"Dan pada akhirnya Sang Putri bersama Pangeran pun hidup bahagia selamanya. Tamat. Sekarang Luna bobo, ya?" permintaan itu teralun dari mulut Evelyn Adhitama seiring ia menutup buku dongeng Cinderella di pangkuannya. Pandangan menenangkan penuh kasih itu berpindah pada paras menggemaskan gadis kecil yang berbaring di sisinya."Tapi, Luna belum ngantuk, Kak." Balita berusia 5 tahun itu menggeleng kecil seraya menatap polos pada kedua mata Evelyn.Meskipun ucapan balita cantik bermata biru itu terdengar seperti kalimat penolakan biasa, namun hal tersebut nyatanya berhasil membuat senyuman wanita itu berubah pedih. Selalu saja begitu setiap kali Luna memanggilnya 'Kakak', karena faktanya Luna adalah anak kandungnya, janin yang selama kurang lebih 9 bulan lamanya telah bersemayam di rahimnya.Tanpa terasa sudah 5 tahun berlalu setelah ia melahirkan, melewati lembah kematian seorang diri di atas meja operasi tanpa pasangan. Dan kini, bayi kecilnya sudah semakin besar. Selama itu pula ia me
"Mama serius, besok kita semua akan pergi berlibur?" setelah menutup pintu kamar Luna, Evelyn bertanya pada sang ibunda. Di benaknya penuh tanda tanya, sebab Arini belum pernah membicarakan perihal liburan sebelumnya."Kau lupa? Besok hari pernikahan Juna, Sayang. Sepupumu yang di Jakarta itu." Arini menelengkan kepala, menjawab seraya melangkah beriringan bersama putrinya menuju kamarnya di lorong paling ujung. Kamar di rumah mereka memang saling bersebelahan dan berurutan."Oh, astaga!" Evelyn menepuk jidatnya saat mengingat tentang hal yang ibunya katakan, namun senyumannya mengurva lebar. "Jadi, Kak Juna benar akan menikah besok?!""Begitulah. Kau tampak sering melamun akhir-akhir ini. Memikirkan apa, hm?" Arini berdiri di depan pintu kamarnya. Urung membuka pintu, ia justru tampak bersedekap menatap sang putri.Evelyn tersentak mendengar pertanyaan Arini. Ternyata ibunya begitu peka terhadapnya, tetapi untuk jujur pun terlalu sukar bagi wanita itu. "... tidak ada." Pada akhirnya
Sepotong baju yang terlipat rapi sekali lagi masuk ke dalam koper pink milik Luna. Itu adalah baju-baju yang akan si gadis kecil kenakan selama mereka di Jakarta. Memang tidak banyak, sebab mereka memang berencana untuk segera kembali ke Surabaya setelah acara pesta pernikahan telah selesai.Terkecuali Evelyn.Ya, wanita itu memang akan tinggal di ibu kota dalam waktu yang cukup lama. Ia ingin melanjutkan kuliah di kampus impiannya di sana, tentu saja sekaligus untuk mencari pengalaman kerja. Selama tinggal di Surabaya ia merasa begitu terkekang, kedua orang tuanya terlalu over protektif padanya, selalu saja melarangnya untuk lebih mengenal dunia luar. Dan kini Evelyn ingin keluar dari zona nyamannya selama ini. Biar bagaimanapun, ia ingin bekerja dan bisa hidup mandiri."Nah, sudah siap. Sekarang Luna bisa beristirahat sebentar sebelum mandi. Masih merasa dingin, bukan?" Evelyn berucap seraya menarik risleting koper Luna, sedangkan atensinya telah tercurah penuh pada wajah menggemas
Acara resepsi pernikahan itu tampak ramai malam ini. Segala sisi gedung dipenuhi banyak tamu undangan berpenampilan glamor dengan dresscode warna emas. Pukul 8 tepat Evelyn beserta keluarga pada akhirnya menapakkan kaki ke tempat resepsi pernikahan Arjuna. Sebenarnya mereka sudah sampai di Jakarta sejak menjelang siang tadi. Namun, karena merasa lelah akibat penerbangan dari Surabaya selama 1 jam lebih di atas awan, mereka memilih untuk sekedar melepas penat di rumah mempelai pria, terlebih mereka membawa seorang balita."Ma, Luna mau pipis!" tarikan tangan Si kecil Luna pada tangan Arini yang menggandengnya, membuat wanita baya itu menghentikan langkah kaki kemudian menaruh afeksi padanya. Evelyn dan Sang ayah yang berjalan di belakang mereka turut berhenti."Kebelet, ya? Baiklah." Sedikit membagi senyum untuk Luna, Arini mengalihkan tatapan pada Evelyn dan suaminya. "Eve, Mama dan Luna ke toilet dulu. Kamu temui Juna dulu bersama Papa, nanti kami menyusul.""Iya, Ma." Sebuah angguk
Menghadiri pesta pernikahan nan meriah adalah hal yang cukup merepotkan untuk Damian. Ia merupakan tipe pria penyuka ketenangan. Bila boleh jujur, ia lebih suka menghabiskan waktu dengan mendengarkan musik klasik di kamarnya daripada harus berkumpul dengan banyak orang seperti ini. Beruntung seseorang yang ia ajak bersedia untuk menemaninya malam ini."Itu dia pengantinnya. Kita langsung ke sana?" pria tinggi berperawakan asing itu menunjuk kedua mempelai pengantin lewat tatapan kedua mata birunya. Dan wanita yang mengamit lengannya merekahkan senyum manis pertanda setuju."Boleh."Namun, di tengah langkah beriringan mereka, Damian kedapatan mengerutkan keningnya. Ia baru sadar bahwa ada sosok yang tampak familier di dekat kedua pengantin."Bukankah itu Aksa?" lirihnya, lebih pada diri sendiri. Ah, rupanya ia tak menyadari kehadiran satu sosok lain. Sosok bertubuh mungil yang tampak terhalang sosok Si pengantin pria, Evelyn. Wanita itu memang sengaja mengatur posisinya agar tak sampa
"Apa tidak sebaiknya kalau kalian menginap lebih lama di sini? Luna terlihat nyenyak sekali. Kasihan kalau harus dibangunkan." Adalah Arjuna, seseorang yang berbicara ketika melihat Burhan dan Arini muncul dengan menggeret sebuah koper dari kamar yang mereka tempati di rumah itu. Penampilan sepasang suami-istri itu sudah tampak rapi meskipun jam di dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam."Kami masih memiliki pekerjaan di Surabaya yang tidak bisa ditinggal lama, Nak. Lagi pula Luna juga harus tetap bersekolah di sana." Burhan yang menjawabnya. Pria baya itu mendudukkan diri di kursi empuk yang tersisa, disusul Sang istri yang duduk di sisinya. Sebenarnya Burhan merasa tidak tega saat menatap Luna yang tertidur berbantalkan paha Evelyn, raut lelah tampak jelas menghiasi gurat wajah gadis kecilnya. Kemarin malam Luna memang begitu bersemangat mengikuti setiap rangkaian pesta pernikahan Arjuna dan Karenina, bahkan balita itu baru bisa tidur setelah tengah malam. Sedangkan Evelyn hanya
Setelah bergelut dengan kemacetan lalu lintas, pada akhirnya mobil hitam metalik yang Damian kemudikan sudah berhenti di sisi gerbang rumah Arjuna. Pria itu kembali membaca peta elektronik di ponselnya, kembali memastikan bahwa dirinya sudah benar-benar sampai di titik tempat tujuan sesuai denah lokasi yang Evelyn kirimkan tadi malam."Sepertinya benar ini alamat rumahnya." Damian bergumam pada diri sendiri saat menatap hunian megah itu. Ia membuka pintu mobilnya kemudian menapakkan kaki pada paving di sekitar gerbang. Setelahnya, ia mendudukkan diri di kap mobilnya. Cuaca yang cukup terik siang itu tak sedikit pun membuatnya takut jika kulitnya akan terbakar.[Aku sudah sampai di depan gerbang.]Setelah yakin bahwa rumah besar bergaya Romawi itu benar tempat wanita yang ingin ia temui tinggal, Damian segera mengetikkan pesan untuknya. Ia memang sudah menantikan pertemuan ini sejak semalam. Tidak bertemu setelah bertahun lamanya membuat ia menanggung rindu yang begitu menggunung terha
Taman di halaman rumah berhiaskan berbagai macam bunga warna-warni menyambut pandangan Evelyn kala dirinya memutuskan keluar dari pintu rumah yang ia tinggali. Ada 2 buah kursi panjang berbahan besi yang dicat putih berada di tengah-tengah, saling berhadapan, bersekatkan sebuah meja berbentuk kubus yang dicat serupa.Sosok Karenina terlihat di antara tanaman indah itu, sedang membawa sebuah gembor untuk menyiram bunga-bunga di sudut kanan. Cahaya oranye senja yang menimpa, membuat sosok Sang kakak ipar tampak bercahaya. "Bisakah aku membantumu, Kak?" wanita itu berinisiatif menawarkan bantuan saat jarak sudah terpangkas. Karenina menoleh ke asal suara, dan ia tersenyum saat tatapannya menemukan sosok Evelyn. Ia tentu menyambut niat baik adik sepupunya."Tentu, Eve. Kau bisa menyiram bunga-bunga di bagian sana, ya? Di bagian sini biar aku saja." Ia menunjuk ke sisi kiri, pada sekumpulan tanaman bunga Lily dengan warna yang berbeda-beda."Siap." Gembor yang berada di sisi kran segera
Selembar tisu yang pada awalnya putih bersih kini dihiasi bercak merah terang. Darah yang mengalir dari luka di jari Evelyn adalah sesuatu yang mewarnainya. Ternyata ia menggores jarinya terlalu dalam.Seraya mencoba menghentikan perdarahan dengan membalut lukanya menggunakan tisu, wanita itu datang menemui ayahnya di ruang keluarga. Pria baya itu sudah menunggu dirinya sedari tadi seraya melihat acara di televisi. "Duduklah, Papa ingin berbicara." Burhan Adhitama segera membuka kalimat ketika Evelyn sudah mendekat. Ia menepuk permukaan sofa lembut di sisinya."Di mana Luna?" Wanita beranak satu itu mendudukkan diri di sisi ayahnya, sesuai perintah."Sudah masuk ke kamar dengan Mama, Papa hanya ingin berbicara empat mata denganmu." Kernyit tercipta di dahi Burhan ketika pada akhirnya ia melihat jari Evelyn terbungkus tisu bercorak merah. "Apa yang terjadi dengan tanganmu?""Aku tak sengaja melukainya saat mengiris apel."Mata tua Burhan kini menyorot dalam pada kedua mata putrinya, s
Mentari telah hampir tenggelam seluruhnya ketika Bennedict Alexander sampai di parkiran hotel tempat Damian menginap. Putranya telah mengirimkan alamat hotel itu hampir satu jam yang lalu, maka setelah urusannya selesai, pria baya nan tampan itu segera meluncur ke sana."Tinggalkan saja mobilnya di sini, kalian boleh kembali ke Jakarta." Bennedict berucap demikian setelah turun dari mobil yang ia naiki."Siap, Tuan! Ini kunci mobilnya." Satu orang yang menjadi pemimpin kaki-tangannya, pun seseorang yang tadi mengemudikan mobilnya menyerahkan kunci. Dua orang lainnya berdiri siaga di belakang pria itu. Sedangkan Bennedict menerima kunci mobilnya begitu saja, lalu memasukkannya ke dalam saku celana sebelum berbicara. "Kerjakan tugas kalian dengan baik selama saya tidak ada di tempat," perintahnya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh orang-orangnya kemudian kembali bersuara. "Yang harus kalian ketahui, meskipun saya tidak berada di sana, saya masih akan tetap memantau kinerja kalian. Ja
Damian Alexander adalah seseorang yang lebih dahulu keluar dari pintu restoran tempat dirinya dan sang ayah mengisi perut siang ini. Setelah mereka angkat kaki dari rumah Burhan Adhitama, Bennedict Alexander memang berinisiatif mengajak putranya untuk mampir makan siang terlebih dahulu. Sebagai ayah, tentu Bennedict merasa khawatir melihat tubuh sang putra semakin kurus setiap harinya.Dan di sinilah mereka, di area parkir restoran yang cukup luas di tengah terik sang surya. Si pria muda berdarah Jerman itu masuk ke dalam mobil hitam yang ia sewa selama tinggal di Surabaya dengan tanpa kata. Melihat putranya telah berada di balik kemudi, Bennedict segera memberikan perintah pada seseorang yang sedari tadi mengikuti di belakang punggungnya."Tunggu di mobil, saya akan segera kembali."Perintah diterima, pria tinggi berjas abu-abu itu mengangguk patuh. "Baik, Tuan."Selanjutnya Bennedict bergegas menuju mobil putranya. Ia membuka pintu penumpang bagian depan, ikut masuk ke dalam mobil k
Kacamata hitam itu ia lepas kasar lalu diselipkan pada saku jas. Selanjutnya hela napas rendah terembus ketika ia mencoba bersikap tenang. Ya, ia harus tetap mampu mengontrol emosinya kendati ia cukup merasa kesal ketika melihat tingkah si putra semata wayang di depan sana.Pria matang itu adalah Bennedict Alexander. Ia datang dan mengikuti Damian sesuai janjinya; ia akan membantu putranya untuk meraih kebahagiaan. Dan kebahagian cetak biru dirinya itu adalah bersatu dengan Evelyn beserta Luna, maka sebagai seorang ayah tentu ia akan mengusahakannya dengan cara apa pun agar mampu mewujudkan impian sang putra.Sejujurnya Bennedict memiliki alasan yang kuat selain karena kasih sayangnya sebagai seorang ayah sehingga repot-repot datang ke Surabaya. Ia merasa bersalah. Ia sadar bahwa setelah kematian Darren Alexander, ia memperlakukan Damian dengan semaunya. Kasarnya, ia ingin menebus kesalahannya pada si putra bungsunya itu.Langkah panjang itu memutus jarak dengan tenang, lalu berdiri d
"Kau harus selalu mengingat apa kata Psikolog padamu." Obrolan itu mengalir di sela perjalanan menuju ke tempat parkir. Satu sesi konseling telah terlewati, dan kini mereka hendak kembali ke rumah."Iya." Pria berwajah oriental itu mengangguk, menyelaraskan langkah kaki dengan sang ibu, melewati jalan paving berpayungkan teduhnya pohon Tabebuya di sekitarnya."Jangan hanya diingat, kau harus melakukannya juga, Aksa." Lian Wijaya menyempatkan dirinya menatap sisi wajah tampan nan tirus itu, lengkap dengan ekspresi serius.Namun, putranya itu justru terkekeh kemudian berhenti melangkah demi memberikan atensi penuh pada wajah ibunya. "Baiklah, Mama. Aku akan melakukannya. Jangan khawatir begitu.""Kau satu-satunya putra Mama, Aksa. Mama hanya khawatir.""Aku tahu." Anggukan kepala Aksa berikan sebelum menyimpan kedua tangan di saku celana, bibir tipisnya mengukir senyum simpul. "Maaf karena aku sudah membuat Mama khawatir begini. Aku akan segera sembuh, seperti apa yang Psikolog katakan
"Kau sangat menyedihkan, Aksa!" kalimat itu lolos dari mulutnya ketika melihat pantulan dirinya sendiri di dalam cermin.Tatapan mata sehitam jelaga itu tak lagi berkharisma. Bagian bawah matanya yang menghitam menjadi bukti bahwa akhir-akhir ini pria itu tak pernah mendapati tidur yang nyenyak. Aksa Wijaya tampak kurus setelah gagal menikah. Dan kondisinya semakin memprihatinkan setelah menerima telepon dari Evelyn beberapa hari lalu.Suara ketukan di pintu kamarnya membuat atensi Aksa teralihkan. Sosok ibunyalah yang muncul dari balik daun pintu, menatap khawatir padanya."Mama," lirihnya.Lian Wijaya, ibunda Aksa mengalihkan tatapan mata pada nakas di sisi ranjang anaknya. Semangkuk sup jamur dan segelas air putih di atas nampan yang ia letakkan di sana pagi tadi tampak sedikit pun tak tersentuh. Sorot mata tua nan sipit itu seketika berubah sendu ketika mulai memutus jarak pada pria yang masih setia berdiri di depan cermin almarinya. "Kenapa sarapanmu masih utuh, Aksa?""Aku sedan
Setelah pesawat yang ia naiki mendarat di Bandara pagi ini, Damian segera menuju ke alamat rumah sakit yang ayahnya katakan di telepon. Ya, mau tidak mau pria itu pulang ke Jakarta. Bukan karena rasa takut, ia hanya merasa bersalah pada perempuan yang nyaris akan menjadi istrinya itu.Kedua orang tuanya sudah ada di kursi tunggu yang terletak di depan ruang perawatan Kiara Laurencia ketika langkah kaki panjang si pria menjejak di sana. Ada sosok ibunda si pasien yang duduk di sisi Sasmitha Alexander; ibunya. Dari raut wajah senja itu, Damian mampu melihat kabut duka yang pekat.Apakah ... kondisi Kiara begitu parah?Meski anak-anak mereka tak jadi menikah, namun ibu Kiara masih berhubungan baik dengan keluarga Damian. Pun keluarga pria itu pun memperlakukan mantan calon besannya serupa, mereka sudah bagaikan keluarga. "Damian, akhirnya kau datang." Sasmitha yang akhirnya lebih dulu menyadari kedatangan sang putra segera menyapa.Bennedict yang melihat wajah Damian kembali babak belur
Hal terakhir yang Damian ingat adalah pukulan Hiashi yang begitu kuat, selanjutnya kegelapan yang menyergap penglihatannya. Kini kepalanya terasa berdenyut-denyut, sangat tidak nyaman, menyakitkan. Bukan, bukan karena tinjuan si pria baya yang membuatnya kehilangan kesadaran. Ia tidak selemah itu. Hanya saja, tubuhnya memang sedang tidak dalam stamina yang baik hari ini, dan kebetulan pukulan terakhir dari ayah wanita yang ia cintai itu mengarah tepat di kepala. Ia goyah, dan ia tidak mengingat apa pun lagi setelahnya.Selanjutnya pria itu perlahan membuka mata, detik selanjutnya cahaya perlahan masuk ke retina matanya dan ... ia tersenyum. Meskipun samar, ia dapat mengenali sosok itu, sosok wanita berambut panjang yang duduk di sisi ranjang tempatnya berbaring dalam ruangan yang asing, kamar tamu jika tebakannya benar. Suara isak yang terdengar menguatkan dugaan si pria bahwa wanita itu tengah menangis. Ya, menangisi dirinya. Ada rasa hangat yang perlahan merambat di dada ketika me
Evelyn memang tergolong wanita yang rajin. Meski udara masih terasa dingin menggigit, ia sudah tampak beraktivitas di luar rumah. Ada sapu di tangannya, ia sedang membersihkan daun-daun kering yang berguguran di halaman."Masih pukul 6, apakah Aksa sudah bangun?" Wanita itu berujar pada diri sendiri, sejenak menghentikan gerakannya.Sekian detik berlalu, akhirnya Evelyn memutuskan untuk menelepon. Ia mengambil ponsel di saku celana, mencari kontak pria yang ingin ia hubungi kemudian menempelkannya di salah satu daun telinga.Dan tak lama kemudian terdengar suara dari ujung telepon sana, suara berat yang tak asing di telinga Evelyn."Hm." Hanya satu dehaman. Ya, hanya sebuah dehaman, namun hal itu cukup membuat jantung Evelyn berguncang, berdetak menyakitkan. Rasa bersalah itu kembali datang menyerang."Aksa, bagaiman—""Kukira kau sudah tak lagi mengingatku." Aksa sengaja memotong ucapan Evelyn. Meski dikatakan dengan nada biasa, namun tak mampu menutupi kegetiran di dalamnya.Di saat