itu mendudukkan diri di sisi ayahnya, sesuai perintah."Sudah masuk ke kamar dengan Mama, Papa hanya ingin berbicara empat mata denganmu." Kernyit tercipta di dahi Burhan ketika pada akhirnya ia melihat jari Evelyn terbungkus tisu bercorak merah. "Apa yang terjadi dengan tanganmu?""Aku tak sengaja melukainya saat mengiris apel."Mata tua Burhan kini menyorot dalam pada kedua mata putrinya, s
Mentari telah hampir tenggelam seluruhnya ketika Bennedict Alexander sampai di parkiran hotel tempat Damian menginap. Putranya telah mengirimkan alamat hotel itu hampir satu jam yang lalu, maka setelah urusannya selesai, pria baya nan tampan itu segera meluncur ke sana."Tinggalkan saja mobilnya di sini, kalian boleh kembali ke Jakarta." Bennedict berucap demikian setelah turun dari mobil yang ia naiki."Siap, Tuan! Ini kunci mobilnya." Satu orang yang menjadi pemimpin kaki-tangannya, pun seseorang yang tadi mengemudikan mobilnya menyerahkan kunci. Dua orang lainnya berdiri siaga di belakang pria itu. Sedangkan Bennedict menerima kunci mobilnya begitu saja, lalu memasukkannya ke dalam saku celana sebelum berbicara. "Kerjakan tugas kalian dengan baik selama saya tidak ada di tempat," perintahnya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh orang-orangnya kemudian kembali bersuara. "Yang harus kalian ketahui, meskipun saya tidak berada di sana, saya masih akan tetap memantau kinerja kalian. Ja
Damian Alexander adalah seseorang yang lebih dahulu keluar dari pintu restoran tempat dirinya dan sang ayah mengisi perut siang ini. Setelah mereka angkat kaki dari rumah Burhan Adhitama, Bennedict Alexander memang berinisiatif mengajak putranya untuk mampir makan siang terlebih dahulu. Sebagai ayah, tentu Bennedict merasa khawatir melihat tubuh sang putra semakin kurus setiap harinya.Dan di sinilah mereka, di area parkir restoran yang cukup luas di tengah terik sang surya. Si pria muda berdarah Jerman itu masuk ke dalam mobil hitam yang ia sewa selama tinggal di Surabaya dengan tanpa kata. Melihat putranya telah berada di balik kemudi, Bennedict segera memberikan perintah pada seseorang yang sedari tadi mengikuti di belakang punggungnya."Tunggu di mobil, saya akan segera kembali."Perintah diterima, pria tinggi berjas abu-abu itu mengangguk patuh. "Baik, Tuan."Selanjutnya Bennedict bergegas menuju mobil putranya. Ia membuka pintu penumpang bagian depan, ikut masuk ke dalam mobil k
"Dan pada akhirnya Sang Putri bersama Pangeran pun hidup bahagia selamanya. Tamat. Sekarang Luna bobo, ya?" permintaan itu teralun dari mulut Evelyn Adhitama seiring ia menutup buku dongeng Cinderella di pangkuannya. Pandangan menenangkan penuh kasih itu berpindah pada paras menggemaskan gadis kecil yang berbaring di sisinya."Tapi, Luna belum ngantuk, Kak." Balita berusia 5 tahun itu menggeleng kecil seraya menatap polos pada kedua mata Evelyn.Meskipun ucapan balita cantik bermata biru itu terdengar seperti kalimat penolakan biasa, namun hal tersebut nyatanya berhasil membuat senyuman wanita itu berubah pedih. Selalu saja begitu setiap kali Luna memanggilnya 'Kakak', karena faktanya Luna adalah anak kandungnya, janin yang selama kurang lebih 9 bulan lamanya telah bersemayam di rahimnya.Tanpa terasa sudah 5 tahun berlalu setelah ia melahirkan, melewati lembah kematian seorang diri di atas meja operasi tanpa pasangan. Dan kini, bayi kecilnya sudah semakin besar. Selama itu pula ia me...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments